Thursday, August 20, 2015

CERPEN

CERPENKU
Judul: IBRAHIM


Pengantar
Cerpen ini ku tulis mengingat suatu peristiwa di 'kampungku' (dalam tanda kutip) entah berapa tahun yang lalu (mungkin setahun/dua tahun lalu) seseorang telah menjadi obyek hujatan di jejaring sosial. Allah telah berfirman, 'Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung jawaban'. (Q:S.17:38); 'Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?, tentu kamu merasa jijik'. (Q:S.49:12).
Acap kita-kita ini terlalu masuk dalam urusan orang lain, suatu hal yang tentu tak patut dikembangkan.


IBRAHIM
Ibrahim lahir lahir di Desa Kota Kusuma Sangkapura Bawean, ia anak muda yg rajin bekerja, masih kecil ia sudah pandai membantu ayah-ibunya untuk mencari kayu bakar di kawasan perkebunan Telok, tak seberapa jauh dari rumah tinggalnya. Kayu-kayu itu diikatntnya, dibuat dua ikatan yang sama besar dan dihubungkan dengan gala lalu dipikul dibawa pulang, demikian pula ia mencari daun kelapa yang kering untuk membarakan api. Keadaan hidupnya masih sangat tradisional di saat orang-orang pada memakai kompor gas.


Saat ia usia 17 tahun ia tertarik untuk mengadu nasib ke negeri seberang, kononnya mereka yang pergi ke sana sama berhasil, pulang bisa membangun rumah yang bagus, beli kendaraan yang bagus, berpakaian yang bagus dan sebagainya. Sebetulnya ia ingin bekerja kapal di Singapore, tapi uangnya tak cukup, hasil penjualan sepetak tanah pekarangan di samping rumahnya yang gubuk hanya mampu untuk beaya ikut calo masuk ke Negeri seberang.


Sesampainya di Negeri seberang ia bekerja di perkebunan, orang-orang bilang bekerja seperti itu disebut mengungsi. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, ia ikut saja apa yang diarahkan calo, ia bekerja di perkebunan kelapa sawit yang sangat luas.
Setahun-dua tahun telah berlalu, satu-dua Hari Raya telah terlampaui, orang tua di kampung telah merindukannya. Kedua orang tuanya adalah sosok orang tua yang ikhlas, sama sekali tak terbersit harapan akan kiriman apapun dari Ibrahim, ia hanya selalu berdoa akan akan cucuran rahmat Ilahi, diberiNya sehat wal afiyah, serta mendapatkan rizki yang halal dan barokah.
Acap kali orang-orang menanyakan (-saya rasa ini sudah mentradisi-) sudah berapa banyak Ibrahim mengirim uang, dan kedua orang tuanya hanya mengatakan, 'saya hanya berharap Ibrahim selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta'ala'.


Orang tua Ibrahim usianya sudah tua, hidup bersama kedua saudara perempuannya. Sebagaimana orang yang telah sepuh kesehatannya sering terganggu, pernah pula diopname di Rumah Sakit (Puskesmas) Sangkapura. Dari situlah mulai munculnya komentar-komentar miring terhadap Ibrahim. Di jejaring sosialpun mulai bertebaran hujatan-hujatan dari ungkapan anak durhaka dan berbagai doa dengan kata 'semoga.........', dan seterusnya yang semuanya tak ada yang sedap didengar. Komentar-komentar miring itupun sampai pula ke telinga kedua orang tuanya, mereka tak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya dapat berdoa demi keselamatan anaknya itu. Suatu ketika ayah Ibrahim berbisik lirih pada istrinya, 'mak' (-begitulah beliau selalu memanggil istrinya), 'kasihan Ibrahim ya mak ya..., mengapa orang-orang begitu tega, apa lagi diungkap-ungkap di dalam fesbuk segala ya mak ya..., orang yang tak kenal-mengenal pun ikut menghujat ya, padahal mereka tak tahu bagaimana nasib Ibrahim yang senyatanya, sedang kita saja tidak tahu ya mak ya..., mereka hanya tahu dari tulisan ke tulisan yang pun tak jelas sumbernya, lalu mengutuknya habis-habisan, bukannya mendoakannya, mendoakan Ibrahim dan mendoakan kita semua ya mak ya..., apa lagi ini bulan yang suci yang mestinya suci daripada hujatan dan fitnah ya mak ya...'; ibunya Ibrahim itu hanya bisa menangis, tak bisa memberi komentar balik.
Makin meninggi bilangan hari di bulan Puasa status dan komentar miring tentang Ibrahim makin memuncak, yang seakan memberi suatu Gambaran utuh bahwa Ibrahim adalah anak yang durhaka.


