Friday, January 22, 2010

SI DUKSENG DAN PESAN MORAL

Oleh : Aba

Kadang penulis teringat di masa kecil dulu, di masa teknologi modern belum masuk ke Pulau Bawean, tidak ada listrik, tidak ada TV, apalagi game sebagai mainan anak jaman sekarang, hanya ada radio, itupun tidak banyak orang yang punya.
Penulis ingat pula di suatu ketika ada pesawat terbang yang melintas dengan terbang rendah, banyak orang yang jualan di pasar lari kalang kabut dengan maksud mencari perlindungan, sehingga banyak uang mereka yang tercecer, saat itu anak-anak kecil banyak yang pergi ke pasar mencari uang yang tercecer itu. Banyak orang tua yang melarang anak-anak menunjuk kearah pesawat terbang yang melintas kendati terbang jauh, sehingga umum pada waktu itu sesame anak-anak saling memperingatkan kawan-kawannya.

Kalau malam telah tiba, bumi menjadi gelap gulita, yang tiada terbayangkan bila diukur dengan jaman sekarang. Bila tidur di langgar, tidak tahu siapa yang di sebelah kita, sebab kendati dalam jarak satu centi meterpun mata di dekatkan penglihatan tidak akan bisa menjangkau, apa lagi bila musim penghujan tiba, gelap dan becek menjadi satu kesatuan yang senada seirama, saat itu terkadang Nampak warna keabu-abuan di bawah kita, itulah yang sering dikira batu, yang ternyata begitu diinjak adalah genangan air, sehingga kaki serta sarung jadi basah dan kotor karenanya.

Lain di luar lain pula di dalam rumah, para orang tua begitu mesra bercengkrama dengan anak-anak mereka, alunan nyanyian nina bobok sering terdengar di rumah-rumah untuk menidurkan sang anak kesayangan. Bila anak sudah mengerti pembicaraan, orang tua mulai menidurkan anak dengan dongen-dongeng, sehingga anak menjadi ‘ketagihan’.

Dongeng adalah merupakan ceritera fiksi. Sama halnya dengan ceritera pada umumnya, di dalam dongeng banyak mengandung makna yang tersirat di balik yang tersurat. Banyak dongeng sebagai bahasa perlambang yang sarat dengan pesan moral.

Dalam kesempata ini kiranya menarik untuk kita singkap siratan makna dalam dongeng si Dukseng, salahsatu dongeng yang popular di masa itu.

Al kisah, pada suatu masa, di sebuah kampung di tepian hutan, hiduplah seorang ibu bersama anaknya yang bernama si Dukseng. Disebut dukseng oleh sebab kalau berbicara suaranya dukseng. Ibunya sangat mencintai anak si mata wayangnya itu, dengan sabar dan bijaksana ia mendidiknya hingga memasuki usia dewasa. Suatu ketika Dukseng berjalan-jalan masuk di pinggiran hutan, dan tanpa dinyana tiba-tiba ada seorang dara nan cantik jelita sedang terbaring di bawah pohon. Demi melihatnya Dukseng terperanjat dan serta merta ia berkata sendiri, ‘ah…, ada putri, betapa cantiknya engkau, akan ku persunting engkau putri’, demikian ia berkata. Dukseng mencoba membangunkan sang putri, tapi sang putri tiada bangun jua, Dukseng punya akal, ‘ah…, biar aku gendong sajalah…’, bisiknya. Maka Dukseng menggendong sang putri kerumahnya serta dibaringkan di kamarnya. Kala itu ibunya sedang tidak di rumah.

