Thursday, September 29, 2011

PENGEMBANGAN KOTA SATELIT DI PULAU BAWEAN

(Ajuan Wacana Kosepsi Dasar Sebagai Alternatif)



Oleh: Aba



Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Media Bawean 26 September 2011





Kota


Kota merupakan pusat berbagai aktifitas. Sebagai pusat, kota menjadi segala tumpuhan harapan perkembangan segala aktifitas manusia. Kota telah menjadi pusat acuan, dan mobilitas masyarakat perkotaan lebih tinggi daripada masyarakat pedesaan. Orang desa yang mobilitasnya tinggi tentu tak lain adalah produk atau manakala telah bersinergi dengaan dunia perkotaan, biasanya mereka menjadi agen produk perkotaan di desanya. Arus kemajuan teknologi telah berperan mempersempit jarak antara dunia perkotaan dan pedesaan, bahkan di beberapa Negara telah meleburnya. Manakala mobilitas masyarakat tinggi, maka kreatifitas akan menjadi tinggi pula, dengan demikian arus pembaharuan dan perubahan akan menjadi tinggi pula. Berbagai fasilitas akan lebih mudah dijumpai di kota, oleh sebab prioritas pembangunan akan dimulai dari kota untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat, hal tersebut disebabkan tuntutan masyarakat perkotaan lebih kompleks dan lebih mobil daripada masyarakat pedesaan.



Pada mulanya kota adalah merupakan pusat pemerintahan, lembaga-lembaga pendidikan pun dibangun untuk melayani kebutuhan terhadap tenaga birokrasi, dengan demikian kota menjadi pusat tumpuhan perhatian masyarakat, seiring dengan itu mobilitas masyarakat pun menyertai, maka itu sektor bisnis berkembang pula untuk melayani kebutuhan mereka. Ketinggian mobilitas, taraf hidup, gaya hidup, status sosial dan sebagainya telah begitu beragam yang lebih menghendaki berbagai pilihan atas barang dan jasa, sehingga dengan demikian pasar terbentuk dengan sendirinya. Selanjutnya keberadaan pasar itu sendiri telah menjadi obyek bisnis pula, maka dibangunlah pasar sebagai pusat perbenjaan hingga pada tingkat pasar-pasar modern.



Pusat perkotaan terbentuk di kawasan strategis, demikian pula berbagai lembaga yang terdapat di dalamnya, seperti perkantoran, pendidikan, transportasi, pasar, dan sebagainya.



Sebagai pusat, kota didatangi orang dari segala penjuru dan lapisaan, baik dari dalam maupun luar daerah dan luar negreri, dari kalangan intelektual, pemilik modal, buruh, seniman, beragam budaya dan keyakinan, dan sebainya, maka itulah kota lebih dinamik daripada desa. Sebagai konsekwensi dari semua itu maka dengan sendirinya uang akan lebih banyak berputar di kota yang dapat memicu kemajuan di segala bidang. Diantara dampak yang paling dirasakan pula adalah tingginya tingkat populasi, shingga tak jarang kota dirasakan tidak lagi memberi kenyamaanan sebagai tempat pemukiman, rumah berdempetan, bahkan di berbagai kawasan terdapat pemukiman kumuh ataupun gelandangan yang bertahan untuk hidup (survival), sementara kawasan luar perkotaan tetap dalam keadaan lengang.



Kota Satelit


Dalam suatu kawasan terdapat kota utama yang disebut Ibu Kota. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kota telah menjadi tempat penumpukan populasi dari segala penjuru dan lapisan, modal, teknologi, dan sebagainya, manakala hal tersebut terkonsentrasi pada satu kawasan, maka akan terjadilah kesenjangan, bahkan kesenjangan yang luar biasa, misalnya sebagaimana yang dapat kita perhatikan untuk kawasan pulau Bawean. Untuk menghindari atau menekan kondisi tersebut maka perlu dilakukan pemecahan pusat konsentrasi, yaitu bisa dengan membangun kota-kota kecil yang menyerupai kota utama, sehingga dengan demikian konsentrasi tingkat populasi, perputaran uang, teknologi, dan sebagainya bisa terbagi dan tersebar ke berbaggai kawasan. Kota-kota tersebut bisa disebut sebagai kota satelit. Kota satelit akan bisa terbentuk dan berkembang dengan baik manakala sarana dan prasarana tersiap dengan baik serta tangan-tangan birokrasi pusat atau kota utama bisa bekerja di daerah, utamanya dalam perkara-perkara teknis, yaitu dengan memberikan kewenangan seluas mungkin. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa bagian terbesar masyarakat kita akan berpendapat bahwa hal seperti itu adalah suatu otopia bagi kita, wallahu a’lam, penulis berpendapat, terlebih dahulu kita harus membangun krangka dasar yang prospektif untuk mengembangkan krangka teknis yang berkemajuan, oleh sebab kita tidak akan bisa membangun krangka teknis yang mumpuni atas krangka dasar yang rapuh. Undanmg-undang Otonomi Daerah tinggal sisa-sisa puing; dipegangnya tongkat kepemimpinan oleh orang-orang lama (paradigma lama) telah menyurutkan cita-cita reformasi yang telah menelan banyak korban, namun demikian kita mesti tetap bergerak ke depan, karena itu adalah keniscayaan.



