Sunday, August 7, 2011

KUMPULAN CERITA PENDEK 'MELATIKU'

DAFTAR ISI



REUNI



(Aba)



DI TEPIAN SWAN RIVER



(Aba)



THE HAUNTED WINDOW



(Alba Ahmad)



TWO LITTLE AUSTRALIANS



(Alba Ahmad)



I Y E M



(Aba)



ANZAC DAY MEANS TO ME -Suplement-



(Alba Ahmad)







Kata Pengantar



Alhamdulillah kami dapat menerbitkan kumpulan cerita pendek (cerpen) ini. Dari ke-lima cerpen terdapat dua diantaranya tulisan Alba Fathiya TN Ahmad Fuad Usfa (Alba Ahmad). Substansi semua cerpen tersebut adalah bersifat fiksi, maka manakala terdapat persinggungan atau kurang berkenan di hati pembaca kami mohon maaf dan maklum adanya.



Akhirul kalam, semoga kiranya berkenan di hati anda.



Dikumpulkan di: Western Australia



Nopember 2010



(Aba)






DAFTAR ISTILAH



Alun-alun Puputan : Alun-alun yang terdapat di Kota Denpasar Bali.



Aquarium raksasa dimaksudkan dalam cerpen ini : Sebuah bangunan ‘aquariun’ yang didesain sedemikian indahnya sehingga kita bagaikan masuk dalam dunia kehidupan air, hal tersebut terdapat di pulau Sentosa Singapore.



Bilik : Kamar, kata tersebut lazim digunakan dalam bahasa Melayu.



Boyan : Nama lain dari Bawean.



CPP : City of Perth Parking



Embludeg (Jawa) : Meluap.



Gamal : Dalam huruf arab tertulis kaf, mim dan lam. G dibaca dalam ejaan Indonesia sebagai pengganti kaf, tidak dalam ejaan Inggris yang bersuara sama dengan j dalam ejaan Indonesia, juga tidak dalam huruf ghin pada huruf arab yang biasa ditulis dengan Gh dalam ejaan Indonesia, seperti misalnya Ghufran dan sebagainya.



GR : Gede rumongso (Jawa), maksudnya punya perasaan bangga diri yang berlebih.



Makan angin : Jalan-jalan, bertamasya, kata tersebut lazim digunakan dalam bahasa Melayu.



Ngaben (kremasi) : Upacara pembakaran mayat.



Swan River : Sungai ‘Swan’, adalah aliran sungai yang begitu indah membelah kota Perth.





REUNI
Oleh: Aba




Fahri, betapa beruntungnya wanita yang mendapatkan engkau Fahri… Demikian kata kaum ibu dan wanita-wanita muda di kampungnya. Kala Fahri masih kanak-kanak, masih anak ingusan, ia hanya melongo-longo saja mendengar celotehan mereka.


Fahri lahir di sebuah kampung kecil, tidak jauh dari Danau Kastoba. Hari-hari ia selalu datang bermain di danau. Entah mengapa gerangan ia begitu suka di situ. kadang mandi, mancing, serta bernmain sebagaimana laiknya anak-anak seusianya. Sering pula ia sendirian saja, padahal danau itu kata orang ada ‘penunggunya’, itulah sebabnya orang tua Fahri sering merasa risau atas kebiasaan Fahri. Oleh sebab kebiasaan itu pulalah Fahri mendapat julukan si anak danau.


Si anak danau itu berkulit putih, hidung mancung, rambut hitam sedikit kecoklatan, tatapan matanya tajam, postur tubuhnya jangkung, langkahnya terayun sedikit terjinjit yang menyiratkan kesan, perlahan tapi pasti.


Pendidikan dasar Fahri ditempuh di kampung kelahirannya, prestasinya amat bagus. Selepas SD ia melanjutkan studinya ke Sangkapura. Di Kota Kawedanan Bawean itu ia melanjutkan studi di SMP, di SMP itu pulalah seorang gadis cantik, imut-imut, bagaikan kuntum mawar yang sedang mekar bersekolah. Nama gadis itu Wardah, bukankah wardah bermakna mawar?, pandai nian orang tuanya memilihkan nama. Namun Wardah tidak sampai tamat di situ, sebab baru satu tahun berjalan, saat kenaikan ke kelas dua, orang tua Wardah pindah tugas kerja yang tentu Wardah ikut juga bersamanya. Mereka pindah ke tanah Jawa.


Walau masih kecil Fahri sudah punya rasa tertarik pada Wardah, tapi ia tak dapat berbuat apa-apa, maklumlah masih terlalu kanak-kanak, namun perasaan itu begitu bergejolak dalam kalbunya, oleh sebab itu kepergian Wardah sempat membikinnya tiada dapat tidur, makanpun tiada enak, indahnya mawar selalu terbayang di pelupuk matanya. Inikah kiranya sentuhan cinta pertama?!. Bagaimana dengan Wardah?, ternyata sang mawarpun merasakan suatu hal yang sama, ketampanan Fahri selalu bermain di alam bayangnya.


Waktu telah berjalan, hari berganti hari, lalu datanglah minggu, disusul bulan dan berbilanglah tahun, tentu bayangan kuntum mawar sudah tiada lagi, demikian pula bayang ketampanan si anak danau, semua telah ditelan sang waktu, sirna, bagai sirnanya embun ditelan cahaya sang surya.


Setelah Fahri lulus dari SMU, yang juga ditempuhnya di Kota Kawedanan yang sama ia kembali ke kampungnya. Ketampanan dan ahlak Fahri telah menjadi buah bibir, yang serasa menjadi hiasan pada setiap tiupan sang bayu di serata pulau Bawean, keharuman namanya bagai keharuman kasturi, ketampanannya telah mencipta daya tarik bagi setiap wanita.


Di saat Dies Natalis SMPnya, diadakanlah reuni. Alumni pada hadir di hari bersejarah bagi sekolahnya itu. Di sele-sela hadirin Wardah hadir walau terlambat, ia mengenakan gaun panjang berwarna keunguan, aduhai…, ia begitu anggun, lampu mirquri dari atas panggung menyorot dan menimpa persis pada wajahnya dengan hidungnya yang mancung, halus, indah, sempurna, matanya berbinar bagai menantang cahaya mirquri dengan lengkungan nan elok bulu mata aslinya, alis tebalnya yang hitam tanpa celak membentuk bulan sabit, pipinya yang kemerahan dengan olesan make up yang begitu serasi, serta dagunya yang imut dengan bagai sedikit terpecah di tengahnya, ayunan langkahnya bagai mengikut irama musik melengkolis yang mengiring acara ramah-tamah. Wardah duduk persis di sebelah Fahri. Fahri hampir tak mengenalnya, sang mawar menyapa Fahri, Fahri jadi gugup dan oh..., Wardah...?!!, ujarnya dengan lirih hampir tak bersuara. ‘Apa kabar Wardah…?’. Fahri balik menyapanya, ‘baik Fahri…’ jawab Wardah. Oh…, iya…, Wardah tinggal di mana selama ini?’, tanya Fahri, ‘di Surabaya Fahri…’, jawabnya, ‘sudah berapa lama kita tiada bertemu ya…’, sambung Wardah, ‘oh…, iya…, sudah lama Wardah…’, jawab Fahri, ‘aku jadi pangling sama kamu…, kamu makin cantik…, cantik sekali’, tambah Fahri memujinya. Ternyata Wardah kini masih selincah Wardah di kala masih duduk di bangku SMP bersamanya dulu, pujian Fahri menggerakkan refleks jari-jemarinya nan lentik, ia mencubit lengan Fahri yang memakai kemeja lengan panjang, Fahri jadi GR juga dibuatnya. Ingin rasanya ia mengatakan bahwa ia begitu menaruh simpati padanya, serta menceriterakan bagaimana perasaannya dulu, kala ditinggal Wardah pindah sekolah. Ingin rasanya ia mencurahkan segala rindu-dendam yang sempat terkubur bertahun-tahun yang tiba-tiba kini kembali bergelora bagai alunan gelombang samudra.


Kala acara telah usai Fahri mengantarnya hingga di halaman sekolah. Dari arah kanan tiba-tiba datang sebuah mobil sedan menepi, lalu dengan mengucapkan salam pada Fahri Wardah menuju mobil itu, ‘assalamualaikum Fahri, sampai jumpa’, ucapnya. Fahri hanya tertegun, bertepatan saat itu datang seorang kawannya menyapa Fahri, ‘apa kabar Fahri’, sapanya. Lalu ia bertanya pada Fahri apakah ia sudah dapat undangan dari Wardah. Tentu Fahri berupaya tidak menunjukkan sikap sejatinya, yang tiba-tiba menjadi gugup atas pertanyaan kawannya, Fahri hanya menjawab, ‘tidak’. Lalu temannya itu bilang bahwa Wardah akan bertunangan dalam minggu ini, orang tuanya telah menjodohkan dengan seorang menejer muda sebuah Bank di Surabaya.


Keesokan harinya Wardah ke rumah Fahri menyampaikan undangan, ya…, hanya menyampaikan undangan saja, sebab masih ada beberapa undangan untuk kawan-kawan sekelas di SMPnya dulu yang berasal dari Kecamatan Tambak. Sebagai seorang wanita yang berperasaan halus, ditambah sifat kedewasaannya, Wardah seakan mampu menyelami lubuk hati Fahri, Wardah tersenyum dengan kulum senyumnya nan indah, Wardah menyalami Fahri, dengan canggung Fahri mengulurkan tangnnya, rona mukanya memerah, entah tak tahu apa yang harus diucapkannya. Sikap canggung melanda dua belia yang saling dirundung kenangan masa lalunya kala dua hati dililit cinta pertama yang ternyata tiada pernah tersampaikan. Tiba-tiba wajah Wardah pun turut merona, memerah, dan ia serasa ingin menangis atau berlari ke mobil dan menghempaskan dirinya, namun ia segera sadar bahwa tak lama lagi sebentuk cincin akan melingkar di jari manisnya sebagai pertanda ikatan suci akan segera menyusulnya. Suara wardah memecah keheningan di tengah kecanggunagan itu, ia berkata pelan, seakan berbisik, ‘jodoh di tangan Tuhan Fahri…, aku menunggu undanganmu, sebagaimana aku mengundangmu di saat ini..., aku berharaap engkau dapat hadir di malam pertunanganku, aku berharap doamu Fahri…’, dan dengan lembut ia berucap salam, ‘assalamualaikum Fahri…, aku berharap kehadiranmu’, lalu Wardah melanjutkan perjalanannya. Fahri paham, ya…, jodoh di tangan Tuhan. Dengan gontai Wardah melangkah meninggalkan Fahri, dan selang beberapa langkah kemudian ia bergumam seorang diri, 'sejujurnya harus aku akui, bahwa engkau adalah cinta pertamaku Fahri'. Wardah masuk mobil, lalu dengan perlahan mobil bergerak, melaju, dan terus melaju meninggalkan Fahri dalam pelukan desa yang damai.