Tidak lama kemudian sang ibu datang dan serta merta dengan raut muka yang amat cerah karena gembira tiada terkira Dukseng memberitahukan pada ibunya, ‘mak…, mak…, aku punya putri mak…, putri nan cantik jelita mak…’, ujarnya. Sang ibu merasa heran atas kejadian yang menimpa anak kesayangannya itu, lalu ia bertanya dengan penuh heran, ‘putri apa Dukseng…, siapa yang engkau maksud…?’, tanyanya. Dukseng menjawab, ‘pokoknya putri mak…, cannnntik sekali…’, jawab Dukseng. Ibunya makin tidak mengerti, ia tercengan kebingungan. Saat ibunya lagi kebingunan itu Dukseng berkata lagi, ‘emmak sekarang bakal punya menantu mak…’, ujarnya. Ibunya tambah bingung lagi, lalu ia bertanya, ‘putri ada di mana sekarang Dukseng….?’, tanyanya. Dukseng menjawab pertanyaan ibunya itu dengan tangkas, ‘sekarang putri lagi tidur di kamarku mak…’, jawabnya. Ibunya makin tambah bingung lagi, lalu ia berkata, ‘coba ibu mau jumpa dia Dukseng…’, katanya. Tapi si Dukseng serta-merta mencegahnya, ‘jangan mak…, jangan, putri sedang tidur mak…’, sergahnya. Demi sayangnya pada anak si mata wayangnya itu sang ibu mengikut saja. Sampailah pada waktu makan siang, maka sang ibu bilang pada Dukseng, ‘Dukseng…, sekarang sudah waktu makan siang…, ajak makan si putri Dukseng…’, ujar sang ibu. Serta merta pula Dukseng menjawab, ‘putri masih tidur mak..’, jawabnya. Biar aku bangunkanlah…, kasihan dia, tentu sudah lapar,’, ujar sang ibu. Serta merta pula Dukseng bilang pada ibunya yang sabar itu, ‘sst.., sst.., jangan bising mak…, kasihan putri mak…, biar ia bangun sendiri mak…’, katanya pula. Demikian seterusnya, hingga akhirnya sang ibu mencium bau tidak sedap. Demi mencium bau tidak sedap itu ibu Dukseng merasa heran, sebab tidak biasanya yang sedemikian itu terjadi. Dengan penasaran sang ibu mencoba mencarai tahu dari mana sumber bau itu. Ternyata dari kamar si Dukseng. Kemudian sang ibu bilang pada Dukseng, ‘sumber bau tidak sedap itu dari dalam kamarmu Dukseng…, coba ibu kan tengok ke dalam…’, ujarnya. Dukseng berupaya mencegahnya, tapi sang ibu ada perasaan tidak enak yang mendalam, oleh sebab itu ia tidak menghiraukan upaya si Dukseng. Begitu pintu di buka bau tidak sedap itu makin kuat, dan alangkah kagetnya ia setelah melihat sang putri yang terbujur di raanjang si Dukseng itu ternyata adalah mayat. Maka serta merta sang ibu bilang pada Dukseng, ‘Dukseng…, mengapa engkau lakukan ini…, putrimu itu adalah mayat Dukseng…, maka itu daripadanya timbul bau tidak sedap Dukseng…’ ujar sang ibu. Selanjutnya ibu si Dukseng memerintahkan untuk menggali liang untuk pemakaman si putri.

Pada suatu hari di musim buah nangka, sang ibu mengumpulkan biji nangka dan merebusnya. Hidangan yang sedap itu dimakannya bersama Dukseng. Selang tidak berapa lama kemudian ibu si Dukseng itu ngentut dan menyebarlah bau tiudak sedap daripadanya. Tanpa basa-basi si Dukseng mengambil cangkul dan menggali liang di sisi si putrid, tentu saja sang ibu menjadi heran atas ulah si Dukseng, maka itu ia bertanya, ‘untuk apa engkau menggali liang macam itu Dukseng…?, tanyanya keheranan. Dengan tangkas pula si Dukseng menjawab, ‘tentu untuk menguburkan mu mak….’, jawab si Dukseng. Sang ibu menjadi heran bukan kepalang, maka itu ia bertanya, ‘mengapa engkau akan berlaku seperti itu Dukseng…?’ tanyanya tak habis pikir. Si dukseng menjawab, ‘sebab emmak sudah mati, suadah jadi mayat mak…’, jawabnya. Sang ibu makin tidak paham, lalu berkata, ‘apa katamu…?, emmakmu jadi mayat…?, yang betul Dukseng…!!!. Dengan tangkas pula si Dukseng berkata pada emmaknya itu, ‘iya mak…, tadi aku mencium bau tidak sedap dari emmak…’, jawabnya. Demi mendengar alasan si Dukseng itu sang ibu memberi penjelasan pada Dukseng anak si mata wayangnya itu.