Bawean dan Gresik Daratan


Bawean adalah bagian dari Kabupaten Gresik, pada masa lalu sebagai daerah Kawedanan. Bawean terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Tambak. Kecamatan-kecamatan itu sama statusnya dengan yang terdapat di wilayah Gresik daratan. Sebagaimana kita tahu, bahwa Bawean adalah sebuah pulau yang letaknya berjauhan dengan Gresik daratan, terpisahkan oleh bentangan Laut Jawa dengan kondisi alam yang tidak menentu, oleh sebab itu tentu tidak adillah manakala keberadaan Bawean di setarakan dengan wilayah Kecamatan di Gresik daratan. Bawean mesti diarahkan pada status istimewa, otonom, maka harus lebih terkonsentrasi pada pembinaan daerah yang lebih mandiri. Untuk menuju kearah itu maka kita tidak bisa berpegang pada kanter retorika Bawean adalah daerah rendah potensi dalam meraup Pendapatan Asli Daerah sebagaimana realitas saat ini, sementara arah pada pengembangan Bawean secara mandiri tidak terbuka. Ketergantungan Bawean pada Gresik daratan begitu kuat, hingga pada skala administrasi kita hampir tidak bisa berbuat apa-apa, sampai pada pembuatan Kartu Tanda penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) begitu kuatnya ketergantungan itu, belum lagi Surat Ijin mengemudi (SIM), Surat Tanda Naik Kendaraan (STNK), dan sebagainya, yang seharusnya sudah mampu menangani sendiri. Belum pula yang berkenaan dengan lembaga peradilan umum, rumah sakit yang representatif, pusat-pusat perbelajaan modern, dan sebagainya. Hubungan pusat kabupaten dan pulau Bawean teramat senjang, sebagai illustrasi penulis gambarkan, sampai-sampai bila ada rombongan (istilah kita) dari Kabupaten disambutnya secara berlebihan, padahal itu hanyalah suatu tugas kerja yang biasa-biasa saja. Tidak adanya kepanjangan tangan dari Kabupaten yang bisa berkomunikasi langsung dengan lembaga-lembaga formal, non formal dan rakyat di Bawean, semakin menambah kuatnya ketergantungan itu.



Alternatif


Orientasi pengembangan kota satelit di pulau Bawean adalah suatu bayangan pusat kota di daerah yang diharapkan bisa menaungi kepentingan masyarakat baik di bidang sosial, ekonomi, maupun pemerintahan, dan itu tidak mungin terjadi manakala Bawean tidak diberi peluang kemandirian, manakala Bawean masih tetap ‘nyoso’ sepenuhnya kepada Kabupaten. Manakala Bawean tetap berada di bawah Kabupaten Gresik, maka perlu dibentuk lembaga kepanjangan tangan Bupati di pulau Bawean, apakah dengan istilah Wedana atau istilah apa, apalah dalam bahasa Administrasi Negara, yang terpenting dari aspek fungsi, dan yang bersangkutan harus mempunyai kewenangan yang otonom. Untuk membengun Bawean sebagai kota satelit terlebih dahulu diperlukan lembaga-lembaga birokrasi yang mandiri, apakah itu akan disebut sebagai kawasan istimewa atau kota administratif, apapun namanya dalam bahasa Administrasi Negara. Kota satelit adalah bayangan kota utama yang mandiri. Mungkinkah?!.


Western Australia, Awal Musim Semi 2011

Thursday, September 15, 2011

KKN, SEBUAH SERBA-SERBI

Oleh: Aba

Western Australia, Pangkal Musim Semi 2011

Pengantar
Tulisan ini telah pernah dimuat di Media Bawean, pada penghujung musim gugur 2010 dan dimaksudkan sebagai sebuah sapaanku bagi segenap mahasiswa peserta KKN dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN), serta untuk menunjukkan rasa terimakasihku sebagai salah-satu putra Daerah kepada segenap Pimpinan di lingkukangan UPN.

