Sunday, October 18, 2015

Paham Kebenaran

PAHAM KEBENARAN 
KORELASINYA DENGAN KEBERAGAMAN
Oleh:A. Fuad Usfa

1. Paham Kebenaran Dan Bentukan
Beragam bahasan tentang kebenaran oleh sebab keberagaman obyek itu sendiri, dari yang fiskal hingga yang metafisikal, dari yang nampak hingga yang gaib. Bila ingin membangun rumah dengan gambar dari arsitek seperti ini, campuran semen, koral, dan sebagainya seperti ini, maka bilamana si tukang telah bekerja membangun dan hasilnya sesuai dengan gambar dan seterusnya tadi, maka bermakna benarlah kerja si tukang, oleh sebab keadaan tersebut bisa diukur dengan pasti, obyeknya nampak dengan jelas, maka bisa diukur tingkat kesesuaiannya dengan obyek. Sebaliknya bila berkaitan dengan yang metafisikal, abstrak, gaib, sebab hal tersebut akan melibatkan penafsiran atau intuisi.

Bila seseorang menyalahkan pandangan si fulan, lalu si fulan bertanya mengapa begitu, si yang menyalahkan tadi akan menjawab, 'bila bla bla...', yang kesimpulannya, 'menurut pendapat saya', 'kata orang tua saya', 'kata guru saya', 'kata bla bla bla....', dan seterusnya --dengan merujuk pada sumber-- yang tentu didukung dengan argumen. Bila pendapat tersebut berkenaan dengan hal yang fiskal, bolehlah sedapat mungkin dicocokkan dengan obyeknya, namun bila hal tersebut berkaitan dengan obyek yang non fisikal atau abstrak atau gaib, bagaimna mungkin?. Katakan suatu misal di goa itu ada gendoruwo; bagaimana uji kebenaran yang demikian itu?; hanya saja oleh sebab sedari lahir kita hidup di alam term gendoruwo maka terbentuklah alam pikir dan rasa kita tentang konsep alam gendoruwo, sehingga kita dapat paham genderowo seperti orang-orang terdahulu dan sekitar kita memahami alam gendoruwo, bukan berarti mengetahui tentang kebenaran genderuwo dan alam genderuwo, demikian pula misalnya tentang jin mata merah, dan sebagainya.

Terdapat dua alam yang melingkupi manusia, yaitu alam fitrah dan alam bentukan. Keberadaan kita tidak terlepas daripadanya, alam bentukan tidak terlepas dari pengetahuan kita, yang kemudian membentuk pemahaman, lalu aksi, lalu kebiasaan, dan menjelma menjadi sifat dan keperibadian, yang dari situlah terbentuknya kebudayaan hingga peradaban. Pengetahuan itu terdapat sumber-sumbernya, makin terdapat keberagaman sumber makin membentuk keberagaman pengetahuan, lalu keberagaman pemahaman, dan seterusnya. Persoalannya hanya pada aspek signifikansinya.

Disadari atau tidak akan adanya realitas itu, maka sering muncullah gagasan sensor untuk memotong aliran sumber, misalnya buku-buku karya X tidak boleh beredar di Indonesia, di Pondok Pesantren tertentu, dan sebagainya, atau jangan engkau bergaul dengan si fulan, sebab ia beragama (...............) nanti engkau terpengaruh, dan sebagainya. Di kala yang demikian itu terjadi, maka beralihlah medan, bukan medan kebenaran yang bicara, melainkan otoritaslah yang berlaku, bisa jadi sumber yang benar itulah yang dipotong. Dengan demikian medan kebenaran dipertanyakan, sebab persoalannya seakan si pemilik otoritas itulah si pemilik kebenaran. Suatu contoh yang ekstrim, perhatikan dengan cermat di tengah masyarakat kita, betapa banyak orang yang marah dengan mengancam (teror), melakukan pengrusakan dan bahkan pembunuhan (seperti pengeboman, dan sebagainya), menghalalkan darah sesama, dan klaim yang dikumandangkan adalah demi kebenaran. Alangkah naifnya melakukan gerakan semacam itu dengan mengatas namakan kebenaran, padahal pihak yang diserang itu berpendapat bahwa yang melakukan penyerangan itu yang tidak benar. Taruhlah misalnya kasus seputar Ahmadiyah di Indonesia yang selalu menjadi bulan-bulanan kelompok yang kononnya sepaham dengan kelompok mayoritas. (Coba cermati di sini, ada para pihak yang sebetulnya mempunyai posisi atau kedudukan yang sama, tapi dipahami tidak sama, ditinggikanlah dirinya dan direndahkanlah pihak yang lainnya). Bahkan orang-orang yang tidak tahu menahu atau yang biasa diistilahkan 'orang yang tak berdosa' sekalipun menjadi korban, menderita karena ulahnya. Kalau memang yang melakukan gerakan penyerangan tersebut benar, maka berarti kebenaran itu nista, oleh sebab ia dengan mudah bertindak nista. Bagaimana yang demikian itu bisa terjadi?!, maka sesungguhnya dalam konteks tolok ukur kebenaran yang positif gerakan tersebut menunjuk pada keadaan (pembuktian) ketidak benaran.

Bisalah dipahami bila muncul kontra gagasan, apakah engkau pemilik kebenaran?!. Di sini otoritas justru menjadi batu penghalang, atau belenggu, bahkan penindas atau tiran, baik itu otoritas pada struktur atas maupun struktur bawah atau akar rumput yang selalu begitu mudah digerakkan oleh struktur atas atau mereka yang dengan gampang bertindak gegabah oleh sebab dorongan hawa nafsunya, lalu diteriakkanlah jargon atau kualifikasi, bukan soal kebenaran, melainkan seakan kebenaran, semisal jargon atau kualifikasi 'sesat', tidak cukup itu, lalu ditambahkannya lagi, 'dan menyesatkan'. Muncul pertanyaan, siapa yang sesungguhnya sesat dan menyesatkan, apakah bukan yang meneriakkan itu?!. Misal lain, meresahkan masyarakat, padahal senyatanya sering kali tidak ada keresahan itu, yang ada adalah diresahkan oleh otoritas dengan bertindak kononnya atas nama tokoh masyarakat, dan sebagainya. Bahasa tersebut seakan kebenaran, padahal senyatanya tipu daya otoritas. Sebagaimana kita telah sama mafhum, di medan inilah arogansi, penindasan, tirani selalu menjelma. Tak hayallah mana kala muncul tuntutan, berilah kami kebebasan akses, oleh sebab kami sederajat dengan engkau, hanya bedanya kami tak punya otoritas, atau setidaknya karena kami lemah.

Alam bentukan mesti melalui pengajaran, pengajaran berlaku sejak kelahiran, bahkan sejak masih di alam kandungan. Pengajaran berlaku hingga akhir hayat. Pengajaran adalah transfer pengetahuan dan nilai dengan melalui berbagai sumber, termasuk pengalaman. Berdasar arus datangnya pengetahuan itu dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu yang disadari dan yang tidak disadari. Pengajaran bisa bermakna pula proses pembentukan, setiap hasil ajaran adalah bersifat bentukan, setiap bentukan tergantung pada siapa dan/atau di alam mana dibentuk hingga terbentuknya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka persoalannya tergantunglah pada aspek signifikansinya. Bila seseorang di tanya, misalnya, 'mengapa engkau muslim, mungkin jawabnya, 'mengapa tidak, kedua orang tuaku muslim kok...', kemudian pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'apakah engkau paham tentang Islam?, mungkin jawabnya, 'iya..., tentu saja, sebab aku disekolahkan di Pondok Pesantren oleh orang tuaku...' (-di sini terdapatnya 'pemaksaan' bentuk), lalu pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'di mana engkau mondok?', bisa saja dijawabnya, 'di Pondok Pesantren X...', namun bisa jadi jawaban pertanyaan yang terakhir tadi ditanggapi dengan negatif, yaitu bisa saja dijawab dengan, 'wah..., engkau bakal masuk neraka...', apa pasal?!, ternyata jawabnya disebabkan Pondok Pesantren itu penganut paham Syiah misalnya. Perlu dipahami bahwa dalam Syiah itu terdapat berbagai sekte, madzhab ataupun pandangan, sebagaimana juga dalam Suni. Coba cermati padahal itu belum masuk pada ajaran lain, masih dalam lingkup Islam itu sendiri, bagaimana lagi terhadap agama dan kepercayaan lain...?!. Dari gambaran di atas dapatlah diambil mafhum, bahwa antara paham kebenaran dan bentukan terdapat korelasi positif.