Walaupun Ibrahim selalu di pengungsian, berita-berita itu sampai pula ke Ibrahim bagaimana kejinya penilaian orang terhadap dirinya yang entah dari mana asal muasalnya. Di kegelapan malam nan pekat ia sujud pada Ilahi Rabbi dan berdoa semoga ia dan keluarganya dibebaskan dari segala macam fitnah. Ia hanya tidur di barak, suatu saat ia tersentak dari mimpi buruknya, lalu ia berkata sendirian, 'ya Allah ya Tuhan kami, begitu berat cobaan ini bagiku dan bagi keluargaku, begitu tega orang menyebar berita fitnah tentang aku, tapi seandainya mereka paham keadaan diriku tentu mereka tak akan berbuat sekeji itu. Orang yang tidak paham tentang kegagalan orang merantau tentu tak kan paham segala derita yang dialaminya. Dua tahun aku di sini, di hutan kelapa sawit, dibayar begitu rendah, cukup-cukup untuk ku makan, kadang pun tak terbayar, nyamuk-nyamuk liar bagai telah menjadi temanku, tak ada pilihan lain; aku hanya bisa hidup jujur, aku tak punya dokumen apa pun untuk kembali pulang, paspor telaah dimatikan, ngeri rasanya bila membayangkan yang orang-orang sebut lokap (tahanan) yang kejam. Ya Allah ya Tuhanku, mengapa kah kiranya aku masuk dalam perangkap ini...?!, ya Allah ya Ilahi Rabbi...


Menjelang Hari Raya hujatan-hujatan di jejaring sosial pun malah tambah menjadi-jadi justru saat itu Ibrahim dalam keadaan sakit di baraknya, hingga malam Hari Raya Idul Fitri suara takbir tahlil dan tahmid menggema di tanah rantaunya itu, menggema merasuk di telinga dan kalbunya..., 'Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, la Ilaha illAllahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd, Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, la Ilaha illAllahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd', Ibrahim menangis sejadi-jadinya, mengenang akan kedua orang tuanya yang kata berita yang sampai padanya talah sakit-sakitan, mengenang akan kakak-kakak perempuannya di kampung, mengenang kala dulu ia begitu gesit mengambil kayu dan daun kelapa kering untuk memasak ketupat keluarganya yang serba kekurangan, dan siapakah kini yang melakukannya?!, Ibrahim menangis, seiring dengan itu berita di jejaring sosial pun semakin mendera-dera tanpa ampun. (Perth, 21 Juni 2015)



Sunday, August 16, 2015


DIALOG AMA ORANG SYI'AH
(DAN PARADIGMA SYI'AH)
Oleh: Abah


Seseorang yang seakan merasa punya sorga menegur orang Syi'ah, 'engkau orang Syi'ah ya...?', lalu dijawabnya, 'iya..., emangnya kenapa?', orang tadi menjawab, 'Syi'ah bukan Islam lho...', jawab orang itu balik; 'kata siapa?' tanya orang Syi'ah itu..., dan dengan tangkas dijawabnya, 'kataku', jawabnya singkat; lalu orang Syi'ah itu jawab singkat pula, 'tak apa, asal bukan kata Tuhan', lalu orang itu membalasnya lagi, 'dasar sesat' katanya, dan serta-merta orang Syi'ah tadi menimpali, 'tak apa'; dan orang itu jawab lagi, 'sesat kok tak apa'', jawabnya; dan orang Syi'ah itu menjawab agak panjang, 'ya tentu doooong, sesat, kan sesat dalam pikiranmu..., artinya sesat ke jalan yang benar, daripada anda, benar, tapi benar-benar sesat', jawabnya tegas; 'ah, dasar pencuri sandal', kata orang itu (-dengan mengingat omongan orang yang suka propaganda dan provokasi yang banyak pula dishare-share di fesbuk-), lalau orang Syi'ah itu menjawab, 'tak apa, silahkan tuduh, daripada anda pencuri kursi', jawabnya singkat.