1. Makna KKN dan Plesetannya
Membaca berita Di Media Bawean tentang akan hadirnya mahasiswa KKN di bumi Bawean, pulau tempat aku lahir dan tumbuh, mengingatkanku saat menjadi pembimbing KKN dulu. Hampir dua puluh tahun, setidaknya dalam lebih dari dua puluh periode aku menjadi pembimbing KKN, entah mengapa kawan-kawan di LPM kerap menunjukku, dari saat KKN dilaksanakan di Desa-desa terpencil, miskin dengan lokasi yang sulit dijangkau dan pelaksanannya selama tiga bulan hingga KKN yang dilaksanakan di kota-kota Kecamatan yang lamanya hanya satu bulan saja. Namun KKN dimaksud tentu bukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, melainkan Kuliah Kerja Nyata, yang merupakan kegiatan intra kulikuler dengan bobot SKS tertentu, dan merupakan wahana bagi mahasiswa untuk terjun ke ‘dunia nyata’ memperaktekkan kemampuan keilmuannya sebagai insan sosial. Sekali-kali mahasiswa memaknai KKN sebagai Kisah Kasih Nyata, ah…, ada-ada aja…, maklumlah darah muda…, romantisme, kecantol anak pak Lurah. Sesekali juga KKN bisa bermakna Kesana Kesini Nampang…, makluamalah (riil saja) mahasiswa kita tidak semuanya kuliah dengan sungguh-sungguh, ada juga mahasiswa yang asal-asalan, asal kuliah aja. Maka itu begitu ada kesempatan nampang, apa lagi di daerah kecil (--walau ianya sendiri bisa jadi juga berasal dari Desa, tapi khan sudah lama hidup di kota--), gairah nampangnya sih kambuh juga, naik kendaraan ke sana-ke sini, goncengan ke sana-ke sini, tak peduli cowok-cewek goncengan (sepeda motor) rapat-rapat. Nah…, untuk yang seperti ini sih sang Pembimbing atau Kordes mesti waspada, apalagi di daerah yang masyarakatnya agamis semacam di Bawean, sebab bisa-bisa salah satu missi KKN untuk menunjukkan citra baik Perguruan Tinggi (khususnya Perguruan Tinggi yang melakukan KKN), malah jadi tercemar. Sesekali juga anak muda bisa memaknai KKN adalah Karena Kamu Nyentrik sih…. Ah…, emang anak jaman sekarang (kata ortu, si ajadu alias anak jaman dulu) kadang aneh-aneh, malah yang nyentrik-nyentrik jadi idola…, jangan-jangan ia jadi pay boy dadakan…, maka hati-hati lho neng…, sebab mas KKN hanya numpang lewat aja di Desa lu…, kalau sampai Kecantol Kamu (bisa) Nyesel, kalu entar mas KKN udah balik macam mana?!, lu ngebimbang dianya terus…,ya…, karena kamu sih…, KKN juga…!, maksudnya?, Karena Kamu Naksir banget…, he he…, guyon aja nih…!. Sekali-kali pula kalau kurang cermat KKN bisa bermakna KongKoNan (Jawa: yang disuruh-suruh), yaitu disuruh ngerjakan proyek ini, disuruh mengerjakan proyek itu…,waduh kasihan mahasiswa hanya jadi kongkonan, hal ini bisa terjadi di daerah-daerah yang sudah sering ditempati KKN, sehingga pihak Desa tahu persis bagaimana kiat bikin program yang menjebak mahasiswa jadi kongkonan (obyek). Kalau hal ini terjadi tentu tidak bagus bagi sebuah misi pendidikan kader, yang mana KKN berfungsi pula untuk itu. Oleh sebab itu untuk menghadapi kemungkinan tersebut pihak kampus harus memberi pembekalan yang semestinya.

2. Penyusunan Program
Penyusunan program merupakan suatu seni yang harus dikuasai oleh mahasiswa peserta KKN. Sebelum turun ke lapangan hendaknya mahasiswa melakukan penjajagan guna menyusun suatu rangkaian program. Kalau satu daratan dan jarak jangkaunya dekat tentu jauh lebih mudah oleh karena bisa ulang-alik melakukan penjajagan/pendekatan sebelum hari H, sebab bisa ditempuh dengan kendaraan darat yang mana bisa saja berangkat dan balik sewaktu-waktu, namun kalau ke Bawean tentu tidak bisa, untuk itu tentu perlu kiat tersendiri. Memang selalunya pihak Kordes dan beberapa fungsionarislah yang melakukan beberapa penjajagan sebelum hari H. sehingga pada hari Hnya tinggal melakukan singkronisasi seperlunya.

Kadang mahasiswa KKN menghadapi kendala dalam penyusunan program oleh sebab kondisi di lapangan, seperti misalnya kurang respeknya pihak masyarakat daerah lokasi KKN, maka untuk itu kedekatan mahasiswa dengan tokoh-tokoh masyarakat termasuk (khususnya) kalangan tokoh pemuda sangatlah urgen. Juga tidak menutup kemungkinan atas sebab desakan pihak penguasa daerah lokasi KKN yang berkepentingan untuk memasukkan programnya, sedang bagi mahasiswa (atas hasil survey lapangan) yang telah disesuaikan dengan visi dan misi KKN berpendapat bahwa programnya dipandang lebih utama daripada program yang disodorkan pihak Desa (misalnya), apalagi bila waktu dan dana yang tersedia sangatlah terbatas. Untuk itu mahasiswa hendaknya lebih cermat dalam penyusunan program, jangan sampai asal masukkan karena sungkan (misalnya), sebab bisa berakibat overlodnya program. Mahasiswa harus memprediksi jangan sampai mereka meninggalkan satu programpun yang hanya setengah jadi, lebih tepatnya yang belum tuntas dengan berbagai alasan, baik itu program fisik maupun non fisik, sehingga nantinya akan merepotkan/menjadi beban bagi masyarakat serta dapat mencederai citra kampus. Katakan suatu misal, program pengerasan jalan Desa sepanjang 250 meter, dan sepanjang 250m itu telah dicangkul, namun setelah ditata batu sepanjang 150m ternyata masa KKN telah selesai, apalagi bila dana kurang sehingga materialan belum tersedia, begitu datang musim hujan malah becek tidak karuan, masalah bukan…?!!. Oh iya…, kalau boleh, aku pingin nitip sebuah program, tidak muluk-muluk, praktis aja, yaitu mencetak brosur untuk mengenalkan pulau kami, cetak banyak-banyak, lalu setidaknya kirim pada pecinta alam di semua Perguruan Tinggi dan organisasi pecinta alam lainnya, Resimen Mahasiswa dan organisasi terjun paying serta terbang layang di seluruh Indonesia, beri stimulus untuk mengenal bumi kami dan biarlah masa bergulir sampaai kami siap sarana prasarana yang mumpuni sehingga kelak siapapun akan datang menginjakkan kaki di bumi kami.