2. Kebenaran dan Korelasinya dengan Luas Kehidupan
Sebagai ilustrasi dapatlah penulis kemukakan beberapa pengalaman penulis sebagai berikut: Suatu ketika, di awal penulis di Australia (2007) penulis menelepon kawan yang satu profesi dengan penulis semasa di Indonesia, lalu ia bertanya pada penulis, apakah ada orang Aboriginal yang beragama Islam?, dan penulis jawab, belum tahu, masalahnya adalah adakah yang mengislamkan mereka?, maksud penulis adalah --dengan kata lain-- adakah yang bisa membentuk mereka menjadi pemeluk Islam?, kalau dikembangkan berbunyi demikian, salahkah mereka karena tidak memeluk Islam oleh sebab tidak ada yang bisa membentuk mereka untuk itu?, mungkinkah akan menjadi pemeluk Islam dengan sendirinya?, apa lagi tiba-tiba menjadi fasih berdoa dalam bahasa Arab sebagai mana kita yang telah dibentuk sejak mengenal dunia, yang diajari mengaji, bermadrasah, membaca berbagai kitab agama Islam, hidup dalam komunitas Islam yang begitu erat mengikat kita sehingga kita tidak bisa dan tidak berani --begitu takutnya-- untuk berbuat lain,arena begitu kuatnya pengikat itu, dan yang tidak ada namanya kamus kebebasan untuk memilih dan menutukan akan makna kebenaran. Pengalaman lain lagi yaitu tatkala penulis mengikuti acara yasinan dan tahlilan, sebelum acara dimulai seseorang yang duduk di sebelah kiri penulis bertanya, 'di Indonesia kamu mengikut organisasi apa?', kemudian penulis bertanya, 'maksud bapak apa?', kemudian ia menjawab, 'maksud saya kamu mengikut madzhab apa?', tentu di sini mengandung maksud telah di/terbentuk menjadi pengikut madzhab apa?, sebab tidak mungkin akan dengan sendirinya menjadi pengikut madzhab tertentu kalau tidak ada yang membentuk ke arah itu, apa lagi bila kenal pun tidak, tentu hal yang mustahil, dan tentu akan lebih mudah membentuknya bilamana seseorang itu awam agama dan ia begitu berminat belajar agama lalu datang pengikut suatu madzhab serta mengajarkan tentang ajaran madzhabnya. Pengalaman lain lagi penulis berbincang dengan tokoh agama --non Islam-- diantara perbincangan itu ada mengutarakan kata tanya, 'apakah kita sudah siap untuk menghadapNya?', dan jujur saja bahwa pertanyaan yang sama juga kerap kita dengar dari penganut agama lain, termasuk yang seagama dengan kita, yaitu Islam.

Coba kita simak sejarah --ke belakang--, coba bergaul dengan manusia yang bergam ras, suku, kepercayaan, adat/tradisi dan sebagainya, berjalanlah dengan elegan, bukan hanya dengan menggunakan pendekatan normatif, coba jelajahi jengkal demi jengkal bumi dari mega polutan hingga hutan belantara pada masyarakat yang masih primitif, bukan hanya terpaku pada satu corak saja, sebab bila hanya satu corak, maka hanya satu corak itulah yang dikenal, maka hanya itulah miliknya, atau yang sering kita jumpai adalah tutup mata. Bila kebenaran itu hanya satu corak saja maka betapa kita telah mengingkari akan realitas keberagaman dan keluasan kehidupan. 


Friday, October 16, 2015

IDEOLOGI PERANG

Ihik ihik...
Sy teringat kata2 Jawdat Said, antara lain ia bilang...:
'Karena itulah yang sebenarnya terjadi. Kultur paksaan itu memang begitu dominan, tidak hanya dalam dunia politik tapi juga dalam gerakan-gerakan fundamentalisme agama. Dalam dunia politik kita menjumpai, setiap kali seorang diktator tumbang, akan muncul diktator lain sebagai pengganti. Gerakan fundamentalisme agama juga begitu: menginginkan perubahan dan pergantian kekuasaan dengan cara-cara paksaan dan kekuatan bersenjata. Karena itu, yang terjadi hanyalah siklus balas dendam dan jatuhnya korban di kedua belah pihak, baik yang ditumbangkan maupun yang menumbangkan.
Saya berpendapat, jika kelompok-kelompok fundamentalis itu punya kesempatan berkuasa, mereka pasti akan menerapkan kultur paksaan dengan sempurna. Saya menyayangkan di dalam masyarakat kita masih begitu dominan kultur ini. Kita sukses besar membunuh kekuatan nalar dan kreativitas. Kita tidak memahami ruh Islam dan semangat demokrasi yang terkandung dalam banyak ayatnya. Karena itu, saya berpendapat bukan Barat yang menciptakan kelompok-kelompok bersenjata di negeri kita, tapi mereka justru lahir dari kultur paksaan di semua aspek yang masih dominan. Saya terkadang merasa masih terlalu banyak umat Islam yang menjadi kaum neo-Khawarij yang seolah-olah berbangga membunuh Ali untuk dipersembahkan sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah'.

Monday, October 12, 2015

SEKADAR PORSI

Oleh: A. Fuad Usfa
Menganggap suatu yg serius itu santai ya penting..., sebagaimana menganggap suatu yg santai itu serius pun juga penting..., ada porsinya masing2...

Canda itu penting..., marah itupun penting jua, pun ada porsinya masing2...

Tertawa itu penting..., menangis pun penting..., pun juga ada porsi masing2...

Senyum itu penting..., sebagaimana cemberut pun juga penting..., tentu pun dalam porsinya masing2...


(AFOF, Cannington WA, Medio Fajar, 13 Oktober 2015)

Saturday, October 10, 2015

PREMANISME

Preman (baik hitam maupun putih) dieman..., untuk apa?!, hus...!, jangan rame2..., dah pada tahu... 

Siklus lingkaran setan..., ihik ihik...

KORUPTOR

Adakah lini yg terbebas dari korupsi di negeriku...?, #jawab dg jujur..., tak perlu pakek tropong dech...
Mereka yg melindungi koruptor ya koruptor..., mereka yg memerangi koruptor ya koruptor (nuntut bagian kok...), mereka yg kononnya anti korupsi ya koruptor... #judulnya penuh kemunafikan dot kom kalee...

KORUPSI OH KORUPSI

Oleh:  A. Fuad Usfa
Teriak2 hal korupsi..., duduknya di bangku korupsi, artinya ia bisa duduk bekerja oleh karena nyogok..., nyogok itu = apa ya...?!. Eeee..., tahu pimpinan dan koleganya korupsi ia tenang2 saja, bahkan melindungi dg beragam bentuknya, oleh sebab ia kepercikan juga, dapat tempiasnya..., yaaa..., begitulah!, melingkar2...!.
Tiada mengherankan pula bila bersua yg hari2 ia berlaku korupsi, namun malah duduk di lembaga anti korupsi..., ihik ihik... #kemunafikan yg luar biasa..., pembelajaran kemunafikan yg amat efektif dan menakjubkan...

Korupsi oh korupsi..., sudah begitu mengakarnya dikau..., tak ada lini yg tanpamu...

Tafsir Tekstual

Tafsir Tekstual
SI DUNG DAN TUANNYA
Oleh:  A. Fuad usfa

Aku teringat apa yg dikatakan Ali Harb (Libanon), ia bilang, “perkataan” adalah tipu daya dan “teks” adalah bentuk penipuan yang selalu memberi batasan di antara dimensi yang berbeda. Ali Harb tidak mengecualikan terhadap teks apa saja..., tidak ada kecualinya..., berlaku untuk semua teks.

Makna2 teks akan tertinggal, bahkan sebelum menjelma dalam bentuk teks itu sendiri. Sy mencoba membuat suatu perumpamaan di sini. Si Dung dan Tuannya... Singkat saja...: Suatu ketika si Dung diminta oleh tuannya mengambilkan sebutir telur di meja..., (--di meja itu terdapat beberapa dadu warna-warni dan beberapa butir telur--), ternyata si Dung mengambil dadu warna biru..., setelah diserahkan pada tuannya tuannya jadi kaget, dan berujar..., 'Dung..., ini namanya dadu..., bukan telur..., kalau telur itu yg bentuknya bulat sedikit lonjong..., kalau dadu tak bisa dimakan..., kalau telur dimakan sedap..., paham kan Djng...?', ujar tuannya..., lalu si Dung balik mengambil sebutir telur, seusai telur itu diserahkan pada tuannya, si Dung mencatat kata2 tuannya tadi dan lalu menghafalkannya...

Suatu ketika si Dung jalan2 ke area pengembalaan kambing..., begitu melihat banyak kotoran kambing si Dung bukan main riangnya..., ia hafal betul apa yg dikatakan tuannya, lalu diambilnya goni plastik, dipilihnya kotorang kambing itu yg berbentuk bulat sedikit lonjong..., karena itu adalah telur, itulah dalam pandangannya... Setelah goni itu penuh dipikulnyalah menuju rumah tuannya..., di perjalanan ia begitu girangnya, sebab merasa mendapat telur sebegitu banyaknya..., tapi beberapa orang menegur bahwa itu bukan telur, melainkan kotoran kambing..., setiap kali orang menegurnya ia tidak terima, bahkan marah dan bahkan ada pula yg dibunuh krn ia merasa pendapatnya disalahkan..., bahkan merasa dihina..., padahal ia ingat persis apa yg dikatakan tuannya, sebab ia telah mencatat dan menghafalkannya..., 'bulat sedikit agak lonjong'...

