Saturday, December 30, 2017

TIDAK PASTI YANG DIPASTIKAN

By: Kookaburra (A. Fuad Usfa)

Banyak kita dengar orang berkata, ’kalau kita bla bla bla maka pasti Tuhan akan memberi apa yg kita bla bla bla...’.
Tapi ternyata tidak juga...

Lalau mereka akan berkelit, ‘sebabnya bla bla bla... (seperti contohnya, ‘kalau harapan kamu dikabulkan mungkin kamu akan lalai mengingatNya’. Contoh lain, ‘mungkin kesungguhanmu dalam meminta belum maksimal’. Contoh lain lagi, ‘Tuhan masih mau menguji kesungguhanmu’. Dll...)

Kalau begitu itu namanya tidak pasti...!.
Tidak pasti kok dibilang pasti...

Bahwasanya perkataan itu sangatlah lentur, maka itu akan bisa dibolak-balikkan sesuai yg kita bayangkan. Ini contoh nyata, bahwasanya yg tidak pastipun bisa dibalik menjadi dibilang pasti, padahal tidak pasti.
(Cannington WA, 24 Desember 2017)
(FB)

ALAM IDE

SEGALA YANG ABSTRAK (ALAM IDEA)
By: A. Fuad Usfa
Segala yg abstrak itu benar, segala yg abstrak itu salah, segala yg abstrak itu bisa benar dan bisa salah... Semua itu tergantung yg berkepentingan, disadari ataupun tidak... Mengapa...?, oleh sebab tak ada sesuatu yg lebih lentur daripada yg abstrak (alam idea)...

Adapun yang azasi itu bukan substansi alam idea, melainkan eksistensi alam idea itu...
(Perth WA, 26 Desember 2013)
(FB)

SUASANA DI MOMEN NATAL (2)

By: Kookaburra (A. Fuad Usfa)

Selain gambaran yg diutarakan kawan saya sebagaimana telah di utarakan di atas, perlu juga saya utarakan tuturan kawan (perkawananan) fesbuk saya bertanggal 25 Desember 2017, dua hari sebelum saya tulis torehanku ini. Ia berdomisili di Kanada, negara dengan kultur sosial yg sangat dekat dg Australia.

Di laman fesbuknya ia menceritakan tentang saat ia akan membayar pembelian mainan dua orang anaknya, tiba2 seorang ibu tengah baya cepat2 membayarkannya seraya berkata “saya bayarkan, mereka sangat cute, dan Selamat Natal” (terjemah dari saya).

Selanjutnya di laman fesbuknya itu ia mengutarakan bahwa menjelang Natal orang2 di sana berlomba2 menyumbang hadiah dan makanan, berlomba2 berbagi dan empati kepada siapa saja, baik yang dikenal ataupun tidak, tanpa memandang asal-usul, status, dan agama.

Sebagaimana yg telah saya utarakan di atas, tentu hal sedemikian itu tidak serta merta menjelma, melainkan oleh sebab terdapat konsep yg telah menjadi bagian dalam dirinya. Hal itu berjalan secara refleks.
(Cannington WA, 27 Desember 2017)
(BERSAMBUNG)
*Sebelum sy berbicara tentang pengalaman dan pengamatan  saya, saya akan mengutarakan bagaimana kegiatan yg dilakukan kalangan Ahmadiyah di Inggris dalam suasana di momen Natal.

SUASANA DI MOMEN NATAL (1)

By: Kookaburra (A. Fuad Usfa)

Suasana indah dari dasar hati anak manusia bersemai menyeruak di berbagai sudut. Suasana batin atas balutan spiritual yang menjadi anutan masyarakatnya. Menyebar bagai keharuman bunga di musim semi.

Tatkala insan memaknai Tuhan adalah Dzat nan penuh kasih, maka sikap insanpun akan dihiasi kasih. Begitulah tabiat pemaknaan. Ia akan berimbas pada perilaku, tidak bisa tidak, karena perilaku adalah buah daripada konsep.

Seorang kawan saya yg juga dari Indonesia bercerita, bagaimana ia merasakan suasana di bulan2 menjelang Natal. Seakan orang2 di sini ingin berlomba2 mengejar kesempurnaan kebaikan terhadap sesama, di sana sini nampak siraman kasih mereka.

Kawan saya itu pernah bekerja sebagai pengantar barang2 (paket kiriman) ke rumah2. Pekerjaan itu sdh lama ia tekuni. Ia begitu suka dg pekerjaannya itu. Baginya serasa hanya itu kerja yg paling cocok untuk dirinya. Baginya bidang kerjanya itu adalah bidang kerja yg memberi kemerdekaan bagi dirinya. Kerja sendiri, bisa mengatur waktu sendiri, enjoy..., yaaa..., pendek kata baginya itu suatu kemerdekaan tersendiri dalam melaksanakan tugas kerja.

Suatu ketika, saya diajak jalan2 mutar2 kawasan Perth yg begitu luasnya. Saya heran juga, hingga jalan2 pelosok pun ia tahu, tanpa melihat peta ataupun GPS.

Dengan gambaran itu kita bisa tahu, bahwa ia berinteraksi langsung dg masyarakat di sini. Dan lebih dari itu, orang tua angkatnya pun adalah orang asal Kanada. Jadi dengan demikian tentu ia tahu persis tentang kultur masyarakat sini.
(Cannington WA, 26 Desember 2017)
(BERSAMBUNG)

DOKTRIN YANG DIWARISKAN

By: Kookaburra (A. Fuad Usfa)

Suatu sore ada lima orang sedang duduk di tepi pantai, kelimanya berbeda agama. Mereka menikmati keindahan cakrawala kala mata hari hendak terbenam. Alunan ombak yang tenang, warna biru, ungu, dan kemerahan bagaikan tinta membaur di atas kanvas yg membentang luas. Mata hari  nampak begitu indah dg sinarnya yg menawan hati dan bersahabat.