3. Program Penyuluhan
Setahuku tidak pernah kegiatan KKN yang tidak memasukkan penyuluhan sebagai salah satu program kerjanya. Terhadap program penyuluhan ini pola penyuluhan tabrak lari mesti dibuang jauh-jauh, seperti misalnya masyarakat diberi penyuluhan yang muluk-muluk, maka begitu mahasiswa itu kembali ke kampus, malah di Desa lokasi KKN terjadi keresahan dan bahkan sampai adu jotos segala. Hal ini dapat dikemukakan suatu misal, yaitu mahasiswa memberi penyuluhan tentang pengurusan sertifikat tanah dan segala halnya, termasuk tentang biaya, lalu dibukanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi hingga korupsinya. Selepas mahasiswa KKN masyarakat berontak, sedang mahasiswa sudah tidak tahu menahu lagi. Kondisi seperti ini dapat dikategorikan sebagai program non fisik yang tidak tuntus dan meninggalkan masalah sosial. Tabrak, lalu lari…!, maka itu dalam program penyuluhan diperlukan kearifan serta tanggung jawab.jadinya tidak bertanggung jawab khan..?!!

4. Hal-hal Ganjil
Dalam perjalanan hidup kita sering menemui hal-hal yang ganjil, suatu missal, bahwa bagi masyarakat pedalaman yang tingkat pendidikan masyarakatnya rendah, mahasiswa sering dipandang serba bisa, oleh sebab itu bisa-bisa banyak orang yang sedang sakit minta diobati, tapi setelah diberi air masak biasa yang pura-pura dido’ain (maksudnya agar mereka tidak kecewa) ternyata sembuh…!. Jangan heran dengan yang demikian itu, sebab itulah peran sugesti yang ternyata cukup ampuh. Peran sugesti ini juga dapat kita amati (misalnya) bila berobat pada perawat X di Desa Sana ternyata cepat sembuh (ces pleng),sedang bila berobat pada perawat Y di Desa Sini tak kunjung sembuh, padahal obatnya sama saja. Masalahnya masyarakat sudah tersugesti terhadap perawat X di Desa Sana, sedang terhadap perawat Y di Desa Sini tidak yakin, padahal sugesti tumbuh dari yakin. Adakah hal-hal ganjil di pulau kami?!, tak tahulah…, perjalanan waktu yang akan menjawab, yaitu setelah program KKN rampung.

4. Kearifan Masyarakat Desa
Desa sebagai obyek KKN yang bermakna pula sebagai sasaran pembelajaran mahasiswa, maka penting pula untuk menggali berbagai kearifan masyarakat Desa. Sebagai illustrasi dapatlah diutarakan suatu misal kecil, mahasiswa KKN memberi penyuluhan tentang rumah sehat di sebuah kampung kecil di pelosok, rumah-rumah mereka sangat sederhana, terbuat dari anyaman bambu (gedek). Mahasiswa menerangkan tentang bagaimana rumah yang sehat itu, ia bilang raumah yang sehat itu harus punya jendela dan fantilasi, sedang ia melihat di kampong ini, bahkan di Desa ini sebagian besar rumah tidak ada jendela dan fatilasinya… dan seterusnya. Saat sesi tanya-jawab salah seorang warga dengan lugunya bertanya, ‘mas KKN…, bagaimana lagi kalau rumah-rumah kami di sini diberi jendela dan fantilasi mas KKN…, sedang tanpa jendela dan fantilasi seperti sekarang ini saja kami sudah kedinginan karena angin keluar-masuk tak karuan…?!!”. (Maksudnya angin itu keluar-masuk dari celah/lobang anyaman bambu/gedek yang dibuat sebagai dinding). Artinya apa?, konten dan konteks telah membentuk sikap perilaku atau budaya suatu masyarakat, maka itu jangan-jangan mereka lebih arif daripada kita oleh sebab kita tidak paham tentang konten dan konteksnya.

Akhirul kalam, doaku dari jauh, selamat berjuang, sukses selalu, amin. Semuga tulisan ini bisa terbaca oleh anda semua.

Saturday, September 3, 2011

ORANG BAWEAN BER’IDUL FITRI 1432H DI PERTH RAYA

Oleh: Aba

Komunitas muslim di Australia dalam menentukan 1 Syawal 1432H sama saja dengan di kawasan belahan dunia lainnya, tak terkecuali di Perth Raya, yaitu ada yang bertepatan dengan 29 ataupun 30 Agustus 2011.

