Sunday, October 18, 2015

Paham Kebenaran

PAHAM KEBENARAN 
KORELASINYA DENGAN KEBERAGAMAN
Oleh:A. Fuad Usfa

1. Paham Kebenaran Dan Bentukan
Beragam bahasan tentang kebenaran oleh sebab keberagaman obyek itu sendiri, dari yang fiskal hingga yang metafisikal, dari yang nampak hingga yang gaib. Bila ingin membangun rumah dengan gambar dari arsitek seperti ini, campuran semen, koral, dan sebagainya seperti ini, maka bilamana si tukang telah bekerja membangun dan hasilnya sesuai dengan gambar dan seterusnya tadi, maka bermakna benarlah kerja si tukang, oleh sebab keadaan tersebut bisa diukur dengan pasti, obyeknya nampak dengan jelas, maka bisa diukur tingkat kesesuaiannya dengan obyek. Sebaliknya bila berkaitan dengan yang metafisikal, abstrak, gaib, sebab hal tersebut akan melibatkan penafsiran atau intuisi.

Bila seseorang menyalahkan pandangan si fulan, lalu si fulan bertanya mengapa begitu, si yang menyalahkan tadi akan menjawab, 'bila bla bla...', yang kesimpulannya, 'menurut pendapat saya', 'kata orang tua saya', 'kata guru saya', 'kata bla bla bla....', dan seterusnya --dengan merujuk pada sumber-- yang tentu didukung dengan argumen. Bila pendapat tersebut berkenaan dengan hal yang fiskal, bolehlah sedapat mungkin dicocokkan dengan obyeknya, namun bila hal tersebut berkaitan dengan obyek yang non fisikal atau abstrak atau gaib, bagaimna mungkin?. Katakan suatu misal di goa itu ada gendoruwo; bagaimana uji kebenaran yang demikian itu?; hanya saja oleh sebab sedari lahir kita hidup di alam term gendoruwo maka terbentuklah alam pikir dan rasa kita tentang konsep alam gendoruwo, sehingga kita dapat paham genderowo seperti orang-orang terdahulu dan sekitar kita memahami alam gendoruwo, bukan berarti mengetahui tentang kebenaran genderuwo dan alam genderuwo, demikian pula misalnya tentang jin mata merah, dan sebagainya.

Terdapat dua alam yang melingkupi manusia, yaitu alam fitrah dan alam bentukan. Keberadaan kita tidak terlepas daripadanya, alam bentukan tidak terlepas dari pengetahuan kita, yang kemudian membentuk pemahaman, lalu aksi, lalu kebiasaan, dan menjelma menjadi sifat dan keperibadian, yang dari situlah terbentuknya kebudayaan hingga peradaban. Pengetahuan itu terdapat sumber-sumbernya, makin terdapat keberagaman sumber makin membentuk keberagaman pengetahuan, lalu keberagaman pemahaman, dan seterusnya. Persoalannya hanya pada aspek signifikansinya.

Disadari atau tidak akan adanya realitas itu, maka sering muncullah gagasan sensor untuk memotong aliran sumber, misalnya buku-buku karya X tidak boleh beredar di Indonesia, di Pondok Pesantren tertentu, dan sebagainya, atau jangan engkau bergaul dengan si fulan, sebab ia beragama (...............) nanti engkau terpengaruh, dan sebagainya. Di kala yang demikian itu terjadi, maka beralihlah medan, bukan medan kebenaran yang bicara, melainkan otoritaslah yang berlaku, bisa jadi sumber yang benar itulah yang dipotong. Dengan demikian medan kebenaran dipertanyakan, sebab persoalannya seakan si pemilik otoritas itulah si pemilik kebenaran. Suatu contoh yang ekstrim, perhatikan dengan cermat di tengah masyarakat kita, betapa banyak orang yang marah dengan mengancam (teror), melakukan pengrusakan dan bahkan pembunuhan (seperti pengeboman, dan sebagainya), menghalalkan darah sesama, dan klaim yang dikumandangkan adalah demi kebenaran. Alangkah naifnya melakukan gerakan semacam itu dengan mengatas namakan kebenaran, padahal pihak yang diserang itu berpendapat bahwa yang melakukan penyerangan itu yang tidak benar. Taruhlah misalnya kasus seputar Ahmadiyah di Indonesia yang selalu menjadi bulan-bulanan kelompok yang kononnya sepaham dengan kelompok mayoritas. (Coba cermati di sini, ada para pihak yang sebetulnya mempunyai posisi atau kedudukan yang sama, tapi dipahami tidak sama, ditinggikanlah dirinya dan direndahkanlah pihak yang lainnya). Bahkan orang-orang yang tidak tahu menahu atau yang biasa diistilahkan 'orang yang tak berdosa' sekalipun menjadi korban, menderita karena ulahnya. Kalau memang yang melakukan gerakan penyerangan tersebut benar, maka berarti kebenaran itu nista, oleh sebab ia dengan mudah bertindak nista. Bagaimana yang demikian itu bisa terjadi?!, maka sesungguhnya dalam konteks tolok ukur kebenaran yang positif gerakan tersebut menunjuk pada keadaan (pembuktian) ketidak benaran.