Dari dongen si Dukseng ini ada siratan makna, bahwa sering dalam kehidupan sehari-hari kita masih memahami sesuatu hanya berkutat pada tataran kasap mata dan simbol saja, tanpa mampu memahami sejatinya, secara substansial. Ini terjadi dalam segala bidang, baik dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.

PENGALAMAN MENGUKIR HUKUM NASIONAL

Oleh: A. Fuad Usfa
(Tulisan ini telah dimuat pula dalam Media Bawean)
Dalam tulisan ini penulis hanya ingin mengemukakan satu pengalaman penulis bersama dua kawan di mana kami berkiprah di dunia hukum. Kawan yang penulis maksudkan itu adalah Tongat,SH,M.Hum dan Sumali,SH,M.Hum, adapun pengalaman yang dimaksudkan di sini adalah tatkala kami bertiga mengajukan permohonan uji materiil pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003, tentang Advokat terhadap Undan-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Di institusi kami terdapat beberapa fungsionaris yang selalu mendampingi orang-orang yang membutuhkan bantuan hukum, yaitu bagi orang-orang yang tidak mampu. Untuk itu institusi kami bekerjasama dengan Pengadilan Tinggi dalam mendapatkan legalitas beracara, tapi tatkala keluar Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003, tentang Advokat, kami mendapat kendala, sebab dalam pasal 31 Undang-undang tersebut menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tapi bukan Advokat sebagaimana dalam Undang-undang ini, dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”.
Dengan Undang-undang itu berarti kerja sama kami dengan Pengadilan Tinggi sudah tidak mungkin lagi, sehingga beberapa aktifis tidak mungkin lagi mendampingi mereka yang membutuhkan bantuan hukum, walau mereka itu tidak mampu ataupun miskin, dan pada saat itu faktanya Pengadilan Tinggi tidak mau lagi memperpanjang ijin beracara kami lagi.

Pertanyaan kami, berapa banyak institusi yang bergerak seperti kami di seluruh Indonesia, baik di Lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi ataupun lembaga-lembaga lain?, lalu bagaimana nasib orang-orang yang tidak mampu dan membutuhkan bantuan hukum?, siapa yang bisa konsent menangani kebutuhan mereka akan bantuan hukum?, kalau diserahkan pada Advokat, berapa banyak jumlah Advokat yang peduli dan mampu membela kalangan tidak mampu itu?, apalagi jumlah Advokat seluruh Indonesia hanya sekitar 17.000 (tujuh belas ribu) orang saja, sedang penduduk Indonesia lebih dari 220.000.000 (dua ratus dua puluh juta) jiwa, dan sebagaian besar Advokat berkedudukan di Kota-kota saja. Bukankah di masa revormasi ini mestinya Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat berupaya mengangkat nasib orang-orang yang tidak mampu, dalam konteks ini di bidang hukum?, mengapa malah mempersempit mereka?, berapa harus bayar pengacara?, tentu tidak sedikit biaya yang dibutuhkan untuk itu.