Dalam catatan sejarah, orang Islam pertama datang ke Australia adalah dari Indonesia, para nelayan dari Makasar, yaitu di sepanjang abad 16-17, muslim migrant dari Afrika dan kawasan pulau di bawah kerajaan Inggris pada akhir abad 18, penunggang unta dari Afghanistan pada awal abad 19, dalam rentang 1947-1971 banyak berdatangan dari Eropa terutama dari Turki, pada dasawarsa 60an dari Bosnia dan Kosovo, pada penggal dasawarsa 70an banyak berdatangan dari Libanon. Kini orang Islam di Australia terdiri dari berbagai bangsa di dunia, selain tersebut di atas seperti pula dari Mesir, Libia, Sudan, Somalia, Afrika Selatan, Iran, Irak, Pakistan, India, Bangladesh, Malaysia, singapura, dan lain-lain. Mereka datang dengan membawa tradisi mereka masing-masing, demikian pula dengan komuinitas muslim Nusantara, baik dari Indonesia, Malaysia maupun Singapore. Komunitas muslim Malaysia dan Singapore mempunyai tradisi yang bersamaan, demikian pula dengan komunitas muslim yang berasal dari Pulau Krismes (Christmas Island), walau yang berasal dari Indonesia, seperti Bawean, Jawa, Ambon, Minangkabau, dan sebagainya.

Orang Bawean datang dan settle di daratan Australia pertama kali pada memasuki paruh dasawarsa 70an, hingga saat ini telah berkembang sedemikian rupa. Mereka saling menjalin hubungan satu dengan yang lain, demikian pula dalam menggunakan momen Idul Fitri dari tahun ke tahun. Dalam menentukan 1 syawal sama pula dengan komunitas muslim lainnya. Berbeda dengan di Bawean yang merayakan hari raya dalam tiga hari, komunitas Bawean di sini merayakan selama satu bulan, sepanjang bulan Syawal, tak ubahnya dengan di Malaysia dan Singapore, hanya saja oleh sebab berbagai klesibukan disini, maka waktu yang paling leluasa adalah pada hari Sabtu dan Minggu. Mereka merayakan hari raya dengan saling berkunjung, menyiapkan berbagai macam kue hari raya, hidangan makan ketupat (hanya saja di sini janur amatlah langka), untuk anak-anak juga ada ang po (duit raye), terdapat juga yang ziarah kubur keluarga. Dalam bersilaturrahmi di sini tidak lazim bila hanya sekedar masuk rumah, bersalaman/sungkem, bermaafan, lalu keluar lagi, melainkan mesti duduk dan berbincang-bincang, oleh sebab itu memerlukan waktu relatif lama, satu hari hanya beberapa rumah saja, dan sudah tergolong bagus mana kala bisa tujuh/delapan rumah dalam satu hari, hal ini disebabkan pula dengan tempat tinggal kami yang tidak saling berdekatan. Perioritas utama adalah orang tua, lalu sanak keluarga, kawan krabat dan handai tolan. Di samping itu juga dengan menggunakan pendekatan kawasan, misalnya minggu ini di kawasan atas (seperti Hepburn dan sebagainya), mungkin kawasan lain minggu depan, dan sebagainya. Tentu dalam kondisi seperti di sini tidak mungkin menggunakan jasa angkutan umum, yang akan teramat sulit dan bahkan tidak bisa dibayangkan tingkat kesulitannya, sebab di sini berbeda dengan di Indonesia, Singapore ataupun Malaysia, yang mana jasa angkutan umum akan didapati di mana-mana dan di setiap saat. Maka itulah di sini harus menggunakan kendaraan pribadi. Dalam bersilaturrahmi mereka memakai pakaian sebagaimana lazimnya yang dipakai di Indonesia, Malaysia maupun Singapore, atau kombinasinya. Bagi mereka yng mengadakan open house rumah dibuka selama satu hari penuh hingga malam, datang bergantian, bisa sebelah pagi, siang, sore, ataupun malam, mereka datang bergelombang. Dalam kesempatan itu pula, di samping kita bisa bersilaturrahmi dengan pihak tuan rumah, juga bisa saling bertemu satu sama lain, seperti kemaren, tatkala di rumah orang Bawean (pihak istri, sedang suaminya orang Singapore), kami bisa berjumpa dengan orang-orang Bawean, baik yang sudah kenal di Bawean ataupun yang baru kenal di sini. Kemaren kami menempuh perjalanan relatif jauh, hanya untuk beberapa rumah, menjelang maghrib dilanjut beberapa rumah yang berdekatan dengan domisili kami, lalu kami pun pulang, dan harapan kita, semoga semua saling ridho..., amin.

Western Australia, Medio Awal Musim Semi 2011

Friday, September 2, 2011

KEJUTAN BUDAYA DAN POSISI MAHASISWA KKN DI TENGAH BUDAYA LOKAL

Oleh: AbA




Tatkala jiwa telah terbentuk,


Sulit untuk membentuk yang berikutnya.


(Aba)


Tulisan ini telah pernah dimuat di Media Bawean pada bulan Juni 2010, di sini dengan dilakukan penyesuaian seperlunya.