Ke lima orang itu duduk terpukau, dan mereka sama mengagumi akan keagungan Tuhan. Tuhannya siapa...?!. Tuhan mereka masing2..., yang mereka sama tak tahu..., namun harus merasa tahu... Mengapa?!. Karena doktrinasi yg diwariskan...
(Cannington WA, 28 Desember 2018)
(FB)

TUHAN DENGAN ‘t’ KECIL

By: Kookaburra (A. Fuad Usfa)

Banyak, dan tak terhingga banyaknya, yang aku saksikan. Bahwa untuk menunjukkan keperkasaan tuhan, manusia sama berlomba dengan segala tenaga, pikiran, jiwa dan darah. Agar tuhan menjadi perkasa, seperkasa yg ada dalam bayangannya. Keperkasaan tuhan adalah sebatas  keperkasaan anak manusia.
#ternyata tuhan hanya dimaknai dg ‘t’ kecil...

(Cannington WA, 28 Desember 2018)
(FB)

KEARIFAN,PENGETAHUAN,KEBENARAN DAN KEKUATAN

By: Kookaburra

Kearifan itu dimiliki oleh setiap orang. Adapun tingkat kearifan seseorang itu berbeda. Sama halnya dengan pengetahuan. Tingkat pengetahuan itu pun berbeda2. Kearifan dan pengetahuan itu berbeda pula dengan kebenaran, ia berada pada ranah yg berbeda.

Kadang kita tidak mampu membedakan. Dari situ pulalah terbentuknya kelas2 yg bahkan bisa menindas. Dengan kondisi seperti itu yg menyebabkan acap kita tak mampu bersikap fair.

Katakan suatu contoh praktis saja, bagaimana kita memahami anak kita. Bagaimana orang tua/generasi tua memahami orang muda/generasi muda.

Dari itu sebetulnya kita bisa menarik garis ukur. Garis ukur ini dapat kita bagi menjadi dua bagian, yaitu bagian yg bisa diukur (hard) dan bagian yg tak bisa diukur (soft).

Ok..., terhadap hal yg bisa diukur, dengan ukuran yg jelas, tentu kita tidak bisa menolak, mau tidak mau harus menerima realita. Seperti misalnya orang tua sedang mengalami kesulitan dalam menggunakan komputer, internet, termasuk HP, fesbuk, twitter, WA, dll. Dalam hal ini banyak orang tua yg mau tidak mau harus minta tolong pada anaknya, kendatipun anaknya itu baru duduk di bangku sekolah menengah. Padahal dari segi usia tentu si anak jauh berada di bawah orang tua.

Nah sekarang kita banding dengan bagian yg tak bisa diukur (soft), seperti tradisi maupun agama misalnya. Sulit untuk menemukan siapa sebenarnya yg tepat, atau setidaknya lebih tepat?. Dalam hal ini anak selalu berada pada posisi bawah angin. Padahal sebetulnya sama saja kedudukannya antara bagian yg bisa diukur (hard) dg yg tidak bisa diukur (soft) itu.

Sebetulnya hal itu hanya pada persoalan bisa diukur dan tidak bisa diukurnya. Untuk kasus kita di Indonesia misalnya, hal posisi bawah angin itu diperparah dengan ketergantungan yg kuat si anak terhadap orang tua. Dalam skala umum oleh sebab budaya paternal yg sangat kuat.

Bilamana kita bisa mengakui kemampuan akan keunggulan anak terhadap satu hal, mengapa kita berat, bahkan tidak mengakui terhadap hal yang lain?!.

Dari situ bisa kita pahami bahwa kerangkeng2 terhadap individu dan sosial di masyarakat kita muncul oleh sebab aspek yg tidak bisa diukur itu. Sedang hal yg tidak bisa diukur itu hanyalah suatu kemungkinan semata. Adapun dalam pandangan yg dibentuk dalam masyarakat kita adalah bahwa kemungkinan2 itulah yg lalu dipastikan, dibuat pasti.

Maka dengan demikian berlakulah hukum, siapa yg kuat adalah siapa yg menang. Tentu saja hal itu berbeda lagi dari ranah kearifan, pengetahuan, dan kebenaran.
(Cannington WA, 30 Desember 2017)

Friday, November 10, 2017

KEOBENARAN DAN KEROYOKAN

KEBENARAN DAN KEROYOKAN
By: Kookaburra (A. Fuad Usfa)
KEBENARAN: Kebenaran adalah kebenaran;
KEROYOKAN: Tidaaaak..., kebenaran adalah aku!!!
KEBENARAN: Kebenaran adalah kebenaran;
KEROYOKAN: Tidaaaak..., jangan macem2 engkau!!!
KEBENARAN: Kebenaran adalah kebenaran;
KEROYOKAN: Tidaaaakkk...!!!, jangan mcam2 engkau, bisa kuteriaki yg lain, supaya engkau tahu bagaimana nasib orang yg macem2 padaku...!!!
KEBENARAN: Kebenaran adalah kebenaran;
KEROYOKAN: (lalu meneriaki yg lain...!!!) Ayo kita serang, kita hantam, kita serbu...!!!!! ( dan berdatanganlah beregu2, berkompi2, berbatalion2, berberber dan seterusnya), menginjak, menindih, memukul, membakar, mem mem mem dan seterusnya dan seterusnya..., bertubi2...
KEBENARAN: (sunyi, senyap...)
KEROYOKAN: Akulah kebenaraaaaaaan...!!!!!