DI TEPIAN SWAN RIVER

Oleh: A. Fuad Usfa

Pada cerita ini juga menggambarkan akan realitas bahwa keturunan orang Boyan telah melakukan perbauran darah lintas ras, baik dengan ras Caucasoid, Nigroid, termasuk Australoid serta Mongoloid dan percabangan dari semua itu.


Di tengah malam buta, di lereng gunung Panderman lahirlah seorang anak laki-laki, suara tangis melengking di tengah keheningan malam. Ibu anak itu bernama Fauziyah, yang ia pahami kata itu bermakna kemenangan, tapi ia tak tahu persis maknanya, hanya yang ia tahu kedua orang tuanya berkata begitu. Fauziyah tersenyum, sambil bergumam dalam hati, ‘Fauziyah…, di tengah malam ini, terimakasih ayah, terimakasih ibu, nama yang engkau berikan terbukti di malam ini, aku memperoleh kemenangan ayah, aku memperoleh kemenangan ibu…’. Fauziyah merasakan seperti itu di saat kehadiran sang anak, keturunan sang permata hati.

Suami Fauziyah bernama Salim, orang-orang memanggilnya pak Salim, ia bersujud syukur begitu bidan memberitahukan, bahwa putranya telah lahir dengan selamat. Pak Salim pun berperasaan sama dengan istrinya, ia berterimakasih pada ke dua orang tuanya, karena merasakan nama yang diberikannya dirasa terbukti di tengah malam buta itu. Pak Salim merasa sejahtera oleh sebab apa yang didambakannya telah terkabul jua.

Tujuh hari telah berlalu, keluarga dan tetangga berdatangan hadir di rumah yang sederhana itu. Mereka datang memenuhi undangan haqiqah dan pemberian nama sang bayi. Hidangannya sederhana, sebab keluarga itu tergolong tidak mampu. Namun, walau dari keluarga tidak mampu, keluarga pak Salim dikenal sebagai keluarga yang baik, namanya harum di kampungnya.


Pak ustad yang rumahnya bersebelahan dengan pak Salim bertanya pada pak Salim, ‘Apa sudah siap dengan nama si kecil pak Salim…?, tanyanya. ‘Sudah pak ustad…,’ ujarnya. ‘Apa namanya…?’ Sambung pak ustad. ‘Gamal pak ustad…,’jawab pak Salim pula. Nama itu diambilnya, karena kata temannya yang alumni Pondok Modern Gontor, gamal itu bermakna sempurna.

Lima hari sebelum acara, pak Salim bertukar pikiran dengan istri yang dicintainya itu, ‘Ma…’, katanya, ‘bagaimana kalau anak kita diberi nama Gamal ma…” lanjutnya, lalu pak Salim menceriterakan panjang lebar alasan pengambilan nama itu. Istrinya yang murah senyum itu bukan main setujunya, lalu ia berkata pada suaminya, ‘saya sangat setuju pa…’, ujarnya, ‘setuju sekali, sebab kali ini kita sudah sempurna pa…’ lanjutnya, lalu ia berdiri menghampiri suami yang dicintainya itu dan mencium keningnya, seraya berkata, ‘kita telah sempurna pa…’. Ia girang sekali, dan wajahnya yang tak pernah nampak murung itu, semakin cerah.

Sebelum acara dimulai, di putarnya lagu-lagu padang pasir dari tape recorder yang sudah tua ‘warisan’ dari orang tua pak Salim, dan orang-orang sekitar sama paham kalau pak Salim sedari kecil dulu menyukai lagu berirama padang pasir. Alunan lagu dari Amal Razak, Sarah, Sama’, yang dari Syiria itu sampai Mesir dan Indonesia diputarnya. Istri pak Salim tak pernah usil dengan kesukaan suaminya, dan memang ia adalah istri yang penuh pengertian.


*

Lima tahun telah berlalu, Gamal di sekolahkan di Sekolah Taman Kanak-kanak di kampungnya. Suatu ketika, di desanya ditempati mahasiswa KKN, diantaranya ada yang bernama Zakiyah. Suatu saat Zakiyah ijin pulang selama satu hari-satu malam untuk menghadiri upacara pernikahan kakak kandungnya. Sekembalinya dari pulang itu ia membawakan oleh-oleh istimewa untuk Gamal, yaitu sepasang sepatu cat, celana pendek dan t’shirt merk Puma. Alangkah senang hati pak Salim dan istrinya, maka itu serta-merta istri pak Salim memanggil Gamal. ‘Gamal…’ ujarnya, ‘mari sini nak…’ lanjutnya. ‘Ini mbak Zakiayah nak…, ujarnya. Suaranya yang lembut itu seakan mengenalkan Gamal dengan Zakiyah, lalu ujarnya pula, ‘kamu dikasih pakaian bagus nak…, tapi hati-hati ya memakainya…’ lanjutnya. Dari raut mukanya Gamal kelihatan amat senang , bukan karena pakaian itu bermerek bagus, yang tentu saja ia tidak tahu tentang itu, tapi oleh sebab sepatu yang dipakainya selama ini sudah sobek, sedang baju dan celananyapun tidak ada yang bagus. Kemudian istri pak Salim berkata pula pada anak yang dicintainya itu, ‘Coba, bilang apa nak pada mbak…?’. Dengan malu-malu Gamal berkata, ‘Terimakasih mbak…’, katanya. Kebaikan hati Zakiyah itu dikenangnya terus hingga ia dewasa. Sesekali ia ingin berjumpa dengan mbak Zakiyah yang baik hati itu, tapi ia tak tahu, di mana gerangan berada.


*

Dua puluh tiga tahun kini usia Gamal, ia dosen di sebuah Perguruan Tinggi ternama di Kota Malang. Di saat ia masih SMU ia sudah punya cita-cita untuk jadi dosen. Sejak masa itu pula hingga tamat Perguruan Tinggi Gamal hanya mengandalkan dari bea siswa. Pada waktu di Perguruan Tinggi Gamal terpaksa kost, sedang bea siswa yang diterimanya tidak banyak, maka itu Gamal mesti pandai-pandai menyiasati, misalnya, ia kost di tempat yang paling murah, pakaian ala kadarnya, kadang makan dua kali saja sehari. Di samping itu, untuk mengatasi kekurangannya ia menawarkan diri untuk mengajar privat mengaji dan Bahasa Inggris anak orang berpunya. Orang tuanya tentu tidak mampu, apa lagi Gamal masih mempunyai dua orang adik yang selisih umurnya 7 dan 10 tahun di bawah Gamal yang justru memerlukankan bantuan darinya jua.

Satu tahun ia jadi dosen, ia dapat bea siswa untuk melanjutkan studi ke Australia, tepatnya di Murdoch University Australia Barat. Tentu Gamal sangat senang, dan ia menyampaikan berita itu pada ayah, ibu dan adik-adiknya, bukan main rasa syukur dari mereka. Air mata pak Salim serta istrinya jatuh berderai karena haru.

Melalui internet Gamal mempunyai kenalan di Australia, ia sedang studi tingkat akhir under graduate di University of Western Australia, dari situ pula Gamal mengenal nama gadis itu, yaitu Anni Frank.

Sebelum berangkat ke Australia, Gamal harus mendalami bahasa. Ia di kursuskan di ALFa Bali. Di situ ia mengenal masyarakat dan budaya baru, hari-hari ritual keagamaan, janur dan sesajen di berbagai tempat hingga kemana kaki melangkah di situ kan didapati, pohon-pohon besar dengan lilitan kain berblok hitam-putih, aroma dupa dan kemenyan dihantar sang bayu ke segala penjuru, upacara ngaben (kremasi) yang di dahului dengan arak-arakan besar, pakaian-pakaian adat dipakai orang sehari-hari, ukir-ukiran dan lukisan di jumpai di mana-mana, pura dan tempat-tempat pemujaan di seantero negeri, Gamal benar-benar merasakan sesuatu yang baru. Suatu senja Gamal duduk sendirian di alun-alun Puputan, ia merenung, kemudian bergumam lirih, ‘Agama Hindu telah menggerakkan semua ini…’, gumamnya.


Di Bali Gamal tinggal di Ceruring, tidak jauh dari tempat kursus, hanya lima menit berjalan kaki. Di tempat kursus itu ia bisa buka komputer untuk mengetik tugas-tugas, buka internet dan hiburan. Dari situ pula ia bisa kontak dengan Anni Frank.

Tibalah pada tanggal keberangkatan, yaitu pada tanggal 1 di bulan Oktober, melalui Bandar Udara Internasional Ngurah Rai Bali ia berangkat. Lebih-kurang tiga jam setengah perjalanan ditempuhnya, dan Anni Frank menjemputnya di Bandar Udara Internasional Perth, kala itu udara sejuk dan nyaman, kala itu sudah memasuki musim bunga.
Anni Frank sudah di Bandara 15 menit sebelumnya, yang sesekali melihat jadwal ketibaan untuk memastikan tibanya pesawat Qantas dari Bali.


Dua insan yang berbeda kewarga negaraan itu sudah saling bejanji untuk bertemu di bandar udara Internasional Perth, sebelumnya mereka sudah saling mengirim kalungan bunga imitasi, tidak besar hanya sekedar nampak saja. Gamal membelinya di Bali waktu mengikuti kursus, sedang Anni membelinya di Adelaide waktu ia berlibur di sana. Kalung itu dipakainya masing-masing untuk saling mengenal. Gamal mengirim untaian bunga yang didominasi warna pink, kendatipun tiada diperjanjikan, entah mengapa Anni pun juga dengan dominasi warna yang sama.