Begitu sampai di depan rumah tuannya ia berteriak2 kegirangan..., tatkala tuannya bertanya, mana telurnya Dung..., kontan si Dung menuangkan isi goninya dan berkata..., 'ini tuan, ini tuan...', maka tuannya jadi kaget dan bilang bahwa itu kotoran kambing, bukan telur..., tentu saja si Dung jadi bingung dan berujar..., 'bukankah tuan yg telah bilang pada sy, bahwa telur itu bulat sedikit lonjong..., sy telah mencatat dan menghafalkannya tuan..., ini catatan saya tuan...!'.

Beginilah manakala yg digunakan adalah tafsir tekstual... Si Dung hanya bisa mencatat dan menghafal teks, namun tak pernah paham terhadap konteksnya...

Semasa sy masih kecil sering didongengi.., dongeng rakyat di Bawean..., yaitu dongen yg berjudul 'Si Dhukseng'..., dongeng ini juga mengisahkan bahayanya orang yg hanya berpijak pada teks saja... Keadaan seperti itulah yg banyak kita saksikan dalam realitas sosial kita.

(AFOF, Cannington WA, 9 Oktober 2015).

Friday, October 2, 2015

PERCIKAN MUTIARA HIKMAH

Home »  » Percikan Mutiara Hikmah

Oleh: Abah (A. Fuad Usfa)

Diangkat dari Tulisanku di Media Bawean

Posted by Media Bawean on Senin, 30 Maret 2009


Media Bawean, 30 Maret 2009 

Oleh: A. Fuad Usfa 

Perth, 24 Maret 2009 

Manusia menapak kehidupan, menyusur waktu membelah ruang, suka-duka, tangis dan tawa silih berganti, roda kehidupan berputar kadang di atas kadang di bawah, tak ada yang kekal padanya, irama kehidupan mengalun bagai simponi, tak hanya melaju searah dan monoton, melainkan bergerak ke segala penjuru, melangkah dengan segala ukuran dan bentuk. 

Tiada mahluk yang unik, seunik manusia.

Dalam kompleksitas kehidupan, ketahanan manusia diuji, tapak demi tapak pengalaman diukir dalam ragam bentuk dan warna. Dalam menapak kehidupan itu tak terbilang mutiara khikmah mengitari dan menjelma pada setiap insan, kadang disadari dan kadang pun tidak, berbagai kekuatan dan kelemahan telah menyingkap dan menutup, dan orang bijak berstari mencoba menangkap simpul-simpul sebagai kata kunci, lalu dirangkumnya dalam bentuk kata dan kalimat, yang biasa disebut dengan peribahasa, kata-kata mutiara, pepatah, mutiara khikmah dan lain-lain, sebagai diantaranya penulis nukil barikut: 

*) Hai orang-orang yang mencari jernih, jernih yang tak ada kekeruhan padanya, berarti engkau mencari sesuatu yang tak pernah ada, jangan harap usahamu itu akan berhasil; sekali dunia tetap dunia, antara yang hak dan yang batil akan datang silih berganti. (Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu) 

*) Aku bermimpi bahwa hidup itu indah, aku bangun, dan menemui kenyataan bahwa hidup itu perjuangan.

*) Jika gagal tujuh kali, bangkitlah untuk yang kedelapan kali. (Peribahasa Jepang)

*) Pohon besar lebih banyak menerima terpaan angin; pohon besar jatuhnya keras; namun, pohon besar tidak akan roboh dengan sekali tebas. (Peribahasa India) 

*) Pemimpin harus belajar mengalami kekalahan, dan berani bekerja keras. (Peribahasa Cina) 

*) Jika matahari jatuh ke atas kotoran, ia tetap sinar yang sama, tak akan ada pencemaran yang menghinggapinya. (Jalaluddin Rumi) 

*) Bagaikan batu karang yang tak terguncang oleh badai, demikian pula para bijaksana, tidak akan terpengaruh oleh celaan dan pujian. (Sidharta Gautama)

*) Orang yang mencari-cari kesalahan orang lain adalah orang yang buta terhadap kesalahannya sendiri. (Mohandas K. Gandhi) 

*) Unta tidak pernah melihat punggungnya yang bungkuk, tetapi kebungkukan saudaranya selalu berada di depan matanya. (Peribahasa Arab)

*) Hati-hatilah terhadap seseorang yang memuji secara berlebihan, karena orang tersebut juga akan mencela tanpa batas. (Peribahasa Arab) 

*) Jangan membicarakan keberhasilanmu pada mereka yang sedang dirundung gagal; jangan lupakan kegagalanmu pada masa jayamu. (Peribahasa Cina) 

*) Maaf akan sempurna, bila suatu kesalahan tidak diingat-ingat lagi. (Peribahasa Arab) 

*) Taburkan hari ini aksi, besok akan engkau dapatkan kebiasaan, taburkan hari ini kebiasaan,besok akan engkau dapatkan sifat, taburkan hari ini sifat, besok akan engkau dapatkan kepribadian. (peribahasa Inggris) 

*) Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya, maka ia dapat dikatakan sebagai orang yang bijaksana; tapi bila orang bodoh menganggap dirinya bijaksana, maka sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh. (Sidharta Gautama) 

*) Bila orang bodoh maju memimpin, orang pandaipun akan diperbodoh.

*) Ilmu dapat ditiru, sedang nasib tak ‘kan dapat ditiru. (Peribahasa Jawa)

*) Kemalangan dapat menjadi jembatan keberuntungan. (Peribahasa Jepang)

*) Kelemahan yang berlebihan sama buruknya dengan kekuatan yang berlebihan. (Peribahasa Cina)

*) Orang yang mempunyai kekuasaan, cenderung menyalah gunakan kekuasaannya; namun orang yang mempunyai kekuasaan mutlak, pasti menyalah gunakan kekuasaannya. (Lord Acton) 

*) Jek nga bukkak sewek, sa gitakna nga bukkak langngek; jek nga bukkak langngek, sa gitakna andik bekal. (Peribahasa Bawean) 

*) Orang yang pandai sering merasa khawatir, orang yang setia sering mendapatkan pekerjaan terlalu banyak. (Peribahasa Cina)

Wednesday, September 30, 2015

Cerpen CAK

Cerpen
CATATAN ANAK KOST
Sore itu cuaca amatlah cerah, seorang kawan mengajakku silaturrahmi, kusambut ajakan itu dengan segala senang hati. Tak lama kemudian sampailah kami di sebuah rumah dengan pintu dalam keadaan tertutup, kawanku mengetuknya seraya menyampaikan salam yang serta merta dijawab sang tuan rumah. Sebagai tamu baru, aku masuk dengan sopan; dan, aduhai di rumah itu ada seorang dara nan cantik rupawan, rambutnya terurai menyentuh bahu, kulitnya putih berhidung mancung, matanya seakan menggoda. Sebetulnya kami telah saling mengenal tentang diri, walau baru pertama kali bertatap muka. Aku menyapanya, ia membalas sapaanku, degup jantung serasa menyepat, aku tak tahu getar apakah gerangan?. Aku tengah bersama dara jelita, dara yang jadi idaman banyak jejaka, yang dibincang di banyak tempat dan ragam waktu. 'Ah..., tentu engkau bukan gadisku...', demikian hatiku berbisik, 'terlalu banyak yang mengidamkanmu, yang juga telah menyatakan padamu, sedang aku baru hadir dalam catatan hatimu', lanjut bisik kalbuku. Kala itu dia memakai gaun putih berenda, betapa anggun dan mempesona. Aku berbincang apa adanya, dan yang mengagetkanku, ternyata ia banyak tahu tentang aku, aktifitasku..., atau apa-apaku..., apa saja tentang aku..., sampai kala aku nonton dramapun dia tahu..., bahkan dimana saja posisiku saat itu...; aduh..., mengapa dia tahu...?, untuk apa dia tahu...?. Aku juga banyak tahu tentang dia, tak terbilang kawanku yang mengidamkan dia, terlalu banyak berita tentang dia yang disebar sang bayu, terutama di saat weekend, saat terkadang aku hanya mampu berbaring di kamar kostku. Ah..., saat ini nadiku bergejolak, jantungku berdetak terlalu cepat dari biasanya, dan ternyata cintapun telah bersemi, gayung bersambut, kata berjawab, pucuk dicinta ulam pun tiba, hati berbunga2, jiwa pun mengalunkan gita asmara.