Begitulah, bila sesuatu itu diulang ulang dan ulang, dirubung dirubung dan dirubung..., jadilah kebenaran jua... Bukan karena itu kebenaran melainkan karena dikonstruksi sebagai kebenaran...

Di situlah letak pentingnya ilmu pengetahuan, agar sesuatu itu bisa diukur..., tidak hanya dibayang...
(Cannington WA, 11 November 2017)
(FB)

Sunday, July 2, 2017

BOIKOT STARBUCKS

Oleh: Kookaburra
Kata kunci yg digelindingkan akhir2 ini adalah 'boikot starbucks', dan hal itu bisa saja menggelinding dg liar. Sy membayangkan kasus beberapa waktu yang lalu, kasus Sari Roti. Kasus yg dipicu oleh sebab pihak Sari Roti memberikan klarifikasi tentang penyaluran roti produknya ke pengunjuk rasa. Oleh sebab klarifikasi itu lalu diserangnya habis2an, dan seruan boikot menggelinding secara liar tak terkendali. Di tengah kondisi itu muncullah produk roti dg merk baru sesuai tren yg menggelinding secara liar itu. Seruan boikot juga pernah di tujukan pada restoran siap saji Mc. Donald.

Seruan boikot dan bahkan meminta agar pemerintah kita mencabut izin gerai kopi Starbucks dipicu oleh sebab CIO Starbucks, Howard Mark Schultz memberi dukungan kesetaraan LGBT. Muncul pertanyaan mengapa hanya Starbucks?. Bahkan hanya sekedar memberi dukungan terhadap kesetaraan LGBT. Apa persoalannya?, apa kerugian organisasi atau negara yg ditimbulkan oleh dukungan kesetaraan LBGT oleh CIO Starbuck itu?. Apakah setiap orang yg berbeda dg kita harus dinyahkan?, sudah sebegitu brutalkah kita?. Lagi pula bila dibanding LGBT dg kekafiran yg juga sering kita dengungkan apalah artinya LGBT?.

Terlalu nanggung seruan yg diskriminatif tersebut. Mestinya untuk semua saja yg mengakui keberadaan LGBT, termasuk facebook. Lebih jauh lagi, membaikot produk orang kafir. Kalau berani konsekwen, kembalilah kita pada jaman dahulu kala, demi menjaga keyakinan serta pemurnian agama dan kaumnya, dan binalah kelompok sendiri dg simbol pemurnian. Apa harus begitu?.

Boikot, hanya gara2 beda pandangan dalam menyikapi keyakinan kita, namun begitu nanggungkah?, sebrutal itukah?.
(Cannington WA, 3Juli 2017)
(FB)

Saturday, July 1, 2017

SALAH-BENAR

Oleh: A. Fuad Usfa
Yesus itu anak Tuhan... Kata siapa?. Kata orang Kristen... Benar apa salah?. Jawabnya: benar...
Tapi kalau yg bilang begitu orang non Kristen?. Jawabnya: Salah...

Tuhan itu hanya satu..., yaitu Allah... Kata siapa?. Kata orang Islam dan bahkan juga kata orang Kristen... Benar apa salah?. Jawabnya: Benar...
Tapi kalau yg bilang itu orang Hidu?. Jawabnya: Salah

Yg paling didambakan oleh orang Hindu adalah Sorga. Jawabnya: Salah..., ternyata berbeda dg kita bukan...?!

#Tuhan kok punya anak?!. Asal jawab: Kalau Tuhan menghendaki, apa salahNya...?!, kita hidup karena kehendak Tuhan, kita mati karena kehendak Tuhan..., dst.

#Itulah yg namanya akidah...#
(FB)

FILM PENDEK ITU (1)

Oleh: A. Fuad Usfa
Kita mengenal film dokumenter dan juga film imajiner/fiksi. Belakangan ini kita diributkan dg film pendek polisi. Banyak yg meributkan, ada pula yg kebakaran jenggot, bahkan lakon yg ditunjukkan dlm film itu dihubungkan dg fakta dilapangan, dlm arti apa ada yg persis seperti itu.

Itu adalah film pendek serta imajener/fiksi. Film imajener/fiksi berbeda dg film dokumenter. Film imajiner/fiksi yg diunggah polisi itu mencoba menggambarkan secara keseluruhan roh dari tema yg diangkat. Tentu sah2 saja. Maka tidak harus menampilkan kejadian perkasus di lapangan, tentu bisa saja lakon yg ditunjukkan di situ tidak harus sama dg kejadian perkasus di lapangan, tapi bisa menunjukkan roh secara utuh kondisi di lapangan dg menerobos ruang dan waktu. Ruang dalam arti di mana sja, sedang waktu dalam arti kapan saja, ia bisa melaju kedepan, mendahului kondisi yg ada pada hari ini dan hari yg telah lewat. Ia adalah gambaran utuh secara menyeluruh. Menggambarkan kondisi seperti itu tentu tidak mudah, apa lagi dalam film pendek.

Intoleransi adalah real di lapangan, hal tersebut nyata2 terjadi, bukan suatu hayalan, makin menggelinding menyasar pada siapa saja yg berbeda. Tidak tanggung2, ancaman dan teror di lancarkan bertubi2. Ini fakta. Temanya selalu merujuk pada agama.

