Saturday, October 8, 2011

MALAYSIA PAVILION DI ‘PERTH ROYAL SHOW’

Oleh: Aba


Tulisan/sajian ini ku persembahkan buat para pemimpin Malaysia dan rakyatnya, serta kaum Melayu pada umumnya, sekedar untuk menunjukkan sebagian kreasi ‘duta bangsa’nya di Western Australia, khususnya dalam menyokong keberhasilan Malaysia sebagai ‘Tamu Bangsa’ dalam event Perth Royal Show 2011, sebagai suatu kenangan manis.




<!--[if !supportLists]--> 1. Perth Royal Show



Di Australia Barat terdapat acara yang digelar dalam setiap tahun, yaitu bertepatan pada masa liburan musim semi, acara tersebut bernama ‘Perth Royal Show’. Perth Royal Show merupakan acara yang yang sangat popular dan bergengsi, yang diadakan oleh The Royal Agricultural Soceity of Western Australia. Acara ini di adakan di suatu area yang luas, terdiri dari area terbuka, serta dalam ruangan-ruangan permanen dan temporer, di hamparan tanah dan lantai serta panggung-panggung, area ini bernama ‘Show Grounds’. Suatu perhelatan besar dengan kehadiran manusia yang tumpah-ruah, dari segala lapisan, usia, serta negeri hadir dalam setiap harinya.


Perth Royal Show digelar dalam satu minggu, untuk kali ini dimulai pada tanggal 1 hingga 8 Oktober. Acara ini adalah merupakan momen (moment) bisnis, promosi, hiburan, rekreasi, budaya, dan kesetaraan. Berbagai macam produk bisnis, beragam permainan anak, serta beragam atraksi ditampilkan. Dalam momen ini disediakan satu area untuk pengenalan budaya dan produk bisnis Negara lain yang merupakan Tamu Bangsa (Guest Nation), program ini disebut ‘Guest National Program’. Pada tahun ini sebagai Tamu Bangsa adalah Malaysia. Pada tahun 2005 Malaysia juga telah menjadi Tamu Bangsa di event yang sama, yang disusul Jepang pada tahun 2006, Indonesia pada tahun 2007, adapun tahun lalu, yaitu pada tahun 2010 adalah Croatia. Kesempatan seperti ini adalah merupakan peluang yang teramat baik untuk mengenalkan dan mempromosikan segala keunggulan Negara dan bangsanya, sebagai momen untuk menunjukkan kometmen kesetaraan dan rasa persahabatan yang kuat antar bangsa-bangsa di dunia. Guest National Program ini adalah merupakan salah satu bentuk nyata dari kometmen Australia untuk mewujudkan kebijakan multicultural.


&l!--[if !supportLists]--> 2. Malaysia Selayang Pandang


Sebagaimana telah kita pahami bersama, bahwa Malaysia merdeka pada 31 Agustus 1957. Tidak sedikit hal yang harus dihadapi dalam upaya menata Negra dan bangsanya menuju kearah kemajuan. Berbagai kemelut di dalam negri dan berhadapan dengan Negara-negara luar, baik di bidang Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan maupun keamanan, yang setapak demi setapak telah ditapakinya dengan penuh kearifan.




Era dasa warsa tujuh puluhan hingga awal dasa warsa delapan puluhan adalah era yang mengantar kemajuan di segala bidang. Booming minyak dijadikan sebagai dasar pembinaan arah kebijakan nasional yang ternyata sangat tepat dalam membina kemajuan Negara dan bangsanya. Gonjang-ganjing politik di tingkat kepemimpinan sangat terbina dengan baik dan arif, khususnya sejak paruh dasa warsa enam puluhan hingga saat ini, sehingga stabilitas nasional tetap terjaga dengan sangat baik. Maka itu tak hayallah bilamana Malaysia telah mampu membangun di segala bidang.


Era dasa warsa Sembilan puluhan hingga saat ini Malaysia telah mampu menunjukkan pada bangsa-bangsa di dunia sebagai Negara yang mempunyai kemampuan membangun Negara dan bangsanya sebagai Negara yang mampu mengemban amanat kemoderenan, Negara yang stabil dan terus bergerak kearah kemajuan dengan sangat signifikan serta berwawasan kemanusiaan.


Kemajuan pembangunan dan stabilitas telah menjadi salah satu ekon yang ditampilkan dan dikenal luas di berbagai Negara. Kehadiran putra-putri bangsanya di berbagai Negara ternyata telah turut pula berperan secara signifikan dalam meyakinkan akan eksistensinya. Diperkirakan sekitar 20.000 warga Malaysia di Australia Barat.


<!--[if !supportLists]--> 3. <!--[endif]-->Malaysia Pavilion


Malaysia Pavilion adalah sebuah stand untuk Malaysia sebagai Tamu Bangsa, yaitu di sebuah aula (hall) yang luas, aula Ellie Eaton, dalam perkiraan penulis luas aula tersebut sekitar 2000m2, di bagia depan terdapat dua pintu yang menganga lebar, sekitar tiga meter dari pintu terdapat pelaminan, disamping pelaminan terdapat sebuah meja dengan taplak meja batik, di atas meja itu terletak sebuah ‘kongkak’ dilengkapi dengan klereng sebagai biji permainannya dan dua buah kursi yang saling berhadapan, sehingga telah tersiapkan bagi sesiapa yang hendak mencoba bermain. Di arah bagian belakang pelaminan berkitar memenuhi ruangan terdapat berbagai stand untuk berbagai produk bisnis Malaysia dipajang, yang pada event kali ini sebanyak tiga puluh tiga usahawan Malaysia dilibatkan, bagian sisi kanan bersebelahan (-menghadap arah-) pelaminan terdapat stand ‘Tourism Malaysia’ yang menyediakan berbagai brosur, bagian arah belakang (-menghadap arah pintu-) terdapat panggung, di panggung ini berbagai atraksi ditampilkan, adapun sebelah kanan panggung terdapat cafe yang menyediakan berbagai macam hidangan melayu yang sedap-sedap. Di luar aula juga terdapat stand cafe/restoran Melayu yang telah eksis di Perth Raya, seperti ‘Bunga Raya Satay’, ‘D’Tandoor Restaurant’, ‘Makan2 Cafe’, ‘Insan’s Cafe’, serta ‘Dapurku Cafe’, yang semuanya menyediakan hidangan Melayu yang sangat sedap, tentu semua itu telah dikunjungi oleh berbilang bangsa.


Malaysia Pavilion dibuka secara bersama oleh Pengerusi Perbadanan Pembangunan Perdagangan Luar Malaysia, Datuk Mah Siew Keong; Konsul Jendral Malaysia, Hamidah Ashari; Mentri Pemakanan Pertanian dan Perhutanan Australia, terry Redman; serta Presiden Persatuan Pertanian, Hugh Harding. Turut hadir dalam peresmian, Mentri Besar Perlis, Datuk Seri Dr. Md. Isa Sabu; Pengerusi Jawatankuasa Perdagangan dan Induistri, Sain dan Teknologi dan Perhubungan Antar Bangsa Perlis, Datuk Seri Diraja Syed Razlan Syed Putra Jamalullail beserta istri, Datin Seri Sharipah Hishmah Sayed Hasham; serta Presiden Usahawan Makanan dan Industri Asas Tani Sdn. Bhd. (Komita), Sheikh Ahmad Dasuki Sheih Mohammad. (utusan.com.my bertanggal 3-10-2011).


Panggung


Panggung adalah suatu tempat khusus untuk tampil dalam suatu atraksi, dan panggung dibuat pada posisi lebih tinggi daripada lantai dasar, hal tersebut dimaksudkan agar orang-orang yang bermaksud menonton dapat menontonnya dengan jelas hingga penonton yang paling belakang.


Sebagaimana telah disebutka di atas, bahwa dalam arena Malaysia Pavilion terdapat panggung, dan panggung tersebut terhitung mungil yang dihias dengan sangat cantik, latar panggung dihias dengan gambar ekon Malaysia, lengkap dengan bendera yang berkibar di bagian sisi kanan panggung, semua tersaji dengan sempurna. Hari-hari diadakan kuis dengan pertanyaan yang ringan-ringan saja, bagi warga melayu, dan ternyata nampak ringan pula bagi bangsa manca Negara, terbukti tak ada pertanyaan yang tidak terjawab, suatu misal si pembawa acara menunjukkan sarung, lalu ditanyakan, apa ini dalam bahasa melayu?, dan yang bisa menjawab mesti maju ke atas panggung, lalu ditanya nama, asal, pernah ke Malaysia apa belum, kalau pernah ke mana saja, dan apa kesannya, dan sebagainya. Walau pertanyaan sedarhana, namun si pembawa acara telah mampu menggiring penonton menjadi sangat tertarik yang menjadikan acara menjadi meriah, diiringi irama musik dengan selang-seling. Sang pembawa acara sangat begitu lihai dalam menggiring semangat kejiwaan penonton, sehingga tepuk tangan, nyanyian gembira-ria, yang dengan demikian berbagai keriangan dan keakraban tercipta. Jawaban-jawaban kuis seperti ‘sarung’, ‘batik’, ‘Kuala Lumpur’, dan sebagainya mengalir dari orang-orang berkulit putih, rambut pirang (blonde), dari kalangan tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, semua berpartisipasi, menyanyi dan berjoget Melayu bersama di atas panggung dengan di beri contoh oleh panitia yang diikuti bersama oleh pengunjung dengan sangat antusias dan senang hati. Dengan demikian semangat kebersamaan tercipta, kedamaian ditawarkan di event ini untuk menunjukkan bahwa kedamaian memang riil ada di negara Malaysia.


Hari-hari selama satu minggu acara tari Melayu (Malay dance) ditampilkan pula, pimpinan (leader) group tari ini telah mampu menghimpun putra/putri Melayu dalam suatu aktifitas menghidup dan menggairahkan seni tari Melayu di Perth Raya, dan telah dikenal secara populer serta telah tampil dalam bergai event dan kawasan. Ia adalah sosok 'duta bangsa' Melayu yang gigih dalam melakukan pembinaan dalam seni tari Melayu di bilangan Western Australia, ia juga turut tampil di atas panggung dalam menunjukkan kepiawaiaannya. Berbagai tarian telah ditampilkan dalam event Perth Royal Show yang mendapat sambutan positif dan meriah dari berbilang bangsa yang telah mengunjungi Malaysia Paviliun yang dikemas secara sangat menarik hati. Selain seni tari Melayu tradisional, juga ditampilkan seni tari silat, suatu seni kolaborasi antara jurus pencak silat dengan Nasid, nampaknya seni tari ini adalah merupakan seni tari Melayu kreasi baru. Adalah suatu kebanggan bagi Malaysia dan kalangan Melayu pada umumnya telah mempunyai putra-putri bangsa yang telah mampu mengembangkan seni budaya Melayu di luar negeri, dalam hal ini di Australia, sebagai duta bangsa, walau mereka telah menjadi warga Negara Australia sekalipun, sekali gus untuk menunjukkan bahwa kedamaian dalam tari adalah pula harapan kedamaian dalam membina hubungan antar bangsa, kedamaian dunia. Selain daripada itu juga tampil seni ‘Kompang’ yang telah merupakan bagian daripada seni budaya Melayu yang telah terbina secara turun temurun, serta ditampilkan pula seni adat penganten dalam masyarakat Melayu.

