Saturday, May 5, 2012

BOYAN

 
Oleh: Aba

Tulisan dalam bagian 1 ini telah dipublikasikan di blog ini juga pada edisi Juli 2010, dan untuk bagian 1 dan 2 telah dipublikasikan juga di Media Bawean, pada penghujung bulan Mare dan pangkal bula Mei tahun ini. Pad muatan kali ini telah terdapat beberapa revisi seperlunya sebagai  penyesuaian saja.

                                                 Bagian 1

I.  Nama Boyan Keterkaitannya Dengan Pulau Bawean

1. Pendahuluan
Bila dikaitkan dengan penamaan Bawean, istilah Boyan tidak dijumpai bila dan dari siapa asal
muasalnya (-bila selain yang terkait dengan penamaan Bawean akan penulis utarakan pada tulisan
berikutnya-). Sama juga halnya dengan penggunaan nama Bawean, yang nyata istilah Boyan telah
digunakan secara luas di beberapa kawasan perantauan orang Bawean, khususnya di kawasan
semenanjung Melayu.

2.      Asal-muasal Istilah
Jika kita bertanya pada orang di Surabaya dengan pertanyaan, ‘apakah anda kenal nama ‘Bfebien’?,
penulis berpikir kecenderungan mereka akan menjawab ‘tidak’, walau mereka mempunyai teman atau
tetangga dekat orang Bawean. Berbeda bila ditanya, ‘apakah anda kenal nama ‘Bawean’?, maka
mereka akan menjawab iya…, saya punya teman dan tetangga orang Bawean. Mengapa demikian?,
tentu oleh sebab istilah Bawean itulah yang luas dikenal dan digunakan dalam masyarakat Surabaya.

Berkenaan dengan istilah Bawean, pertanyaan sama halnya dengan tatkala kita mempertanyakan istilah
Boyan, yaitu dari mana asal muasal istilah Bawean, sebab bila istilah Bawean berasal dari orang
Bawean, tentu akan mustahil, sebab dalam kata orang Bawean sejatinya tidak mengenal kata ‘ba’,
taruhlah sebagai contoh, ‘aba’ menjadi ‘abe’, ‘batuk’ menjadi ‘betok’, ‘babi’ menjadi ‘bebi’, dan
seterusnya. Kata sebagian orang Bawean berasal dari kata dalam bahasa Sangsakerta, yaitu ‘ba’ ‘we’
‘an’, yang diartikan ‘ba’ artinya sinar, ‘we’ artinya matahari, ‘an’ artinya ada. Pertanyaan kita benarkah
demikian?, sudahkah kita mengeceknya dalam kamus bahasa dengan semestinya, benarkah kata dalam
bahasa Sangsakerta terdapat kata dua huruf-dua huruf seperti itu?, tentu ada tapi sangat sedikit, seperti
misalnya kata 'su' yang bermakna baik. Matahari dalam bahasa Sangsekerta adalah 'surya', hal ini sama
dengan yang digunakan dalam bahasa Gujarat (Gujarati), Bengali, Thailand, dan juga umum dikenal
dalam masyarakat kita, terutama Jawa. Dalam bahasa Sangsekerta matahari juga disebut 'radithya',
sedangkan (Dewa) matahari adalah 'aditya'. Adapun sinar dalaam bahasa Sangsekerta adalah 'kara',
dan cahaya dalam bahasa Sangsekerta adalah 'chaya', serta menyinari dalam bahasa Sangsekerta
adalah 'gantari'. Dugaan penulis munculnya peng-artian ba-we-an sebagai sinar-matahari-ada tersebut
bermula dari senda gurau yang kemudian menyebar tanpa mampu dilacak kebenarannya. Sebagai orang
Bawean penulis menyadari, oleh sebab budaya dongeng begitu kuatnya di masyakat kita, sehingga sulit
membedakan antara dongeng dan realita, termasuk sejarah. 