Tiga puluh menit kemudian Gamal telah di pintu keluar bandara , namun, alangkah kagetnya ia tatkala melihat untaian bunga sebagai dikirimnya itu nampak dipakai sang nenek tua. ‘Aduh.., mati aku’, bisiknya dalam hati. Di tengah kekagetan itu tiba-tiba menuju ke arahnya, seorang dara semampai, dengan tinggi kira-kira 165 Cm, berambut pirang keemasan yang ditutupi dengan scarf tipis ala India, bentuk wajahnya bulat telur, hidungnya mancung, kedua pipinya kemerah-merahan, mengenakan kacamata hitam, senyumnya tersungging dengan lesung pipit menghias di kedua belah pipinya, sedang seuntai kalung melingkar manis di lehernya. Gamal tertegun, sungguh ia tidak mengira kalau ternyata gadis yang ia kenal adalah gadis nan sangat cantik jelita. Ke dua insan muda belia bertemu dalam suka, sejenak berbincang dan kemudian mereka menuju ke tempat parkir. Di kejauhan Nampak sebuah sedan Holden warna hitam. Ke situlah dua insan itu mengarah. ‘Kita naik mobil hitam, yang berada di antara dua mobil putih itu’, ujar Anni. ‘Apakah engkau tahu yang aku maksud?!’, tanya Anni untuk memastikan. Gamal tidak tahu, maka itu ia bertanya, ‘yang mana ya…?’, kata Gamal. ‘Itu…, di pojok itu antara dua mobil putih’, jawab Anni seraya menunjuk kearah mobil itu yang seakan mamamerkan lentik jemari indahnyanya. ‘Mobil itu dari orang tuaku, mereka menghadiahkan untukku’ lanjutnya. ‘Orang tua ku berharap aku bisa sukses dalam studi’, lanjutnya lagi.


Setelah semua barang dikemas dalam bagasi, kedua insan masuk dalam mobil hitam buatan Australia itu dan meluncur menyusuri jalan yang Gamal tidak tahu kearah mana ia bergerak. Mobil meluncur dengan mulus membelah bayu, sesekali melintasi bulatan yang disebut roundabout, kemudian memotong perempatan Tonkin Highway, sedang kedua insan muda berbincang sambil bersenda gurau, bagai telah lama bersahabat laiknya.


Tidak terasa kini posisi mereka telah berada di pusat Kota Perth, Gamal mencoba mengingat keadaan daerah yang baru dilaluinya, dari Bandara hingga pusat kota. Terlintas dalam benaknya, ‘benar kata dosenku dulu, demikian bisik hatinya, semua tertata rapih, bersih, dihiasi pepohonan, taman-taman dengan padang rumput terhampar luas, bunga-bunga dengan segala warna bermekaran dari yang besar hingga yang paling kecil sekecil mata jarum, bermacam jenis burung beterbangan dengan amannya, kendaraan pun berjalan beratur rapih bagai laskar berbaris. Saat itu Gamal teringat apa yang diajarkan ustadz kala ia duduk di bangku madrasah, ‘sesungguhnya Allah mencintai keindahan, sesungguhnya Allah mencintai kebersihan, kebersihan sebagian dari pada iman, sesungguhnya Islam adalah rahmat bagi seluruh alam’. Lalu ia bertanya dalam hatinya, inikah Islam?. Saat pertanyaan itu terbersit dalam hati Gamal, tiba-tiba suara Anni mengagetkannya, ‘mengapa diam?’, tanyanya, dan tanpa menunggu jawaban dari Gamal, Ani melanjutkan, ‘kita berhenti di sini dulu, kita masuk gedung parkir ini’, katanya sambil membelokkan mobilnya ke gerbang CPP di Pier Street pusat kota Perth. ‘Kita mesti makan dulu, di pusat kota ini ada Restoran Indonesia, aku suka masakannya, mudah-mudahan engkau suka, aku harap selera kita sama’ lanjutnya. Kemudian kedua insan saling bertatapan dan mereka saling tersenyum, senyuman yang indah. Selepas itu Anni mengantar Gamal ke tempat di mana ia harus tinggal, dan Anni kembali ke rumahnya.


*

Malam pertama Gamal di pondokan, pikirannya terpecah, antara ingat ke dua orang tua dan adik-adiknya di kampung, dan bayang-bayang dara jelita Anni Frank. Saat itu tiba-tiba muncul rasa kecut, kecut kalau-kalau telah jatuh cinta pada Anni. ‘Ah…, mengapa aku GR’, pikirnya. Tiba-tiba pula terbersit dalam ingatannya, berapa banyak gadis yang menaruh simpati padanya, ada yang mula-mula beralasan meminjam buku, ada yang minta antar pulang waktu usai acara di kampus, ada pula yang lucu rasanya, yaitu pura-pura terkilir pergelangan kakinya saat kemping perpisahan di SMUnya dulu, ada pula yang secara gamblang nembak langsung dengan menyatakan cintanya. Bukannya Gamal hendak menolak semua itu, tentu tidak, apalagi mereka itu gadis-gadis yang aduhai. Sebagai anak muda, tentu gelombang cinta sering berkecamuk dalam sanubarinya, kadang tak tertahankan, hingga hampir menenggelamkan biduk asmara dalam gelora. Terlalu berat beban yang harus ditanggung di pundaknya, dia harus berjuang untuk kesuksesan dirinya, dia pun harus memikul beban tanggung jawab akan cita-cita kedua adiknya.

Saat hari ke-tiga Gamal di Australia, di lepas senja, ia dapat SMS dari Anni, isinya, ‘Abang Gamal, aku senang sekali bisa bersua dengan abang, bang Gamal begitu simpatik. Dari Anni.’ Gamal tidak tahu bagaimana ia harus membalasnya. ‘Mengapa kini Ani menyebut kata abang?, mengapa pula gaya bahasanya selalu seperti orang timur?’, demikian bisik hatinya.

Tibalah pada hari ke tujuh Gamal di Australia, kala itu bertepatan dengan hari Minggu, Gamal duduk di tepi Swan River, airnya jernih, sedikit bergelombang, di kejauhan nampak orang main sky air, udara cerah, kala itu jam enam pagi, sang surya sudah mulai beranjak naik, Gamal duduk seorang diri, entah apa yang ada dalam benaknya. Persis di depannya datang burung camar berenang menghampiri, tatapan mata Gamal mengikut arah gerak burung camar itu. Tiba-tiba Gamal dikejutkan dengan dering HP yang serta merta segera diangkatnya. ‘Ah…, E-mail dari Anni’ bisiknya. Dalam e-mail itu Anni menulis, ‘Abang Gamal…, apa kabar?, aku harap s’lalu dalam baik dan dalam rakhmat Allah. Abang Gamal…, kemaren lausa aku ke Brisbane, abangku meminta aku bisa hadir dalam acara yang diadakannya. Bang…, sebetulnya aku ingin mengajak abang, sekalian bisa makan angin serta bisa kenal dengan abangku itu, bahkan juga dengan ayah dan ibuku, tapi sayang tiket hanya tinggal satu saja. Kini aku telah kembali di Perth, sebab besok ada acara di kampus. Sampai di situ Gamal berhenti membacanya, seakan ia tak percaya kalau e-mail itu dari Anni. Kemudian dibacanya lebih lanjut lagi, ‘Oh iya bang …, kemaren aku sempat berbincang santai di verendah masjid bersama ayah, ibu serta abangku, angin sepoi-sepoi nan sejuk dan nyaman bagai mengipasi kemesraan kami sekeluarga. Bang Gamal…, Ibuku berdarah campuran antara Prancis dan Turki, ayahku keturunan orang Boyan. Sehari-hari aku dipanggil Anni Frank, sesungguhnya namaku Annisa’ Farah Nabhan Kadir, disingkat Anni Frank’. Sampai di situ, tak terasa HP Gamal terjatuh, dia merasa akan realitas dirinya yang padanya juga masih mengalir darah Boyan, dan saat itu pula seakan tampak Anni berdiri di sampingnya, Gamal berdiri dan dengan lirih menyapa, tapi…, Ani tak ada…, dengan pelan, seirama desir angin Gamal memanggilnya, kala itu melintas seorang kakek tua yang duduk di kursi roda, kulitnya putih, bersih, hidung mancung, rambutnya tertata rapih dengan warna gray karena uban, ia menyapa Gamal, ‘hai anak muda…, ada apa gerangan…?’, sapanya, kakek itu menyapa sambil tersenyum seraya berkata lagi, ‘semasa masih muda dulu aku pun sama dengan engkau anak muda…, saat aku jatuh cinta…’. Kakek itu melanjutkan lagi, ‘ Allah menciptakan hati dengan hiasan yang paling indah, yaitu cinta wahai anak muda…’. Saat itu Gamal tersadar, ia mencari HP dalam genggamanya, ‘ah…, terjatuh’, bisiknya., orang tua itu terdiam sejenak. Demi mendengar kata Allah disebut orang tua itu Gamal bertanya singkat, ‘apakah anda muslim?’, ‘ya…, aku muslim’, jawabnya, ‘aku dari Libanon, aku datang ke sini di saat berkecamuk perang saudara yang bermula di tahun 1975, setidaknya hingga lima belas tahun perang itu berkecamuk, mereka saling membunuh sesama, sesama muslim pun saling membunuh, orang-orang tak berdosa, orang-orang ‘suci’ pun tak terkecuali, jadi korban…, terbunuh…, aku tak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah, tiada tertapis antara nafsu dan kesucian, di mana peradaban…?, yang nyata mereka telah berteriak dengan lantang di berbagai sudut, sehingga rasanya sampai tak ada ruang bagiku untuk berdiri, mereka berteriak, berteriak dan terus berteriak, kata mereka aku yang benaar…, aku yang benar….’, lalu orang tua itu menyampaikan salam, ‘assalamualaikum anak muda…,’ kemudia ia berlalu. Gamal terpaku, ‘ ya…, membunuh…’, bisiknya. Saat itu Gamal teringat pula akan tragedi di padang Karbela, di tahun 61H, Husain, cucu Rasulullah SAW, yang amat dicintai oleh Rasulullah SAW, jantung hati dan biji mata Rasulullah SAW, tapi, saat itu, di padang Karbela, beliau menjadi korban pembantaian…, kebiadaban…, kepala beliau yang selalu sujud kepada Allah Ilahi Rabbi dipenggal dan dihinakan di telapak kaki dan ujung tongkat Yazid bin Muawiyah, lengking tangis Zainab memenuhi bumi, hingga terasa mengatasi ruang dan waktu, lagi-lagi noda sejarah kemanusiaan yang tak terperikan. Lalu dengan lirih Gamal bertanya, ‘ya…, kata pak tua, membunuh, sesama, sesama muslim pun, membunuh…, membunuh…, mengapa semua itu terjadi…, mengapa?’ , pertanyaan itu dijawabnya sendiri, dengan jawaban singkat, hanya dua kata, ‘syahwat politik’. Gamal menoleh pada orang tua tadi, tapi, entah ke mana gerangan…