Bisalah dipahami bila muncul kontra gagasan, apakah engkau pemilik kebenaran?!. Di sini otoritas justru menjadi batu penghalang, atau belenggu, bahkan penindas atau tiran, baik itu otoritas pada struktur atas maupun struktur bawah atau akar rumput yang selalu begitu mudah digerakkan oleh struktur atas atau mereka yang dengan gampang bertindak gegabah oleh sebab dorongan hawa nafsunya, lalu diteriakkanlah jargon atau kualifikasi, bukan soal kebenaran, melainkan seakan kebenaran, semisal jargon atau kualifikasi 'sesat', tidak cukup itu, lalu ditambahkannya lagi, 'dan menyesatkan'. Muncul pertanyaan, siapa yang sesungguhnya sesat dan menyesatkan, apakah bukan yang meneriakkan itu?!. Misal lain, meresahkan masyarakat, padahal senyatanya sering kali tidak ada keresahan itu, yang ada adalah diresahkan oleh otoritas dengan bertindak kononnya atas nama tokoh masyarakat, dan sebagainya. Bahasa tersebut seakan kebenaran, padahal senyatanya tipu daya otoritas. Sebagaimana kita telah sama mafhum, di medan inilah arogansi, penindasan, tirani selalu menjelma. Tak hayallah mana kala muncul tuntutan, berilah kami kebebasan akses, oleh sebab kami sederajat dengan engkau, hanya bedanya kami tak punya otoritas, atau setidaknya karena kami lemah.

Alam bentukan mesti melalui pengajaran, pengajaran berlaku sejak kelahiran, bahkan sejak masih di alam kandungan. Pengajaran berlaku hingga akhir hayat. Pengajaran adalah transfer pengetahuan dan nilai dengan melalui berbagai sumber, termasuk pengalaman. Berdasar arus datangnya pengetahuan itu dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu yang disadari dan yang tidak disadari. Pengajaran bisa bermakna pula proses pembentukan, setiap hasil ajaran adalah bersifat bentukan, setiap bentukan tergantung pada siapa dan/atau di alam mana dibentuk hingga terbentuknya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka persoalannya tergantunglah pada aspek signifikansinya. Bila seseorang di tanya, misalnya, 'mengapa engkau muslim, mungkin jawabnya, 'mengapa tidak, kedua orang tuaku muslim kok...', kemudian pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'apakah engkau paham tentang Islam?, mungkin jawabnya, 'iya..., tentu saja, sebab aku disekolahkan di Pondok Pesantren oleh orang tuaku...' (-di sini terdapatnya 'pemaksaan' bentuk), lalu pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'di mana engkau mondok?', bisa saja dijawabnya, 'di Pondok Pesantren X...', namun bisa jadi jawaban pertanyaan yang terakhir tadi ditanggapi dengan negatif, yaitu bisa saja dijawab dengan, 'wah..., engkau bakal masuk neraka...', apa pasal?!, ternyata jawabnya disebabkan Pondok Pesantren itu penganut paham Syiah misalnya. Perlu dipahami bahwa dalam Syiah itu terdapat berbagai sekte, madzhab ataupun pandangan, sebagaimana juga dalam Suni. Coba cermati padahal itu belum masuk pada ajaran lain, masih dalam lingkup Islam itu sendiri, bagaimana lagi terhadap agama dan kepercayaan lain...?!. Dari gambaran di atas dapatlah diambil mafhum, bahwa antara paham kebenaran dan bentukan terdapat korelasi positif.