3.      Makna Dalam Kata
Selama ini kita telah teramat banyak menggunakan kata atau istilah yang kita sendiri tidak paham akan maknanya, persoalannya apakah kita harus memahami makna setiap kata yang kita gunakan?, tentu jawabnya ‘tidak’, sebab tidak mungkin itu bisa terjadi. Coba kita cermati, terdapat kata yang berbeda samasekali dengan kata aslinya, seperti ‘telur mata sapi’, tidak benar itu adalah telurnya mata sapi, atau mungkin orang akan menjawab, sebab itu mirip dengan mata sapi, pertanyaannya adalah, mata sapi yang manakah yang mirip dengannya?!; terdapat pula kata atau istilah yang berasal dari satu bahasa yang penyebutannya berbada namun mempunyai makna yang sama, seperti ‘ridha’ dalam kata Arab menjadi ‘riza’ dalam kata Parsia, demikian pula ‘musyawarah’ dalam kata Arab menjadi ‘musyawarat’ dalam kata Parsia. Bahkan terdapat juga kata yang mempunyai makna yang bertentangan secara hakiki dengan segala konsekwensinya, misalnya ‘obat nyamuk’, semestinya racun nyamuk, sebab bila nyamuk diobati konsekwensinya nyamuk yang sakit bisa menjadi sehat; demikian pula istilah ‘shalat’, menjadi ‘sembahyang’, bagaimana ini bisa?, sebab shalat adalah menyembah Allah dalam terminologi Islam, sedang sembahyang adalah menyembah ‘Hyang’ atau ‘Leluhur’ dalam terminologi pra Hindu-Budha di Nusantara, padahal bila orang Islam menyembah ‘Leluhur’ (roh) maka bermakna mereka itu syirik, dan syirik konsekwensinya adalah dosa besar yang tak terampunkan. Terdapat pula kata yg dalam bahasa suatu daerah bermakna bagus, tapi di daerah yang lain punya makna yg sangat jelek. Belum lagi kita berbicara tentang persilangan budaya. Bahasa adalah sesuatu yang lazim, lazim berlaku dalam komunitas tertentu, maka itu muncul bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Bali, bahasa Jawa, dan seterusnya. Jadi apa yang lazim dalam komunitas Arab, apa yang lazim dalam komunitas Inggris, apa yang lazim dalam komunitas Jawa, dan seterusnya. Bila tidak, maka bahasa bisa menyebabkan perang, sebab taruhlah misalnya orang Arab mengoreksi penggunaan bahasa Indonesia atau Jawa, dan seterusnya yang berasal dari kata Arab, maka semua penggunaan kata Arab di Indonesia, Jawa, dan seterusnya itu akan menjadi salah, dan akan menjadi benar manakala lidah orang Indonesia, dan seterusnya itu diganti dengan lidah orang Arab di negeri Arab sana, demikian pula latar belakang historis ataupun sosiologisnya, tentu itu tidak mungkin terjadi, demikian pula penggunaan kata dari bahasa Inggris, Belanda dan seterusnya, belum lagi dalam penulisan dan lain-lain. Kita tentu sama maklum pula, bahwa nama negara saja bisa berubah dalam penyebutan di negaraa lain, katakan misalnya Netherlands disebut juga Dutch, bangsa kita menyebut Belanda, lalu dari mana kata belanda?, dugaan penulis oleh sebab diantara mereka banyak yang berambut blonde (warna pirang), New Zealand bangsa kita menyebutnya Slandia Baru, Greek disebutnya Yunani, USA menjadi Amirika serikat, dan sebagainya, belum lagi panggilaan-panggilan --termasuk panggilan terhadap suatu negara-- berdaasar kebiasaan orang barat, seperti Australia menjadi Aussie, atau OZ misalnya, Malaysia menjadi Malay, dan seterusnyanya.