Atas dasar itu, maka kami melanjutkan langkah kami. Suatu ketika penulis bersama Tongat mendampingi klien kami, saat kami bertahan membela klien kami di depan Penyidik POLRESTA, tapi aduh.., saat mendebat, tiba-tiba Penyidik menanyakan kartu ijin beracara kami, dan saat itu kartu ijin beracara kami sudah habis masa berlakunya, sedang Pengadilan Tinggi sudah tidak mau memperpanjang lagi. Maka itu kami hanya bisa menunjukkan kartu yang sudah habis masa berlakunya itu, dan dapatlah dipahami bila penyidik mempersilahkan kami untuk tidak lagi menjadi pengacara klien kami itu. Namun nasib baik masih berpihak pada kami, sebab pihak Penyidik belum mengetahui keberadaan pasal 31 Undang-undang tentang Advokat sebagaimana disebut di atas. Seandainya dia mengetahui, maka dia bisa mengeluarkan kartu truf yang ia miliki, sebab kami telah melanggar hukum. Penyidik bisa memproses kami, ia berhak menahan kami dan memprosesnya lebih lanjut secara hukum, dan kami diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun DAN denda sebanyak-banyaknya Rp.50.000.000 (limapuluh juta rupiah). Perhatikan, kata ‘DAN’ penulis tulis dengan huruf besar, yang dalam bahasa hukum ini berarti ‘disamping diancam pidana penjara selama-lamanya 5 (lima tahun), maka juga masih harus ditambah lagi dengan denda sebanyak-banyaknya Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah)’.
Aduhai, betapa beratnya…, membela orang tidak mampu, bahkan miskin harus berhadapan dengan penjara dan sekali gus harus kehilangan uang?. Adilkah negeri ini?, siapa saja yang akan membela orang-orang yang tidak mampu, atau bahkan miskin yang terdapat amat banyak di negeri ini?. Mengapa negeri ini begitu kejam?, di mana revormasi dan untuk siapa?. Mengapa Negara bukan justru membela, tapi malah menjerumuskan?.
Ternyata bukan kami saja yang hampir menjadi korban pasal yang menurut kami adalah kejam dan dhalim itu. Kasus juga terjadi di Bandung. Bahkan kasus di Bandung sudah diperiksa di tingkat penyidikan, sudah diperiksa beberapa kali, tapi nasib baik juga masih berpihak padanya, sebab kartu beracara yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi belum habis masa berlakunya, dan Pengadilan Tinggi mau memberi keterangan yang menyatakan bahwa ia masih boleh menggunakan kartu ijin beracaranya, oleh sebab itu maka Penyidik mengeluarkan SP3, bahasa gampangnya kasus distop.

Akhirnya kami bertiga dari institusi kami, yaitu Tongat, Sumali dan penulis sendiri berpendapat bahwa pasal tersebut memang benar-benar kejam dan dhalim, maka itu kami menyusun permononan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, maka itu kami mohon agar pasal tersebut dianulir (dibatalkan)

Pada tanggal 10 Maret 2004 kami bertiga ke Jakarta memasukkan Permohonan, dan tercatat dalam Register Nomor 006/PUU-II/2004. Setelah melakukan sidang sekitar delapan kali di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jl. Medan Merdeka Barat Jakarta, maka, pada hari Senin, 13 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan, yang menyatakan: “Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menyatakan pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

Sejak itu kami merdeka kembali, walau terdapat fersi penafsiran. Bukan hanya kami, tapi siapapun insan hukum seluruh Indonesia, tidak ada lagi bayang-bayang diancam pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun plus denda lima puluh juta rupiah. Mengerikan memang.
SEBAGAI CATATAN. Perlu digaris bawahi, bahwa yang terkena pasal 31 Undang-undang tersebut bukan hanya dalam hal litigasi saja, tapi juga non litigasi, bahkan hanya memberi advis hukum saja bias kena. Mengerikan memang.

Pada Tahun 2006 penulis terlibat sebagai salah seorang tim perumusan draf Rancanngan Undang-undang tentang Bantuan Hukum, dan bila rancangan itu ujud dalam undang-undang, maka dengan undang-undang tersebut nantinya diharapkan para pendamping terhadap orang-orang yang tidak mampu itu akan tersebar dari Kota-kota Besar hingga ke pelosok Desa, dan para Sarjana Hukum bahkan beserta mahasiswa-mahasiswa hukum mestinya didaya gunakan, bukan malah diancam pidana.