Semua dikemas secara menarik hati, dalam masa yang tidak lama, hanya dalam masa satu minngu. Walau begitu, suatu harapan kita semua, tentunya, semoga kenangan itu akan tetap bersemayam dalam kenangan di hati para pengunjung hingga di akhir hayatnya. Selain itu pula, tentu harapan kita semua, Kerajaan Malaysia dan segenap rakyatnya dapatlah kiranya selalu memberi sokongan (support) bagi duta bangsanya yang terus berkreasi walau telah berada di luar negeri. Harapan kita semua pula, semoga terciptalah persahabatan dan perdamaian untuk seluruh bangsa-bangsa di dunia, damai..., bagai kedamaian irama seni...

Khususnya kepada Konsulat Jendral Malaysia di Perth Western Australia diucapkan 'Selamat dan Sukses'.

Western Australia, Paruh Musim Semi 2011

Thursday, September 29, 2011

PENGEMBANGAN KOTA SATELIT DI PULAU BAWEAN

(Ajuan Wacana Kosepsi Dasar Sebagai Alternatif)



Oleh: Aba



Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Media Bawean 26 September 2011





Kota


Kota merupakan pusat berbagai aktifitas. Sebagai pusat, kota menjadi segala tumpuhan harapan perkembangan segala aktifitas manusia. Kota telah menjadi pusat acuan, dan mobilitas masyarakat perkotaan lebih tinggi daripada masyarakat pedesaan. Orang desa yang mobilitasnya tinggi tentu tak lain adalah produk atau manakala telah bersinergi dengaan dunia perkotaan, biasanya mereka menjadi agen produk perkotaan di desanya. Arus kemajuan teknologi telah berperan mempersempit jarak antara dunia perkotaan dan pedesaan, bahkan di beberapa Negara telah meleburnya. Manakala mobilitas masyarakat tinggi, maka kreatifitas akan menjadi tinggi pula, dengan demikian arus pembaharuan dan perubahan akan menjadi tinggi pula. Berbagai fasilitas akan lebih mudah dijumpai di kota, oleh sebab prioritas pembangunan akan dimulai dari kota untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat, hal tersebut disebabkan tuntutan masyarakat perkotaan lebih kompleks dan lebih mobil daripada masyarakat pedesaan.



Pada mulanya kota adalah merupakan pusat pemerintahan, lembaga-lembaga pendidikan pun dibangun untuk melayani kebutuhan terhadap tenaga birokrasi, dengan demikian kota menjadi pusat tumpuhan perhatian masyarakat, seiring dengan itu mobilitas masyarakat pun menyertai, maka itu sektor bisnis berkembang pula untuk melayani kebutuhan mereka. Ketinggian mobilitas, taraf hidup, gaya hidup, status sosial dan sebagainya telah begitu beragam yang lebih menghendaki berbagai pilihan atas barang dan jasa, sehingga dengan demikian pasar terbentuk dengan sendirinya. Selanjutnya keberadaan pasar itu sendiri telah menjadi obyek bisnis pula, maka dibangunlah pasar sebagai pusat perbenjaan hingga pada tingkat pasar-pasar modern.



Pusat perkotaan terbentuk di kawasan strategis, demikian pula berbagai lembaga yang terdapat di dalamnya, seperti perkantoran, pendidikan, transportasi, pasar, dan sebagainya.



Sebagai pusat, kota didatangi orang dari segala penjuru dan lapisaan, baik dari dalam maupun luar daerah dan luar negreri, dari kalangan intelektual, pemilik modal, buruh, seniman, beragam budaya dan keyakinan, dan sebainya, maka itulah kota lebih dinamik daripada desa. Sebagai konsekwensi dari semua itu maka dengan sendirinya uang akan lebih banyak berputar di kota yang dapat memicu kemajuan di segala bidang. Diantara dampak yang paling dirasakan pula adalah tingginya tingkat populasi, shingga tak jarang kota dirasakan tidak lagi memberi kenyamaanan sebagai tempat pemukiman, rumah berdempetan, bahkan di berbagai kawasan terdapat pemukiman kumuh ataupun gelandangan yang bertahan untuk hidup (survival), sementara kawasan luar perkotaan tetap dalam keadaan lengang.



Kota Satelit


Dalam suatu kawasan terdapat kota utama yang disebut Ibu Kota. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kota telah menjadi tempat penumpukan populasi dari segala penjuru dan lapisan, modal, teknologi, dan sebagainya, manakala hal tersebut terkonsentrasi pada satu kawasan, maka akan terjadilah kesenjangan, bahkan kesenjangan yang luar biasa, misalnya sebagaimana yang dapat kita perhatikan untuk kawasan pulau Bawean. Untuk menghindari atau menekan kondisi tersebut maka perlu dilakukan pemecahan pusat konsentrasi, yaitu bisa dengan membangun kota-kota kecil yang menyerupai kota utama, sehingga dengan demikian konsentrasi tingkat populasi, perputaran uang, teknologi, dan sebagainya bisa terbagi dan tersebar ke berbaggai kawasan. Kota-kota tersebut bisa disebut sebagai kota satelit. Kota satelit akan bisa terbentuk dan berkembang dengan baik manakala sarana dan prasarana tersiap dengan baik serta tangan-tangan birokrasi pusat atau kota utama bisa bekerja di daerah, utamanya dalam perkara-perkara teknis, yaitu dengan memberikan kewenangan seluas mungkin. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa bagian terbesar masyarakat kita akan berpendapat bahwa hal seperti itu adalah suatu otopia bagi kita, wallahu a’lam, penulis berpendapat, terlebih dahulu kita harus membangun krangka dasar yang prospektif untuk mengembangkan krangka teknis yang berkemajuan, oleh sebab kita tidak akan bisa membangun krangka teknis yang mumpuni atas krangka dasar yang rapuh. Undanmg-undang Otonomi Daerah tinggal sisa-sisa puing; dipegangnya tongkat kepemimpinan oleh orang-orang lama (paradigma lama) telah menyurutkan cita-cita reformasi yang telah menelan banyak korban, namun demikian kita mesti tetap bergerak ke depan, karena itu adalah keniscayaan.



Bawean dan Gresik Daratan


Bawean adalah bagian dari Kabupaten Gresik, pada masa lalu sebagai daerah Kawedanan. Bawean terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Tambak. Kecamatan-kecamatan itu sama statusnya dengan yang terdapat di wilayah Gresik daratan. Sebagaimana kita tahu, bahwa Bawean adalah sebuah pulau yang letaknya berjauhan dengan Gresik daratan, terpisahkan oleh bentangan Laut Jawa dengan kondisi alam yang tidak menentu, oleh sebab itu tentu tidak adillah manakala keberadaan Bawean di setarakan dengan wilayah Kecamatan di Gresik daratan. Bawean mesti diarahkan pada status istimewa, otonom, maka harus lebih terkonsentrasi pada pembinaan daerah yang lebih mandiri. Untuk menuju kearah itu maka kita tidak bisa berpegang pada kanter retorika Bawean adalah daerah rendah potensi dalam meraup Pendapatan Asli Daerah sebagaimana realitas saat ini, sementara arah pada pengembangan Bawean secara mandiri tidak terbuka. Ketergantungan Bawean pada Gresik daratan begitu kuat, hingga pada skala administrasi kita hampir tidak bisa berbuat apa-apa, sampai pada pembuatan Kartu Tanda penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) begitu kuatnya ketergantungan itu, belum lagi Surat Ijin mengemudi (SIM), Surat Tanda Naik Kendaraan (STNK), dan sebagainya, yang seharusnya sudah mampu menangani sendiri. Belum pula yang berkenaan dengan lembaga peradilan umum, rumah sakit yang representatif, pusat-pusat perbelajaan modern, dan sebagainya. Hubungan pusat kabupaten dan pulau Bawean teramat senjang, sebagai illustrasi penulis gambarkan, sampai-sampai bila ada rombongan (istilah kita) dari Kabupaten disambutnya secara berlebihan, padahal itu hanyalah suatu tugas kerja yang biasa-biasa saja. Tidak adanya kepanjangan tangan dari Kabupaten yang bisa berkomunikasi langsung dengan lembaga-lembaga formal, non formal dan rakyat di Bawean, semakin menambah kuatnya ketergantungan itu.



Alternatif


Orientasi pengembangan kota satelit di pulau Bawean adalah suatu bayangan pusat kota di daerah yang diharapkan bisa menaungi kepentingan masyarakat baik di bidang sosial, ekonomi, maupun pemerintahan, dan itu tidak mungin terjadi manakala Bawean tidak diberi peluang kemandirian, manakala Bawean masih tetap ‘nyoso’ sepenuhnya kepada Kabupaten. Manakala Bawean tetap berada di bawah Kabupaten Gresik, maka perlu dibentuk lembaga kepanjangan tangan Bupati di pulau Bawean, apakah dengan istilah Wedana atau istilah apa, apalah dalam bahasa Administrasi Negara, yang terpenting dari aspek fungsi, dan yang bersangkutan harus mempunyai kewenangan yang otonom. Untuk membengun Bawean sebagai kota satelit terlebih dahulu diperlukan lembaga-lembaga birokrasi yang mandiri, apakah itu akan disebut sebagai kawasan istimewa atau kota administratif, apapun namanya dalam bahasa Administrasi Negara. Kota satelit adalah bayangan kota utama yang mandiri. Mungkinkah?!.


Western Australia, Awal Musim Semi 2011

Thursday, September 15, 2011

KKN, SEBUAH SERBA-SERBI

Oleh: Aba

Western Australia, Pangkal Musim Semi 2011

Pengantar
Tulisan ini telah pernah dimuat di Media Bawean, pada penghujung musim gugur 2010 dan dimaksudkan sebagai sebuah sapaanku bagi segenap mahasiswa peserta KKN dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN), serta untuk menunjukkan rasa terimakasihku sebagai salah-satu putra Daerah kepada segenap Pimpinan di lingkukangan UPN.