Monday, September 28, 2015

DI PERJALANAN

Oleh: Abah
Di suatu senja aku memasuki kota Johor Bahru, aku ingin menikmati malam di kota itu, aku harus bermalam, dan baru masuk Singapore keesokan harinya, aku menyewa sebuah kamar di lantai dua di suatu hotel sederhana, aku tengok dari jendela orang-orang melakukan aktifias tak henti-hentinya, ternyata 24 jam. Di tengah malam aku turun dan makan di rumah makan India, di pojok sana berdiri 'sang bidadari' mencari 'mangsa'..., hehe...

OH TUHAN

Oleh: Abah
Sy merenung, kala sy msh kecil, hidup di alam Desa, traditional, radio pun jarang orang punya, punya sepeda ontel sdh begitu bangga..., kala menginjak usia remaja arus modernitas sdh mulai merambah Desa kami, radio sdh makin banyak yg punya, tape recorder, TV, sepeda motor pun dah masuk pula... Di perantauan aku hidup di kota, kebanggaan si anak Desa, dunia yg ku arungi berubah pula, adat budaya pun berbeda, pergaulan, aku pun mulai bergaul dg Budi, Stevanus, Wayan, Manurung, dst..., lalu aku mulai mengenal kawasan2 lain..., berbeda2... Kini usiaku sdh tak ter bilang muda lagi, ku tatap ke belakang sejak di saat ku masih kecil dulu..., Serentang perjalanan..., serasa jauh perbedaan itu... Kawan2ku dan orang2 lain berbeda..., dari perbedaan yg dekat hingga yg jauh..., salah kah perbedaan itu?, kalau salah lalu siapa yg harus disalahkan pula?, diantara yg berbeda itu siapakah yg senyatanya salah?, (--ter lepas dari menurut pandangan kita--), dan harus kah diperangi?. Tuhan Maha Bijaksana, Maha Pengasih, Maha Penyayang...

CAHAYA KASIH

Oleh: Abah
Ku berjalan di atas bumi ini, berjumpa betagam insan, tentu banyak yg tak ku kenal, kadang ku sempat menyapa kadang pun tidak, merekapun begitu... Dalam arung kehidupan aku tak mengerti mengapa aku tiba2 begini, dan tentu merekapun juga... "Setiap ku menyapanya selalu ku tanya pula", 'benarkah engkau?', mrk semua selalu menjawab, 'tentu benar', lalu kadang tak ku pedulikan..., karena aku tak punya otoritas utk itu..., di kejauhan ku tatap cahaya, lembut menyinari, lalu menelusup dalam kalbuku, ku ingat2, lalu ku ingat betul bahwa memang ia pernah hadir, namun awan kelabu lehitaman telah menutupinya, sebelum cahaya itu sempat bersarang di kalbuku seperti yg ku alami saat ini..., dan di kesunyian aku tanya tentang dia dg bisikan, dg lembut ia menjawab  'aku cahaya kasih', dg gemetar ku selimuti tubuhku, kengerian yg tak terperikan, krn kelelawar dan mahluk2 pecinta kegelapan bisa tiba2 dg liar menerkam dan mencabik2 jiwa raga ku..., ingin aku menjerit, namun hanya mampu berkata, 'ah, dasar'...
(AFOF 261014)

KISAH HIDUP

DI ANTARA KISAH HIDUP
Oleh: Abah
Teringat. Seketika sy berusia 14 tahun sy sakit, beberapa kawan menggoda, kamu nampak pucat  sekali Puk, matamu juga cekung... Kata2 kawanku itu menjadi buah pikiran..., lalu aku ingat mati..., lalu teringat sorga dan neraka... Saat itu sy bukannya berpikir searah, seperti yg diutarakan kiai, guru dan ustadz kami..., melainkan muncul pertanyaan lain dalam benak ku... Sorga menyenangkan dan neraka amat sangat menakutkan, lalu di mana aku akan memasukinya?, bukankah yg aku anut ini bisa salah?, sebab agama lain mengatakan penganutnyalah yg akan bisa masuk sorga, yg lain neraka?, kalau begitu aku bisa masuk neraka..., ach mengerikan..., itu yg ada dalam benak sy saat itu... Tengah malam sy sering terbangun, sepertinya risau..., aku hanya bisa memendamnya... Lalu terbersit hasrat membaca buku bacaan ayah kami, aku ingat pertama kali aku sentuh adalah sebuah buku Tasauf Modern karya Hamka, berlanjut pada kitab fiqh, hadist, ilmu kalam, mustalahul hadist, qawaidul fiqh dan sy mulai menjalar pada buku2 pustaka pribadi paman ku yg bernama Moh. Syukan Said, ia adalah alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo, dan beliau punya banyak koleksi buku..., lalu muncul pula keinginan membongkar majalah2 lama kepunyaan orang tua kami di sebuah almari tua (antik), almari itu besar, berukir2an, peninggalan mbah kami dari garis ibu yaitu R. Muhammad Said..., di situ aku dapati majalah2 lama yg saya ingat yaitu majalah Gema Islam dan Abadi..., majalah2 itu sy kumpulkan dan sy jilid, demikian pula majalah yg ayah kami tetap berlangganan yaitu Panji Masyarakat sy jilid pula, juga Majalah Kiblat yg walaupun ayah kami tiada berlangganan namun selalu beli, sy baca pula Majalah Al Muslimun terbitan Persis Bangil..., sy baca karya2 TM Hashbi Asshiddiq, A. Hassan, A. Qadir Hassan, dsb... (-Tentu sepintas dari bacaan2 itu org akan bisa menyimpulkan bahwa kami dari keluarga Masyumi-). Sy punya kawan berdiskusi (lebih tepat tempat kami ngangsu kaweruh) saat itu, yaitu kak Maeng (R. Ismail yg jg masih sedarah dg mbah kami yaitu R. Muhammad Said) Dusun (Kampung) Lau Sungai, beliau putra tokoh Masymi/Muhammadiyah di Bawean yaitu R. Syahruddin)... Kembali pada bacaan..., dari situ pulalah yg mengantar sy pada membaca karya2 pemikiran al Maududi, Sayyid qutb, Muhammad Qutb, Abdul Qadir Audah, Amir saqib Arselan, karena pd khakekatnya nama2 terdahulu yg karyanya sy baca boleh dikata merupakan pintu gerbang pada Maududi dst... Dan, entah sejak kapan, aku tak ingat lagi, bilamana bayangan tentang kematian dg pertanyaan yg merisaukan itu telah sirna dari benakku..., aku lupa... (AFOF 01114).

Saturday, September 26, 2015

PENGEMBANGAN PULAU GILI

(Sebuah Catatan Pokok-Pokok Pikiran)
Oleh: Abah
Pengantar
Tulisan ini adalah catatan pokok- pokok pikiran saya yg saya kirim pada seorang tokoh muda Bawean yg berdomisili di Malang.
Poin 1-3 tidak sy terapkan di sini.
4. Dalam kesempatan ini saya hanya ingin menyampaikan pokok2 pikiran saja, yaitu berkenaan dengan satu sisi pengembangan P. Gili yang sempat menggelitik pikiran saya. Saya punya pikiran begini:
4.1. P. Gili adalah satu2nya pulau sekitar pulau induk (P. Bawean) yang berpenghuni. Selama ini kita hanya mengenal istilah Pulau Bawean, sehingga terkesan Bawean hanya satu pulau saja semacam Pulau Krismes (Christmas Island) misalnya. Senyatanya di sekitar Pulau Bawean terdapat banyak pulau2, secara keseluruhan Bawean bisa disebut Kepulauan Bawean. Pulau Gili sebagai pulau yg berpenghuni menarik untuk dikembangkan, dan akan memberikan nilai keuntungan baik untuk Bawean maupun untuk pulau Gili itu sendiri. Pengembangan Pulau Gili tentu included pengembangan masyarakatnya. Pendek kata pengembangan Sumber Daya Alam dan Sumber daya manusia.
4.2. Di banyak daerah pulau yg terletak di sekitar pulau (kawasan) induk selalu menarik perhatian, taruhlah misalnya Kepulauan Seribu, Rottnest Island, juga sy menggolongkan pulau Serengat, dan juga sy menggolongkan pulau Batam sebagai yg sy maksud ini, dll.
4.3. saya membayangkan ke depan nanti, bagi sesiapa saja yg berkunjung ke Bawean, belumlah lengkap manakala belum mengunjungi pulau Gili.
4.4. Dalam pikiran saya suatu hal yg menarik manakala kita mengembangkan suatu even yg unik yg berorientasi pada kegiatan produktif, dengan menitik beratkan pada pelibatan warga.
4.5. Adapaun yg sy maksudkan unik yaitu suatu hal yg khas, baik khas tanpa tanda kutip ataupun dg tanda kutip. Saya punya pikiran, sangat menarik manakala diadakan suatu even yg bisa juga saya sebut Festifal. Mungkin kita membayangkan Festifal itu adalah suatu kegiatan besar hura2, membutuhkan dana besar yg 'terbuang', tentu saja ini tidak demikian, ini adalah kegiatan produktif, adapun ada kegiatan bakat-minat yang menopang keberadaan festifal tentu itu baik2 saja. Sasaran kita adalah adanya perputaran uang. Manakala kita punya uang dan hanya kita simpan saja, mungkin di bawah bantal, di bawah kasur, atau mungkin dibenam di bawah lantai rumah, dan lain-lain, maka bermakna uang tersebut tidak ada gunanya. Uang akan bermakna manakala digunakan dan dikembangkan baik bagi kita maupun yang lain. Keberadaan uang akan bisa dibilang sehat manakala uang itu diputar. Makin cepat perputaran uang makin bagus. Perlu ditekankan di sini kata perputaran, jadi bukan hanya sekedar kata aliran, atau mengalir, yang sifatnya satu arah, hanya sekedar lewat saja, bersifat konsumtif, sedang perputaran, terjadinya sirkulasi uang dan lebih bersifat produktif.
4.6. Kegiatan festifal ini sifatnya terfokus dan berkala. Saya tidak tahu persis tentang hasil alam atau hal yg khas di pulau Gili. saya hanya membayangkan, katakana misalnya hasil laut dan pantai diusim tertentu, misalnya udang, maka sebut saja Festifal Udang, dll, atau Festifal apalah..., dan ini dilaksanakan di tiap musim..., bisa dalam satu tahun dua atau tiga festifal dg kekhasan yg berbeda, tentu tak persoalan. Menarik manakala kita bisa memberi pinjaman modal (yang merupakan modal tetap) pada masyarakat setempat.
4.7. Hal tersebut tentu merupakan suatu daya tarik wisata tersendiri, setidaknya untuk awal adalah kalangan wisatawan domistik.
4.8. Adapun bumbu2nya bias melihat perkembangan.
4.9. Saya melihat hal seperti itu efektif dilaksanakan di sini.
Demikian pokok2 pikiran yang saya maksud. Dan sekali lagi perkenankan saya menyampaikan Selamat Berlokakarya. Salam salut dari saya.