Thursday, January 21, 2010

JUDICIAL REVIEW PASAL 31 UNDANG-UNDANG ADVOKAT (APA HAL?)


Pasal 31 UU Advokat Menjadikan Dosen Hukum Acara Berorientasi Teori[14/9/04] Hukum online

Ancaman hukuman bagi orang yang mengaku-ngaku advokat dalam pasal 31 Undang-Undang Advokat telah membuat dosen semakin jauh dari pengetahuan praktis. Jika dosen dilarang berpraktek, akan membuat mereka berorientasi pada teori.
Dosen hukum acara pidana atau hukum acara perdata hanya bisa menyajikan teori-teori tanpa bisa mengembangkan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan. Sebab, para dosen tersebut sulit untuk berpraktek gara-gara ancaman yang tercantum pada pasal 31 Undang-Undang Advokat. Lembaga bantuan hukum yang ada di kampus-kampus pun akan mati suri. “Meskipun tidak tutup, tapi LBH kampus secara empiris nggak bakal bisa bergerak,” kata Sumali.

Dalam perbincangan dengan hukumonline, dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu mengatakan bahwa pasal 31 Undang-Undang Advokat sangat multi tafsir, sehingga berpotensi disalahgunakan. Itu sebabnya, Sumali dan rekan-rekannya di Laboratorium Konsultasi dan Bantuan Hukum UMM mengajukan judicial review terhadap pasal tersebut. Pemeriksaan atas permohonan ini di Mahkamah Konstitusi sudah rampung sejak Kamis (9/9) pekan lalu.

Fuad Usfa, rekan Sumali, menambahkan sebaiknya dosen dan para pengacara publik tetap dibenarkan beracara atau melakukan kegiatan litigasi. Semakin banyak persaingan maka semakin tinggi tingkat profesionalisme. Dunia litigasi akan berjalan monoton kalau hanya dimonopoli advokat. Di satu sisi, itu akan merugikan mahasiswa hukum yang sedang belajar hukum acara. Di sisi lain, masyarakat pencari keadilan tidak selamanya bisa membayar advokat profesional.

Itu sebabnya, tim kuasa hukum dari UMM percaya bahwa permohonan judicial review mereka atas pasal 31 Undang-Undang Advokat akan dikabulkan. “Kami optimis,” ujar Sumali.

Ditolak polisi
Dalam keterangannya di depan Mahkamah Konstitusi, para pemohon judicial review menceritakan pengalaman mereka sendiri ditolak polisi saat mendampingi klien. Saat itu, dosen-dosen Fakultas Hukum UMM mendampingi seorang klien yang tersangkut kasus lalu lintas. Namun mereka akhirnya tidak bisa mendampingi karena polisi menolak.

Aparat Polres Malang beralasan para dosen ini tidak mempunyai izin untuk beracara sebagai advokat. Argumen para dosen bahwa izin mereka dari pengadilan tinggi sedang dalam proses ditolak. Permohonan untuk memperpanjang izin beracara bagi dosen itu bukan hanya diajukan oleh dosen-dosen UMM, tetapi juga Ikatan Biro Bantuan Hukum Perguruan Tinggi se-Malang, Jawa Timur. Mereka sudah menyampaikan surat permohonan tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung pada 30 Oktober 2002, jauh sebelum judicial review diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
http://hukumonline/


(Mys)


Berita Terkait

[15/7/04] Berita : LKPH Universitas Muhammadiyah Malang Ajukan Judicial Review UU Advokat

[23/8/04] Berita : Pemerintah: LBH Kampus Boleh Bertindak Sebagai Advokat

[13/12/04] Berita : Dosen FH USU Dinonaktifkan karena Menjalankan Profesi Advokat



MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...