*


Ah…’, terdengar desah Gamal, lalu ia merebahkan dirinya di hamparan rumput nan hijau, dua tapak tangannya menyangga kepalanya, tatapannya menuju ke langit, dan membayangkan kedamaian sejati di keteduhan langit dengan awan putih berarak, di kepak burung camar, dalam desir angin semilir, dan dalam kulum senyum Anni Frank, ya…, ternyata persis disisi kanannya Anni Frank duduk berlutut, yang dengan lembut menyapa Gamal serta mengembangkan senyum indahnya.
THE HAUNTED WINDOW


Oleh: Alba Ahmad


(Student of Gosnells Primary School)



Our family was moving to anew house today, a two storey house. I went upstairs to see my room and all my gear were there. My brother’s room right next to my room and my parent’s room were down stairs.

The next day I woke up and looked outside. It was a nice cold Friday morning. I went outside then looked at the garden, the flowers were pretty.“MUM!” Kev cried as loud as if the thunder were going to kill us all. Mum went upstairs to get him, while dad went to the bathroom to have a nice warm bath. It was 12:05 pm and everybody was having fun outside but not later on that night. I tried to sleep but I kept seeing a shadow whenever I closed the window, I opened the window but I couldn’t see anyone or anything outside, except for the trees, so I went back to bad and hoped it was just a dream.


In the morning I wake my mum and dad up, I told them about what happened last night but they wouldn’t believe me. I walked outside of the house and there it was, I saw it again! That shadow that I had seen last night were there, in the sunshine where ghost/ shadows shouldn’t exist.“MUM! DAD!” I screamed. Mum and dad came running to me.“It’s the shadow I had seen last night,” I told them but they wouldn’t believe me.“There’s no such thing,” dad answered.“B…B…B…But I sa…,” I started to say but then mum interrupted me.“Your dad’s right, honey, there’s no such thing.”“Mum!” I started complaining but then my dad pushed me towards the car. On the way to the shopping centre I saw the shadow again but this time it was outside the car window and it’s following dad’s car. I was going to tell mum and dad but they wouldn’t believe me anyway.


The next week I could still see that shadow but no one would believe me. I called my best friend, Jenny and she didn’t believe it either, instead she laugh.“Why won’t anyone believe me?” I told Jenny on the phone“Because there is no such thing,” Jenny answered back, snickering trying not to laugh,“I can hear you, you know,” I continued talking.


The next week I told my mum to stay with me for the night and she said yes. Luckily she saw the shadow and told dad. Dad stayed with me the next night and he believed me too. My brother saw it too and so did Jenny, my best friend. Jenny saw it when she had a sleepover at my house.


We moved house the next month. Nothing was that scary anymore at night. I was happy and so was everyone else. My dad found out who the ghost probably was. It was the first people who lived there, the whole family had been murdered in the house and it was a kid. They closed down the house so it won’t scare another family.“I’m so glad we moved house and we’re sorry that we didn’t believe you, Jas,” dad told me as he walked up to me and put his arm around my shoulders.“It’s okay dad, I’m just glad that you guys saw it and believed me at the end,” I answered looking grumpy. Everyone was happy about this new house and the best thing is that it doesn’t have any ghost.


TWO LITTLE AUSTRALIANS
Oleh: Alba Ahmad
(Student of Gosnells Primary School)

In the country side, there live a brother and sister, their name was Thomas and Stefani. They’re always polite, kind and generous. They lived with their father and mother. One day their father was sick and they helped their mother to take care of their father. Every week Stefani help her mother making sure her father have been taking care of properly and have been taking his medicines and Thomas help his mother by making sure his father had enough water in the morning, afternoon, evening till night."Will father be alright?" asked Stefani, her mother sigh and looked at both Thomas and Stefani,'Well........., just as long as we take care of him properly he might be alright." their mother answered, Thomas and Stefani looked down on their feet and their mother gave them a huge hug."I'll make sure he'll be alright, ok.


"The next morning Thomas took his father water bottle and filled it up with water and Stefani waited patiently until her brother come back with a water bottle filled with water and until her father finish his breakfast so that he can take his medicine. Their father smiled at his two children and his wife then drank the medicine.


In the afternoon they all went to father's bedroom and found that he was asleep,"Father, I’m sorry to have to wake you up but it's time for you to take your medicine," Stefani said but her father won't wake up."Mum..." stammered Stefani, her mother hugged her and Thomas called the ambulance. WIUW WIUW, the siren of the ambulance went, they were on the way to the hospital. In the hospital they all waited patiently for the doctor. About fifteen minute later the doctor came,"Is he alright doctor?" asked Thomas"How is he doing?" asked their mother"Is he okay?" asked Stefani, apparently the doctor shook his head and said,"I'm very sorry but we just can't do anything about it. It isn't your fault though, you guys took care of him very kindly and you called us as soon as you knew he wouldn't wake up and didn't brief."Their mother had a watery eyes and one tear fell on Stefani's hair,"Oh mother, it's alright, we did try our best," said Stefani, even though that she said that she was also crying."Oh, thank you dear, I love you guys, and you know that right," sobbed their mother.A few weeks later they continued having their happy life but they were also a little sad by the reminder of their father. The bedroom was their treasured, they loved it very much and some of father's clothes were given to the donation but some were kept as their treasured. They still laughed together, cry together and always make sure they were always staying together.



IYEM
Oleh: Aba



Kemaren pagi, bertepatan dengan tanggal 21 Mei 2010, kawanku asal Meddle east, tepatnya Libanon, namanya adalah Nadiyah, ia bilang, ‘Ahmed, hari ini akan hujan, serta mendung seharian’. Betul, hari kemaren hujan dan mendung seharian. Hari ini adalah hari Sabtu, hari off kerja bagi kami, seandainya hari ini aku bertemu Nadiyah, aku akan bilang, ‘Nadiyah…, hari inipun weather seperti kemaren, hujan dan mendung seharian’. Sore hari ini aku duduk sendirian di balik jendela kaca transparan di sebuah unit usaha di Cecil Avenue, di kawasan Carousel; di luar angin bertiup kencang menerpa pepohonan, daun-daunnya berkaparan meliuk-liuk dipermainkan sang bayu, biasalah musim gugur dari tahun ke tahun seperti ini. Hari ini udara tidak seberapa dingin, hingga aku merasa tidak perlu memakai mantel. Aku menatap ke luar, aku membayangkan akan nasib si Aminah, si Iyem, si bibik, atau entah siapa lagi lah nama-nama yang bisa kita sebut, yang kata orang mereka itu adalah pahlawan devisa, mereka adalah TKW. Aduh…, apa pula hubungannya Nadiyah, hujan, mendung serta musim gugur yang senyatanya terjadi dengan TKW dalam tulisan fiksiku ini?!!!. Aku hanya membayangkan di kala aku membaca berbagai media di negeriku, tentang gugur dan gugurnya TKW kita, aku telusur irama suara sang bayu, mereka gugur begitu saja tanpa ada perlindungan dari sang penguasa, yang paling banter adalah saling mencari si kambing hitam, dan selepas dari itu masa akan menghapus ingatan kita, si kambing hitam dan sang penguasa telah cuci tangan, bersih dan tetap memainkan tarian.


*


Nadiyah…, hari ini masih juga hujan dan mendung menyelimuti kawasan Perth dan sekitarnya. Demi cinta negeriku, aku hanya berkata dalam hati dan tak mungkin berkata padamu, di negeriku pun mendung dan hujan, yaitu mendung dan hujan dalam teriknya mentari dan cerahnya cuaca, yaitu mendung kesedihan dan hujan tangisan rakyat jelata yang menyabung nasib tanpa hirau akan ada jaminan perlindungan ataukah tidak.


*


Iyem adalah salahsatu TKW kita, ia berasal dari tanah Jawa yang subur, yang penduduknya embludek tanpa mampu diimbangi oleh Pulau-pulau lain di negeriku, termasuk pulau Sumatera yang besar. Pembangunan terpusat di tanah itu, uang dan sentra-sentra usaha melimpah pula. Tak adakah upaya untuk membangun kantong-kantong yang berimbang?!, ataukah kerena khawatir kalau Daerah-daerah bisa Berjaya lalu mereka minta merdeka?!, maka menjajah mereka, atau dalam bahasa halusnya menciptakan ketergantungan adalah merupakan jalan terbaik bagi kejayaan sang penguasa pusat dan sang demang di daerah. Memang kawasan lain telah memuntahkan hasil perut buminya, namun sayang bagai tiada perputaran uang di tanah itu. Namun begitu bukanlah bermakna penduduk di tanah Jawa telah menikmati kemakmuran; tidak…, jutaan ummat hidup dililit kemiskinan, bahkan di bawah ambang batas.