1. Pendahuluan


Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.


Demikian aku kutip dua pepatah dalam masyarakat kita. Dari dua pepatah tersebut menggambarkan adanya pengakuan terhadap keberagaman budaya serta pengakuan terhadap urgensi adaptasi.


2. Akar Budaya


Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Raga akan tumbuh sebagaimana adanya di manapun ia berada, sedang jiwa akan tumbuh sesuai dengan ranah ruang dan waktunya, maka itu beda ruang ataupun beda waktu akan beda pula coraknya. Raga tak bisa untuk menyesuaikan diri, dalam arti penyamaan diri (jazadnya) dengan orang-orang di mana tempat ia lahir dan tumbuh, orang hitam tak ‘kan bisa menjadi putih walau ia lahir dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat kulit putih di benua Eropa. Perbedaan dan persamaan yang timbul dan berkembang dalam konteks budaya bukanlah perbedaan dan persamaan atas raga (fisikal), melainkan perbedaan dan persamaan dalam pengertian rohaniyah (jiwa). Budaya yang mengejawantah dalam sikap perilaku serta benda-benda fisik tak lain daripada cerminan alam rohaniyah (jiwa) yang abstrak. Oleh sebab itu orang kulit hitam yang lahir dan tumbuh di tengah-tengah belantara Afrika akan berbeda (budayanya) dengan orang kulit hitam yang lahir dan tumbuh di lingkungan Gedung Putih Amirika Serikat, walau sama kulit hitamnya. Karena sebab adanya perbedaan pada pertumbuhan dan pengembangan rohaniyahnya (--termasuk alam pikir adalah merupakan alam rohaniyah yang abstrak--) seseorang yang lahir, tumbuh dan berkembang di Jawa, yang sedari alam kandungan telah terbina dengan nilai-nilai budaya Jawa, akan menjadi sebagaimana masyarakat Jawa di mana ia lahir, tumbuh dan kembang itu, ia akan memegang budayanya, bahkan ia akan memegangnya erat-erat serta mempertahankannya dan akan sensitif manakala berhadapan dengan budaya lain yang berbeda, apalagi dipahami bertentangan.


3. Shock


Manakala seseorang sedari kecil hingga dewasa/tua hanya berkecimpung dalam satu budaya saja, maka ia akan mengalami kejutan (shock) budaya yang luar biasa manakala memasuki area lain, atau budaya lain masuk dalam areanya, termasuk apa yang disebut upaya pembaharuan ataukah term apalah namanya. Setiap orang, siapapun juga, tak ada kecuali, termasuk mereka yang telah berinteraksi lintas budaya akan mengalami kejutan budaya manakala mereka memasuki area budaya lain atau sebaliknya. Kejutan itu bisa begitu hebat ataupun ringan saja, tergantung tingkat perbedaan –pemahaman—yang dikandungnya. Makin tinggi tingkat perbedaan –pemahaman- akan makin tinggi tingkat kejuatan yang dialami.


4. Adaptasi


Jalan untuk memadukan (menyerasikan) antar perbedaan itu adalah adaptasi. Adaptasi adalah proses penyerasian antar perbedaan yang ada. Sebagai illustrasi dapatlah diketengahkan suatu misal, manakala orang Jawa yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam budaya Jawa, lalu ia merantau ke Kalimantan. Suatu ketika ia membeli barang, ia menyerahkan uang dengan tangan kanan, namun tiba-tiba si penjual menerimanya dengan tangan kiri. Kita akan berkata jujur, tentu orang Jawa tadi akan mengalami shock yang cukup berat, hatinya akan merasa dicabik-cabik, karena merasa diperlakukan tidak sopan. Namun manakala telah beradaptasi ia akan dapat memahami, walau ia tetap belum bisa menerima. Kendatipun demikian anak keturunan orang Jawa tadi yang lahir, tumbuh dan berkembang di area budaya baru itu akan memiliki sikap yang berbeda, ia/mereka akan dengan mudah menerima atau bisa jadi justru terserap dalam budaya tempatan. Oleh karena kaedah budaya adalah saling merasuki, maka tergantunglah budaya mana yang paling dominant. Suatu misal yang lain lagi manakala seseorang yang lahir, tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Islam, ia serta datuk moyangnya adalah penganut agama Islam yang taat, hari-hari mengaji, sholat, hendak makan bismillah dan berdoa, dan lain-lain, kemudian ia hidup di tengah masyarakat barat (kulit putih) yang bukan beragama Islam, bahkan banyak pula yang free thinker, belum lagi budaya bebasnya, dan lain-lain yang tergambar dalam benaknya. Tak lama kemudia tiba-tiba putra/putri kandungnya jatuh cinta dan hendak kawin dengan orang barat itu, tentu kita dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada diri orang tersebut, walau si calon menantu bersedia memeluk agama Islam sekalipun, masih juga rasa was-was terselip di hati. Bagi mereka yang belum teradaptasi dengan kultur kebebasan barat terhadap penentuan langkah individu tentu ia akan mengalami shock yang amat berat, ada juga yang tidak mau menghadiri pernikahan putrinya, namun dalam masa kemudiannya baru ia dapat menerima realitas itu. Sedang bagi yang sudah teradaptasi, mereka akan dapat menerima segala kemungkinan, terlepas karena terpaksa ataukah tidak. Selanjutnya guliran waktu yang akan menentukan, generasi berikutnya bisa berkata lain, tergantung budaya mana yang paling dominant merasuki. Kini pergeseran nilai telah terjadi. Bisa jadi bagi si anak/cucu justru budaya dalam masyarakat orang tua dan datuk moyangnyalah yang justru mengejutkan dirinya. Dengan demikian yang terjadi adalah saling keterkejutan. Demikianlah budaya. Posmodernisme menawarkan kata, ‘keberagaman’, ‘plural’, ‘pluralisme’.