2. Kebenaran dan Korelasinya dengan Luas Kehidupan
Sebagai ilustrasi dapatlah penulis kemukakan beberapa pengalaman penulis sebagai berikut: Suatu ketika, di awal penulis di Australia (2007) penulis menelepon kawan yang satu profesi dengan penulis semasa di Indonesia, lalu ia bertanya pada penulis, apakah ada orang Aboriginal yang beragama Islam?, dan penulis jawab, belum tahu, masalahnya adalah adakah yang mengislamkan mereka?, maksud penulis adalah --dengan kata lain-- adakah yang bisa membentuk mereka menjadi pemeluk Islam?, kalau dikembangkan berbunyi demikian, salahkah mereka karena tidak memeluk Islam oleh sebab tidak ada yang bisa membentuk mereka untuk itu?, mungkinkah akan menjadi pemeluk Islam dengan sendirinya?, apa lagi tiba-tiba menjadi fasih berdoa dalam bahasa Arab sebagai mana kita yang telah dibentuk sejak mengenal dunia, yang diajari mengaji, bermadrasah, membaca berbagai kitab agama Islam, hidup dalam komunitas Islam yang begitu erat mengikat kita sehingga kita tidak bisa dan tidak berani --begitu takutnya-- untuk berbuat lain,arena begitu kuatnya pengikat itu, dan yang tidak ada namanya kamus kebebasan untuk memilih dan menutukan akan makna kebenaran. Pengalaman lain lagi yaitu tatkala penulis mengikuti acara yasinan dan tahlilan, sebelum acara dimulai seseorang yang duduk di sebelah kiri penulis bertanya, 'di Indonesia kamu mengikut organisasi apa?', kemudian penulis bertanya, 'maksud bapak apa?', kemudian ia menjawab, 'maksud saya kamu mengikut madzhab apa?', tentu di sini mengandung maksud telah di/terbentuk menjadi pengikut madzhab apa?, sebab tidak mungkin akan dengan sendirinya menjadi pengikut madzhab tertentu kalau tidak ada yang membentuk ke arah itu, apa lagi bila kenal pun tidak, tentu hal yang mustahil, dan tentu akan lebih mudah membentuknya bilamana seseorang itu awam agama dan ia begitu berminat belajar agama lalu datang pengikut suatu madzhab serta mengajarkan tentang ajaran madzhabnya. Pengalaman lain lagi penulis berbincang dengan tokoh agama --non Islam-- diantara perbincangan itu ada mengutarakan kata tanya, 'apakah kita sudah siap untuk menghadapNya?', dan jujur saja bahwa pertanyaan yang sama juga kerap kita dengar dari penganut agama lain, termasuk yang seagama dengan kita, yaitu Islam.

Coba kita simak sejarah --ke belakang--, coba bergaul dengan manusia yang bergam ras, suku, kepercayaan, adat/tradisi dan sebagainya, berjalanlah dengan elegan, bukan hanya dengan menggunakan pendekatan normatif, coba jelajahi jengkal demi jengkal bumi dari mega polutan hingga hutan belantara pada masyarakat yang masih primitif, bukan hanya terpaku pada satu corak saja, sebab bila hanya satu corak, maka hanya satu corak itulah yang dikenal, maka hanya itulah miliknya, atau yang sering kita jumpai adalah tutup mata. Bila kebenaran itu hanya satu corak saja maka betapa kita telah mengingkari akan realitas keberagaman dan keluasan kehidupan. 