*


Iyem adalah dara nan cantik jelita, kulitnya putih bersih, berambut ikal bag mayang mengurai, hidungnya mancung, senyumnya menawan. Iyem adalah gadis yang cerdas, selalu bintang kelas sedari TK hingga SMU, medali penghargaan selalu digondolnya. Mestinya Iyem layak menjadi apa yang disebut mahasiswa, namun apa daya orang tua Iyem tidak mampu memikul beaya untuk penyandangan status mahasiswa itu. Iyem sempat nganggur beberapa saat, hingga kemudian datang calo TKW menawarkan sejuta harapan. Siapa tidak tertarik dengan gaji tiga juta limaratus ribu rupiah per bulan?!!!. ‘Gaji segitu itu bersih lho Iyem…!!, sudah dipotong tax dan lain-lain tetek-bengek…!!’, demikian kata sang calo. ‘Terimakasih mas…, aku masih mau mikir dulu mas…’, jawab Iyem. ‘Apa lagi yang mau dipikir…?!!, ini kesempatan baik lho Iyem…, kerja di sini paling-paling enam ratus ribu rupuah sebulan…, belum lagi dipotong transport, belum juga baksonya, dan lain-lain lagi lho Iyem…!!!’, demikian crocos sang calo. ‘Iya…, iya…, tapi Iyem mesti mikir dulu la mas…, kasih aja Iyem nomor HP mas, entar Iyem hubungi bila emang Iyem Okay…’, jawab Iyem dengan suaranya nan lembut. Lalu sang calo memberinya kartu nama.Satu bulan kemudian Iyem memutuskan untuk ikut ambil bagian dalam bursa pahlawan devisa. Pelatihan tetek-bengek telah ia lalui, hingga tiba saat keberangkatan. Bersama kawan seangkatan ia melalui Bandara Juanda Surabaya menuju suatu destinasi, lalu ke tempat penampungan. Ternyata banyak kawan seperjuangan yang sedang antri di penampungan itu, tak kurang pula yang merasa putus asa, tapi apa mau dikata.


*

Sampailah Iyem di negeri orang. Ternyata iyem masih mesti menunggu panggilan sang calon majikan, oleh sebab itu ia mesti ditampung dulu dengan menumpang di rumah sang agen, paspor harus diserahkan di tangan sang agen…, aduh…, ia mesti bekerja pula di rumah sang agen, dan aduhai tanpa bayaran apapun. Siang dan malam ia bekerja. Saat itu terasalah bahwa sentuhan kekejaman telah menyapa dirinya. Lalu terbayanglah segala kekejaman sang majikan, penyiksaan demi penyiksaan yang pernah ia baca di berbagai media di Negara tercinta saat ia belum berangkat dulu, benar-benar membayanginya.


*


Berita baru telah mengantar Iyem pada babak baru dalam arung nasib kehidupan saat ia dapat panggilan sang majikan, yang selanjutnya, entahlah…, mengapa nasib mujur benar tiada berpihak padanya, ia tak habis pikir merenung nasibnya, ‘salah dosa apakah yang telah aku perbuat hingga nasibku begini?, apakah kurang baktiku pada kedua orang tua?, apakah kurang sujudku pada Ilahi Rabbi?, selama ini aku pikir aku selalu hidup lurus, jangankan melakukan kesalahan besar, atas kesalahan kecil saja hatiku berontak tak karuan. Kini aku tak mampu bergerak selain atas ketentuan majikan, hendak sujud pada Tuhan saja harus mencuri-curi…, aduhai, mengapa nasibku jadi begini…, aku pasrah padaMu ya Tuhan…!!!’. Iyem betul-betul tiada tahan akan tindihan nasib yang menimpanya.


*


Kini Iyem telah beberapa bulan jadi jongos sang majikan, Iyem benar-benar berhadapan dengan raksasa kesombongan, celakanya lagi dollar atau ringgit atau real ataukah apa namanya, ya…, pokoknya upahlah tak pernah ia sentuh, tentu dengan berbagai alasan, sudah jatuh tertimpa tangga. Adapun tenaganya terus terkuras dan terkuras, ia betul-betul lelah, lelah lahir-batin, dan tak ada tempat mengadu.


*


Iyem bekerja tanpa batas waktu yang jelas, ia bekerja hingga larut malam, dan harus bangun jam tiga dini hari. Kali ini Iyem betul-betul amat lelah, malam ini majikannya mengadakan pesta, tak seperti biasanya, hingga jam satu dini hari ia baru selesai kemas, dan langsung masuk bilik dalam kelelahan. Serta-merta disandarkan kepalanya pada bantal yang sudah kempes, air matanya tak mengalir lagi karena mungkin telah habis terkuras, kemudian syuuur bagai melayang-layang; dan, sang majikan datang dengan senyum menawan, aduhai…, ia datang dengan penuh kelembutan, lalu ia berkata bahwa hendaknya Iyem bekerja sebagaimana layaknya orang bekerja, dengan waktu dan job yang jelas, sang majikan mengatakan juga bahwa penguasa negerinya (Indonesia) telah mengeluarkan kebijakan kesepakatan perlindungan yang disebutnya ala Pancasila, ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’ serta ‘KeTuhanan Yang Maha Esa’ tidak hanya simbol semata, melainkan merasuk dalam jiwa dan mengejawantah dalam aksi sorgawi di alam kiprah duniawi. Dengan pasti sang majikan menerangkan panjang-lebar. Setelah ia menerangkan panjang-lebar itu sang majikan mengajak Iyem berlibur ke Singapore. Tentu Iyem tertarik, oleh sebab itu setujulah Iyem akan kebaikan hati sang majikan.Iyem berkemas saat itu juga, lalu menuju bandara Internasional, kemudian tibalah mereka di Singapore, dan sesampainya di Singapore itu, alangkah terkejutnya ia, ternyata Alwi, sang kekasihnya telah menjemput di Bandara Internasional Changi. Alwi adalah salah seorang TKL alias Tenaga Kerja Laki-laki di Singapore, ia bekerja pada salah-satu keluarga yang masih keluarga majikan Iyem. Semasa di sekolah dulu Alwi adalah termasuk anak yang cerdas, ia kakak kelas Iyem, kini Alwi beruntung sebab disamping sebagai TKL ia juga bisa melanjutkan studi di Universitas terkemuka, majikannyalah yang memperjuangkan Alwi. Alwi menceriterakan segala pengalaman indahnya pada Iyem, Alwipun mengajak Iyem jalan-jalan ke pulau Sentosa. Mereka menuju pulau sentosa dengan naik kereta gantung (cable car); hari itu udara cerah, secerah hati mereka, di bawahnya air selat begitu tenang, kapal-kapal berlabuh dan melintas, pulau Santosa begitu hijau dan menawan hati. Alangkah kagummnya mereka, pemerintah Singapore telah betul-betul membangun negerinya dengan benar-benar terencana secara baik, demikian bisik kalbunya, lalu pikirannya menerawang pada perjalanan sejarah, terlintaslah nama Thomas Stamford B Reffles sang peletak paradigma. Selanjutnya mereka berkeliling pulau Santosa dengan naik bis, tentu free alias gratis, lalu bercengkrama di pantai, menikmati atraksi lumba-lumba, hingga berkelana di alam aquarium raksasa; mereka bagai menyelam dalam laut, berkawan dengan hiu yang ternyata begitu jinaknya, suatu keajaiban terjadi, Iyem bagaikan dapat menangkap pembicaraan ikan-ikan di situ. Seekor ikan raksasa seakan berkata, ‘nikmatilah hidup wahai sang pecinta…, tebarkan senyum, sebab hidup terlalu singkat’, ikan-ikan kecil seakan bersorak-sorai, lalu seekor kuda laut seakan berpekik, ‘hidup keutamaan…, hidup kemulyaan…, enyahlah kesombongan…, sungguh seandainya kesombongan itu adalah mahluk hidup, tentu telah kubunuh engkau…!’, setakat itu melintaslah pula seekor ikan raksasa seraya berujar, ‘tahukah engkau wahai kuda laut?!, bahwa kesombongan tak ada makna di hadapan Tuhan…’, lalu sang kuda laut yang kecil itu bergendong di punggungnya, dan meluncur bersamanya. Dengan manja Iyem memeluk Alwi seraya berujar dengan mesra, ‘wahai sayang…, peluklah aku sayang…, aku sangat cinta padamu…’, namun Alwi yang santri itu berujar, ‘sabarlah sayang, tunggulah suatu ketika, hingga masanya Tuhan mempertemukan jiwa dan raga kita dalam ikatan suami-istri’. Selepas kata itu diucapkan, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras yang disusul dengan hiruk-pikuk, lalu tangisan pilu, pada mulanya satu, lalu dua, kemudian seisi rumah, Iyem kaget, lalu mengusap kedua belah matanya, dan menyebut nama Allah, kini ia sadar bahwa ia baru saja tenggelam dalam mimpi. Demi didengar hiruk-pikuk itulah dengan pelan Iyem membuka pintu kamarnya, lalu, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…, majikannya telah dipanggil menghadap ke hadhiratNya, oleh sebab serangan jantung. Sosok raga pucat pasi telah terbujur kaku persis di depan pintu kamar Iyem. Tiada terasa air mata Iyem menggenang, menutup selaput matanya, lalu menetes deras. Iyem turut menangis, menangisi kepergian tuannya, dalam ketidak pastian nasib dirinya.



Suplement:
ANZAC DAY MEANS TO ME
Digubah Oleh: Alba Ahmad
(Student of Gosnells Primary School)
Dibacakan Saat Hari Peringatan ANZAC Day 2010

Many men stood up to fight, in Australia
For the first time men were fighting under the Australian flag at Gallipoli
Where they earned the name ‘ANZAC’
They showed teamwork, mateship and courage;

The soldiers fought in all types of conditions and weather
Many of them died during the conflict
Others had terrible wounds and many were permanently disfigured
They were proud to help our country and others;

Today, they sell poppies and remind us of their sacrifice
Soldiers still go off to fight for peace, in our world
Will wars never end?!!!

---------
Nama Asli/Lengkap Penulis:
Aba : Ahmad Fuad Usfa Osman Farouq
Alba Ahmad : Alba Fathiya Natasha Ahmad Fuad Usfa

HAL PENULIS:

Aba, Kelahiran Kotakusuma Sangkapura Bawean Kabupaten Gresik Jawa Timur, Domisili saat ini di Gosnells Western Australia, sebelumnya berdomisili di Kota Malang dan Kota Batu Malang selama tiga puluh tahun.
Alba Ahmad, Student of Gosnells Primary School. Hobbi barunya bermain dengan kucing kesayangannya.