1. Makna KKN dan Plesetannya
Membaca berita Di Media Bawean tentang akan hadirnya mahasiswa KKN di bumi Bawean, pulau tempat aku lahir dan tumbuh, mengingatkanku saat menjadi pembimbing KKN dulu. Hampir dua puluh tahun, setidaknya dalam lebih dari dua puluh periode aku menjadi pembimbing KKN, entah mengapa kawan-kawan di LPM kerap menunjukku, dari saat KKN dilaksanakan di Desa-desa terpencil, miskin dengan lokasi yang sulit dijangkau dan pelaksanannya selama tiga bulan hingga KKN yang dilaksanakan di kota-kota Kecamatan yang lamanya hanya satu bulan saja. Namun KKN dimaksud tentu bukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, melainkan Kuliah Kerja Nyata, yang merupakan kegiatan intra kulikuler dengan bobot SKS tertentu, dan merupakan wahana bagi mahasiswa untuk terjun ke ‘dunia nyata’ memperaktekkan kemampuan keilmuannya sebagai insan sosial. Sekali-kali mahasiswa memaknai KKN sebagai Kisah Kasih Nyata, ah…, ada-ada aja…, maklumlah darah muda…, romantisme, kecantol anak pak Lurah. Sesekali juga KKN bisa bermakna Kesana Kesini Nampang…, makluamalah (riil saja) mahasiswa kita tidak semuanya kuliah dengan sungguh-sungguh, ada juga mahasiswa yang asal-asalan, asal kuliah aja. Maka itu begitu ada kesempatan nampang, apa lagi di daerah kecil (--walau ianya sendiri bisa jadi juga berasal dari Desa, tapi khan sudah lama hidup di kota--), gairah nampangnya sih kambuh juga, naik kendaraan ke sana-ke sini, goncengan ke sana-ke sini, tak peduli cowok-cewek goncengan (sepeda motor) rapat-rapat. Nah…, untuk yang seperti ini sih sang Pembimbing atau Kordes mesti waspada, apalagi di daerah yang masyarakatnya agamis semacam di Bawean, sebab bisa-bisa salah satu missi KKN untuk menunjukkan citra baik Perguruan Tinggi (khususnya Perguruan Tinggi yang melakukan KKN), malah jadi tercemar. Sesekali juga anak muda bisa memaknai KKN adalah Karena Kamu Nyentrik sih…. Ah…, emang anak jaman sekarang (kata ortu, si ajadu alias anak jaman dulu) kadang aneh-aneh, malah yang nyentrik-nyentrik jadi idola…, jangan-jangan ia jadi pay boy dadakan…, maka hati-hati lho neng…, sebab mas KKN hanya numpang lewat aja di Desa lu…, kalau sampai Kecantol Kamu (bisa) Nyesel, kalu entar mas KKN udah balik macam mana?!, lu ngebimbang dianya terus…,ya…, karena kamu sih…, KKN juga…!, maksudnya?, Karena Kamu Naksir banget…, he he…, guyon aja nih…!. Sekali-kali pula kalau kurang cermat KKN bisa bermakna KongKoNan (Jawa: yang disuruh-suruh), yaitu disuruh ngerjakan proyek ini, disuruh mengerjakan proyek itu…,waduh kasihan mahasiswa hanya jadi kongkonan, hal ini bisa terjadi di daerah-daerah yang sudah sering ditempati KKN, sehingga pihak Desa tahu persis bagaimana kiat bikin program yang menjebak mahasiswa jadi kongkonan (obyek). Kalau hal ini terjadi tentu tidak bagus bagi sebuah misi pendidikan kader, yang mana KKN berfungsi pula untuk itu. Oleh sebab itu untuk menghadapi kemungkinan tersebut pihak kampus harus memberi pembekalan yang semestinya.

2. Penyusunan Program
Penyusunan program merupakan suatu seni yang harus dikuasai oleh mahasiswa peserta KKN. Sebelum turun ke lapangan hendaknya mahasiswa melakukan penjajagan guna menyusun suatu rangkaian program. Kalau satu daratan dan jarak jangkaunya dekat tentu jauh lebih mudah oleh karena bisa ulang-alik melakukan penjajagan/pendekatan sebelum hari H, sebab bisa ditempuh dengan kendaraan darat yang mana bisa saja berangkat dan balik sewaktu-waktu, namun kalau ke Bawean tentu tidak bisa, untuk itu tentu perlu kiat tersendiri. Memang selalunya pihak Kordes dan beberapa fungsionarislah yang melakukan beberapa penjajagan sebelum hari H. sehingga pada hari Hnya tinggal melakukan singkronisasi seperlunya.

Kadang mahasiswa KKN menghadapi kendala dalam penyusunan program oleh sebab kondisi di lapangan, seperti misalnya kurang respeknya pihak masyarakat daerah lokasi KKN, maka untuk itu kedekatan mahasiswa dengan tokoh-tokoh masyarakat termasuk (khususnya) kalangan tokoh pemuda sangatlah urgen. Juga tidak menutup kemungkinan atas sebab desakan pihak penguasa daerah lokasi KKN yang berkepentingan untuk memasukkan programnya, sedang bagi mahasiswa (atas hasil survey lapangan) yang telah disesuaikan dengan visi dan misi KKN berpendapat bahwa programnya dipandang lebih utama daripada program yang disodorkan pihak Desa (misalnya), apalagi bila waktu dan dana yang tersedia sangatlah terbatas. Untuk itu mahasiswa hendaknya lebih cermat dalam penyusunan program, jangan sampai asal masukkan karena sungkan (misalnya), sebab bisa berakibat overlodnya program. Mahasiswa harus memprediksi jangan sampai mereka meninggalkan satu programpun yang hanya setengah jadi, lebih tepatnya yang belum tuntas dengan berbagai alasan, baik itu program fisik maupun non fisik, sehingga nantinya akan merepotkan/menjadi beban bagi masyarakat serta dapat mencederai citra kampus. Katakan suatu misal, program pengerasan jalan Desa sepanjang 250 meter, dan sepanjang 250m itu telah dicangkul, namun setelah ditata batu sepanjang 150m ternyata masa KKN telah selesai, apalagi bila dana kurang sehingga materialan belum tersedia, begitu datang musim hujan malah becek tidak karuan, masalah bukan…?!!. Oh iya…, kalau boleh, aku pingin nitip sebuah program, tidak muluk-muluk, praktis aja, yaitu mencetak brosur untuk mengenalkan pulau kami, cetak banyak-banyak, lalu setidaknya kirim pada pecinta alam di semua Perguruan Tinggi dan organisasi pecinta alam lainnya, Resimen Mahasiswa dan organisasi terjun paying serta terbang layang di seluruh Indonesia, beri stimulus untuk mengenal bumi kami dan biarlah masa bergulir sampaai kami siap sarana prasarana yang mumpuni sehingga kelak siapapun akan datang menginjakkan kaki di bumi kami.

3. Program Penyuluhan
Setahuku tidak pernah kegiatan KKN yang tidak memasukkan penyuluhan sebagai salah satu program kerjanya. Terhadap program penyuluhan ini pola penyuluhan tabrak lari mesti dibuang jauh-jauh, seperti misalnya masyarakat diberi penyuluhan yang muluk-muluk, maka begitu mahasiswa itu kembali ke kampus, malah di Desa lokasi KKN terjadi keresahan dan bahkan sampai adu jotos segala. Hal ini dapat dikemukakan suatu misal, yaitu mahasiswa memberi penyuluhan tentang pengurusan sertifikat tanah dan segala halnya, termasuk tentang biaya, lalu dibukanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi hingga korupsinya. Selepas mahasiswa KKN masyarakat berontak, sedang mahasiswa sudah tidak tahu menahu lagi. Kondisi seperti ini dapat dikategorikan sebagai program non fisik yang tidak tuntus dan meninggalkan masalah sosial. Tabrak, lalu lari…!, maka itu dalam program penyuluhan diperlukan kearifan serta tanggung jawab.jadinya tidak bertanggung jawab khan..?!!

4. Hal-hal Ganjil
Dalam perjalanan hidup kita sering menemui hal-hal yang ganjil, suatu missal, bahwa bagi masyarakat pedalaman yang tingkat pendidikan masyarakatnya rendah, mahasiswa sering dipandang serba bisa, oleh sebab itu bisa-bisa banyak orang yang sedang sakit minta diobati, tapi setelah diberi air masak biasa yang pura-pura dido’ain (maksudnya agar mereka tidak kecewa) ternyata sembuh…!. Jangan heran dengan yang demikian itu, sebab itulah peran sugesti yang ternyata cukup ampuh. Peran sugesti ini juga dapat kita amati (misalnya) bila berobat pada perawat X di Desa Sana ternyata cepat sembuh (ces pleng),sedang bila berobat pada perawat Y di Desa Sini tak kunjung sembuh, padahal obatnya sama saja. Masalahnya masyarakat sudah tersugesti terhadap perawat X di Desa Sana, sedang terhadap perawat Y di Desa Sini tidak yakin, padahal sugesti tumbuh dari yakin. Adakah hal-hal ganjil di pulau kami?!, tak tahulah…, perjalanan waktu yang akan menjawab, yaitu setelah program KKN rampung.

4. Kearifan Masyarakat Desa
Desa sebagai obyek KKN yang bermakna pula sebagai sasaran pembelajaran mahasiswa, maka penting pula untuk menggali berbagai kearifan masyarakat Desa. Sebagai illustrasi dapatlah diutarakan suatu misal kecil, mahasiswa KKN memberi penyuluhan tentang rumah sehat di sebuah kampung kecil di pelosok, rumah-rumah mereka sangat sederhana, terbuat dari anyaman bambu (gedek). Mahasiswa menerangkan tentang bagaimana rumah yang sehat itu, ia bilang raumah yang sehat itu harus punya jendela dan fantilasi, sedang ia melihat di kampong ini, bahkan di Desa ini sebagian besar rumah tidak ada jendela dan fatilasinya… dan seterusnya. Saat sesi tanya-jawab salah seorang warga dengan lugunya bertanya, ‘mas KKN…, bagaimana lagi kalau rumah-rumah kami di sini diberi jendela dan fantilasi mas KKN…, sedang tanpa jendela dan fantilasi seperti sekarang ini saja kami sudah kedinginan karena angin keluar-masuk tak karuan…?!!”. (Maksudnya angin itu keluar-masuk dari celah/lobang anyaman bambu/gedek yang dibuat sebagai dinding). Artinya apa?, konten dan konteks telah membentuk sikap perilaku atau budaya suatu masyarakat, maka itu jangan-jangan mereka lebih arif daripada kita oleh sebab kita tidak paham tentang konten dan konteksnya.