Friday, October 16, 2015

IDEOLOGI PERANG

Ihik ihik...
Sy teringat kata2 Jawdat Said, antara lain ia bilang...:
'Karena itulah yang sebenarnya terjadi. Kultur paksaan itu memang begitu dominan, tidak hanya dalam dunia politik tapi juga dalam gerakan-gerakan fundamentalisme agama. Dalam dunia politik kita menjumpai, setiap kali seorang diktator tumbang, akan muncul diktator lain sebagai pengganti. Gerakan fundamentalisme agama juga begitu: menginginkan perubahan dan pergantian kekuasaan dengan cara-cara paksaan dan kekuatan bersenjata. Karena itu, yang terjadi hanyalah siklus balas dendam dan jatuhnya korban di kedua belah pihak, baik yang ditumbangkan maupun yang menumbangkan.
Saya berpendapat, jika kelompok-kelompok fundamentalis itu punya kesempatan berkuasa, mereka pasti akan menerapkan kultur paksaan dengan sempurna. Saya menyayangkan di dalam masyarakat kita masih begitu dominan kultur ini. Kita sukses besar membunuh kekuatan nalar dan kreativitas. Kita tidak memahami ruh Islam dan semangat demokrasi yang terkandung dalam banyak ayatnya. Karena itu, saya berpendapat bukan Barat yang menciptakan kelompok-kelompok bersenjata di negeri kita, tapi mereka justru lahir dari kultur paksaan di semua aspek yang masih dominan. Saya terkadang merasa masih terlalu banyak umat Islam yang menjadi kaum neo-Khawarij yang seolah-olah berbangga membunuh Ali untuk dipersembahkan sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah'.

Monday, October 12, 2015

SEKADAR PORSI

Oleh: A. Fuad Usfa
Menganggap suatu yg serius itu santai ya penting..., sebagaimana menganggap suatu yg santai itu serius pun juga penting..., ada porsinya masing2...

Canda itu penting..., marah itupun penting jua, pun ada porsinya masing2...

Tertawa itu penting..., menangis pun penting..., pun juga ada porsi masing2...

Senyum itu penting..., sebagaimana cemberut pun juga penting..., tentu pun dalam porsinya masing2...


(AFOF, Cannington WA, Medio Fajar, 13 Oktober 2015)

Saturday, October 10, 2015

PREMANISME

Preman (baik hitam maupun putih) dieman..., untuk apa?!, hus...!, jangan rame2..., dah pada tahu... 

Siklus lingkaran setan..., ihik ihik...

KORUPTOR

Adakah lini yg terbebas dari korupsi di negeriku...?, #jawab dg jujur..., tak perlu pakek tropong dech...
Mereka yg melindungi koruptor ya koruptor..., mereka yg memerangi koruptor ya koruptor (nuntut bagian kok...), mereka yg kononnya anti korupsi ya koruptor... #judulnya penuh kemunafikan dot kom kalee...

KORUPSI OH KORUPSI

Oleh:  A. Fuad Usfa
Teriak2 hal korupsi..., duduknya di bangku korupsi, artinya ia bisa duduk bekerja oleh karena nyogok..., nyogok itu = apa ya...?!. Eeee..., tahu pimpinan dan koleganya korupsi ia tenang2 saja, bahkan melindungi dg beragam bentuknya, oleh sebab ia kepercikan juga, dapat tempiasnya..., yaaa..., begitulah!, melingkar2...!.
Tiada mengherankan pula bila bersua yg hari2 ia berlaku korupsi, namun malah duduk di lembaga anti korupsi..., ihik ihik... #kemunafikan yg luar biasa..., pembelajaran kemunafikan yg amat efektif dan menakjubkan...

Korupsi oh korupsi..., sudah begitu mengakarnya dikau..., tak ada lini yg tanpamu...

Tafsir Tekstual

Tafsir Tekstual
SI DUNG DAN TUANNYA
Oleh:  A. Fuad usfa

Aku teringat apa yg dikatakan Ali Harb (Libanon), ia bilang, “perkataan” adalah tipu daya dan “teks” adalah bentuk penipuan yang selalu memberi batasan di antara dimensi yang berbeda. Ali Harb tidak mengecualikan terhadap teks apa saja..., tidak ada kecualinya..., berlaku untuk semua teks.