CERITA BERSAMBUNG

LATIFAH-ABDULLAH
ASAM GARAM DI PULAU IMPI
Oleh: A. Fuad Usfa

Kisah ini hanyalah khayalan penulis,
bilamana terdapat perkenaan ataupun persinggungan
dengan apa dan/atau sesiapapun sungguh di luar
kesengajaan, maka dengan yang demikian itu penulis mohon maaf dan maklum adanya.
Kemudian daripada itu perlu penulis sampaikan bahwa tulisan ini telah pernah dimuat di Media Bawean.


Dari kejauhan nampak ombak memutih menghempas karang dam, semilir angin pegunungan sayup-sayup sampai, udara cerah, sinar sang surya yang mula beranjak naik telah menambah kesegaran di pagi itu, betapa agungnya Tuhan yang telah menciptakan alam semesta ini. Latifah duduk termenung, matanya yang indah dengan kelopaknya yang merekah menatap jauh hingga ke laut lepas, sesekali ia melirik kearah Pulau Selayar yang sebagian pesisirnya telah dirancang bagai bayang-bayang Pulau Sentosa di Negara kota Singapore. Entah mengapa Latifah tiada tertarik akan keindahan alam tetumbuhan yang subur menghijau, garis jalan raya yang melingkar di berbagai sudut kota kecamatan Sangkapura dengan tatanan paving yang ala Dataran Merdeka Kuala Lumpur, dengan alun-alun yang bagaikan tailalat menghias di wajah perawan. Tak biasanya si dara jelita itu berlaku seperti itu, ia dikenal sebagai gadis yang periang dan peramah, tapi kali ini, di teras bagunan ‘Ongguna Ye’ nan indah rupawan yang berdiri tegar di puncak Gunung Malokok, di tengah ramainya anak-anak balita bermain bersama orang tua merekapun tiada mengusik perhatiannya.

Kehadiran Latifah si bidadari sorgawi di gedung ‘Ongguna Ye’ itu untuk memenuhi undangan pihak Kecamatan dalam rangka menyambut kehadiran rombongan bapak Pimpinan dari pusat Kota Gresik. Latifah yang gadis aktifis di sekolahnya memang mempunyai keunggulan sebagai pembawa acara (MC), ia pernah menjuarai lomba MC se Kabupaten, suaranya yang merdu bag bulu perindu, dengan penampilan yang simpatik serta akhlak budi pekerti dalam tingkah pola dan tutur katanya telah membikin banyak orang terkesima, belum lagi ayu parasnya yang bagaikan bulan purnama tersumbul di atas awan.

*

Sementara Latifah tengah termenung di teras gedung ‘Ongguna Ye’, di Pelabuhan Gresik hiruk pikuk orang yang hendak menuju Pulau Bawean. Kala itu kapal telah bersandar, dan di tengah kumpulan orang-orang itu terdapat seorang anak muda asal Surabaya, wajahnya tampan, keteduhan terpancar di raut wajah serta dalam sikapnya, ia sendirian, tiada berkawan; pemuda itu bernama Abdullah.

Di sebelah kanan Abdullah terdapat beberapa orang asik berbincang tentang Pulau Bawean, tentang keindahannya, tentang keramahan penduduknya, dan berbagai hal yang menarik. Abdullah hanya mendengar saja akan perbincangan itu, ia pikir lumayan untuk tambahan informasi oleh sebab ia baru pertama kali ini hendak menginjakkan kaki di pulau sang Axis Kuhlii. Diantara pembicaraannya ia berujar: ‘Pulau Bawean itu amat menarik lho…, ia merupakan kawasan wisata andalan Kabupaten Gresik, coba bayangkan, di situ ada gunung berderet dan bahkan berjubel, ada pantai, taman-taman laut, sungai, air terjun, danau, bukit dan curah sangat kondusif untuk bumi perkemahan yang menawan, juga menjadi bumi petualangan sang pecinta alam, semua pulau-pulau kecil di sekitarnya dikemas dengan kemasan menarik semisal wisata arung, selam, pancing…(--tiba-tiba seseorang di sebelahnya menyelai: ‘cari kepiting…’, yang disertai gelak tawa yang lain--). Kemudian orang tadi melanjutkan percakapannya dengan penuh antusias lagi: ‘coba kalau kita bandingkan dengan kawasan wisata di Jawa Daratan, tidak ada kawasan wisata yang memiliki sedemikian komplit obyek, paling gunung saja atau pantai saja, iya khan…?!!, iya khan…?!!. Kalau di Jakarta orang-orang telah menjadikan Pulau Seribu sebagai kawasan wisata setelah ‘jenuh’ dengan alam pegunungan di Puncak, kini saatnya orang-orang Surabaya dan sekitarnya –-khususnya lho…!!’-- berpaling ke Pulau Bawean!!’. Lalu seseorang lagi diantaranya tak mau kalah antusiasnya, ia menimpali: ‘ Bahkan saya sudah mulai mencoba menanamkan modal kecil-kecilan di sektor kerajinan tangan, yaitu anyaman tikar, ya…, saya desain macam-macam barang seperti tas, sajadah, berbagai model kopiah dan lain-lain dengan anyaman yang halus, lebih halus dari yang tradisional lho…, batu onix, garmen untuk baju kurung dan teluk belanga, serta tenunan songket yang saya rancang bermotifkan anyaman tikar Bawean serta ‘odeng’ untuk acara-acara seremonial seperti resepsi perkawinan, pencak silat dan lain-lain. Untuk itu saya sudah mempelajari adat tradisi orang Bawean masa-masa lalu yang kemudian dikemas dengan kolaborasi kontemporer dan tentu saya mesti bekerjasama dengan orang-orang Bawean yang peduli terhadap budayanya. Oh iya, di kawasan wisata Batu Malang saya membuka showroom yang saya kasih nama “Bawean Art”. Perbincangan itu terus berkembang hingga ada pengumuman bahwa para penumpang kapal dipersilahkan untuk naik ke atas kapal.

Bapak Pimpinan beserta rombongan naik kapal dengan antri bersama penumpang lainnya serta tidak menampakkan jati dirinya. Bapak Pimpinan memang sengaja tidak memberitahukan kunjungannya ke khalayak ramai melainkan hanya pada orang-orang tertentu saja yang terkait dengan kehadirannya. Waktu mengadakan rapat bersama stafnya, salah seorang staf yang sedang duduk disebelahnya berbisik pada bapak Pimpinan: ‘apa tidak diberitahukan ke khalayak ramai bapak?, sehingga nantinya kita dijemput oleh rakyat beramai-ramai di dermaga termasuk anak-anak sekolah bapak?’ ujarnya; dengan nada tidak senang bapak Pimpinan balik berbisik dengan nada meninggi: ‘kita ini Pimpinan tahu…!!, bukan artis..!!, apalagi mengapa rakyat mesti harus selalu melayani kita, direpotkan kita, sementara kita belum bisa melayani mereka dengan baik…??!!’. Namun sang staf yang sok terhormat itu masih ngotot juga: ‘mereka senang kok bapak…’; bapak Pimpinan hanya melirik sinis saja dan tak memperdulikan si staf.

*

Di gedung ‘Ongguna Ye’ Latifah telah menyiapkan apa yang mesti ia lakukan, Panitia sudah memberitahukan tentang agenda acara yang telah final setelah terdapat perubahan berkali-kali, maka itu gladi resik sudah bisa dimulai.

Sebagaimana biasa, rombongan akan singgah di Pendopo Kawedanan yang terletak di sebelah Alun-alun Kota Kecamatan Sangkapura, di situ akan diadakan sambutan Selamat Datang, yang tentu tiada kan lupa suguhan Pencak Silat ‘Selamat Datang’ (yang dirancang oleh para pendekar se Pulau Bawean setelah terlebih dahulu mengadakan Sarasehan dan Lokakarya. Pencak Silat ‘Selamat Datang’ tersebut untuk menyambut kehadiran orang-orang penting). Selepas itu rombongan akan bertolak menuju ‘Ongguna Ye’, dan acara pertama diadakan di Aula ‘Ongguna Ye’, dilanjutkan dengan acara rapat Pimpinan khusus di Ruang Pertemuan Terbatas ‘Ongguna Ye’. Setelah acara resmi telah rampung mereka akan mencoba melihat bentangan alam sekitar melalui teropong pembesar yang dibuat bagai di Menara Kuala Lumpur (KL Tower). Setelah acara di ‘Ongguna Ye’ semua rampung rombongan akan menuju Gedung ‘ La Tao Ye’ di puncak Gunung Totogi dengan naik Kereta Gantung (cable car) dari Stasiun Kereta Gantung ‘Ongguna Ye’ ke Stasiun Kereta Gantung ‘La Tao Ye’, di situ rombongan akan melakukan peninjauan Musium Sejarah ‘la Tao Ye’ yang terletak di Gedung ‘La Tao Ye I’ di bagian puncak, serta Gedung Kesenian ‘La Tao Ye’ yang terletak di Gedung ‘La Tao Ye II’ pada bagian lereng sebelah timur yang dilengkapi pula dengan panggung-panggung alam terbuka, sedang akses jalan dibangun dari berbagai penjuru.

Lingkungan dijaga sedemikian rupa untuk menghindari kelongsoran, dan untuk itu tentu ditangani akhli, sehingga alam lingkungan sekitar Gunung Malokok dan Gunung Totogi sedari puncak hingga ke lereng serta sungai menjadi kawasan hutan lindung dan taman yang menarik. Pemakaman rapih dan bersih, sehingga peziarahpun jadi senang.

Seharian bapak Pimpinan beserta rombongan di Pulau Bawean, termasuk meresmikan jalan lingkar Kota Kecamatan Tambak yang dikerjakan beberapa tahap, dan saat ini peresmian tahap akhir serta yang juga dipaving ala Dataran Merdeka Kuala Lumpur seperti halnya jalan lingkar Kota Kecamatan Sangkapura. Setelah semua agenda acara telah rampung, dengan senyuman nan indah bapak Pimpinan yang piawai menggaet investor itu beserta rombongan kembali dengan menumpang pesawat udara dari Bandar udara Bawean. Sayonara. Selamat jalan bapak, sampai jumpa lagi, kami selalu merindukanmu.