Akhirul kalam, doaku dari jauh, selamat berjuang, sukses selalu, amin. Semuga tulisan ini bisa terbaca oleh anda semua.

Saturday, September 3, 2011

ORANG BAWEAN BER’IDUL FITRI 1432H DI PERTH RAYA

Oleh: Aba

Komunitas muslim di Australia dalam menentukan 1 Syawal 1432H sama saja dengan di kawasan belahan dunia lainnya, tak terkecuali di Perth Raya, yaitu ada yang bertepatan dengan 29 ataupun 30 Agustus 2011.

Dalam catatan sejarah, orang Islam pertama datang ke Australia adalah dari Indonesia, para nelayan dari Makasar, yaitu di sepanjang abad 16-17, muslim migrant dari Afrika dan kawasan pulau di bawah kerajaan Inggris pada akhir abad 18, penunggang unta dari Afghanistan pada awal abad 19, dalam rentang 1947-1971 banyak berdatangan dari Eropa terutama dari Turki, pada dasawarsa 60an dari Bosnia dan Kosovo, pada penggal dasawarsa 70an banyak berdatangan dari Libanon. Kini orang Islam di Australia terdiri dari berbagai bangsa di dunia, selain tersebut di atas seperti pula dari Mesir, Libia, Sudan, Somalia, Afrika Selatan, Iran, Irak, Pakistan, India, Bangladesh, Malaysia, singapura, dan lain-lain. Mereka datang dengan membawa tradisi mereka masing-masing, demikian pula dengan komuinitas muslim Nusantara, baik dari Indonesia, Malaysia maupun Singapore. Komunitas muslim Malaysia dan Singapore mempunyai tradisi yang bersamaan, demikian pula dengan komunitas muslim yang berasal dari Pulau Krismes (Christmas Island), walau yang berasal dari Indonesia, seperti Bawean, Jawa, Ambon, Minangkabau, dan sebagainya.

Orang Bawean datang dan settle di daratan Australia pertama kali pada memasuki paruh dasawarsa 70an, hingga saat ini telah berkembang sedemikian rupa. Mereka saling menjalin hubungan satu dengan yang lain, demikian pula dalam menggunakan momen Idul Fitri dari tahun ke tahun. Dalam menentukan 1 syawal sama pula dengan komunitas muslim lainnya. Berbeda dengan di Bawean yang merayakan hari raya dalam tiga hari, komunitas Bawean di sini merayakan selama satu bulan, sepanjang bulan Syawal, tak ubahnya dengan di Malaysia dan Singapore, hanya saja oleh sebab berbagai klesibukan disini, maka waktu yang paling leluasa adalah pada hari Sabtu dan Minggu. Mereka merayakan hari raya dengan saling berkunjung, menyiapkan berbagai macam kue hari raya, hidangan makan ketupat (hanya saja di sini janur amatlah langka), untuk anak-anak juga ada ang po (duit raye), terdapat juga yang ziarah kubur keluarga. Dalam bersilaturrahmi di sini tidak lazim bila hanya sekedar masuk rumah, bersalaman/sungkem, bermaafan, lalu keluar lagi, melainkan mesti duduk dan berbincang-bincang, oleh sebab itu memerlukan waktu relatif lama, satu hari hanya beberapa rumah saja, dan sudah tergolong bagus mana kala bisa tujuh/delapan rumah dalam satu hari, hal ini disebabkan pula dengan tempat tinggal kami yang tidak saling berdekatan. Perioritas utama adalah orang tua, lalu sanak keluarga, kawan krabat dan handai tolan. Di samping itu juga dengan menggunakan pendekatan kawasan, misalnya minggu ini di kawasan atas (seperti Hepburn dan sebagainya), mungkin kawasan lain minggu depan, dan sebagainya. Tentu dalam kondisi seperti di sini tidak mungkin menggunakan jasa angkutan umum, yang akan teramat sulit dan bahkan tidak bisa dibayangkan tingkat kesulitannya, sebab di sini berbeda dengan di Indonesia, Singapore ataupun Malaysia, yang mana jasa angkutan umum akan didapati di mana-mana dan di setiap saat. Maka itulah di sini harus menggunakan kendaraan pribadi. Dalam bersilaturrahmi mereka memakai pakaian sebagaimana lazimnya yang dipakai di Indonesia, Malaysia maupun Singapore, atau kombinasinya. Bagi mereka yng mengadakan open house rumah dibuka selama satu hari penuh hingga malam, datang bergantian, bisa sebelah pagi, siang, sore, ataupun malam, mereka datang bergelombang. Dalam kesempatan itu pula, di samping kita bisa bersilaturrahmi dengan pihak tuan rumah, juga bisa saling bertemu satu sama lain, seperti kemaren, tatkala di rumah orang Bawean (pihak istri, sedang suaminya orang Singapore), kami bisa berjumpa dengan orang-orang Bawean, baik yang sudah kenal di Bawean ataupun yang baru kenal di sini. Kemaren kami menempuh perjalanan relatif jauh, hanya untuk beberapa rumah, menjelang maghrib dilanjut beberapa rumah yang berdekatan dengan domisili kami, lalu kami pun pulang, dan harapan kita, semoga semua saling ridho..., amin.

Western Australia, Medio Awal Musim Semi 2011

Friday, September 2, 2011

KEJUTAN BUDAYA DAN POSISI MAHASISWA KKN DI TENGAH BUDAYA LOKAL

Oleh: AbA




Tatkala jiwa telah terbentuk,


Sulit untuk membentuk yang berikutnya.


(Aba)


Tulisan ini telah pernah dimuat di Media Bawean pada bulan Juni 2010, di sini dengan dilakukan penyesuaian seperlunya.



1. Pendahuluan


Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.


Demikian aku kutip dua pepatah dalam masyarakat kita. Dari dua pepatah tersebut menggambarkan adanya pengakuan terhadap keberagaman budaya serta pengakuan terhadap urgensi adaptasi.


2. Akar Budaya


Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Raga akan tumbuh sebagaimana adanya di manapun ia berada, sedang jiwa akan tumbuh sesuai dengan ranah ruang dan waktunya, maka itu beda ruang ataupun beda waktu akan beda pula coraknya. Raga tak bisa untuk menyesuaikan diri, dalam arti penyamaan diri (jazadnya) dengan orang-orang di mana tempat ia lahir dan tumbuh, orang hitam tak ‘kan bisa menjadi putih walau ia lahir dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat kulit putih di benua Eropa. Perbedaan dan persamaan yang timbul dan berkembang dalam konteks budaya bukanlah perbedaan dan persamaan atas raga (fisikal), melainkan perbedaan dan persamaan dalam pengertian rohaniyah (jiwa). Budaya yang mengejawantah dalam sikap perilaku serta benda-benda fisik tak lain daripada cerminan alam rohaniyah (jiwa) yang abstrak. Oleh sebab itu orang kulit hitam yang lahir dan tumbuh di tengah-tengah belantara Afrika akan berbeda (budayanya) dengan orang kulit hitam yang lahir dan tumbuh di lingkungan Gedung Putih Amirika Serikat, walau sama kulit hitamnya. Karena sebab adanya perbedaan pada pertumbuhan dan pengembangan rohaniyahnya (--termasuk alam pikir adalah merupakan alam rohaniyah yang abstrak--) seseorang yang lahir, tumbuh dan berkembang di Jawa, yang sedari alam kandungan telah terbina dengan nilai-nilai budaya Jawa, akan menjadi sebagaimana masyarakat Jawa di mana ia lahir, tumbuh dan kembang itu, ia akan memegang budayanya, bahkan ia akan memegangnya erat-erat serta mempertahankannya dan akan sensitif manakala berhadapan dengan budaya lain yang berbeda, apalagi dipahami bertentangan.


3. Shock


Manakala seseorang sedari kecil hingga dewasa/tua hanya berkecimpung dalam satu budaya saja, maka ia akan mengalami kejutan (shock) budaya yang luar biasa manakala memasuki area lain, atau budaya lain masuk dalam areanya, termasuk apa yang disebut upaya pembaharuan ataukah term apalah namanya. Setiap orang, siapapun juga, tak ada kecuali, termasuk mereka yang telah berinteraksi lintas budaya akan mengalami kejutan budaya manakala mereka memasuki area budaya lain atau sebaliknya. Kejutan itu bisa begitu hebat ataupun ringan saja, tergantung tingkat perbedaan –pemahaman—yang dikandungnya. Makin tinggi tingkat perbedaan –pemahaman- akan makin tinggi tingkat kejuatan yang dialami.


4. Adaptasi


Jalan untuk memadukan (menyerasikan) antar perbedaan itu adalah adaptasi. Adaptasi adalah proses penyerasian antar perbedaan yang ada. Sebagai illustrasi dapatlah diketengahkan suatu misal, manakala orang Jawa yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam budaya Jawa, lalu ia merantau ke Kalimantan. Suatu ketika ia membeli barang, ia menyerahkan uang dengan tangan kanan, namun tiba-tiba si penjual menerimanya dengan tangan kiri. Kita akan berkata jujur, tentu orang Jawa tadi akan mengalami shock yang cukup berat, hatinya akan merasa dicabik-cabik, karena merasa diperlakukan tidak sopan. Namun manakala telah beradaptasi ia akan dapat memahami, walau ia tetap belum bisa menerima. Kendatipun demikian anak keturunan orang Jawa tadi yang lahir, tumbuh dan berkembang di area budaya baru itu akan memiliki sikap yang berbeda, ia/mereka akan dengan mudah menerima atau bisa jadi justru terserap dalam budaya tempatan. Oleh karena kaedah budaya adalah saling merasuki, maka tergantunglah budaya mana yang paling dominant. Suatu misal yang lain lagi manakala seseorang yang lahir, tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Islam, ia serta datuk moyangnya adalah penganut agama Islam yang taat, hari-hari mengaji, sholat, hendak makan bismillah dan berdoa, dan lain-lain, kemudian ia hidup di tengah masyarakat barat (kulit putih) yang bukan beragama Islam, bahkan banyak pula yang free thinker, belum lagi budaya bebasnya, dan lain-lain yang tergambar dalam benaknya. Tak lama kemudia tiba-tiba putra/putri kandungnya jatuh cinta dan hendak kawin dengan orang barat itu, tentu kita dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada diri orang tersebut, walau si calon menantu bersedia memeluk agama Islam sekalipun, masih juga rasa was-was terselip di hati. Bagi mereka yang belum teradaptasi dengan kultur kebebasan barat terhadap penentuan langkah individu tentu ia akan mengalami shock yang amat berat, ada juga yang tidak mau menghadiri pernikahan putrinya, namun dalam masa kemudiannya baru ia dapat menerima realitas itu. Sedang bagi yang sudah teradaptasi, mereka akan dapat menerima segala kemungkinan, terlepas karena terpaksa ataukah tidak. Selanjutnya guliran waktu yang akan menentukan, generasi berikutnya bisa berkata lain, tergantung budaya mana yang paling dominant merasuki. Kini pergeseran nilai telah terjadi. Bisa jadi bagi si anak/cucu justru budaya dalam masyarakat orang tua dan datuk moyangnyalah yang justru mengejutkan dirinya. Dengan demikian yang terjadi adalah saling keterkejutan. Demikianlah budaya. Posmodernisme menawarkan kata, ‘keberagaman’, ‘plural’, ‘pluralisme’.