Perth, Western Australia, 30 April 2015.

BERKISAH

Oleh: Abah
Pra Kata: Yang namanya farm di sini berhektar2..., tidak hanya ratusan meter...
Sy berkisah 'Malam Menuju Farm Area' nih..., hehe...:
Tak terasa, hari berganti hari, minggu berganti Minggu... Malam Minggu yg lalu anakku putri minta antar ke temannya..., dia bilang di Armadale..., 'ok jawabku...', lepas maghrib kami berangkat, anakku buka peta di HPnya..., dia bilang  'kita ke arah Verna Street, roundabout belok kanan, Corfield St belok kiri dan masuk Tonkin HW ke arah kanan...', sampai situ sy instrupsi  'tidak nak, tidak nak, jauh amat ke Armadale masuk Tonkin HW..., coba nanti adek stel map (peta) nya start dari Kelmscott Train Station...', 'ok...', dia bilang... Sampai Kelmscott TS distel dah..., lalu ditunjukkan belok kanan, belok kanan, belok kiri, dan belok kiri masuk Tonkin HW..., 'loh..., kok masuk Tonkin High Way lagi nak...?', aku bilang..., 'abah sih..., katanya suruh lihat map, tapi tak mau ikut map..., yg lalu aba jg gitu kan...?', demikian anakku protes..., 'ok nak..., kita ikut map...', jawabku... Lalu kendaraan melaju, Tonkin HW kecepatan 100km/jam..., lama juga terasa..., lalu sy dengar suara map 600 m belok kanan, tak terasa 600 m terlampaui, anakku protes lagi..., 'tadi belok kanan bah...', terdengar suara anakku protes..., 'sorry, abahnya bingung nih...'  'terus aja bah..., nanti belok kanan di depan...'. Belok kanan ke luar Tonkin HW, masuk jalan berkecepatan 70km/jam..., kendaraan terus melaju, jalan agak gelap, tapi tentu mulus, tak ada lobang apapun..., lalu anakku bilang, 'sebentar lg belok kanan bah...', aduuuuhhh..., lagi lagi kebacut..., anakku protes lagi, krn bukan HW, maka kendaraan bisa langsung muter..., lalu belok kiri..., 'duh..., kok agak lebih gelap lagi nak...?', aku bilang..., 'di depan belok kanan bah...', anakku bilang..., 'ok...', jawabku..., 'duh..., kok masuk jalan gelap nak...?', ku bilang..., anakku bilang mapnya bilang confused bah...', 'ok..., kalau gitu telpon kawanmu nak...', aku bilang... Lalu di telponnya..., 'balik muter bah...', kata anakku..., lalu balik, kemudian belok kiri..., 'sebentar lagi belok kiri bah...', anakku bilang...; dan lagi2 aku kebacut, dan anakku protes lagi, lalu muter dan belok kanan..., dan di situ telah nampak rumah besar berdiri dg luas halaman kira2 seluas kampungku di Boyan..., kampung Kotta..., seorang anak dara berdiri di pojok rumah sambil bicara dg anakku melalui HP..., begitu masuk pintu gerbang anjing besar menghampiri, besar sekali..., kira2 tinggi punggungnya 75-85 cm..., lalu dipanngil oleh tuannya..., ia tak ambil peduli..., kendaraan aku hentikan, kaca jendela aku tutup..., ia berdiri persis disampingku..., karena tinggi maka dg mudah melihatku..., lalu memutari kendaraan..., dan menghampiri tuannya..., kendaraan aku jalankan lg..., sampai persis di samping kawan anakku aku hentikan..., dan anjing itu pergi menjauh dan duduk manis, lalu tiduran..., dan begitulah sikapnya hingga kami balik pulang...

#Suasana malam di farm area..., mengasikkan tentunya...

KENANGAN MALAM

Oleh: Abah
Di suatu malam, masuk waktu dini hari, sekitar jam satu, menyusur lorong Singapore, tibalah di Lavender, dan dari Lavender naik taxi menuju Larkin Johor Bahru untuk suatu destinasi berikutnya.

Friday, September 25, 2015

Bahasa

PANJANG PENDEK
(Dan Refleksi Kefanatikan)
Oleh: Abah
Dengan bersemangat si Budi mengatakan  'dalam bahasa Arab itu ada panjang-pendeknya, salah menyebut panjang pendeknya bisa2 berbuah makna loh...', katanya. Si Ahmad menimpali  'Kau baru tahu kah Bud?, aku telah tahu sebelum aku lahir...', seloroh si Ahmad. 'Maka itu harus hati2 dong Mat...', lanjut si Budi...; dan lalu si Ahmad bertanya  'maksudmu bahasa mana sih Bud...?, tanyanya singkat, yang dg tegas si Budi menjawab  'bahasa Arab...', jawabnya singkat pula..., dan si Ahmad sekali lagi bertanya, 'maksudmu bahasa mana sih Bud...?', lalu si Budi me jawabnya agak kesal, 'bahasa Arab bahasa Arab Mat..., gak dengar ta...?', jawabnya ketus; lalu si Ahmat berujar, 'ooo..., bahasa Arab, bukan bahasa Indonesia to Bud...?', ujarnya; dan si Budi menjawab  'ya bukan to Mat..., kalau bahasa Indonesia tentu tidak Mat...', jawab si Budi yang lalu di timpali oleh si Ahmad, 'ya sudah, kalau gitu sudah jelas to...'. Memang masing2 kita punya bahasa, dalam setiap bahasa tentu tidak ada bahasa yang seratus proses asli, setiap bahasa akan menyerap bahasa lain. Bahasa adalah alat berkomunikasi suatu masyarakat, maka bahasa itu adalah suatu yg lazim di masyarakat itu. Manakala bahasa lain itu telah terserap pada bahasa kita misalnya, maka bisa jadi akan kehilangan makna sekalipun bila di kembalikan pada bahasa asalnya, artinya orang/masyarakat di mana berasalnya bahasa itu bisa tidak mengerti sama sekali (kehilangan makna), atau berubah makna, atau rusak tak karuan. Manakala bahasa telah terserap, maka ia itu adalah miliknya. Rahmah (Arab) bisa menjadi rahmat (Parsia), dan di Indonesia menjadi Rahmah adalah nama diri untuk orang perempuan, sedang Rahmat adalah nama diri untuk orang laki2, padahal kalau ditulis dalam huruf asalnya sama2 menggunakan ta' marbuta'..., dan tentu pak Rahmat, mas Rahmat, dik Rahmat tak perlu sibuk2 untuk operasi ganti kelamin dooong gara2 itu..., hehe...