Intoleransi ditularkan di mana2 pada semua kalangan. Isu kafir dan pengkafiran sudah bukan rahasia lagi. Sudah banyak juga yg menyambut kehadiran isu itu, tak sulit kita menemuinya, bahkan teramat mudah sekali. Walau masih banyak kita lihat di antara mereka yg mana mereka bertumpuh 'di satu kaki tetap aktif menyuarakan anti kafir, sedang di satu kakinya lagi masih tak kuasa berlepas diri dari ketergantungan pada si kafir'. Hal ini dapat kita lihat dalam dunia kerja misalnya, yg mana mereka merasakan nikmatnya bersekongkol dg si kafir. Bekerja pada perusahaan2 kafir, atau patungan dg si kafir (subhat???!!!). Mereka berbangga dg jerih payah si kafir, hidup sejahtera dan makmur karenanya.
Banyak yg bekerja di perusahaan2 yg tak memperdulikan halal-haram, namun gajinya dinikmati untuk segenap keluarga, untuk sanak familinya. Belum lagi jasa bank, dll.

Mereka masih berasyik masyuk berkawan, bergumul, bersalaman, dll, dg si kafir. Hal tersebut mungkin oleh sebab ketidak tahuannya bahwa kafir itu najis, sehingga dg begitu leluasanya berbaur (dalam pengertian luas) dg si kafir. Terhadap kelompok ini bisa jadi apa yg di gambarkan dalam film itu akan mengedepan saat elit2 mereka membuka kran dan mengumbarkan secara terbuka. Kemungkinan yg ke dua, bisa jadi mereka tahu namun mereka menutup mata oleh sebab yg kita tidak bisa menduga, tentu banyak sebab. Di lapangan kita menjumpai juga ada yg bereaksi keluar dari lingkaran (tentu dalam persepsinya), itu kiranya yg terjadi pada keponakan Jimly Asshiddiqy sebagai yg bisa kita akses dari keterangan Jimly dalam unggahan di youtube.  Kemungkinan ketiga oleh sebab pemahaman keagamaan yg luas, yg tentu memahami agama tdk hanya berkutat pada teks apa adanya.
(AFOF, Cannington WA, 30 Juni 2017)
(BERSAMBUNG)

Sunday, May 28, 2017

TERORISME DAN KEPURA2AN YG DIMAINKAN

TERORISME DAN KEPURA2AN YG DIMAKNKAN
Oleh: A. Fuad Usfa
Banyak pihak yg mencoba mengelak dari realitas bahwa terorisme itu memang real..., nyalang di hadapan kita... Beragam cara yg dilakukan untuk itu, ada yg bilang pengalihan isu, ada yg bilang jangan kaitkan teror dg agama tertentu, teror tidak punya agama, bahkan ada yg bilang teroris itu tidak punya agama (suatu fitnah yg nyata), agama kami tidak mengajarkan kekerasan, agama kami tidak mengajarkan terorisme, dsb.

Dengan tidak menampik akan tiada keterkaitannya antara teror dan agama tertentu, namun dalam kontek rentetan kejadian kekinian yg luas berkembang di seantero bumi, termasuk di Indonesia, kita tentu paham bahwa pelaku teror adalah mereka yg menyandang agama tertentu dan memgumandangkan seruan keagamaan, menggunakan simbol2 keagamaan, dengan janji2 yg dinisbatkan pada janji2 Tuhan..., dsb.
Kondisi yg sudah sedemikian rupa memperihatinkan itu malah mendapat dukungan dg berbagai bentuknya... Seiring dg itu beragam upaya mengelak dari realita itu terus berkumandang bersamaan dg mencoba menutupi dg beragam cara, dan ironisnya dalam waktu yg persis bersamaan mengagungkan beragam sepak terjang terorisme yg dilakukan mereka... Sikap kebencian terus dikonarkan, fitnah, hoax dan propaganda2, hingga menabuh genderang perang tak henti2nya dikumandangkan...

Kepura2an terus dilakukan, tak lain untuk menyuburkan terorisme serta bibit2 terorisme...
(AFOF, Cannington, 28 Mei 2017)

Friday, May 26, 2017

TAK DIDIDIK ALTERNATIF2

SEJARAH KITA
Oleh: A. Fuad Usfa
Kita2 ini tidak pernah dididik dg alternatif2..., dari kecil, baik dalam konteks makro maupun mikro..., hingga pada peribadi2/person..., tak pernah dikenalkan itu..., kita hanya dididik satu pendekatan saja, hanya 'hitam-putih'...
(FB)
25 Mei 2016

KORUPSI

KORUPSI
Oleh: A. Fuad Usfa
Entah kapan sy nulis status yg juga sy unggah di twitter dan blog sy yg isinya 'Adakah lini yg terbebas dari korupsi di Negeriku...?!'. Di fesbuk kadang status itu muncul dan sy shared...

Simbol2 begitu kuatnya di negeri kita, seakan kita ini sebagai pemuja2 simbol..., sedangkan substansi terabaikan. Demi simbol kita rela melakukan apa saja, termasuk intimidasi dan teror. Lihatlah realita keseharian kita, begitu gegap gempitanya kita mengawal dan menegakkan simbol..., demi simbol segalanya jadi halal...

Baru saja sy membaca berita, tadi malam pejabat (Uditor) BPK terkena OTT KPK... Tentu sy tidak heran... Apa yg tidak bisa menjadi bahan mainan di negeri kita... Lembaga pendidikanpun bisa rela melepaskan dunia keilmuannya, rela dikikis dg maraknya penyimbolan2..., kadang bukan ilmupun disajikan demi doktrinasi ambisi2 simbolik...