5. Refleks


Kejutan budaya yang saangat hebat sering menimbulkan refleks yang membikin seseorang seperti terhipnotis, begitu sadar bagai terdampar di suatu pantai, dengan terkapar lesu.


6. Kesungguhan


Adaptasi merupakan kunci penghubung yang menawarkan kearifan, mudah diucap, namun memerlukan kesungguhan dalam aplikasi, terlebih manakala suatu budaya telah melekat dalam diri.


7. Posisi Mahasiswa KKN Di Tengah Budaya Lokal Di Lokasi KKN


Mahasiswa yang ikut KKN tentu berasal dari berbagai latar belakang budaya, rata-rata mereka baru berada pada proses penyesuaian diri di lingkungan di mana mereka menempuh studi. Di lingkungan barunya itu mereka menemukan banyak hal baru yang mereka ingin gapai dan ingin tepiskan, proses akulturasi sedang berjalan, mungkin saja mereka sedang mencari identitas, sebagai orang lama, orang baru ataukah orang lama dan baru, yang demikian itu tentu lebih banyak berada di alam bawah sadarnya. Yang nyata mereka baru saja ke luar dari kungkungan budaya asalnya, dari pengawasan orang tua dan lingkungan asalnya. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama, terlalu instan untuk dikatakan telah mampu memilah-pilah. Kini, di lokasi KKN mereka harus masuk dalam budaya lain lagi, budaya yang berbeda dengan di lingkungan kota Surabaya, Yogyakarta maupun Jakarta, atau lingkungan kampusnya yang tentu lebih terbuka dan privacy. Di lingkungan baru (lokasi KKN) tentu saja mereka dituntut mampu menyesuaikan diri secara tiba-tiba, yang tentu tak ada tawaran lain, dalam konteks ini mereka berada pada posisi bawah angina, mereka adalah sebagai tamu yang sekali gus sebagai orang yang belajar memimpin dalam situasi dan kondisi apapun, namun sekaligus pula sebagi subyek. Budaya adalah merupakan ukuran dasar sebagai tali kendali yang mudah dipegangi. Disinilah mahasiswa KKN mesti memposisikan diri, dengan waktu yang singkat tentu tiada alternatif lain, sebab citra mahasiswa (baik sebagai diri maupun kolektifa) dan almamater serta dunia Perguruan Tinggi pada umumnya dipertaruhkan. Kearifan dalam memanage apa yang disebut kejutan budaya adalah suatu keharusan, tak ada tawaran lain.


8. Beberapa Hal Teknis


Dalam konteks budaya, terlebih dahulu yang perlu mahasiswa cermati di lokasi KKN adalah hal apa yang menjadi kecenderungan perilaku masyarakat yang merupakan arus utama, mahasiswa mesti paham ke mana arus bergerak, mahasiswa mesti paham mengatur posisi, mahasiswa mesti bergerak di tengah gerak gelombang masyarakat lokal, memahami hal di posisi mana masyarakat suka, tidak suka serta posisi netral. Suatu contoh di Bawean, posisi masyarakat suka seperti berpartisipasi dalam acara tahlilan, main zamroh, shalat maghrib berjamaah di masjid/surau, bermain olahraga berbaur dengan masyarakat, selalu bertegur sapa, dan lain-lain; sedang posisi masyarakat tidak suka seperti berlalu-lalang/hilir-mudik/‘keluyuran’ (apalagi berkelompok) di saat masuk waktu shalat maghrib; setahuku dalam hal ini orang Bawean teramat sangat tidak suka, terlebih lagi bila saat dhuhur di hari Jum’at, dan lain-lain; adapun posisi masyarakat netral seperti mengadakan pertemuan kelompok KKN, pertemuan antar kelompok KKN, dan lain-lain.

KEBEBASAN BERAGAMA DI AUSTRAALIA (2)

Oleh: A. Fuad Usfa 

Kebebasan mempunyai makna merdeka dalam menentukan. Maka kebebasan beragama bermakna merdeka menentukan dalam memilih agama atau keyakinan. 'La ikraha fiddin', dalam bahasa Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (2) dinyatakan, 'Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'. Penulis tegaskan kata 'menjamin tiap-tiap penduduk'.

Di dunia ini terdapat berbagai macam agama, dan berbagai tafsiran terujud pula, dalam hal ini tentu tak terkecuali di Australia.

Sudah sama kita tahu bahwa Australia adalah merupakan Negara sekuler, Negara yang memisahkan secara tegas urusan agama dari urusan kenegaraan. Agama masuk dalam ranah individu, Negara menaungi semua agama dan keyakinan serta pemeluknya. Sebagaimana dalam aktifitas sosial lainnya, aktifitas sosial keagamaan tidak boleh -justru- menciptakan kegoncangan sosial, terjadinya berbagai/segala bentuk pemaksaan dan/atau intimidasi. Semua mesti menghargai hak setiap individu dalam menentukan pilihannya secara elegan. Dalam pengamatan penulis selama di Western Australia, keberadaan agama dan ummat beragama diletakkan pada posisi seperti itu. Aktifitas keagamaan/keyakinan warga Negara/penduduk tidak terhalang, berbagai ritual keagamaan serta berbagai perayaan dari berbagai agama di selenggarakan di mana-mana, dalam hal berpakaian tak terkecuali, penyediaan makanan, materi-materi hotbah ataupun ceramah tidak ada sensor apapun baik itu disampaikan oleh warga Negara ataupun orang asing. Dalam pada ini kebebasan beragama/keyakinan berada pada posisi yang merupakan kebebasan azasi, kebebasan murni, kebabasan yang sebenarnya, bukanlah kebebasan semu**).

Pasal 116 Undang-undang Dasar Australia melarang Pemerintah Federal untuk membuat Undang-undang mendirikan agama serta memaksakan ajaran agama. (http://www.dfat.gov.au/facts/religion_in.html).

Manakala kita menghendaki terciptanya alam kebebasan beragama yang sesungguhnya, yang murni, yang merupakan kebebasan azasi, maka kita harus menempatkan diri kita pada posisi yang tidak mencampuri keyakinan pihak lain, menempatkan diri kita pada ruang bebas yang mesti memahami pihak lain yang mempunyai posisi sama dengan kita, yang ingin diperlakukan sebagai pihak yang dihargai haknya untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, menempatkan Negara sebagai organisasi kekuasaan yang menaungi setiap penduduk yang berada dalam kekuasaannya, serta memperlakukannya sacara adil. Hal itu hanya bisa terjadi manakala agama tidak diseret pada wilayah politik kekuasaan, yang hanya akan 'mengklaim' dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia, sehingga 'menarik' dirinya pada posisi yang paling memahami kebenaran Tuhan, maka dengan demikian pula akan membenarakan segala tindakannya, termasuk melakukan berbagai tindak kekerasan, oleh sebab yang demikian itu dipahaminya sebagai kehendak Tuhan. Adapun selain dari yang dipahami dirinya, dimaknakan sebagai penyimpangan dari ajaran dan kehendak Tuhan, --walau seagama sekalipun--, maka dengan demikian sah menurutnya melakukan berbagai tindakan 'politik' termasuk aksi pemaksaan dalam segala bentuknya dan bahkan berbagai rangkaian kekerasan. Dari sinilah penulis dapat memahami pandangan Nurcholis Majid tentang pentingnya sekularisasi --walau terbatas-- yang dilansirnya pada penghujung dekade tujuh puluhan, dan setidaknya penulis telah menyaksikannya di Negara Australia.

Tidak ada yang bisa kita harapkan untuk menciptakan alam kebebasan beragama, manakala kita tetap meyakini, hanya diri kitalah yang benar, yang sesuai dengan kebenaran Tuhan, dan untuk itu kita harus menletakkan misi suci melawan segala pandangan yang tidak sejalan dengan pandangan kita, 'pandangan' Tuhan. Maka itu seluruh ummat manusia di muka bumi ini harus tunduk pada kehendak kita, karena itulah 'kehendak' Tuhan, dengan segala bentuknya. Pemaksaan akan terus berlanjut, lalu berbenturan, dan menjadi sumber ketegangan dan peperangan, atas nama agama menurut versinya, tak peduli walau seagama sekalipun kalau tidak sesuai dengan pandangannya harus didobrak untuk dihancurkan. Tidak ada yang bisa kita harapkan dalam kondisi seperti ini, sebab pemutlakan diri ternyata telah banyak menciptakan provokasi, ancaman, ketegangan serta peperangan, dan mengesampingkan nilai kemanusiaan.


Sebagai penutup menarik untuk dikutip pandangan yang dilansir oleh Prio Pratama, dalam konteks ke-Islaman, yang menyatakan, 'bagaimana mungkin seorang yang meyakini bahwa Islam sebagai satu-satunya jalan keselamatan, bisa membiarkan penganut agama lain hidup tenang dengan keyakinannya. Orang yang menganut paham pseudo toleransi seperti ini tidak akan pernah bisa benar-benar toleransi. Dikatakan begitu, oleh sebab ia tidak akan berhenti mencari-cari kesempatan kapan waktunya mengkonversi keyakinan orang lain itu ke dalam kayakinannya, ke dalam Islam' (http://islamlib.com/id/artikel/pseudo-toleransi-metode-dakwah-al-qardlawi-dan-masa-depan-pluralisme).