Makna2 teks akan tertinggal, bahkan sebelum menjelma dalam bentuk teks itu sendiri. Sy mencoba membuat suatu perumpamaan di sini. Si Dung dan Tuannya... Singkat saja...: Suatu ketika si Dung diminta oleh tuannya mengambilkan sebutir telur di meja..., (--di meja itu terdapat beberapa dadu warna-warni dan beberapa butir telur--), ternyata si Dung mengambil dadu warna biru..., setelah diserahkan pada tuannya tuannya jadi kaget, dan berujar..., 'Dung..., ini namanya dadu..., bukan telur..., kalau telur itu yg bentuknya bulat sedikit lonjong..., kalau dadu tak bisa dimakan..., kalau telur dimakan sedap..., paham kan Djng...?', ujar tuannya..., lalu si Dung balik mengambil sebutir telur, seusai telur itu diserahkan pada tuannya, si Dung mencatat kata2 tuannya tadi dan lalu menghafalkannya...

Suatu ketika si Dung jalan2 ke area pengembalaan kambing..., begitu melihat banyak kotoran kambing si Dung bukan main riangnya..., ia hafal betul apa yg dikatakan tuannya, lalu diambilnya goni plastik, dipilihnya kotorang kambing itu yg berbentuk bulat sedikit lonjong..., karena itu adalah telur, itulah dalam pandangannya... Setelah goni itu penuh dipikulnyalah menuju rumah tuannya..., di perjalanan ia begitu girangnya, sebab merasa mendapat telur sebegitu banyaknya..., tapi beberapa orang menegur bahwa itu bukan telur, melainkan kotoran kambing..., setiap kali orang menegurnya ia tidak terima, bahkan marah dan bahkan ada pula yg dibunuh krn ia merasa pendapatnya disalahkan..., bahkan merasa dihina..., padahal ia ingat persis apa yg dikatakan tuannya, sebab ia telah mencatat dan menghafalkannya..., 'bulat sedikit agak lonjong'...

Begitu sampai di depan rumah tuannya ia berteriak2 kegirangan..., tatkala tuannya bertanya, mana telurnya Dung..., kontan si Dung menuangkan isi goninya dan berkata..., 'ini tuan, ini tuan...', maka tuannya jadi kaget dan bilang bahwa itu kotoran kambing, bukan telur..., tentu saja si Dung jadi bingung dan berujar..., 'bukankah tuan yg telah bilang pada sy, bahwa telur itu bulat sedikit lonjong..., sy telah mencatat dan menghafalkannya tuan..., ini catatan saya tuan...!'.

Beginilah manakala yg digunakan adalah tafsir tekstual... Si Dung hanya bisa mencatat dan menghafal teks, namun tak pernah paham terhadap konteksnya...

Semasa sy masih kecil sering didongengi.., dongeng rakyat di Bawean..., yaitu dongen yg berjudul 'Si Dhukseng'..., dongeng ini juga mengisahkan bahayanya orang yg hanya berpijak pada teks saja... Keadaan seperti itulah yg banyak kita saksikan dalam realitas sosial kita.

(AFOF, Cannington WA, 9 Oktober 2015).

Friday, October 2, 2015

PERCIKAN MUTIARA HIKMAH

Home »  » Percikan Mutiara Hikmah

Oleh: Abah (A. Fuad Usfa)

Diangkat dari Tulisanku di Media Bawean

Posted by Media Bawean on Senin, 30 Maret 2009


Media Bawean, 30 Maret 2009 

Oleh: A. Fuad Usfa 

Perth, 24 Maret 2009 

Manusia menapak kehidupan, menyusur waktu membelah ruang, suka-duka, tangis dan tawa silih berganti, roda kehidupan berputar kadang di atas kadang di bawah, tak ada yang kekal padanya, irama kehidupan mengalun bagai simponi, tak hanya melaju searah dan monoton, melainkan bergerak ke segala penjuru, melangkah dengan segala ukuran dan bentuk. 

Tiada mahluk yang unik, seunik manusia.