Dari masa lalu anti korupsi didengungkan..., sebagai isu utama yg disuguhkan pada kita, pada saat yg bersamaan kita menabur atmosfir korupsi..., budaya penyuburan korupsi..., maka banyaklah bertumbuhan jamur2 tokoh bangsa yg membangun kerajaannya atas dasar hasil korupsi...
Pada masa Orde Baru memprihatinkan lagi, sebab orang2 tak lagi mampu membedakan mana korupsi dan mana pula yg tidak..., sebab korupsi telah mempunyai nama yg indah, seperti kita kenal luas kala itu, 'luaran', 'ceperan', 'tempat basah' ('basahan?'), atau sebut yg lain lagi...

Kita tentu sama paham bahwa simbol2 itu sangat abstrak... Dengan demikian tak hayal mana kala kita menyaksikan orang2 berteriak lantang, dan mengaitkan pula dg keberagamaan seseorang..., tentu tidak, pemberantasan kurupsi tidak terkait dg itu... Secara umum lihatlah pada urutan tingkat korupsi di dunia...

Selama kita masih mengagungkan simbol dari substasi, maka tak banyak yg kita harapkan dari harapan ideal pemberantasan korupsi yg telah begitu membelit bagai benang kusut di negeri kita...
(AFOF, Perth WA, 27 Mei 2017)
(FB)

Wednesday, May 24, 2017

KEINSYAFAN DIRI

KEINSYAFAN DIRI
Oleh: A. Fuad Usfa
Dulu sy pernah terjebak dalam pemahaman keagamaan normatif, diantara ciri dari pandangan ini teks2 keagamaan lebih dipahami secara tekstual, hitam-putih, hanya kitalah yg paling benar, di luar kita salah, titik!.

Th 1979 geliat gerakan masyarakat Islam bergolak, aku masuk dalam bagian 'sumbu pendek itu', kala itu era internet belum menjelma, maka betebaranlah brosur2, tabloid2, kaset2 orasi keagamaan, semisal Tonny Ardi, Husain al Habsyi, Syafruddin Prawiranegara, dll..., nafasnya adalah mendiskreditkan pemerintah dan pihak2 yg tidak sepandangan, tentu aku suka..., kala itu aku masih mahasiswa..., aku bagian dari sumbu pendek itu...

Pandangan dari Nurcholish Majid tidak aku sukai, tapi aku sering hadir diceramah2 beliau, sebab aku sebaju dg beliau... Pandangan yang bagaikan cakrawala nan luas itu sama sekali tak mampu sy pahami, sebab aku sedang berada dalam tempurung. Bom bom pun meledak di mana2, di sudut gereja, sudut candi Brobudur, atau sebut yg lain...

Saat Gus Dur menyebut gerakan2 'sparatis' itu dg bughat, aku diantara orang yg tak setuju, aku adalah juga orang yg tak menyetujui Pancasila sebagai azas tunggal, bahkan dalam ranah di lingkup bawahpun. Kala sy menyusun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga IMPSB sy merumuskannya secara tegas, walau kemudian berubah saat dalam pembahasan di Surabaya, di arena Musyawarah Tertinggi, itu persoalan lain, itu bukan rumusan dari saya, melainkan hasil bahasan, kawan2 sepantaran dan sepergerakan dg saya tentu tahu sikap saya..., sy 'sumbu pendek'...

Mataku mulai terbuka, saat mau mengintip ke luar tempurung, melrik catatan harian Ahmad Wahib, berdiskusi dg mereka2 yg membuka diri, menempuh bidang studi sosiologi, lalu terbukalah, betapa luas cakrawala itu..., lalu aku pun merambah dunia luar, dalam realita di lapangan terbuka..., dan aku berkata pada diriku, 'kau telah terperangkap, kau tersekap, coba kau angkat tempurung yg melingkupimu, tataplah realita yg mengelilingimu, ternyata tempurung itu hanya bagian dari keluasan lingkup itu sendiri'.

Kini ku mesti insaf dan bertobat..., amin. #Aku bagian dari semua.
(Cannington Western Australia, 11 Februari 2017)
(FB)
#edisi revisi

MATINYA MAKNA KTA

MATINYA MAKNA KATA
Oleh: A. Fuad Usfa
Dulu, saat sy masih aktif2nya bimbing KKN ada cerita, sekedar cerita sebagai i'tibar yg selalu sy sampaikan pada mahasiswa kala pembekalan, agar kita memahami atas kearifan2 lokal, yaitu 'al kisah, suatu ketika mahasiswa KKN memberikan penyuluhan pada warga setempat tentang pentingnya ventilasi. Mahasiswa bilang bahwa ia telah menemui rumah2 di kampung itu sebagian besar tidak ada ventilasinya, lalu ia menyampaikan bahwa utk rumah yg sehat diperlukan sirkulasi udara yg cukup, dan itu akan ada manakala terdapat ventilasi, dan biasanya ventilasi itu terdapat di bagian atas jendela atau pintu, sedang yg demikian itu tidak kita jumpai di kampung ini...', demikian ia mengutarakan...; lalu serta merta ada warga yg hadir di penyuluhan itu yg bilang..., 'mas KKN..., tidak ada ventilasinya sebagai mas KKN maksudkan saja kami sudah kedinginan mas, terutama kalau malam hari, apa lagi ada ventilasinya mas...'. Lalu 'mas KKN' itu berpikir, mengapa demikian?, dan ia sadar bahwa karena sebagian terbesar rumah2 di kampung itu terbuat dari gedeg... Jadi coba kita pikir, seandainya lobang2 pada gedeg itu dikumpulkan jadi satu, berapa besarkah senyatanya ventilasinya itu...?.