Tak usah jauh2..., dalam bahasa kita yang nyalang saja, satu kata bisa beragam makna (--tentu ini berlaku untuk semua bahasa--), seperti 'tahu' bisa bermakna 'paham' (-paham saja bisa bermakna mengerti, ajaran ataupun pandangan). Kembali pada kata 'tahu', bisa bermakna paham, mengerti, atau bisa bermakna makanan yang terbuat dari kedelai giling, tentu tergantung konteks, itulah urgensi konteks. Konstitusi bisa kehilangan makna bila dikembalikan pada bahasa di mana ia berasal, yaitu 'constitution', belum lagi bila dikembalikan pada Akar kata..., ah..., orang Inggris tak perlu sibuk nyalah2kan kita, apa lagi disertai berbagai propaganda2 segala..., hmmm... Itulah bahasa, tak perlu dipaksa2kan..., baik bahasa tulis ataupun oral..., kecuali untuk bahasa slank boleh2 saja sih...

Sebagai Catatan:

Menarik utk dicermati, yaitu bahasa Madura, bahasa Madura yg tingkatan umum itu adalah bahasa Melayu jua..., dengan di sana-sini terdapat perasukan dari bahasa Jawa dan bahasa lain yg jumlahnya tak segitu banyak..., oleh sebab itu sesungguhnya tidak sulit utk memahami bahasa Madura bagi yg memahami bahasa Melayu atau bahasa Indonesia..., hmmm..., cool...

Sunday, September 20, 2015

DIAM

Oleh: Abah


Banyak oaring mengira bahwa diam itu berlawanan dengan gerak, dalam arti yang diam berarti tidak bergerak, demikian pula sebaliknya, yang bergerak itu berarti tidak diam, padahal sesungguhnya gerak itu adalah rangkaiaan daripada diam. Hakekatnya tak ada gerak, yang ada hanyalah diam. Makin banyak rangkaian diam akan makin cepatlah apa yang diistilahkan dengan gerak, sedang makin sedikit rangkaian diam akan makin lambatlah apa yang diistilahkan dengan gerak. Diam dalam pengertian jiwa dan raga sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan, sebab orang yang raganya banyak rankaian diam mungkin jiwanya tidak, atau sebaliknya atau berimbang.


Banyak rangkaian diam adalah merupakan sumber kegelisahan dalam hidup, sedang makin sedikit rangkaian diam akan makin memberi ketenangan dalam hidup. Makin dinamik maka akan makin tinggi tingkat kegelisahan, politik dan ekonomi adalah suatu contoh kongkritnya, yaitu sebagai suatu perujudan daripada banyak rangkaian diam itu. Seorang pertapa sejati sedikit rangkaian diam, maka akan lebih mendapatkan kebahagiaan daripada orang yang bergumul dalam kehidupan kebanyakan orang, demikian pula dengan seoarang sufi sejati, para pendeta sejati, dan seterusnya, itulah perujudan daripada sedikit rangkaian diam. Hidup di negeri yang makmur dan memberi perhatian terhadap kesejahteraan rakyatnya juga banyak mempengaruhi terhadap sedikitnya rangkaian diam.


Orang yang menerima (ikhlas) akan lebih bahagia daripada orang yang menentang, maka itulah muncullah ajaran tentang pandai bersyukur, keikhlasan maupun berserah diri dan lalu dikembangkan. Pandai bersyukur, keikhlasan maupun berserah diri merupakan perujudan daripada sedikit rangkaian diam. Makin

Saturday, September 19, 2015

PANDAI BERSYUKUR

Oleh: Abah


Bersykur adalah berterimakasih, menerima atas segala apa yang menimpa kita. Rasa lapang akan bisa kita rasakan manakala kita bisa menerima, bila tidak, tentu kita akan merasakan sebaliknya; jangankan atas hal yang besar, sedang hal yang kecil sekalipun akan dirasakan begitu amat menyempitkan dan teramat berat dipikulnya.


Pandai bersyukur acap dikaitkan pula dengan Tuhan, artinya pandai berterimakasih atas segala pemberianNya. Pada ranah ini termasuk pada ranah konteks, kiranya pada ranah inilah bermulanya kalimat pandai bersyukur.




Bersyukur adalah buah dari segala perilaku, yang aktif maupun pasif. Bersyukur an sich tidak terkait dengan nilai, nilai itu ranah tersendiri, maknanya bersyukur itu bebas nilai. Siapa pun juga yang mampu menyikapi realita dengan menerimanya, ia itu berarti pandai bersyukur. Kita ambil suatu misal yang ekstrim untuk perbuatan yang tidak baik, katakanlah seorang koruptor yang dipinana berat, namun ia seakan tak ada beban, seakan tenang-tenang saja, ia menerima apa pun yang menimpa dirinya, maka ia itu termasuk orang yang pandai bersyukur.


Kembali pada permisalan di atas, pandai bersyukur adalah pandai menyikapi (menerima), sedang korupsi adalah perbuatan tercela, bersyukur adalah melekat pada sifat, sikap jiwa, sedang korupsi adalah pada perbuatan. Perbuatan korupsi adalah tercela, tercela adalah nilai, sebagaimana juga baik, buruk, indah, terpuji dan seterusnya.


Sering pula kalimat pandai bersyukur dikaitkan dengan kebenaran. Sesunggunhnya kebenaran itu adalah ranah lain pula daripada pandai bersyukur. Pandai bersyukur bersifat universal, sedang kebenaran bersifat parsial (subyektif), dua rangkaian kata yang berbeda wilayahnya, suatu contoh seorang Pendeta berceramah dengan berkata, 'Puji Tuhan, kita semua wajib bersyukur, kita telah diberi hidayah yang luar biasa dan tak ternilai harganya oleh Allah, yaitu iman. Kita wajib pelihara dan tingkatkan iman kita, kita tidak susah payah menceri kebenaran Ilahi, kita telah dilahirkan dalam iman. Kita wajib bersyukur oleh sebab kedua orang tua kita telah terlebih dahulu menganut iman yang benar, sehingga karenanyalah sebagian besar yang hadir di sini dalam keadaan iman, suatu hidayah yang luar biasa bagi kita yang harus kita semua syukuri'.
Coba perhatikan narasi di atas; pandai bersyukur adalah bersifat universal, berlaku untuk siapa pun juga, namun uraian dari ceramah tersebut bersifat parsial (subyektif), yang dalam faktanya tidak semua orang menyetujuinya. Pada pandai bersyukur bisa dipakai oleh siapa pun juga sedang uraiaannya tidak, bahkan bisa ditentang oleh yang lain.

KONSEP

Oleh: Abah


Konsep itu penting, realita dalam kehidupan kita adalah suatu jelmaan konsep, namun memang tak semua konsep bisa kita jelmakan, namun yang nyata semua jelmaan dalam hidup dan kehidupan kita adalah merupakan buah daripada konsep. Konsep selalunya adalah ragam, tidak tunggal, yang tunggal pun akan ragam pula oleh sebab keragaman konteks dan subyek. Dapatlah kita ambil suatu missal, tatkala kita menyikapi bahan makan beras, manakala apa yang telah terbentuk di alam pikir dan rasa kita bahwa beras bisa kita konsumsi kapan pun juga, maknanya hingga telah berbubuk sekali pun, maka manakala konsep sedemikian itu dimiliki oleh Mentri Pangan misalnya maka jangan heran manakala banyak beras bubuk beredar di pasaran, namun manakala ia memiliki konsep bahwa setiap bahan pangan akan terpengaruh dengan beredarnya masa, dari yang semula segar hingga pada titik rusaknya (termasuk di dalamnya adalah beras), maka ia akan mengupayakan memetakan jangka masa segar, peralihan dan rusak. Dari situ pulalah ia akan memetakan skala kelayakan untuk dikonsumsi masyarakatnya. Hanya dalam keadaan yang sangat terpeksa sajalah yaitu setelah tidak ditemukan jalan lain ia akan mengambil kebijakan lain, sebagai langkah darurat.


Konsep yang telah menjelma dalam realita keseharian kita bisa membikin kesimpulan-kesimpulan yang bersifat permanen membentuk bangunan kesan yang seakan memanglah sebagai suatu keharusan. Acap orang tak lagi mampu membedakan antara bangunan kesan dan apa yang berada dibaliknya, yang justru itulah esensinya. Suatu misal pada masa lalu kita berpikir bahwa dapur itu selalu kotor, penuh jelaga, bukan hanya pada alat masaknya saja melainkan juga pada dinding-dinding dan atap dapur. Demikian pula tempat buang air besar dan kecil akan dikesankan kotor, berbau tidak sedap, penuh kuman, dan sebagainya, oleh sebab itu ruang dapur perlu dipisahkan dengan ruang tamu, tempatnya pun di bagian belakang. Demikian pula tempat WC, dan WC ini harus dipisahkan jauh-jauh dari aktifitas-aktifitas kita. Hal tersebut telah membentuk konsep tentang bangunan rumah dan benda-benda tadi.