4. Pergaulan
Manusia tidak mungkin hidup secara sendiri, ia akan bergaul (berinteraksi). Semasa baru lahir bergaul dengan ibunya, kemudian dengan pihak lain, utamanya dengan anggota keluarga dekatnya, dari pergaulan itulah ia meniru banyak hal, termasuk dalam berbahasa, lidahnyapun terbentuk sebagaimana orang-orang disekitarnya, selanjutnya melebar, tergantung tingkat mobilitasnya, makin tinggi tingkat mobilitasnya akan makin lebih luas pergaulannya. Orang mengenal kita karena kita bergaul, bila tidak, maka tetanggapun tidak akan mengenal kita, jangankan orang jauh. Orang yang mengenal kita akan menyebut nama kita, sebab tidak mungkin menyebut bila tidak kenal. Manakala orang yang menyebut nama kita adalah orang-orang di sekitar kita, yang mana lidahnya sudah terbentuk sebagaimana kita, demikian pula pendengaran dan pengalamannya, maka akan samalah dengan kita menyebut nama kita, tapi manakala orang itu di luar kita, yang mana lidah, pendengaran serta pengalamannya berbeda, maka logis bila mereka tidak bisa berbuat seperti kita, sebagaimana pula kita tidak bisa berbuat seperti mereka. Kala itulah kita paham bahwa kita telah berada ‘di luar wilayah’ kita. Taktala kita berada ‘di luar wilayah’ kita, maka bermakna kita telah bergaul melampaui ‘wilayah asal’ kita. Dengan demikian bila istilah “Boyan’ telah dikenal serta lazim digunakan di Singapore, Malaysia dan beberapa wilayah perantauan orang Bawean sejak masa panjang ke belakang, maka sejak masa panjang ke belakang itulah pergaulan orang-orang Bawean telah begitu luas, yang juga menunjukkan mobilitas orang Bawean telah begitu tinggi sejak beberapa masa yang panjang ke belakang itu. Apakah kata boyan dilontarkan oleh sebab pembawaan lidah saja, atau oleh sebab kurang cermat pendengaran, atau oleh sebab hal lain, wallahua'lam bissawaab. Berkenaan dengan pembawaan lidah misalnya dalam penyebutan nama Salahuddin menjadi Saladin dalam lidah orang barat?, Jabal Tarik menjadi Jibrartar?, Ibnu Sina menjadi Avessina?, nama panggilan penulis Ahmad, kawan penulis asal Libanon memanggilnya Ahmed, kawan penulis yang orang putih memanggil Aemed.

Sehubungan dengan penggunaaan bahasa ini perlu pula penulis utarakan di sini bahwa bahasa Madura yang umum (-juga bahasa Bawean tentunya-) adalah bahasa melayu juga, siapa kiranya yang menyadari hal ini?, caba cermati satu persatu, adapun bahasa Maduraa dikalangan kraton adalah bahasa Jawa yang semua itu telah mengalami penyesuaian dengann lingkungan setempat.

5.Disifatinya
Apakah atas rasa pengertian dan keluasan wawasan para pendahulu kita, maka istilah Boyan dibiarkan bergulir secara sosiologis, tidak ada ‘politisasi’ dan prasangka, maka istilah Boyan dapat pulalah disifati sebagai salah satu kekayaan warisan datuk moyang kita?, ataukah akan disifatinya dengan penuh kecurigaan dan prasangaka?. Dengan berdasar paparan diatas, penulis berpandangan positif, yaitu bahwa nama Bfebiyen bagus, Bawean pun juga sama bagusnya, demikian pula nama Boyan juga sama bagusnya, ke tiganya adalah bagus. Dalam pandangan penulis, Boyan adalah warisan kekayaan yang paling monumental dari datuk-moyang pera perantau kita terdahulu, apa lagi waktu datuk-moyang kita dulu pergi merantau utamanya adalah para laki-laki muda belia, yang pantas untuk disebut ‘BOY’, untuk lebih indahnya diberinyalah imbuhan ‘AN’ sehingga menjadilah ‘Boyan’, yaitu ‘lelaki belia’ sang perantau. Imbuhan dengan akhiran ‘an’ pun sudah lazim digunakan dalam bahasa kita, seperti kata baca mendapat imbuhan (akhiran) ‘an’ menjadi bacaan, artinya obyek baca; main, menjadi mainan, obyek main; jaring menjadi jaringan, artinya obyek jaring; demikian pula tak salah kiranya kalau ‘boy’ yang maknanya adalah anak laki-laki menjadi boyan, obyek anak laki-laki, artinya laki-laki sebagai obyek perantau kita (-kata benda-) pada masa terdahulu. Adapun yang perlu dipahami bahwa uraian tersebut terakhir adalah murni dari penulis, dan tidak ada kaitannya dengan pandangan orang-orang terdahulu.