*
Sesampainya di dermaga Sangkapura Abdullah mencegat taxi untuk diantar ke Gunung Teguh dan mencari motel tempat menginap. Abdullah bertanya pada pak sopir, ‘di Gunung Teguh dan sekitar terdapat berapa motel pak?’, tanyanya, ‘oh setahu saya lebih dari sepuluh mas’, jawab pak sopir, ‘saya tolong diantar ke sana pak ya…’, lanjut Abdullah, ‘boleh mas, nanti mas boleh milih, di situ ada yang sekalian ada cottagenya mas, kalau mau mas bisa sewa cottage, hanya saja tarifnya lebih mahalan dikit, namanya Motel & Cottage Salsabilah’, ujar pak sopir, ‘bangunannya didesain dalam bentuk tradisional mas, semua motel di situ didesain tradisional memang, oh iya…, ini saya bawa beberapa brosur untuk motel-motel di situ, termasuk Salsabilah mas’, lanjut pak sopir sambil memberikan beberapa brosur. Setelah membolak-balik brosur itu Abdullah tertarik pada cottage, ‘oh ini saja pak, Cottage, nampaknya lebih menarik dan prevasi khan pak…?!!, kata Abdullah pada pak sopir, ‘baik mas…’, ujar pak sopir, ‘berapa lama mas menginap di situ?, tanya pak sopir usil, ‘tergantung sih pak…, maunya sih satu bulan, mau menikmati udara gunung yang asri di pulau ini pak…, itung-itung rekreasi batin sih…, habis di kota jenuh sih…, sumpek pak…’, kata Abdullah sambil nyengar-nyengir. ‘O…, gitu mas ya…, manusia serba susah mas ya…, mas bilang di kota jenuhlah, sumpek…, pingin menikmati desa, padahal saya sih hidup di sini rasanya bosan mas…, saaapiiii…!!’, ujar pak sopir sambil bercanda; mendengar kata sapi, Abdullah jadi bertanya, ‘sapi apa pak?’, ‘maksud saya sepi mas…, maaf saya hanya bercanda’, ‘oh bapak ini suka bercanda juga ya..?, bagus pak, bercanda itu sehat…, itung-itung juga ngilangin stres khan pak…?’, ujar Abdullah. Tak terasa texi telah sampai di depan Cottage. ‘Telah sampai mas…’, kata pak sopir, ‘oh…, tak terasa, habis bapaknya terlalu ramah sih…, okay pak…, dan berapa pak ongkosnya…?’, ujar Abdullah. Setelah membayar ongkos, Abdullah turun dan menuju ke resepsionis.

*

Motel & Cottage Salasabilah dibangun diatas tanah yang tidak seberapa luas, namun penataannya amat bagus, di halaman depan pojok kanan ditanam pohon pandan yang ditata rapih, maksudnya untuk mengenalkan bahwa dari daun pandan itulah tikar Bawean dibuat, persis di halaman tengah terdapat dzurung kuno dan terdapat pula beberapa dzurung kecil ukuran 1,5 X 2 m2, dzurung-dzurung itu tempat tamu-tamu bersantai sambil memesan makan-minum lesehan, sering juga digunakan untuk rapat bapak-ibu kantoran, LSM sampai dengan perkumpulan olahraga dan selainnya. Menariknya lagi, tiap-tiap dzurung itu diberi nama berganti-ganti sesuai tema, misalnya tema Negara, maka masing-masing dzurung punya nama Negara, seperti Malaysia, Argentina dan lain sebagainya beserta beberapa uraian singkat, seperti ibu kotanya, populasinya dan lain sebagainya serta dipasang di sebuah bingkai yang menarik. Tiap minggu tema-tema itu diganti, maka sang pemilik harus kreatif. Juga menariknya di setiap malam bulan purnama semua lampu di luar dimatikan sehingga dapat menikmati cahaya purnama sambil bersantai duduk di dzurung.

*
Motel & Cottage Salsabilah adalah milik mak Bilah, yang nama lengkapnya Salsabilah Shaleh Khafi.

*

Pada hari pertama itu Abdullah memutuskan untuk tidak ke mana-mana, ia pikir biar rehat aja. Sekitar jam 3 sore mak Bilah lagi duduk di dzurung Canada (tema Negara), Abdullah datang menghampiri seraya menyapa dengan salam, ‘assalamualaikum mak…’, sapa Abdullah, ‘wa alaikum salam’, jawab mak Bilah, ‘ai…, nak Abdullah…’, lanjut mak Bilah, ‘lagi santai mak…?’ tanya Abdullah iseng, ‘iya nak Abdullah…’, jawab mak Bilah. Sesungguhnya kehadiran Abdullah telah mengganggu asyik-masyuknya mak Bilah yang sedang melamunkan anaknya, yaitu Latifah si mata wayang yang mungkin baru usai acara bersama rombongan bapak pimpinan di kota Kecamatan Tambak, namun Abdullah tentu tidak tahu itu semua. Walau begitu mak Bilah mesti bersikap seramah mungkin pada tamunya. ‘apa acara nak Abdullah hari ini dan bagaimana kesan nak Abdullah di pulau kami ini?’, tanya mak Bilah sok usil, dan Abdullah menjawab bahwa hari ini ia belum ke mana-mana, dan baru menikmati suasana sekitar ini saja, ia katakan masih ingin rehat dulu, dan menceriterakan tentang senangnya suasana baru di balik gunung Malokok dengan perkampungan yang damai, bentangan sawah dengan padi yang mulai menguning serta juga sempat mengintip luas lautan di arah selatan sana, ‘yah…, belum kemana-mana mak…, hanya mutar-mutar sekitar sini aja…’, ujar Abdullah. Perbincangan berlanjut antara sang tamu dan sang pemilik hingga tak terasa satu jam telah berlalu dan mak Bilah harus mohon diri oleh sebab tamu baru datang. ‘Ada tamu nak Abdullah, mak layan tamu dulu ya…’ kata mak Bilah mohon diri, ‘baik mak…’, timpal Abdullah.

*

Mak Bilah memang asli kampung itu, liku-liku hidupnya telah ia lalui, pernah pula keputus asaan menyapa diri mak Bilah, dikala suatu ketika, di masa remaja dulu, kala panah asmara menikam di jantung hatinya. Memang acap kali dalam hidup, kita tak mampu memilih, tiba-tiba sesuatu menjelma. Cintapun demikian, ia selalu hadir tanpa diundang, demikian pula dengan kisah cinta-kasih mak Bilah, dalam kemalangan justru ia mendapatkan cinta, dan cinta itu pula yang sempat membawanya dalam kemalangan.

*

Suatu masa yang telah berlalu, Salsabilah adalah mahasiswi di sebuah Perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, semester I, II, III, dan IV telah dilalui, keadaan ekonomi orang tua Salsabilah yang pas-pasan telah mengantar ia pada posisi sulit, tatkala tiba suatu saat harus membayar uang kontrakan tempat kos, orang tua Salsabilah dengan terpaksa dan dengan diam-diam pinjam uang pada orang kaya di sebrang desa, tiba saat janji akan membayar, orang tua Salsabilah belum juga ada uang, sedang sebidang tanahnya yang hendak dijual belum juga ada orang yang berminat. Saat itu Salsabilah sedang pulang kampung dalam liburan semester. Suatu sore, di kala Salsabilah sedang berbaring di kamarnya terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya, lalu pak Saleh (ayah Salsabilah) membukakan pintu, ‘assalamualaikum pak Saleh..’ sapa sang tamu, ‘wa alaikum salam…’, jawab pak Saleh, ‘ai…, pak Jun…, silahkan masuk pak Jun…’, pinta pak saleh dengan ramah. Namun pak Junnaidi yang biasa dipanggil pak Jun itu tak berkenan masuk, oleh sebab masih ada keperluan lain, katanya, ia hanya berbicara di pintu saja, ‘begini pak Saleh…, bagaimana dengan hutang pak Saleh…, bila tidak mampu membayar pangkalnya, bayar saja bunganya dulu’, demikian perkataan pak Jun yang langsung menohok tanpa basa-basi. Betapa kagetnya pak Saleh, mengapa tidak?, oleh sebab pak Jun bicara bunga, bila pula diperjanjikan?, namun pak Saleh tak mau memperdebatkannya, dipikir lebih baik mengalah saja, lalu ia berujar, ‘kami mohon maaf yang sebesar-besarnya pak Jun…, hari ini kami belum ada uang pak…, kami masih akan jual tanah…, beri saya waktu dan kami akan melunasi bila tanah telah laku…’ pinta pak Saleh, namun tanpa basa-basi pak Jun langsung menimpali, ‘makanya kalau tidak punya uang jangan berani-beraninya nyekolahkan anak, emangnya uang orang mau bikin bayarin…’, sergahnya dan langsung pergi begitu saja. Salsabilah mendengar dengan jelas perbincangan itu, dan ia tak dapat berbuat apa-apa, hanya air maata yang tiba-tiba membasahi bantal yang dalam dekapannya. Semalaman Salsabilah sulit tidur, hanya sekejap saja sempat tertidur lalu terbangun dan langsung shalat tahajjud, malam itu pula Salsabilah memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, dan ingin bekerja saja untuk membantu kedua orang tuanya, ia menyesali mengapa telah membikin kedua orang tua yang amat dicintainya itu berada pada posisi sulit dan terhinakan di mata seorang rentenir.