Bangunan kesan oleh sebab dari perjalanan pengalaman, sedang esensi tak terpengaruh sedikitpun, maka itu orang yang cerdas dapat membentuk bangunan kesan baru. Pada jaman sekarang dapur bisa berhadapan dengan ruang tamu, bukan hanya berhadapan, melainkan boleh dikata sebagai satu kesatuan dengan ruang tamu; WC bisa ada dimana-mana, seperti di ruang cuci pakaian (laundry), di ruang sebelah tempat tidur kita, dengan pintu yang bisa saja selalu terbuka; juga WC bisa ada di kamar mandi yang juga menjadi bagian dari kamar tidur kita. Bahkan kamar-kamar mandi itu pun begitu luas serta 'merangkpa fungsi' sebagai 'kamar rias' dengan desain yang begitu bagus dan rapih, tak ada air menggenang; suatu hal yang mungkin aneh dan tak masuk di akal manakala kita menggunakan konsep lama.


Saat ini kami tinggal di sebuah apartemen, mana muka mana belakang saya tak tahu, yang nyata begitu masuk dari pintu utama rumah langsung ruang tamu, persis berhadapan dengan ruang tamu adalah dapur, tanpa dinding penyekat yang menutup diantaranya, ada dua kamar mandi yang 'merangkap fungsi' sebagai 'kamar rias, tak ada air menggenang di situ, tiga WC yang semua pintu-pintunya sengaja tidak pernah kami tutup, kecuali saat dipakai tentu; ah..., apakah tidak bau kencing atau bau-bau yang lain...?; itulah konsep, tentu pertanyaan itu muncul oleh sebab konsep.


Memahami perilaku sosial pun diperlukan pemahaman konsep.

Thursday, August 20, 2015

CERPEN

CERPENKU
Judul: IBRAHIM


Pengantar
Cerpen ini ku tulis mengingat suatu peristiwa di 'kampungku' (dalam tanda kutip) entah berapa tahun yang lalu (mungkin setahun/dua tahun lalu) seseorang telah menjadi obyek hujatan di jejaring sosial. Allah telah berfirman, 'Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung jawaban'. (Q:S.17:38); 'Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?, tentu kamu merasa jijik'. (Q:S.49:12).
Acap kita-kita ini terlalu masuk dalam urusan orang lain, suatu hal yang tentu tak patut dikembangkan.


IBRAHIM
Ibrahim lahir lahir di Desa Kota Kusuma Sangkapura Bawean, ia anak muda yg rajin bekerja, masih kecil ia sudah pandai membantu ayah-ibunya untuk mencari kayu bakar di kawasan perkebunan Telok, tak seberapa jauh dari rumah tinggalnya. Kayu-kayu itu diikatntnya, dibuat dua ikatan yang sama besar dan dihubungkan dengan gala lalu dipikul dibawa pulang, demikian pula ia mencari daun kelapa yang kering untuk membarakan api. Keadaan hidupnya masih sangat tradisional di saat orang-orang pada memakai kompor gas.


Saat ia usia 17 tahun ia tertarik untuk mengadu nasib ke negeri seberang, kononnya mereka yang pergi ke sana sama berhasil, pulang bisa membangun rumah yang bagus, beli kendaraan yang bagus, berpakaian yang bagus dan sebagainya. Sebetulnya ia ingin bekerja kapal di Singapore, tapi uangnya tak cukup, hasil penjualan sepetak tanah pekarangan di samping rumahnya yang gubuk hanya mampu untuk beaya ikut calo masuk ke Negeri seberang.


Sesampainya di Negeri seberang ia bekerja di perkebunan, orang-orang bilang bekerja seperti itu disebut mengungsi. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, ia ikut saja apa yang diarahkan calo, ia bekerja di perkebunan kelapa sawit yang sangat luas.
Setahun-dua tahun telah berlalu, satu-dua Hari Raya telah terlampaui, orang tua di kampung telah merindukannya. Kedua orang tuanya adalah sosok orang tua yang ikhlas, sama sekali tak terbersit harapan akan kiriman apapun dari Ibrahim, ia hanya selalu berdoa akan akan cucuran rahmat Ilahi, diberiNya sehat wal afiyah, serta mendapatkan rizki yang halal dan barokah.
Acap kali orang-orang menanyakan (-saya rasa ini sudah mentradisi-) sudah berapa banyak Ibrahim mengirim uang, dan kedua orang tuanya hanya mengatakan, 'saya hanya berharap Ibrahim selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta'ala'.


Orang tua Ibrahim usianya sudah tua, hidup bersama kedua saudara perempuannya. Sebagaimana orang yang telah sepuh kesehatannya sering terganggu, pernah pula diopname di Rumah Sakit (Puskesmas) Sangkapura. Dari situlah mulai munculnya komentar-komentar miring terhadap Ibrahim. Di jejaring sosialpun mulai bertebaran hujatan-hujatan dari ungkapan anak durhaka dan berbagai doa dengan kata 'semoga.........', dan seterusnya yang semuanya tak ada yang sedap didengar. Komentar-komentar miring itupun sampai pula ke telinga kedua orang tuanya, mereka tak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya dapat berdoa demi keselamatan anaknya itu. Suatu ketika ayah Ibrahim berbisik lirih pada istrinya, 'mak' (-begitulah beliau selalu memanggil istrinya), 'kasihan Ibrahim ya mak ya..., mengapa orang-orang begitu tega, apa lagi diungkap-ungkap di dalam fesbuk segala ya mak ya..., orang yang tak kenal-mengenal pun ikut menghujat ya, padahal mereka tak tahu bagaimana nasib Ibrahim yang senyatanya, sedang kita saja tidak tahu ya mak ya..., mereka hanya tahu dari tulisan ke tulisan yang pun tak jelas sumbernya, lalu mengutuknya habis-habisan, bukannya mendoakannya, mendoakan Ibrahim dan mendoakan kita semua ya mak ya..., apa lagi ini bulan yang suci yang mestinya suci daripada hujatan dan fitnah ya mak ya...'; ibunya Ibrahim itu hanya bisa menangis, tak bisa memberi komentar balik.
Makin meninggi bilangan hari di bulan Puasa status dan komentar miring tentang Ibrahim makin memuncak, yang seakan memberi suatu Gambaran utuh bahwa Ibrahim adalah anak yang durhaka.


Walaupun Ibrahim selalu di pengungsian, berita-berita itu sampai pula ke Ibrahim bagaimana kejinya penilaian orang terhadap dirinya yang entah dari mana asal muasalnya. Di kegelapan malam nan pekat ia sujud pada Ilahi Rabbi dan berdoa semoga ia dan keluarganya dibebaskan dari segala macam fitnah. Ia hanya tidur di barak, suatu saat ia tersentak dari mimpi buruknya, lalu ia berkata sendirian, 'ya Allah ya Tuhan kami, begitu berat cobaan ini bagiku dan bagi keluargaku, begitu tega orang menyebar berita fitnah tentang aku, tapi seandainya mereka paham keadaan diriku tentu mereka tak akan berbuat sekeji itu. Orang yang tidak paham tentang kegagalan orang merantau tentu tak kan paham segala derita yang dialaminya. Dua tahun aku di sini, di hutan kelapa sawit, dibayar begitu rendah, cukup-cukup untuk ku makan, kadang pun tak terbayar, nyamuk-nyamuk liar bagai telah menjadi temanku, tak ada pilihan lain; aku hanya bisa hidup jujur, aku tak punya dokumen apa pun untuk kembali pulang, paspor telaah dimatikan, ngeri rasanya bila membayangkan yang orang-orang sebut lokap (tahanan) yang kejam. Ya Allah ya Tuhanku, mengapa kah kiranya aku masuk dalam perangkap ini...?!, ya Allah ya Ilahi Rabbi...