                                               Bagian 2

II. Nama Boyan Selain Menunjuk Pada Pulau Bawean
1. Pendahuluan
Setiap nama, pada apa pun juga tidak selalu sama, namun juga tidak mesti selalu berbeda. Persamaan dan perbedaan selalu kita jumpai, entah itu karena disengaja atau pun tidak. Tidak ada nilai baku, yang menjadi ukuran apakah sama itu baik ataukah tidak, demikian pula sebaliknya, juga dalam hal peruntukannya.

Berkenaan dengan nama boyan, kita dapat telusuri bahwa ternyata nama boyan selain merupakan nama suatu kawasan (wilayah atau daerah) juga merupakan nama diri yang telah berlaku sejak berabad-abad, bahkan dalam perkembangannya menjadi penamaan dari suatu Dinasti, penamaan dari suatu perkumpulan maupun nama badan usaha, dan lain-lain.

2. Boyan Sebagai Nama Kawasan
Sebagai mana telah kita pahami bersama, bahwa boyan adalah merupakan nama lain dari pulau Bawean, hal tersebut lazim berlaku di kawasan tanah melayu khususnya. Terkait dengan itu nama boyan telah berkembang sedemikian rupa, sehingga digunakan untuk nama kampung, yaitu Kampung Boyan, misalnya yang terdapat di Singapore, Malaysia atau pun Batam; juga nama makanan, seperti roti yang terkenal, yaitu roti boyan; nama kedai, dalam hal in penulis punya pengalaman, pada tahun 1985 penulis jalan-jalan di suatu pasar di kota Sampit Kalimantan Tengah, di area pasar itu terdapat kedai tukang pangkas rambut, penulis baca pada papan nama tertera ‘Tukang Pangkas Rambut “Boyan”’, penulis masuk kedai itu dan memperkenalkan diri seraya bertanya, ‘apa bapak berasal dari Boyan?, dan ternyata memang betul beliau adalah orang Bawean; di kota Batu Malang Jawa Timur terdapat stand HP yang bernama ‘Boyan’, pengelolanya semua orang Bawean; itulah sekedar contoh, dan tentu masih banyak lagi hal lainnya yang berhubungan dengan keberadaan komunitas Bawean.

Selain dari itu terdapat pula suatu kawasan di Urainia yang bernama Boiany dan lazim pula disebut Boyan, dengan menggunakan ejaan b-o-y-a-n. Di Bulgaria terdapat suatu kawasan yang bernama Boyan Batevo.

3. Boyan Sebagai Nama Diri
Nama Boyan lazim digunakan di kawasan Bulgaria dan Slavia untuk kaum laki-laki, sedang untuk perempuan digunakan Boyana. Nama Boyan juga didapati di kawasa-kawasan Serbia, Slovenia/Kroasia dengan menggunakan ejaan B-o-j-a-n (Bojan), juga didapati di Ceko, Polandia dan Rusia. Di Slovania nama ini merupakan nama yang paling popular ke delapan belas untuk laki-laki, pada tahun 2010. Di Bulgaria nama pendek dari Boyan ini adalah Bobi atau Bobby.