Pagi hari sekira jam 8.30 Salsabilah berangkat menuju sebuah toko milik seorang kaya bernama aba Ayyas, saat itu aba Ayyas baru saja membuka tokonya. ‘Assalamualaikum aba…’, sapa Salsabilah dengan salam, ‘wa alaikum salam…’, jawab aba Ayyas, ‘apa kabar nak…, apa perlu sesuatu…?’, tanya aba Ayyas. Dengan terbata-bata Salsabilah mengatakan pada aba Ayyas, bahwa kedatangannya bermaksud minta tolong pada aba Ayyas. Demi mendengar yang demikian itu aba Ayyas mempersilahkan Salsabilah duduk. Di situ kedua makhluk Allah itu berbicara serius yang intinya Salsabilah memohon untuk dapatnya bekerja di toko aba Ayyas, sedang gaji (--sejumlah utang ayahnya kepada pak Jun--) dimohon dapatnya diberikan di muka, Salsabilah hanya bilang ada perlu saja dan tentu tidak bilang kalau hendak bayar utang. Aba Ayyas bilang bahwa kedatangan Salsabilah adalah tepat waktu, sebab aba Ayyas memang memerlukan tenaga untuk membantu di tokonya, serta tidak keberatan dengan apa yang diharapkan Salsabilah. Betapa senang hati Salsabilah, ingin rasanya ia berteriak dan segera berlari menjumpai kedua orang tuanya, tapi tentu tidak mungkin ia melakukan itu. Salsabilah menangis, aba Ayyas tak tahu harus berbuat apa, aba Ayyas tertegun terheran-heran, lalu bertanya, ‘mengapa nak…?!!, ada apa nak…?!!, mengapa engkau menangis nak…?!!’, tanya aba Ayyas bertubi-tubi, dan sambil terisak Salsabilah hanya menjawab ‘terimakasih aba…, terimakasih’, jawabnya.
*
Sampai saat pembayaran gaji tiba, aba Ayyas ketepatan ada di Surabaya, maka anaknya yang bernama Abbas yang mewakilinya, lalu disisihkanlah uang gaji buat Salsabilah, dan Salsabilah bilang kalau uang gaji selama sekian bulan telah diterima di muka, maka itu Abbas tidak jadi menerimakan. Pada sore harinya aba Ayyas menelpon Abbas dan pada saat itu Abbas menceriterakan tentang gaji Salsabilah, aba Ayyas bilang bahwa uang yang diterimakan kepada Salsabilah dimaksud adalah bukan uang gaji, uang itu dari aba Ayyas untuk membantu kesulitan yang dialami keluarga Salsabilah, maka tiap bulan aba Ayyas akan tetap membayar gaji buat Salsabilah. Aba Ayyas memutuskan untuk membantu kesulitan keluarga Salsabilah sebab ia mendengar kabar dari tetangga Salsabilah bahwa pak Jun ada marah-marah pada pak Saleh waktu menagih utang atau bunga, dan tetangga juga sama dengar, demi yang demikian itu aba Ayyas mengira-ngira sendiri bahwa nampaknya uang gaji yang diminta di muka oleh Salsabilah adalah untuk membayar hutang tersebut, tapi aba Ayyas tidak berkata tentang itu pada Abbas, sebab aba Ayyas selalu menghindari dari sifat riya’ dan itu pula yang diajarkan pada segenap keluarganya.

Selepas maghrib Abbas pergi ke rumah Salsabilah, dan waktu itu Salsabilah baru pulang dari langgar, ia memakai baju kurung warna hijau lumut bermotif kembang-kembang. Sungguh saat itu Abbas begitu tertegun nampak penampilan Salsabilah yang begitu anggun, bibirnya yang merah bagai permata rubi dalam imajinasi Syaikh Nizami, dengan kulitnya yang putih bagai salju terpercik di sela dedaunan dalam sorot cahaya lampu mobil Abbas. Abbas turun dan menyapanya, namun Abbas teragak canggung, dengan salam yang agak kecanggungan itu Abbas menyapa Salsabilah, ‘assalamualaikum Bilah…’, sapanya, ‘wa alaikum salam…’, jawabnya, ‘ai…bang Abbas…’, lanjutnya penuh heran. Salsabilah sungguh merasa terheran-heran mengapa Abbas tiba-tiba datang bertandang ke rumahnya, lalu dengan bingung karena tak tahu apa yang harus dikatakan Salsabilah serta merta mempersilahkan Abbas untuk masuk, ‘silahkan masuk bang Abbas…, silahkan masuk bang…’ pintanya dengan penuh hormat, ‘terimakasih Bilah’, jawab Abbas. Dengan senag hati Abbas masuk ke ruang tamu rumah Salsabilah yang diterangi listrik 60 wat. Sesuatu yang lain tiba-tiba dirasakan Abbas, Abbas merasakan adanya suasana romantis di ruang itu, terasa kedatangannya seperti suasana apel wakuncar, entah makhluk apa gerangan yang telah melintas sehingga suasana di ruang itu betut-betul terasa romantis. Memang kala itu Salsabilah amatlah anggun, diliriknya jemari Salasabilah yang putih dan indah dengan seuntai cincin bermata merah delima melingkar di jari manisnya. Sejenak pula terjadi kebisuan di antara mereka. Sebetulnya Salsabilah telah lama terpikat akan ketampanan Abbas yang masih berdarah arab Hadramout itu, namun perasaan itu dikuburnya oleh sebab ia pikir jauh panggang daripada api, tapi kali ini terasa sulit untuk mengelak, hatinya berdegup, dalam hati Salsabilah bertanya-tanya pula mengapa Abbas tiba-tiba datang…, ada apa gerangan…, ataukah apel…?, ah…, tidak…, tidak mungkin…!!, pertanyaan itu dibuatnya sendiri serta dijawaabnya sendiri pula. Dengan gugup suara Salsabilah memecah keheningan, ‘maaf bang…, bang Abbas minum apa…?, teh atau kopi…?’, tanya Salsabilah; Abbas yang punya selera humor itu tercetus pula candanya, ia pikir sekali gus untuk mencoba menutupi kecanggungannya, dengan senyum simpul dan dengan mata mencuri pandang pada beberapa helai rambut yang menjuntai dari balik kerudung tepat bagai membelah pipi Salsabilah, Abbas berujar ‘teh…, kopi…, apa tak ada yang lainnya lagi Bilah…?!’, Salsabilah jadi merasa bingung dengan jawaban Abbas, ‘Oh…, maklumlah kami hidup pas-pasan bang…’, jawabnya, tapi aduh…!!, dengan jawaban itu Salsabilah malah makin salah tingkah, mengapa ia menjawab sekasar itu?, ia menyesal sekali dengan jawabannya itu, mengapa begitu gugup hingga tak disadarinya ia berkata kasar justru pada orang yang amat dikaguminya?, di tengah kegalauan itu dengan kalem Abbas berujar ‘misalnya air putih Bilah…, sebab aku lebih suka air putih lho…’ ujarnya; Salsabilah benar-benar jadi serba canggung, ‘baik bang…’ jawabnya. Waduh…, 1:0 buat bang Abbas, pikir Salsabilah. Untuk menutupi perasaannya serta merta Salsabilah pergi ke dapur dan kembali dengan segelas air mineral, di suguhinya pula dodol, wajik serta gegerit buatan ibunya. Suasana sudah mulai terasa mencair, kekakuan sudah beringsut lentur, dua remaja sudah mulai bisa menguasai diri. ‘Silahkan bang…’, pinta Salsabilah, semua kue itu makku yang bikin’ lanjutnya. ‘Oh…, mak pandai bikin kue ya…?’ tanya Abbas, ‘iya dong…, makku pandai bikin kue, lagi pula hobbi sih…’ jawab Salsabilah, ‘tapi air putihnya mana…?!, Abbas sudah mulai mengeluarkan candanya, ‘itu khan bang…’ jawab Salsabilah; ‘bukan…, bukan…, itu bukan air putih…, itu khan air bening…’ sergah Abbas, Salsabilah jadi canggung lagi, tapi lagi-lagi Abbas segera mencairkan suasana, ia berujar ‘aku hanya bercanda Bilah…’ ujarnya sambil tertawa, dan Salsabilah pun ikut tertawa, ya…, tertawa riang…, dan dua remaja yang bagai lopak-lopak kalaben todungnga itu tenggelam dalam suasana ceria.

Dalam kesempatan itu pula Abbas menyampaikan uang gaji Salsabilah, yang dengan berat hati uang gaji itu diterima Salsabilah setelah Abbas berupaya meyakinkan bahwa abanya akan amat suka hati bila Salsabilah mau menerimanya, dan sebaliknya akan kecewa hati bilamana Salsabilah enggan menerimanya.

Kebaikan hati hadir dalam diri insan, tiada memandang akan suku, bangsa, ras, ataupun keyakinannya, tiada memandang kecantikan ataupun ketampanan, demikian pula dengan keburukan hati. Acap kita dapati betapa orang jauh yang tiada kita kenal sekalipun telah menberi manfaat bagi kita, sementara orang yang dekat, baik satu keyakinan, satu ras, satu suku, satu negri, satu desa, satu kampung, bahkan sedarah sekalipun justru dapat menaburkan duka. Hati bersemayam dalam dada, tersembunyi, tiada cahaya dapat menembusnya, hitam dan pekat kemerahan warna padanya, namun bila ia baik maka ia dapat menyinari kegelapan yang tergelap sekalipun, lebih kuat daripada cahaya matahari di musim kemarau, ia pun akan mampu menghamparkan permadani putih berkilauan, lebih putih dari hamparan salju, namun bila ia jahat semua cahaya kan tertutupi, bagai malam kelam menutupi segala cahaya, ia pun akan mampu menghamparkan lumpur yang penuh onak dan duri.

Salsabilah telah beruntung mendapat kenal dengan Abbas dan keluarganya yang mulya hati itu, orang bijak tentu akan bilang kebaikan tak dapat diukur dengan tampakan kasap mata, tak selalu yang indah di mata itu baik, pun tak selalu yang buruk di mata itu buruk, ada kala yang indah di mata itu justu menyimpan keburukan di baliknya, bagai pesona gunung yang nampak menawan, namun bersemayam didalamnya segala binatang buas dan berbisa, di selain dari itu, tiada jarang yang indah di kasap mata, dan padanya pula menyimpan keindahan di baliknya, bagai sebuah istana yang memikat di luar dan memikat pula di dalamnya. Tersebut terakhir itulah perumpamaan Salsabilah dan pula Abbas.

*
(BERSAMBUNG)

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...