Saturday, August 15, 2015


BERAGAMA
Oleh: Abah


Seseorang yang berhak menentukan ('mematerai'), --mestinya yang lebih tepat adalah kata mengarahkan secara intent-- seseorang untuk memeluk agama atau keyakinan tertentu hanyalah orang tua atau pengasuhnya sedari kecil, sedangkan yang merhak menentukan tetap atau ke luar dari  agama atau keyakinannya itu hanya diri orang yang bersangkutan; oleh sebab itu tak ada sesiapa pun yang berhak memaksa-maksa seseorang atau kelompok orang untuk menyatakan diri atau kelompoknya ke luar/ di luar dari agama yang diakuinya.

KHALAQAH
Oleh: Abah


Dalam realitasnya masuk ke khalaqah bermakna telah menghambakan diri tunduk pada pandangan khalaqah yang dipahami sebagai pandangan Tuhan.

KEYAKINAN
Oleh: Abah


Kebenaran keyakinan tidak bias dihadapkan dengan rasio, kecuali kata kebenaran itu dimaknakan pembenaran.

DIPAKSA MASUK SORGA
Oleh: Abah


Suatu saat saya membaca status di fesbuk, isinya singkat, 'Lebih baik dipaksa masuk sorga daripada dengan suka rela masuk neraka', katanya; lalu saya hanya geleng-geleng kepala membacanya serta mengelus dada seraya bergumam, 'Itu sih otak teroris namanya'.

DIAJAK MASUK SORGA
Oleh: Abah


Suatu saat saya membaca status singkat di fesbuk, intinya begini: 'Diajak masuk sorga kok tidak mau", dan saya nyeletuk singkat pula dalam mengomentari, 'Siapa yang tidak mau bu...?, semua orang mau, maka itu kita dan mereka-mereka itu beragama.
BERHALA
Oleh: A. Fuad Usfa
Tidak ada manusia penyembah berhala, yang ada hanyalah tuduhan untuk itu. Setiap sesembahan memerlukan perujudan symbol, baik itu dalam bentuk alam maupun created yang berupa patung maupun bangunan, itulah kiranya berhala. Setiap sesembahan adalah gaib, tidak hadir secara kongkrit, walau ada yang diyakini menjelma secara kongkrit, namun kemudian menjadi gaib pula, sebab setiap yang kongkrit akan bias ditundukkan oleh manusia, sedangkan yang gaib atau abstrak akan bias menjadi suatu yang mutlak, dan bahkan sangat mutlak dalam pandangan manusia, mutlak dalam kegaiban.

Berhala sebagai symbol adalah kongkrit adanya, tentu dapat ditundukkan oleh manusia, namun esensi di balik setiap berhala itu tak kan dapat ditundukkan, sejak masa yang tak terhingga keberadaan manusia hingga kelak akhir zaman.

Catatan:
Siapapun seseorang atau suatu kaum yang beragama menuduh seseorang atau suatu kaum sebagai penyembah berhala, maka perkataanya itu menuju pada dirinya jua.
MANGGA
Oleh: Abah


Mangga, semua kita mengenalnya, tapi yang mana manga itu?; ada pohon manga, buah manga, daun manga, biji manga, bibit manga, dan seterusnya, belum lagi jenisnya, ada manga gadung, mana lagi, golek, gurih, dan seterusnya; lalu yang mana mangganya?; juga belum lagi jumlahnya, rasanya, dan seterusnya.