Perth Western Australia, Awal Musim Semi 2011

------

Catatan:

**). Kebebasan semu artinya adalah berbunyi bebas namun faktanya tiada kebebasan itu kecuali hanya untuk sepihak.

Sunday, August 7, 2011

KUMPULAN CERITA PENDEK 'MELATIKU'

DAFTAR ISI



REUNI



(Aba)



DI TEPIAN SWAN RIVER



(Aba)



THE HAUNTED WINDOW



(Alba Ahmad)



TWO LITTLE AUSTRALIANS



(Alba Ahmad)



I Y E M



(Aba)



ANZAC DAY MEANS TO ME -Suplement-



(Alba Ahmad)







Kata Pengantar



Alhamdulillah kami dapat menerbitkan kumpulan cerita pendek (cerpen) ini. Dari ke-lima cerpen terdapat dua diantaranya tulisan Alba Fathiya TN Ahmad Fuad Usfa (Alba Ahmad). Substansi semua cerpen tersebut adalah bersifat fiksi, maka manakala terdapat persinggungan atau kurang berkenan di hati pembaca kami mohon maaf dan maklum adanya.



Akhirul kalam, semoga kiranya berkenan di hati anda.



Dikumpulkan di: Western Australia



Nopember 2010



(Aba)






DAFTAR ISTILAH



Alun-alun Puputan : Alun-alun yang terdapat di Kota Denpasar Bali.



Aquarium raksasa dimaksudkan dalam cerpen ini : Sebuah bangunan ‘aquariun’ yang didesain sedemikian indahnya sehingga kita bagaikan masuk dalam dunia kehidupan air, hal tersebut terdapat di pulau Sentosa Singapore.



Bilik : Kamar, kata tersebut lazim digunakan dalam bahasa Melayu.



Boyan : Nama lain dari Bawean.



CPP : City of Perth Parking



Embludeg (Jawa) : Meluap.



Gamal : Dalam huruf arab tertulis kaf, mim dan lam. G dibaca dalam ejaan Indonesia sebagai pengganti kaf, tidak dalam ejaan Inggris yang bersuara sama dengan j dalam ejaan Indonesia, juga tidak dalam huruf ghin pada huruf arab yang biasa ditulis dengan Gh dalam ejaan Indonesia, seperti misalnya Ghufran dan sebagainya.



GR : Gede rumongso (Jawa), maksudnya punya perasaan bangga diri yang berlebih.



Makan angin : Jalan-jalan, bertamasya, kata tersebut lazim digunakan dalam bahasa Melayu.



Ngaben (kremasi) : Upacara pembakaran mayat.



Swan River : Sungai ‘Swan’, adalah aliran sungai yang begitu indah membelah kota Perth.





REUNI
Oleh: Aba




Fahri, betapa beruntungnya wanita yang mendapatkan engkau Fahri… Demikian kata kaum ibu dan wanita-wanita muda di kampungnya. Kala Fahri masih kanak-kanak, masih anak ingusan, ia hanya melongo-longo saja mendengar celotehan mereka.


Fahri lahir di sebuah kampung kecil, tidak jauh dari Danau Kastoba. Hari-hari ia selalu datang bermain di danau. Entah mengapa gerangan ia begitu suka di situ. kadang mandi, mancing, serta bernmain sebagaimana laiknya anak-anak seusianya. Sering pula ia sendirian saja, padahal danau itu kata orang ada ‘penunggunya’, itulah sebabnya orang tua Fahri sering merasa risau atas kebiasaan Fahri. Oleh sebab kebiasaan itu pulalah Fahri mendapat julukan si anak danau.


Si anak danau itu berkulit putih, hidung mancung, rambut hitam sedikit kecoklatan, tatapan matanya tajam, postur tubuhnya jangkung, langkahnya terayun sedikit terjinjit yang menyiratkan kesan, perlahan tapi pasti.


Pendidikan dasar Fahri ditempuh di kampung kelahirannya, prestasinya amat bagus. Selepas SD ia melanjutkan studinya ke Sangkapura. Di Kota Kawedanan Bawean itu ia melanjutkan studi di SMP, di SMP itu pulalah seorang gadis cantik, imut-imut, bagaikan kuntum mawar yang sedang mekar bersekolah. Nama gadis itu Wardah, bukankah wardah bermakna mawar?, pandai nian orang tuanya memilihkan nama. Namun Wardah tidak sampai tamat di situ, sebab baru satu tahun berjalan, saat kenaikan ke kelas dua, orang tua Wardah pindah tugas kerja yang tentu Wardah ikut juga bersamanya. Mereka pindah ke tanah Jawa.


Walau masih kecil Fahri sudah punya rasa tertarik pada Wardah, tapi ia tak dapat berbuat apa-apa, maklumlah masih terlalu kanak-kanak, namun perasaan itu begitu bergejolak dalam kalbunya, oleh sebab itu kepergian Wardah sempat membikinnya tiada dapat tidur, makanpun tiada enak, indahnya mawar selalu terbayang di pelupuk matanya. Inikah kiranya sentuhan cinta pertama?!. Bagaimana dengan Wardah?, ternyata sang mawarpun merasakan suatu hal yang sama, ketampanan Fahri selalu bermain di alam bayangnya.


Waktu telah berjalan, hari berganti hari, lalu datanglah minggu, disusul bulan dan berbilanglah tahun, tentu bayangan kuntum mawar sudah tiada lagi, demikian pula bayang ketampanan si anak danau, semua telah ditelan sang waktu, sirna, bagai sirnanya embun ditelan cahaya sang surya.


Setelah Fahri lulus dari SMU, yang juga ditempuhnya di Kota Kawedanan yang sama ia kembali ke kampungnya. Ketampanan dan ahlak Fahri telah menjadi buah bibir, yang serasa menjadi hiasan pada setiap tiupan sang bayu di serata pulau Bawean, keharuman namanya bagai keharuman kasturi, ketampanannya telah mencipta daya tarik bagi setiap wanita.


Di saat Dies Natalis SMPnya, diadakanlah reuni. Alumni pada hadir di hari bersejarah bagi sekolahnya itu. Di sele-sela hadirin Wardah hadir walau terlambat, ia mengenakan gaun panjang berwarna keunguan, aduhai…, ia begitu anggun, lampu mirquri dari atas panggung menyorot dan menimpa persis pada wajahnya dengan hidungnya yang mancung, halus, indah, sempurna, matanya berbinar bagai menantang cahaya mirquri dengan lengkungan nan elok bulu mata aslinya, alis tebalnya yang hitam tanpa celak membentuk bulan sabit, pipinya yang kemerahan dengan olesan make up yang begitu serasi, serta dagunya yang imut dengan bagai sedikit terpecah di tengahnya, ayunan langkahnya bagai mengikut irama musik melengkolis yang mengiring acara ramah-tamah. Wardah duduk persis di sebelah Fahri. Fahri hampir tak mengenalnya, sang mawar menyapa Fahri, Fahri jadi gugup dan oh..., Wardah...?!!, ujarnya dengan lirih hampir tak bersuara. ‘Apa kabar Wardah…?’. Fahri balik menyapanya, ‘baik Fahri…’ jawab Wardah. Oh…, iya…, Wardah tinggal di mana selama ini?’, tanya Fahri, ‘di Surabaya Fahri…’, jawabnya, ‘sudah berapa lama kita tiada bertemu ya…’, sambung Wardah, ‘oh…, iya…, sudah lama Wardah…’, jawab Fahri, ‘aku jadi pangling sama kamu…, kamu makin cantik…, cantik sekali’, tambah Fahri memujinya. Ternyata Wardah kini masih selincah Wardah di kala masih duduk di bangku SMP bersamanya dulu, pujian Fahri menggerakkan refleks jari-jemarinya nan lentik, ia mencubit lengan Fahri yang memakai kemeja lengan panjang, Fahri jadi GR juga dibuatnya. Ingin rasanya ia mengatakan bahwa ia begitu menaruh simpati padanya, serta menceriterakan bagaimana perasaannya dulu, kala ditinggal Wardah pindah sekolah. Ingin rasanya ia mencurahkan segala rindu-dendam yang sempat terkubur bertahun-tahun yang tiba-tiba kini kembali bergelora bagai alunan gelombang samudra.


Kala acara telah usai Fahri mengantarnya hingga di halaman sekolah. Dari arah kanan tiba-tiba datang sebuah mobil sedan menepi, lalu dengan mengucapkan salam pada Fahri Wardah menuju mobil itu, ‘assalamualaikum Fahri, sampai jumpa’, ucapnya. Fahri hanya tertegun, bertepatan saat itu datang seorang kawannya menyapa Fahri, ‘apa kabar Fahri’, sapanya. Lalu ia bertanya pada Fahri apakah ia sudah dapat undangan dari Wardah. Tentu Fahri berupaya tidak menunjukkan sikap sejatinya, yang tiba-tiba menjadi gugup atas pertanyaan kawannya, Fahri hanya menjawab, ‘tidak’. Lalu temannya itu bilang bahwa Wardah akan bertunangan dalam minggu ini, orang tuanya telah menjodohkan dengan seorang menejer muda sebuah Bank di Surabaya.


Keesokan harinya Wardah ke rumah Fahri menyampaikan undangan, ya…, hanya menyampaikan undangan saja, sebab masih ada beberapa undangan untuk kawan-kawan sekelas di SMPnya dulu yang berasal dari Kecamatan Tambak. Sebagai seorang wanita yang berperasaan halus, ditambah sifat kedewasaannya, Wardah seakan mampu menyelami lubuk hati Fahri, Wardah tersenyum dengan kulum senyumnya nan indah, Wardah menyalami Fahri, dengan canggung Fahri mengulurkan tangnnya, rona mukanya memerah, entah tak tahu apa yang harus diucapkannya. Sikap canggung melanda dua belia yang saling dirundung kenangan masa lalunya kala dua hati dililit cinta pertama yang ternyata tiada pernah tersampaikan. Tiba-tiba wajah Wardah pun turut merona, memerah, dan ia serasa ingin menangis atau berlari ke mobil dan menghempaskan dirinya, namun ia segera sadar bahwa tak lama lagi sebentuk cincin akan melingkar di jari manisnya sebagai pertanda ikatan suci akan segera menyusulnya. Suara wardah memecah keheningan di tengah kecanggunagan itu, ia berkata pelan, seakan berbisik, ‘jodoh di tangan Tuhan Fahri…, aku menunggu undanganmu, sebagaimana aku mengundangmu di saat ini..., aku berharaap engkau dapat hadir di malam pertunanganku, aku berharap doamu Fahri…’, dan dengan lembut ia berucap salam, ‘assalamualaikum Fahri…, aku berharap kehadiranmu’, lalu Wardah melanjutkan perjalanannya. Fahri paham, ya…, jodoh di tangan Tuhan. Dengan gontai Wardah melangkah meninggalkan Fahri, dan selang beberapa langkah kemudian ia bergumam seorang diri, 'sejujurnya harus aku akui, bahwa engkau adalah cinta pertamaku Fahri'. Wardah masuk mobil, lalu dengan perlahan mobil bergerak, melaju, dan terus melaju meninggalkan Fahri dalam pelukan desa yang damai.