Dalam kompleksitas kehidupan, ketahanan manusia diuji, tapak demi tapak pengalaman diukir dalam ragam bentuk dan warna. Dalam menapak kehidupan itu tak terbilang mutiara khikmah mengitari dan menjelma pada setiap insan, kadang disadari dan kadang pun tidak, berbagai kekuatan dan kelemahan telah menyingkap dan menutup, dan orang bijak berstari mencoba menangkap simpul-simpul sebagai kata kunci, lalu dirangkumnya dalam bentuk kata dan kalimat, yang biasa disebut dengan peribahasa, kata-kata mutiara, pepatah, mutiara khikmah dan lain-lain, sebagai diantaranya penulis nukil barikut: 

*) Hai orang-orang yang mencari jernih, jernih yang tak ada kekeruhan padanya, berarti engkau mencari sesuatu yang tak pernah ada, jangan harap usahamu itu akan berhasil; sekali dunia tetap dunia, antara yang hak dan yang batil akan datang silih berganti. (Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu) 

*) Aku bermimpi bahwa hidup itu indah, aku bangun, dan menemui kenyataan bahwa hidup itu perjuangan.

*) Jika gagal tujuh kali, bangkitlah untuk yang kedelapan kali. (Peribahasa Jepang)

*) Pohon besar lebih banyak menerima terpaan angin; pohon besar jatuhnya keras; namun, pohon besar tidak akan roboh dengan sekali tebas. (Peribahasa India) 

*) Pemimpin harus belajar mengalami kekalahan, dan berani bekerja keras. (Peribahasa Cina) 

*) Jika matahari jatuh ke atas kotoran, ia tetap sinar yang sama, tak akan ada pencemaran yang menghinggapinya. (Jalaluddin Rumi) 

*) Bagaikan batu karang yang tak terguncang oleh badai, demikian pula para bijaksana, tidak akan terpengaruh oleh celaan dan pujian. (Sidharta Gautama)

*) Orang yang mencari-cari kesalahan orang lain adalah orang yang buta terhadap kesalahannya sendiri. (Mohandas K. Gandhi) 

*) Unta tidak pernah melihat punggungnya yang bungkuk, tetapi kebungkukan saudaranya selalu berada di depan matanya. (Peribahasa Arab)

*) Hati-hatilah terhadap seseorang yang memuji secara berlebihan, karena orang tersebut juga akan mencela tanpa batas. (Peribahasa Arab) 

*) Jangan membicarakan keberhasilanmu pada mereka yang sedang dirundung gagal; jangan lupakan kegagalanmu pada masa jayamu. (Peribahasa Cina) 

*) Maaf akan sempurna, bila suatu kesalahan tidak diingat-ingat lagi. (Peribahasa Arab) 

*) Taburkan hari ini aksi, besok akan engkau dapatkan kebiasaan, taburkan hari ini kebiasaan,besok akan engkau dapatkan sifat, taburkan hari ini sifat, besok akan engkau dapatkan kepribadian. (peribahasa Inggris) 

*) Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya, maka ia dapat dikatakan sebagai orang yang bijaksana; tapi bila orang bodoh menganggap dirinya bijaksana, maka sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh. (Sidharta Gautama) 

*) Bila orang bodoh maju memimpin, orang pandaipun akan diperbodoh.

*) Ilmu dapat ditiru, sedang nasib tak ‘kan dapat ditiru. (Peribahasa Jawa)

*) Kemalangan dapat menjadi jembatan keberuntungan. (Peribahasa Jepang)

*) Kelemahan yang berlebihan sama buruknya dengan kekuatan yang berlebihan. (Peribahasa Cina)

*) Orang yang mempunyai kekuasaan, cenderung menyalah gunakan kekuasaannya; namun orang yang mempunyai kekuasaan mutlak, pasti menyalah gunakan kekuasaannya. (Lord Acton) 

*) Jek nga bukkak sewek, sa gitakna nga bukkak langngek; jek nga bukkak langngek, sa gitakna andik bekal. (Peribahasa Bawean) 

*) Orang yang pandai sering merasa khawatir, orang yang setia sering mendapatkan pekerjaan terlalu banyak. (Peribahasa Cina)

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...