Kita sering memahami kata dari segi harfiyah saja, sehingga kata itu menjadi mati..., kata yg mati..., kata yg telah berabad2 sekalipun masih juga dipahami secara harfiyah  padahal jaman telah berubah.
'Mahasiswa' tadi hanya membayangkan, bahwa ventilasi itu adalah ventilasi secara khusus sebagaimana yg terdapat di rumah2 gedung di perkotaan sebagai dari mana ia selama ini tinggal..., ia tidak memahami makna hakiki nya..., tidak memahami konteks...

Dalam pemahaman keagamaan pun tak terkecuali, masih dominan yang seperti itu juga...

#dulu KKN di desa2 terpencil, 3 bulan..., beda dg sekarang... #terlepas dari uraian di atas, sy berpikir sebaiknya KKN itu di stop sj..., dg kata lain tak perlu ada KKN...
(FB)

BALI KATEGORI KOTA ISLAMI

BALI KATEGORI KOTA ISLAMI
Oleh: A. Fuad Usfa
(Maarif Institute)
Sehubungan dg isu yg diangkat 'Maarif Institute' belakangan ini sy jadi pingin nanggapi juga, lalu sy kopi aja komen sy di status sy yg lalu dan sy sesuaikan dg konteks...
Bahwa perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah begitu pesatnya, di masa Rasulullah belum. Kalau semua dirujuk pada contoh Rasulullah, baik itu fi'li, qauli, maupun takriri, tentu gak mungkin... Ini sy ada cerita: pada th 2000 kawan2 Dekan di lingkungan UMM, termasuk sy Dekan FH, melakukan lawatan kerja ke Perth, singkat cerita begitu sampai di Perth kawan sy Dekan FAI (fakultas Agama Islam) bilang pada sy..., 'wah..., sy menemukan Islam di sini pak Fuad...', katanya; lalu sy bilang Islamnya siapa pak?, bla bla bla... Lalu ia bilang..., 'konsepnya pak Fuad...'.

Kosep..., konsep..., berkenaan dg kebersihan misalnya, tentu sy tdk harus mendebat, apa ada dalil yg membolehkan mengangkut sampah dg kendaraan khusus (yg besar) seperti yg dilakukan di Perth, apa ada dalil tentang TPS (tempat pembuang sampah), apa Rasulullah mencontohkannya misalnya..., ya tentu tidak perlu bertanya seperti itu... Lagi pun sy ini kan agak nyleneh juga..., 'wong hal yg NALURIYAH kok diatur2, yo ra diatur akan jalan dg sendirinya laaa...

Ungkapan2 semacam itu telah lama banyak sy dengar, hingga kini pun, termasuk oleh kalangan kita yg bermukim di sini. Ungkapan dari Muhammad Abduh telah begitu populer di tengah2 kita. Abduh adalah seorang tokoh reformis Mesir yang kemudian pernah berkeliling Eropa. Ia mengungkapkan bahwa ia melihat Islam di Eropa, Inggris dan Perancis khususnya, tapi tidak melihat kaum muslim di sana. Sebaliknya, dia melihat kaum muslim di Mesir (negerinya sendiri), tapi tidak melihat Islam di sana.

Semangat 'Maarif Institute' sama dg ungkapan2 itu semua..., bukan hal yg baru. 'Maarif Institute' melakukan pendekatan keilmuan, di saat kondisi masyarakat kita begitu banyak yg hanya berasyik ria dg pendekatan2 intuitif..., yg selalu sy dengar adalah berbungkus marwah ataupun ghirah yg buta, semangat jahiliyah...
(FB)

CERITA LAMA

CERITA LAMA
Oleh: A. Fuad Usfa
Dulu kalau kita bertamu begitu duduk sejenak tiba2 datang kopi dan manisnya minta ampun. Tanpa ditanya suka minum apa, gula berapa.

Adapun yg perlu kita pahami, bahwa dg begitu tuan rumah ingin menunjukkan penghormatan pada sang tamu, itu tradisi kita.

Kini tradisi itu mulai bergeser, bahwa ternyata banyak pilihan2 dalam hidup, termasuk hal minum berminum. Banyak diantara kita yg tidak minum kopi dg berbagai sebab, juga banyak orang yg membatasi dlm mengkonsumsi gula.
Oleh sebab sudah tradisi maka si tamu yg tidak mengkonsumsi kopi dan/atau gula jadi serba salah, diminum tidak bagus untuk diri dan bahkan kesehatannya, tidak diminum takut dibilang sombong.

Dalam jaman keterbukaan sekarang ini tentu bertanya mau minum apa, teh, kopi, milo, misalnya, dan setelah dijawab kopi misalnya, maka kita tanya pula perlu gula berapa?, dan hal tersebut bukan lagi menjadi hal yg tabu...
(FB)

MEMAHAMI SESAMA DAN DELEMATIKA

MEMAHAMI SESAMA DAN DELEMATIKA
Oleh: A. Fuad Usfa
Kita sering tak bisa memahami orang lain, termasuk dalam urusan makan. Dulu masa generasi sy orang ingin berbadan gemuk, kadang banyak orang mengkonsumsi obat gemuk, sebab badan gemuk sebagai simbol kemakmuran, ayem, bahagia, apa lagi kalau perut gendut yg dimaknai sebagai boss...