DI TEPIAN SWAN RIVER

Oleh: A. Fuad Usfa

Pada cerita ini juga menggambarkan akan realitas bahwa keturunan orang Boyan telah melakukan perbauran darah lintas ras, baik dengan ras Caucasoid, Nigroid, termasuk Australoid serta Mongoloid dan percabangan dari semua itu.


Di tengah malam buta, di lereng gunung Panderman lahirlah seorang anak laki-laki, suara tangis melengking di tengah keheningan malam. Ibu anak itu bernama Fauziyah, yang ia pahami kata itu bermakna kemenangan, tapi ia tak tahu persis maknanya, hanya yang ia tahu kedua orang tuanya berkata begitu. Fauziyah tersenyum, sambil bergumam dalam hati, ‘Fauziyah…, di tengah malam ini, terimakasih ayah, terimakasih ibu, nama yang engkau berikan terbukti di malam ini, aku memperoleh kemenangan ayah, aku memperoleh kemenangan ibu…’. Fauziyah merasakan seperti itu di saat kehadiran sang anak, keturunan sang permata hati.

Suami Fauziyah bernama Salim, orang-orang memanggilnya pak Salim, ia bersujud syukur begitu bidan memberitahukan, bahwa putranya telah lahir dengan selamat. Pak Salim pun berperasaan sama dengan istrinya, ia berterimakasih pada ke dua orang tuanya, karena merasakan nama yang diberikannya dirasa terbukti di tengah malam buta itu. Pak Salim merasa sejahtera oleh sebab apa yang didambakannya telah terkabul jua.

Tujuh hari telah berlalu, keluarga dan tetangga berdatangan hadir di rumah yang sederhana itu. Mereka datang memenuhi undangan haqiqah dan pemberian nama sang bayi. Hidangannya sederhana, sebab keluarga itu tergolong tidak mampu. Namun, walau dari keluarga tidak mampu, keluarga pak Salim dikenal sebagai keluarga yang baik, namanya harum di kampungnya.


Pak ustad yang rumahnya bersebelahan dengan pak Salim bertanya pada pak Salim, ‘Apa sudah siap dengan nama si kecil pak Salim…?, tanyanya. ‘Sudah pak ustad…,’ ujarnya. ‘Apa namanya…?’ Sambung pak ustad. ‘Gamal pak ustad…,’jawab pak Salim pula. Nama itu diambilnya, karena kata temannya yang alumni Pondok Modern Gontor, gamal itu bermakna sempurna.

Lima hari sebelum acara, pak Salim bertukar pikiran dengan istri yang dicintainya itu, ‘Ma…’, katanya, ‘bagaimana kalau anak kita diberi nama Gamal ma…” lanjutnya, lalu pak Salim menceriterakan panjang lebar alasan pengambilan nama itu. Istrinya yang murah senyum itu bukan main setujunya, lalu ia berkata pada suaminya, ‘saya sangat setuju pa…’, ujarnya, ‘setuju sekali, sebab kali ini kita sudah sempurna pa…’ lanjutnya, lalu ia berdiri menghampiri suami yang dicintainya itu dan mencium keningnya, seraya berkata, ‘kita telah sempurna pa…’. Ia girang sekali, dan wajahnya yang tak pernah nampak murung itu, semakin cerah.

Sebelum acara dimulai, di putarnya lagu-lagu padang pasir dari tape recorder yang sudah tua ‘warisan’ dari orang tua pak Salim, dan orang-orang sekitar sama paham kalau pak Salim sedari kecil dulu menyukai lagu berirama padang pasir. Alunan lagu dari Amal Razak, Sarah, Sama’, yang dari Syiria itu sampai Mesir dan Indonesia diputarnya. Istri pak Salim tak pernah usil dengan kesukaan suaminya, dan memang ia adalah istri yang penuh pengertian.


*

Lima tahun telah berlalu, Gamal di sekolahkan di Sekolah Taman Kanak-kanak di kampungnya. Suatu ketika, di desanya ditempati mahasiswa KKN, diantaranya ada yang bernama Zakiyah. Suatu saat Zakiyah ijin pulang selama satu hari-satu malam untuk menghadiri upacara pernikahan kakak kandungnya. Sekembalinya dari pulang itu ia membawakan oleh-oleh istimewa untuk Gamal, yaitu sepasang sepatu cat, celana pendek dan t’shirt merk Puma. Alangkah senang hati pak Salim dan istrinya, maka itu serta-merta istri pak Salim memanggil Gamal. ‘Gamal…’ ujarnya, ‘mari sini nak…’ lanjutnya. ‘Ini mbak Zakiayah nak…, ujarnya. Suaranya yang lembut itu seakan mengenalkan Gamal dengan Zakiyah, lalu ujarnya pula, ‘kamu dikasih pakaian bagus nak…, tapi hati-hati ya memakainya…’ lanjutnya. Dari raut mukanya Gamal kelihatan amat senang , bukan karena pakaian itu bermerek bagus, yang tentu saja ia tidak tahu tentang itu, tapi oleh sebab sepatu yang dipakainya selama ini sudah sobek, sedang baju dan celananyapun tidak ada yang bagus. Kemudian istri pak Salim berkata pula pada anak yang dicintainya itu, ‘Coba, bilang apa nak pada mbak…?’. Dengan malu-malu Gamal berkata, ‘Terimakasih mbak…’, katanya. Kebaikan hati Zakiyah itu dikenangnya terus hingga ia dewasa. Sesekali ia ingin berjumpa dengan mbak Zakiyah yang baik hati itu, tapi ia tak tahu, di mana gerangan berada.


*

Dua puluh tiga tahun kini usia Gamal, ia dosen di sebuah Perguruan Tinggi ternama di Kota Malang. Di saat ia masih SMU ia sudah punya cita-cita untuk jadi dosen. Sejak masa itu pula hingga tamat Perguruan Tinggi Gamal hanya mengandalkan dari bea siswa. Pada waktu di Perguruan Tinggi Gamal terpaksa kost, sedang bea siswa yang diterimanya tidak banyak, maka itu Gamal mesti pandai-pandai menyiasati, misalnya, ia kost di tempat yang paling murah, pakaian ala kadarnya, kadang makan dua kali saja sehari. Di samping itu, untuk mengatasi kekurangannya ia menawarkan diri untuk mengajar privat mengaji dan Bahasa Inggris anak orang berpunya. Orang tuanya tentu tidak mampu, apa lagi Gamal masih mempunyai dua orang adik yang selisih umurnya 7 dan 10 tahun di bawah Gamal yang justru memerlukankan bantuan darinya jua.

Satu tahun ia jadi dosen, ia dapat bea siswa untuk melanjutkan studi ke Australia, tepatnya di Murdoch University Australia Barat. Tentu Gamal sangat senang, dan ia menyampaikan berita itu pada ayah, ibu dan adik-adiknya, bukan main rasa syukur dari mereka. Air mata pak Salim serta istrinya jatuh berderai karena haru.

Melalui internet Gamal mempunyai kenalan di Australia, ia sedang studi tingkat akhir under graduate di University of Western Australia, dari situ pula Gamal mengenal nama gadis itu, yaitu Anni Frank.

Sebelum berangkat ke Australia, Gamal harus mendalami bahasa. Ia di kursuskan di ALFa Bali. Di situ ia mengenal masyarakat dan budaya baru, hari-hari ritual keagamaan, janur dan sesajen di berbagai tempat hingga kemana kaki melangkah di situ kan didapati, pohon-pohon besar dengan lilitan kain berblok hitam-putih, aroma dupa dan kemenyan dihantar sang bayu ke segala penjuru, upacara ngaben (kremasi) yang di dahului dengan arak-arakan besar, pakaian-pakaian adat dipakai orang sehari-hari, ukir-ukiran dan lukisan di jumpai di mana-mana, pura dan tempat-tempat pemujaan di seantero negeri, Gamal benar-benar merasakan sesuatu yang baru. Suatu senja Gamal duduk sendirian di alun-alun Puputan, ia merenung, kemudian bergumam lirih, ‘Agama Hindu telah menggerakkan semua ini…’, gumamnya.


Di Bali Gamal tinggal di Ceruring, tidak jauh dari tempat kursus, hanya lima menit berjalan kaki. Di tempat kursus itu ia bisa buka komputer untuk mengetik tugas-tugas, buka internet dan hiburan. Dari situ pula ia bisa kontak dengan Anni Frank.

Tibalah pada tanggal keberangkatan, yaitu pada tanggal 1 di bulan Oktober, melalui Bandar Udara Internasional Ngurah Rai Bali ia berangkat. Lebih-kurang tiga jam setengah perjalanan ditempuhnya, dan Anni Frank menjemputnya di Bandar Udara Internasional Perth, kala itu udara sejuk dan nyaman, kala itu sudah memasuki musim bunga.
Anni Frank sudah di Bandara 15 menit sebelumnya, yang sesekali melihat jadwal ketibaan untuk memastikan tibanya pesawat Qantas dari Bali.


Dua insan yang berbeda kewarga negaraan itu sudah saling bejanji untuk bertemu di bandar udara Internasional Perth, sebelumnya mereka sudah saling mengirim kalungan bunga imitasi, tidak besar hanya sekedar nampak saja. Gamal membelinya di Bali waktu mengikuti kursus, sedang Anni membelinya di Adelaide waktu ia berlibur di sana. Kalung itu dipakainya masing-masing untuk saling mengenal. Gamal mengirim untaian bunga yang didominasi warna pink, kendatipun tiada diperjanjikan, entah mengapa Anni pun juga dengan dominasi warna yang sama.


Tiga puluh menit kemudian Gamal telah di pintu keluar bandara , namun, alangkah kagetnya ia tatkala melihat untaian bunga sebagai dikirimnya itu nampak dipakai sang nenek tua. ‘Aduh.., mati aku’, bisiknya dalam hati. Di tengah kekagetan itu tiba-tiba menuju ke arahnya, seorang dara semampai, dengan tinggi kira-kira 165 Cm, berambut pirang keemasan yang ditutupi dengan scarf tipis ala India, bentuk wajahnya bulat telur, hidungnya mancung, kedua pipinya kemerah-merahan, mengenakan kacamata hitam, senyumnya tersungging dengan lesung pipit menghias di kedua belah pipinya, sedang seuntai kalung melingkar manis di lehernya. Gamal tertegun, sungguh ia tidak mengira kalau ternyata gadis yang ia kenal adalah gadis nan sangat cantik jelita. Ke dua insan muda belia bertemu dalam suka, sejenak berbincang dan kemudian mereka menuju ke tempat parkir. Di kejauhan Nampak sebuah sedan Holden warna hitam. Ke situlah dua insan itu mengarah. ‘Kita naik mobil hitam, yang berada di antara dua mobil putih itu’, ujar Anni. ‘Apakah engkau tahu yang aku maksud?!’, tanya Anni untuk memastikan. Gamal tidak tahu, maka itu ia bertanya, ‘yang mana ya…?’, kata Gamal. ‘Itu…, di pojok itu antara dua mobil putih’, jawab Anni seraya menunjuk kearah mobil itu yang seakan mamamerkan lentik jemari indahnyanya. ‘Mobil itu dari orang tuaku, mereka menghadiahkan untukku’ lanjutnya. ‘Orang tua ku berharap aku bisa sukses dalam studi’, lanjutnya lagi.