5. Refleks


Kejutan budaya yang saangat hebat sering menimbulkan refleks yang membikin seseorang seperti terhipnotis, begitu sadar bagai terdampar di suatu pantai, dengan terkapar lesu.


6. Kesungguhan


Adaptasi merupakan kunci penghubung yang menawarkan kearifan, mudah diucap, namun memerlukan kesungguhan dalam aplikasi, terlebih manakala suatu budaya telah melekat dalam diri.


7. Posisi Mahasiswa KKN Di Tengah Budaya Lokal Di Lokasi KKN


Mahasiswa yang ikut KKN tentu berasal dari berbagai latar belakang budaya, rata-rata mereka baru berada pada proses penyesuaian diri di lingkungan di mana mereka menempuh studi. Di lingkungan barunya itu mereka menemukan banyak hal baru yang mereka ingin gapai dan ingin tepiskan, proses akulturasi sedang berjalan, mungkin saja mereka sedang mencari identitas, sebagai orang lama, orang baru ataukah orang lama dan baru, yang demikian itu tentu lebih banyak berada di alam bawah sadarnya. Yang nyata mereka baru saja ke luar dari kungkungan budaya asalnya, dari pengawasan orang tua dan lingkungan asalnya. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama, terlalu instan untuk dikatakan telah mampu memilah-pilah. Kini, di lokasi KKN mereka harus masuk dalam budaya lain lagi, budaya yang berbeda dengan di lingkungan kota Surabaya, Yogyakarta maupun Jakarta, atau lingkungan kampusnya yang tentu lebih terbuka dan privacy. Di lingkungan baru (lokasi KKN) tentu saja mereka dituntut mampu menyesuaikan diri secara tiba-tiba, yang tentu tak ada tawaran lain, dalam konteks ini mereka berada pada posisi bawah angina, mereka adalah sebagai tamu yang sekali gus sebagai orang yang belajar memimpin dalam situasi dan kondisi apapun, namun sekaligus pula sebagi subyek. Budaya adalah merupakan ukuran dasar sebagai tali kendali yang mudah dipegangi. Disinilah mahasiswa KKN mesti memposisikan diri, dengan waktu yang singkat tentu tiada alternatif lain, sebab citra mahasiswa (baik sebagai diri maupun kolektifa) dan almamater serta dunia Perguruan Tinggi pada umumnya dipertaruhkan. Kearifan dalam memanage apa yang disebut kejutan budaya adalah suatu keharusan, tak ada tawaran lain.


8. Beberapa Hal Teknis


Dalam konteks budaya, terlebih dahulu yang perlu mahasiswa cermati di lokasi KKN adalah hal apa yang menjadi kecenderungan perilaku masyarakat yang merupakan arus utama, mahasiswa mesti paham ke mana arus bergerak, mahasiswa mesti paham mengatur posisi, mahasiswa mesti bergerak di tengah gerak gelombang masyarakat lokal, memahami hal di posisi mana masyarakat suka, tidak suka serta posisi netral. Suatu contoh di Bawean, posisi masyarakat suka seperti berpartisipasi dalam acara tahlilan, main zamroh, shalat maghrib berjamaah di masjid/surau, bermain olahraga berbaur dengan masyarakat, selalu bertegur sapa, dan lain-lain; sedang posisi masyarakat tidak suka seperti berlalu-lalang/hilir-mudik/‘keluyuran’ (apalagi berkelompok) di saat masuk waktu shalat maghrib; setahuku dalam hal ini orang Bawean teramat sangat tidak suka, terlebih lagi bila saat dhuhur di hari Jum’at, dan lain-lain; adapun posisi masyarakat netral seperti mengadakan pertemuan kelompok KKN, pertemuan antar kelompok KKN, dan lain-lain.

KEBEBASAN BERAGAMA DI AUSTRAALIA (2)

Oleh: A. Fuad Usfa 

Kebebasan mempunyai makna merdeka dalam menentukan. Maka kebebasan beragama bermakna merdeka menentukan dalam memilih agama atau keyakinan. 'La ikraha fiddin', dalam bahasa Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (2) dinyatakan, 'Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'. Penulis tegaskan kata 'menjamin tiap-tiap penduduk'.

Di dunia ini terdapat berbagai macam agama, dan berbagai tafsiran terujud pula, dalam hal ini tentu tak terkecuali di Australia.