Selanjutnya perihal arti nama juga menjadi suatu diskusi yang menarik, ada yang berpendapat, bahwa nama boyan berasal dari kata ‘boy’ yang berarti ‘pertempuran’, dan digunakan akhiran ‘an’ yang umum dalam bahasa Bulgaria dan Slavia, sehingga bermaknakan ‘pejuang’. Terdapat pula yang berpandangan lain, ia berpendapat bahwa nama boyan berasal dari dua bahasa yaitu Proto-Bulgaria yang dimaknakan ‘komandan militer’ sebagai kata benda, dan ‘mengerikan’ serta ‘militan’ sebagai kata sifat. Di samping itu terdapat pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari nama Bayan I (562-602) yang pernah memerintah di Slavia Pononia. Diantara itu pula terdapat kemungkinan lain, yaitu berasal dari nama suku Celtic, ‘Boii’. Kemungkinannya pula dari nama boyan atau bojan inilah berkembang menjadi nama Brian atau bryan. Setelah penulis telusuri di buku ‘75.000+ Baby Names for The 21st Century’ karya Lori Cooper, nama Bryan atau Brian ini bermakna kuat ataupun  terhormat/mulya (strong, honourable), dan berkembang lagi menjadi Braiano, Briant, Brien, Brient, Brion, Bryan, Bryant, Bryon, Bryce, Brycen, Brydan, Bryden, Rian, Rein, Rion, Ryan, Ryin, dan Ryon.

Terdapat orang-orang terkemuka yang bernama Boyan/Bojan, antara lain adalah:

4. Boyan Sebagai Penamaan Suatu Dinasti
Dalam perkembangannya boyan telah menjadi penamaan salah satu dari dinasti Yahudi, yang disebut sebagai Boyaner. Hal ini bermula dari didirikannya dinasti tersebut di kota Boiany atau yang disebut juga Boyan di Ukraina. Pendiri dinasti ini adalah seorang Rabbi yang bernama Yitzchok Friedman (1850-1917), ia adalah anak tertua dari Rabbi Yaakov Avrohom Friedman (1820-1883) yang merupakan Rabbi Sadigura pertama, dan cucu dari Rabbi Yisroel dari Ruzin (1797-1851), pendiri dari dinasti Ruziner.
Yitzchok Friedman memiliki saudara yang bernama Yisrael (1852-1907), mereka tinggal di Sadigura, beberapa tahun setelah kematian ayahnya, maka pada tahun 1887 dilakukanlah penentuan siapa yang akan tetap di Sadigura untuk sebagai Rabbi Sadigura dan siapa yang mesti menjadi Rabbi di luar Sadigura, ternyata pilihan jatuh pada Yisrael sebaggai Rabbi Sadigura, berkenaan dengan itu Friedman mesti pindah dari Sadigura dan ia memilih tempat di kota Boyan Ukrainia. Sejak itulah Rabbi Boyaner terbentuk dan eksis hingga saat ini.
5. Boyan Sebagai Nama Suatu Pekumpulan/Group
Nama boyan sebagai suatu perkumpulan/group kita jumpai antara lain Moscow Consert ‘Boyan’.

6. Boyan Sebagai Nama Badan Usaha
Nama boyan sebagai suatu badan usaha dapat kita jumpai antara lain di Perth Australia, yaitu ‘Boyan Electrical Services’yang telah eksis kira-kira sejak tahun 1975.
III.   Nama-nama Tempat yang Mirip dengan Bawean
Kita juga mengenal nama-nama wilayah, lokasi, ataupun yang mirip dengan Bawean, seperti:
  • Bamiyan, di Afganistan
  • Blawan, di Sumatra Utara
  • Bawen, di Jawa Tengah
  • Baiyan, di China
  • Pasar Pabean, di Surabaya
  • Jalan Raya Pabean, di Surabaya.
IV. Penutup
Itulah yang dapat penulis kemukakan berkenaan dengan Boyan baik yang terkait dengan nama pulau Bawean maupun yang di luar kaitannya dengan pulau Bawean. Semoga kiranya paparan ini dapat menambah wawasan kita semua.
REFERENSI
Referensi utama dari tulisan ini (khusus Vol. 2) adalah, http://en.wikipedia.org/wiki/Boyan
Referensi penunjang adalah:
Lori Cooper, 75.000+ Baby Names For 21th Century, Lothian Books, Victoria, 2004.
Beberapa kata kunci yang bisa dilacak di internet.

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...