Setelah semua barang dikemas dalam bagasi, kedua insan masuk dalam mobil hitam buatan Australia itu dan meluncur menyusuri jalan yang Gamal tidak tahu kearah mana ia bergerak. Mobil meluncur dengan mulus membelah bayu, sesekali melintasi bulatan yang disebut roundabout, kemudian memotong perempatan Tonkin Highway, sedang kedua insan muda berbincang sambil bersenda gurau, bagai telah lama bersahabat laiknya.


Tidak terasa kini posisi mereka telah berada di pusat Kota Perth, Gamal mencoba mengingat keadaan daerah yang baru dilaluinya, dari Bandara hingga pusat kota. Terlintas dalam benaknya, ‘benar kata dosenku dulu, demikian bisik hatinya, semua tertata rapih, bersih, dihiasi pepohonan, taman-taman dengan padang rumput terhampar luas, bunga-bunga dengan segala warna bermekaran dari yang besar hingga yang paling kecil sekecil mata jarum, bermacam jenis burung beterbangan dengan amannya, kendaraan pun berjalan beratur rapih bagai laskar berbaris. Saat itu Gamal teringat apa yang diajarkan ustadz kala ia duduk di bangku madrasah, ‘sesungguhnya Allah mencintai keindahan, sesungguhnya Allah mencintai kebersihan, kebersihan sebagian dari pada iman, sesungguhnya Islam adalah rahmat bagi seluruh alam’. Lalu ia bertanya dalam hatinya, inikah Islam?. Saat pertanyaan itu terbersit dalam hati Gamal, tiba-tiba suara Anni mengagetkannya, ‘mengapa diam?’, tanyanya, dan tanpa menunggu jawaban dari Gamal, Ani melanjutkan, ‘kita berhenti di sini dulu, kita masuk gedung parkir ini’, katanya sambil membelokkan mobilnya ke gerbang CPP di Pier Street pusat kota Perth. ‘Kita mesti makan dulu, di pusat kota ini ada Restoran Indonesia, aku suka masakannya, mudah-mudahan engkau suka, aku harap selera kita sama’ lanjutnya. Kemudian kedua insan saling bertatapan dan mereka saling tersenyum, senyuman yang indah. Selepas itu Anni mengantar Gamal ke tempat di mana ia harus tinggal, dan Anni kembali ke rumahnya.


*

Malam pertama Gamal di pondokan, pikirannya terpecah, antara ingat ke dua orang tua dan adik-adiknya di kampung, dan bayang-bayang dara jelita Anni Frank. Saat itu tiba-tiba muncul rasa kecut, kecut kalau-kalau telah jatuh cinta pada Anni. ‘Ah…, mengapa aku GR’, pikirnya. Tiba-tiba pula terbersit dalam ingatannya, berapa banyak gadis yang menaruh simpati padanya, ada yang mula-mula beralasan meminjam buku, ada yang minta antar pulang waktu usai acara di kampus, ada pula yang lucu rasanya, yaitu pura-pura terkilir pergelangan kakinya saat kemping perpisahan di SMUnya dulu, ada pula yang secara gamblang nembak langsung dengan menyatakan cintanya. Bukannya Gamal hendak menolak semua itu, tentu tidak, apalagi mereka itu gadis-gadis yang aduhai. Sebagai anak muda, tentu gelombang cinta sering berkecamuk dalam sanubarinya, kadang tak tertahankan, hingga hampir menenggelamkan biduk asmara dalam gelora. Terlalu berat beban yang harus ditanggung di pundaknya, dia harus berjuang untuk kesuksesan dirinya, dia pun harus memikul beban tanggung jawab akan cita-cita kedua adiknya.

Saat hari ke-tiga Gamal di Australia, di lepas senja, ia dapat SMS dari Anni, isinya, ‘Abang Gamal, aku senang sekali bisa bersua dengan abang, bang Gamal begitu simpatik. Dari Anni.’ Gamal tidak tahu bagaimana ia harus membalasnya. ‘Mengapa kini Ani menyebut kata abang?, mengapa pula gaya bahasanya selalu seperti orang timur?’, demikian bisik hatinya.

Tibalah pada hari ke tujuh Gamal di Australia, kala itu bertepatan dengan hari Minggu, Gamal duduk di tepi Swan River, airnya jernih, sedikit bergelombang, di kejauhan nampak orang main sky air, udara cerah, kala itu jam enam pagi, sang surya sudah mulai beranjak naik, Gamal duduk seorang diri, entah apa yang ada dalam benaknya. Persis di depannya datang burung camar berenang menghampiri, tatapan mata Gamal mengikut arah gerak burung camar itu. Tiba-tiba Gamal dikejutkan dengan dering HP yang serta merta segera diangkatnya. ‘Ah…, E-mail dari Anni’ bisiknya. Dalam e-mail itu Anni menulis, ‘Abang Gamal…, apa kabar?, aku harap s’lalu dalam baik dan dalam rakhmat Allah. Abang Gamal…, kemaren lausa aku ke Brisbane, abangku meminta aku bisa hadir dalam acara yang diadakannya. Bang…, sebetulnya aku ingin mengajak abang, sekalian bisa makan angin serta bisa kenal dengan abangku itu, bahkan juga dengan ayah dan ibuku, tapi sayang tiket hanya tinggal satu saja. Kini aku telah kembali di Perth, sebab besok ada acara di kampus. Sampai di situ Gamal berhenti membacanya, seakan ia tak percaya kalau e-mail itu dari Anni. Kemudian dibacanya lebih lanjut lagi, ‘Oh iya bang …, kemaren aku sempat berbincang santai di verendah masjid bersama ayah, ibu serta abangku, angin sepoi-sepoi nan sejuk dan nyaman bagai mengipasi kemesraan kami sekeluarga. Bang Gamal…, Ibuku berdarah campuran antara Prancis dan Turki, ayahku keturunan orang Boyan. Sehari-hari aku dipanggil Anni Frank, sesungguhnya namaku Annisa’ Farah Nabhan Kadir, disingkat Anni Frank’. Sampai di situ, tak terasa HP Gamal terjatuh, dia merasa akan realitas dirinya yang padanya juga masih mengalir darah Boyan, dan saat itu pula seakan tampak Anni berdiri di sampingnya, Gamal berdiri dan dengan lirih menyapa, tapi…, Ani tak ada…, dengan pelan, seirama desir angin Gamal memanggilnya, kala itu melintas seorang kakek tua yang duduk di kursi roda, kulitnya putih, bersih, hidung mancung, rambutnya tertata rapih dengan warna gray karena uban, ia menyapa Gamal, ‘hai anak muda…, ada apa gerangan…?’, sapanya, kakek itu menyapa sambil tersenyum seraya berkata lagi, ‘semasa masih muda dulu aku pun sama dengan engkau anak muda…, saat aku jatuh cinta…’. Kakek itu melanjutkan lagi, ‘ Allah menciptakan hati dengan hiasan yang paling indah, yaitu cinta wahai anak muda…’. Saat itu Gamal tersadar, ia mencari HP dalam genggamanya, ‘ah…, terjatuh’, bisiknya., orang tua itu terdiam sejenak. Demi mendengar kata Allah disebut orang tua itu Gamal bertanya singkat, ‘apakah anda muslim?’, ‘ya…, aku muslim’, jawabnya, ‘aku dari Libanon, aku datang ke sini di saat berkecamuk perang saudara yang bermula di tahun 1975, setidaknya hingga lima belas tahun perang itu berkecamuk, mereka saling membunuh sesama, sesama muslim pun saling membunuh, orang-orang tak berdosa, orang-orang ‘suci’ pun tak terkecuali, jadi korban…, terbunuh…, aku tak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah, tiada tertapis antara nafsu dan kesucian, di mana peradaban…?, yang nyata mereka telah berteriak dengan lantang di berbagai sudut, sehingga rasanya sampai tak ada ruang bagiku untuk berdiri, mereka berteriak, berteriak dan terus berteriak, kata mereka aku yang benaar…, aku yang benar….’, lalu orang tua itu menyampaikan salam, ‘assalamualaikum anak muda…,’ kemudia ia berlalu. Gamal terpaku, ‘ ya…, membunuh…’, bisiknya. Saat itu Gamal teringat pula akan tragedi di padang Karbela, di tahun 61H, Husain, cucu Rasulullah SAW, yang amat dicintai oleh Rasulullah SAW, jantung hati dan biji mata Rasulullah SAW, tapi, saat itu, di padang Karbela, beliau menjadi korban pembantaian…, kebiadaban…, kepala beliau yang selalu sujud kepada Allah Ilahi Rabbi dipenggal dan dihinakan di telapak kaki dan ujung tongkat Yazid bin Muawiyah, lengking tangis Zainab memenuhi bumi, hingga terasa mengatasi ruang dan waktu, lagi-lagi noda sejarah kemanusiaan yang tak terperikan. Lalu dengan lirih Gamal bertanya, ‘ya…, kata pak tua, membunuh, sesama, sesama muslim pun, membunuh…, membunuh…, mengapa semua itu terjadi…, mengapa?’ , pertanyaan itu dijawabnya sendiri, dengan jawaban singkat, hanya dua kata, ‘syahwat politik’. Gamal menoleh pada orang tua tadi, tapi, entah ke mana gerangan…




*


Ah…’, terdengar desah Gamal, lalu ia merebahkan dirinya di hamparan rumput nan hijau, dua tapak tangannya menyangga kepalanya, tatapannya menuju ke langit, dan membayangkan kedamaian sejati di keteduhan langit dengan awan putih berarak, di kepak burung camar, dalam desir angin semilir, dan dalam kulum senyum Anni Frank, ya…, ternyata persis disisi kanannya Anni Frank duduk berlutut, yang dengan lembut menyapa Gamal serta mengembangkan senyum indahnya.

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...