Menjelang Hari Raya hujatan-hujatan di jejaring sosial pun malah tambah menjadi-jadi justru saat itu Ibrahim dalam keadaan sakit di baraknya, hingga malam Hari Raya Idul Fitri suara takbir tahlil dan tahmid menggema di tanah rantaunya itu, menggema merasuk di telinga dan kalbunya..., 'Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, la Ilaha illAllahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd, Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, la Ilaha illAllahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd', Ibrahim menangis sejadi-jadinya, mengenang akan kedua orang tuanya yang kata berita yang sampai padanya talah sakit-sakitan, mengenang akan kakak-kakak perempuannya di kampung, mengenang kala dulu ia begitu gesit mengambil kayu dan daun kelapa kering untuk memasak ketupat keluarganya yang serba kekurangan, dan siapakah kini yang melakukannya?!, Ibrahim menangis, seiring dengan itu berita di jejaring sosial pun semakin mendera-dera tanpa ampun. (Perth, 21 Juni 2015)



Sunday, August 16, 2015


DIALOG AMA ORANG SYI'AH
(DAN PARADIGMA SYI'AH)
Oleh: Abah


Seseorang yang seakan merasa punya sorga menegur orang Syi'ah, 'engkau orang Syi'ah ya...?', lalu dijawabnya, 'iya..., emangnya kenapa?', orang tadi menjawab, 'Syi'ah bukan Islam lho...', jawab orang itu balik; 'kata siapa?' tanya orang Syi'ah itu..., dan dengan tangkas dijawabnya, 'kataku', jawabnya singkat; lalu orang Syi'ah itu jawab singkat pula, 'tak apa, asal bukan kata Tuhan', lalu orang itu membalasnya lagi, 'dasar sesat' katanya, dan serta-merta orang Syi'ah tadi menimpali, 'tak apa'; dan orang itu jawab lagi, 'sesat kok tak apa'', jawabnya; dan orang Syi'ah itu menjawab agak panjang, 'ya tentu doooong, sesat, kan sesat dalam pikiranmu..., artinya sesat ke jalan yang benar, daripada anda, benar, tapi benar-benar sesat', jawabnya tegas; 'ah, dasar pencuri sandal', kata orang itu (-dengan mengingat omongan orang yang suka propaganda dan provokasi yang banyak pula dishare-share di fesbuk-), lalau orang Syi'ah itu menjawab, 'tak apa, silahkan tuduh, daripada anda pencuri kursi', jawabnya singkat.

Saturday, August 15, 2015


BERAGAMA
Oleh: Abah


Seseorang yang berhak menentukan ('mematerai'), --mestinya yang lebih tepat adalah kata mengarahkan secara intent-- seseorang untuk memeluk agama atau keyakinan tertentu hanyalah orang tua atau pengasuhnya sedari kecil, sedangkan yang merhak menentukan tetap atau ke luar dari  agama atau keyakinannya itu hanya diri orang yang bersangkutan; oleh sebab itu tak ada sesiapa pun yang berhak memaksa-maksa seseorang atau kelompok orang untuk menyatakan diri atau kelompoknya ke luar/ di luar dari agama yang diakuinya.

KHALAQAH
Oleh: Abah


Dalam realitasnya masuk ke khalaqah bermakna telah menghambakan diri tunduk pada pandangan khalaqah yang dipahami sebagai pandangan Tuhan.

KEYAKINAN
Oleh: Abah


Kebenaran keyakinan tidak bias dihadapkan dengan rasio, kecuali kata kebenaran itu dimaknakan pembenaran.

DIPAKSA MASUK SORGA
Oleh: Abah


Suatu saat saya membaca status di fesbuk, isinya singkat, 'Lebih baik dipaksa masuk sorga daripada dengan suka rela masuk neraka', katanya; lalu saya hanya geleng-geleng kepala membacanya serta mengelus dada seraya bergumam, 'Itu sih otak teroris namanya'.

DIAJAK MASUK SORGA
Oleh: Abah


Suatu saat saya membaca status singkat di fesbuk, intinya begini: 'Diajak masuk sorga kok tidak mau", dan saya nyeletuk singkat pula dalam mengomentari, 'Siapa yang tidak mau bu...?, semua orang mau, maka itu kita dan mereka-mereka itu beragama.
BERHALA
Oleh: A. Fuad Usfa
Tidak ada manusia penyembah berhala, yang ada hanyalah tuduhan untuk itu. Setiap sesembahan memerlukan perujudan symbol, baik itu dalam bentuk alam maupun created yang berupa patung maupun bangunan, itulah kiranya berhala. Setiap sesembahan adalah gaib, tidak hadir secara kongkrit, walau ada yang diyakini menjelma secara kongkrit, namun kemudian menjadi gaib pula, sebab setiap yang kongkrit akan bias ditundukkan oleh manusia, sedangkan yang gaib atau abstrak akan bias menjadi suatu yang mutlak, dan bahkan sangat mutlak dalam pandangan manusia, mutlak dalam kegaiban.

Berhala sebagai symbol adalah kongkrit adanya, tentu dapat ditundukkan oleh manusia, namun esensi di balik setiap berhala itu tak kan dapat ditundukkan, sejak masa yang tak terhingga keberadaan manusia hingga kelak akhir zaman.

Catatan:
Siapapun seseorang atau suatu kaum yang beragama menuduh seseorang atau suatu kaum sebagai penyembah berhala, maka perkataanya itu menuju pada dirinya jua.
MANGGA
Oleh: Abah


Mangga, semua kita mengenalnya, tapi yang mana manga itu?; ada pohon manga, buah manga, daun manga, biji manga, bibit manga, dan seterusnya, belum lagi jenisnya, ada manga gadung, mana lagi, golek, gurih, dan seterusnya; lalu yang mana mangganya?; juga belum lagi jumlahnya, rasanya, dan seterusnya.


Mangga bukanlah perkara kongkrit, yang bias ditunjukkan secara nyata, melainkan ia itu adalah idea. Kita dapat dengan akrab menyebut manga, tapi akan sia-sialah kita mencari manga, kita merasa paham akan manga, namun tak kan pernah mampu menunjukkannya.

Friday, August 14, 2015

'KAPALKU'
(Kenangan)
Tanaganku menarik koper, demikian pula kedua anakku..., suara roda koper tak terdengar, kalah dengan hiruk pikuk suara apa saja yang memenuhi lobi Pelabuhan Tanjung Perak. Kami bertiga menerobos kerumunan orang, menyelinap, hingga pada pemeriksaan tiket. Di ruang tunggu kami duduk dan berjalan sambil mengamati apa yang mungkjin diamati. Suara orang terdengar, itu kapal yang kita tunggu, itu..., telah datang. Aku maju mendekat kaca transparan, orang menunjuk pada sebuah bayang hitam nun jauh disana. Orang itu berkata, ya..., itu..., saya tahu..., biasa dari arah sana... BayAng itu makin jelas, dan ujud kapal menjelma..., kapal besar, kapal pesiar. Taklama kemudian kapal yang gagah itu bersandar, penumpang turun dari tangga, dan lalu berhamburan. Lama juga kami menunggu..., biasa..., tak perlu heran..., sudah pakem..., waktu molor...
Terdengar suara dari pengeras suara, kami dipersilahkan naik ke kapal, para calopun datang menghampiri, calo tempat, calo kasur, atau apa-apa lagi..., calo..., itulah di antara kiat untuk menyambung hidup..., suatu simbol betapa kerasnya hidup... Dari calo hingga penjaja berbagai barang dagangan, pedagang asongan.
Kami suka berkumpul bersama orang-orang, berkenalan, berbincang, saling berbagi, saling menolong, suatu simbol kehidupan bermasyarakat, alangkah harmonisnya saat itu, walau kami tak saling mengenal sebelumnya.
Tut..., tut..., tut..., kapal mengangkat sauh, kapal bergerak, dan melaju... Betapa gagahnya kapal ini, aku hitung ada tujuh tingkat, ada kantin, ada gedung bioskop, ada mushalla yang reopresentatif, ada yang lain lagi dan lagi..., menyenangkan..., atau mungkin juga ada kecoak, aku tak tahu..., aku kira kapal ini sebesar GKB kampus III UMM. Kapal menelusur hingga memasuki kawasan Jakkarta.
Jakarta Ibu Kota Negeriku..., kami tengah berada di gerbangnya, hiruk pikuk para calo dan pedagang asonganpun terdengar lagi..., berbagai dagangan yang menarik hati, dari kacang goreng yang dibungkus kantong plastik keci, hingga berbagai barang bermerek (berjenama) walau tiruan, tapi tetap menarik hati..., sekali lagi kiat menyambung hidup..., simbol kerasnya hidup di negeriku...
Di pelabuhan ini adalah pelabuhan terlama yang disinggahi, lalu kapal melanjutkan perjalannya lagi..., hingga sampailah kami di pelabuhan Montok, selalunya singgah di pelabuhan ini lepas tengah malam..., kapal berlabuh, tidak sandar; kapal tongkang merapat, tongkang itu dipenuhi banyak orang, termasuk, sekali lagi kiat menyambung hidup dan simbol kerasnya hidup..., tak lama kapal singgah di sini, dan beranjak menuju destinasi berikutnya...
Kapal besar ini telah mengangkut kami..., anak-anakku sangat suka, kappal besar, serasa tiada ombak di bawah kami...
Sampailah kami di pelabuhan Kijang, pulau Bintan Kepulauan Riau, kapal menelusup masuk ke sebuah celah, lampu dihidupkan semua, tak terkecuali lampu merkuri, kami bergegas turun..., entah keberapa kalinya kami menginjakkan kaki di bumi Bintan ini..., kami melangkah ke luar pelabuhan..., dan melihat kapal itu sendirian..., bagaikan gedung menjulang dengn gagah perkasa..., dan aku yakin..., ini Indonesiaku, walau aku tak tahu adakah pula korupsi di balik ini...?!.

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...