Masa kini hal demikian itu telah bergeser, malah banyak diantara kita ingin nampak lansing. Anak2 muda banyak yg menakar makanan berdasar jumlah kalori, vitamin, karbohidrat, atau entah apa lagi namanya. Banyak restauran yg mencantumkan kandungan dalam makanan dan minuman secara jelas. Maka jangan heran kalau kita ngundang makan tamu ternyata hanya makan sekadarnya saja. Adapun yg penting kita pahami bukan berarti tamu kita tidak menghargai kita, melainkan memang begitulah pola makannya. Tak jauh2, anak2 sy kalau dibelikan makanan tanpa ditawari terlebih dahulu misalnya, bisa2 tidak termakan, dan ia bilang (misalnya) sudah cukup untuk hari ini bah..., sy hanya butuh sekian butir telur saja lagi, tidak butuh karbohidrat, dsb lagi.

Adapun yg menjadi persoalan kalau kita mengundang makan orang lain dan kita tidak siap memahami orang lain. Di situlah delema kita, yg berlaku pula untuk segala hal yg lain dalam pergaulan hidup keseharian kita, dalam pergaulan yg lebih luas.
Celakanya lagi kalau kita menuntut agar orang lain memahami kita, namun kita tak mau memahami orang lain.
(FB)

DIANTARA KISAH HIDUP

KISAH HIDUP
DI ANTARA KISAH HIDUP
Oleh: A. Fuad Usfa
Teringat. Seketika kira2 sy berusia 15 tahun sy sakit, beberapa kawan menggoda, kamu nampak pucat  sekali Puk, matamu juga cekung... Kata2 kawanku itu menjadi buah pikiran..., lalu aku ingat mati..., lalu teringat sorga dan neraka... Saat itu sy bukannya berpikir searah, seperti yg diutarakan kiai, guru dan ustadz kami..., melainkan muncul pertanyaan lain dalam benak ku... Sorga menyenangkan dan neraka amat sangat menakutkan, lalu di mana aku akan memasukinya?, bukankah yg aku anut ini bisa salah?, sebab agama lain mengatakan penganutnyalah yg akan bisa masuk sorga, yg lain neraka?, kalau begitu aku bisa masuk neraka..., ach mengerikan..., itu yg ada dalam benak sy saat itu...

Tengah malam sy sering terbangun, sepertinya risau..., aku hanya bisa memendamnya... Lalu terbersit hasrat membaca buku bacaan ayah kami, aku ingat pertama kali aku sentuh adalah sebuah buku Tasauf Modern karya Hamka, dari itu berlanjut teruS, berlanjut pada kitab fiqh, hadist, dan mulai menjalar pada buku2 pamanku M. Syukuran Said, pada buku2 ilmu kalam, mustalahul hadist, qawaidul fiqh, dst yg ada di pustaka pribadi paman ku yg bernama Moh. Syukan Said, ia adalah alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo, dan beliau punya banyak koleksi buku..., lalu muncul pula keinginan membongkar majalah2 lama kepunyaan orang tua kami di sebuah almari tua (antik), almari itu besar, berukir2an, peninggalan mbah kami dari garis ibu yaitu R. Muhammad Said..., di situ aku dapati majalah2 lama yg saya ingat yaitu majalah Gema Islam dan Abadi..., bahkan pada kemudiannya majalah2 itu sy kumpulkan dan sy jilid, demikian pula majalah yg ayah kami tetap berlangganan yaitu Panji Masyarakat sy jilid pula, juga Majalah Kiblat yg walaupun ayah kami tiada berlangganan namun selalu beli.
Saya baca pula Majalah Al Muslimun terbitan Persis Bangil..., sy baca karya2 TM Hashbi Asshiddiq, A. Hassan, A. Qadir Hassan, dsb... (-Tentu sepintas dari bacaan2 itu org akan bisa menyimpulkan bahwa kami dari keluarga Masyumi-). Kemudian sy punya kawan berdiskusi (lebih tepat tempat kami ngangsu kaweruh), yaitu kak Maeng (R. Ismail yg jg masih sedarah dg mbah kami yaitu R. Muhammad Said) Dusun (Kampung) Laut Sungai, beliau putra tokoh Masymi/Muhammadiyah di Bawean yaitu R. Syahruddin)...

Kembali pada bacaan..., dari situ pulalah yg mengantar sy pada masa2 kemuadiannya untuk membaca karya2 pemikiran al Maududi, Muhammad Qutb, Abdul Qadir Audah, Amir saqib Arselan, dst, karena pd khakekatnya nama2 terdahulu yg karyanya sy baca boleh dikata merupakan pintu gerbang pada Maududi dst...

Dan, entah sejak kapan, aku tak ingat lagi, bilamana bayangan tentang kematian dg pertanyaan yg merisaukan itu telah sirna dari benakku..., aku lupa... (AFOF 01114)
(FB)
Edisi revisi

OH TUHAN

OH TUHAN
Oleh: A. Fuad Usfa
Sy merenung, kala sy msh kecil, hidup di alam Desa, traditional, radio pun jarang orang punya, punya sepeda ontel sdh begitu bangga...

Kala menginjak usia remaja arus modernitas sdh mulai merambah Desa kami, radio sdh makin banyak yg punya, tape recorder, TV, sepeda motor pun sudah masuk pula...

Di perantauan aku hidup di kota, kebanggaan si anak Desa, dunia yg ku arungi berubah pula, adat budaya pun berbeda, pergaulan, aku pun mulai bergaul dg Budi, Stevanus, Wayan, Manurung, dst... Lalu aku mulai mengenal kawasan2 lain..., berbeda2...