Mangga bukanlah perkara kongkrit, yang bias ditunjukkan secara nyata, melainkan ia itu adalah idea. Kita dapat dengan akrab menyebut manga, tapi akan sia-sialah kita mencari manga, kita merasa paham akan manga, namun tak kan pernah mampu menunjukkannya.

Friday, August 14, 2015

'KAPALKU'
(Kenangan)
Tanaganku menarik koper, demikian pula kedua anakku..., suara roda koper tak terdengar, kalah dengan hiruk pikuk suara apa saja yang memenuhi lobi Pelabuhan Tanjung Perak. Kami bertiga menerobos kerumunan orang, menyelinap, hingga pada pemeriksaan tiket. Di ruang tunggu kami duduk dan berjalan sambil mengamati apa yang mungkjin diamati. Suara orang terdengar, itu kapal yang kita tunggu, itu..., telah datang. Aku maju mendekat kaca transparan, orang menunjuk pada sebuah bayang hitam nun jauh disana. Orang itu berkata, ya..., itu..., saya tahu..., biasa dari arah sana... BayAng itu makin jelas, dan ujud kapal menjelma..., kapal besar, kapal pesiar. Taklama kemudian kapal yang gagah itu bersandar, penumpang turun dari tangga, dan lalu berhamburan. Lama juga kami menunggu..., biasa..., tak perlu heran..., sudah pakem..., waktu molor...
Terdengar suara dari pengeras suara, kami dipersilahkan naik ke kapal, para calopun datang menghampiri, calo tempat, calo kasur, atau apa-apa lagi..., calo..., itulah di antara kiat untuk menyambung hidup..., suatu simbol betapa kerasnya hidup... Dari calo hingga penjaja berbagai barang dagangan, pedagang asongan.
Kami suka berkumpul bersama orang-orang, berkenalan, berbincang, saling berbagi, saling menolong, suatu simbol kehidupan bermasyarakat, alangkah harmonisnya saat itu, walau kami tak saling mengenal sebelumnya.
Tut..., tut..., tut..., kapal mengangkat sauh, kapal bergerak, dan melaju... Betapa gagahnya kapal ini, aku hitung ada tujuh tingkat, ada kantin, ada gedung bioskop, ada mushalla yang reopresentatif, ada yang lain lagi dan lagi..., menyenangkan..., atau mungkin juga ada kecoak, aku tak tahu..., aku kira kapal ini sebesar GKB kampus III UMM. Kapal menelusur hingga memasuki kawasan Jakkarta.
Jakarta Ibu Kota Negeriku..., kami tengah berada di gerbangnya, hiruk pikuk para calo dan pedagang asonganpun terdengar lagi..., berbagai dagangan yang menarik hati, dari kacang goreng yang dibungkus kantong plastik keci, hingga berbagai barang bermerek (berjenama) walau tiruan, tapi tetap menarik hati..., sekali lagi kiat menyambung hidup..., simbol kerasnya hidup di negeriku...
Di pelabuhan ini adalah pelabuhan terlama yang disinggahi, lalu kapal melanjutkan perjalannya lagi..., hingga sampailah kami di pelabuhan Montok, selalunya singgah di pelabuhan ini lepas tengah malam..., kapal berlabuh, tidak sandar; kapal tongkang merapat, tongkang itu dipenuhi banyak orang, termasuk, sekali lagi kiat menyambung hidup dan simbol kerasnya hidup..., tak lama kapal singgah di sini, dan beranjak menuju destinasi berikutnya...
Kapal besar ini telah mengangkut kami..., anak-anakku sangat suka, kappal besar, serasa tiada ombak di bawah kami...
Sampailah kami di pelabuhan Kijang, pulau Bintan Kepulauan Riau, kapal menelusup masuk ke sebuah celah, lampu dihidupkan semua, tak terkecuali lampu merkuri, kami bergegas turun..., entah keberapa kalinya kami menginjakkan kaki di bumi Bintan ini..., kami melangkah ke luar pelabuhan..., dan melihat kapal itu sendirian..., bagaikan gedung menjulang dengn gagah perkasa..., dan aku yakin..., ini Indonesiaku, walau aku tak tahu adakah pula korupsi di balik ini...?!.

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...