Sudah sama kita tahu bahwa Australia adalah merupakan Negara sekuler, Negara yang memisahkan secara tegas urusan agama dari urusan kenegaraan. Agama masuk dalam ranah individu, Negara menaungi semua agama dan keyakinan serta pemeluknya. Sebagaimana dalam aktifitas sosial lainnya, aktifitas sosial keagamaan tidak boleh -justru- menciptakan kegoncangan sosial, terjadinya berbagai/segala bentuk pemaksaan dan/atau intimidasi. Semua mesti menghargai hak setiap individu dalam menentukan pilihannya secara elegan. Dalam pengamatan penulis selama di Western Australia, keberadaan agama dan ummat beragama diletakkan pada posisi seperti itu. Aktifitas keagamaan/keyakinan warga Negara/penduduk tidak terhalang, berbagai ritual keagamaan serta berbagai perayaan dari berbagai agama di selenggarakan di mana-mana, dalam hal berpakaian tak terkecuali, penyediaan makanan, materi-materi hotbah ataupun ceramah tidak ada sensor apapun baik itu disampaikan oleh warga Negara ataupun orang asing. Dalam pada ini kebebasan beragama/keyakinan berada pada posisi yang merupakan kebebasan azasi, kebebasan murni, kebabasan yang sebenarnya, bukanlah kebebasan semu**).

Pasal 116 Undang-undang Dasar Australia melarang Pemerintah Federal untuk membuat Undang-undang mendirikan agama serta memaksakan ajaran agama. (http://www.dfat.gov.au/facts/religion_in.html).

Manakala kita menghendaki terciptanya alam kebebasan beragama yang sesungguhnya, yang murni, yang merupakan kebebasan azasi, maka kita harus menempatkan diri kita pada posisi yang tidak mencampuri keyakinan pihak lain, menempatkan diri kita pada ruang bebas yang mesti memahami pihak lain yang mempunyai posisi sama dengan kita, yang ingin diperlakukan sebagai pihak yang dihargai haknya untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, menempatkan Negara sebagai organisasi kekuasaan yang menaungi setiap penduduk yang berada dalam kekuasaannya, serta memperlakukannya sacara adil. Hal itu hanya bisa terjadi manakala agama tidak diseret pada wilayah politik kekuasaan, yang hanya akan 'mengklaim' dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia, sehingga 'menarik' dirinya pada posisi yang paling memahami kebenaran Tuhan, maka dengan demikian pula akan membenarakan segala tindakannya, termasuk melakukan berbagai tindak kekerasan, oleh sebab yang demikian itu dipahaminya sebagai kehendak Tuhan. Adapun selain dari yang dipahami dirinya, dimaknakan sebagai penyimpangan dari ajaran dan kehendak Tuhan, --walau seagama sekalipun--, maka dengan demikian sah menurutnya melakukan berbagai tindakan 'politik' termasuk aksi pemaksaan dalam segala bentuknya dan bahkan berbagai rangkaian kekerasan. Dari sinilah penulis dapat memahami pandangan Nurcholis Majid tentang pentingnya sekularisasi --walau terbatas-- yang dilansirnya pada penghujung dekade tujuh puluhan, dan setidaknya penulis telah menyaksikannya di Negara Australia.

Tidak ada yang bisa kita harapkan untuk menciptakan alam kebebasan beragama, manakala kita tetap meyakini, hanya diri kitalah yang benar, yang sesuai dengan kebenaran Tuhan, dan untuk itu kita harus menletakkan misi suci melawan segala pandangan yang tidak sejalan dengan pandangan kita, 'pandangan' Tuhan. Maka itu seluruh ummat manusia di muka bumi ini harus tunduk pada kehendak kita, karena itulah 'kehendak' Tuhan, dengan segala bentuknya. Pemaksaan akan terus berlanjut, lalu berbenturan, dan menjadi sumber ketegangan dan peperangan, atas nama agama menurut versinya, tak peduli walau seagama sekalipun kalau tidak sesuai dengan pandangannya harus didobrak untuk dihancurkan. Tidak ada yang bisa kita harapkan dalam kondisi seperti ini, sebab pemutlakan diri ternyata telah banyak menciptakan provokasi, ancaman, ketegangan serta peperangan, dan mengesampingkan nilai kemanusiaan.


Sebagai penutup menarik untuk dikutip pandangan yang dilansir oleh Prio Pratama, dalam konteks ke-Islaman, yang menyatakan, 'bagaimana mungkin seorang yang meyakini bahwa Islam sebagai satu-satunya jalan keselamatan, bisa membiarkan penganut agama lain hidup tenang dengan keyakinannya. Orang yang menganut paham pseudo toleransi seperti ini tidak akan pernah bisa benar-benar toleransi. Dikatakan begitu, oleh sebab ia tidak akan berhenti mencari-cari kesempatan kapan waktunya mengkonversi keyakinan orang lain itu ke dalam kayakinannya, ke dalam Islam' (http://islamlib.com/id/artikel/pseudo-toleransi-metode-dakwah-al-qardlawi-dan-masa-depan-pluralisme).


Perth Western Australia, Awal Musim Semi 2011

------

Catatan:

**). Kebebasan semu artinya adalah berbunyi bebas namun faktanya tiada kebebasan itu kecuali hanya untuk sepihak.

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...