Kini usiaku sdh tak ter bilang muda lagi, ku tatap ke belakang sejak di saat ku masih kecil dulu... Serentang perjalanan..., serasa jauh perbedaan itu... Kawan2ku dan orang2 lain berbeda..., dari perbedaan yg dekat hingga yg jauh... Salah kah perbedaan itu?, kalau salah lalu siapa yg harus disalahkan pula?, diantara yg berbeda itu siapakah yg senyatanya salah?, (--ter lepas dari menurut pandangan kita--), dan harus kah diperangi?.

Oh Tuhan...
(FB)
22 Mei 2016

UJUD KESARAN

UJUD KESADARAN
Oleh: A. Fuad Usfa
Kita ribut memaksakan suatu pandangan, baik dalam tanda kutip maupun tidak..., khususnya dalam kepemimpinan POLITIK, garis bawahi yg sy tulis kapital POLITIK dalam arti LUAS, dalam tanda kutip ataupun tidak...

Ambisi2 untuk memimpin dg menggunakan bahasanya sebagai yg dinisbatkan pada bahasa Tuhan, hanya baginya, tidak bagi orang lain, sehingga yg disebut dg kemerdekaan dalam memahami esensi kebenaran hanya ada dalam retorika pada bingkai2 POLITIK keakuan..., sehingga pemahaman2 keagamaan sering pula dipahami keberpihakan Tuhan pada bangsa dan negeri tertentu, sampai pun buah2an yg tumbuh di negeri itupun adalah buah 'sorgawi', dan seakan Tuhan tak pernah berpihak pada buah rambutan, buah kelengkeng, buah susu, buah ceri dst...

Sy jadi tak heran manakala muncul istilah 'Islam Nusantara', yg menghendaki tatanan keberagamaan yg bergulir secara ramah dg pemahaman yg bergulir secara alami, rahmatan lil alamin...

Perebutan kekuasaan pun tak jauh dari konteks itu..., dalam kepemimpinan Nasional kita, kita telah disuguhkan pada realita, dan itu tentu harus dipahami sebagai suatu realita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, garis bawahi, kita...

Dalam kancah kepemimpinan Nasional kita, coba kita cermati, misalnya di masa Gus Dur (pentolan NU) jadi Presiden, ketua MPR nya Amin Rais (pentolan MD), ketua DPRnya Akbar Tanjung (pentolan Pergerakan Mahasiswa Islam yg kuat), coba cermati apa yg terjadi...?, siapa yg paling getol nurunkan Gus Dur..., lalu siapa yg naik menggantikan Gus Dur...?. Lalu Amin Rais yg punya ambisi begitu kuat gagal, SBY bertahan dua periode, Soeharto nembus 30 tahunan..., Soekarno juga bertahan..., Soeharto bisa bertahan kokoh saat dekat dg kelompok 'mereka', dan mulai di awal 80an Soeharto mulai merapat pada kita, hempasan2 pun tetap tak henti2nya terhadap kepemimpinannya, kemudian merapuh, dalam kerapuhannya, siapa yg mengambil kesempatan maju kedepan paling getol menumbangkannya...?, hmmmmmm...

Kita telah cukup belajar pada sejarah, pakar2 kita dalam segala bidang adalah milik kita, bukan milik mereka, membina kehidupan berkemajuan ala kita adalah suatu keniscayaan..., tak perlu meniru mereka yg hari2nya bersitegang dg kekuatan politik saling menghancurkan dan membumi hanguskan..., seakan kasih Tuhan hanya berada dalam retorika..., nyatanya Tuhan 'tak pernah hadir' di tengah2 kita.
(AFOF, Perth WA, 22 Mei 2016)
#edisi revisi
(FB)

LIMA POTENSI RASA

LIMA POTENSI RASA
Oleh: A. Fuad Usfa
Setidaknya ada lima potensi rasa dalam diri setiap insan, yaitu rasa sosial, rasa susila, rasa seni, rasa inteletual, rasa agama. Tak ada insan yg terlepas dari rasa itu. Lingkungan adalah faktor yg membentuk kemampuan pengembangannya.

1. Rasa sosial.
Tak ada insan yg ingin hidup menyendiri, panggilan nuraninya selalu ingin hidup berkelompok, dari situlah muncul kelompok keluarga, kelompok sekawan, kelompok suku, kelompok ras, kelompok berbangsa, dll sebagainya.

2. Rasa susila.
Tak ada insan yg terlepas dg rasa ini, rasa malu adalah bagian dari perwujudan rasa susila ini, maka itu dalam setiap kelompok insan terdapat nilai2 susila yg menjadi bagian dari tatacar ber kehidupan kelompoknya.

3. Rasa seni.
Setiap insan tak akan ada yg terlepas dari rasa ini, mereka menyukai keindahan, serta keunikan yg mencerminkan keindahan. Dari sinilah insan menentukan nilai2 keindahan dan keunikannya. Perwujudannya tentulah tergantung pada skala ruang dan waktu. Suatu contoh diantara keunikan termaksud antara lain yaitu, di mana2 tempat sy menjumpai orang menjual pakaian sobek2, dijual di toko2 ternama dg harga mahal, dalam satu helai hingga berharga jutaan rupiah. Indah kah pakaian tsb?, mungkin tidak, tapi unik dalam 'keindahannya'.

4. Rasa intelektual.
Setiap insan tak ada yg terlepas dari rasa intelektual ini, tak terkecuali dalam  masyarakat yg terbelakang pun. Rasa ini yg memunculkan manusia begitu peduli pada keingin tahuan, kemudian berkembang pada perenungan dan riset untuk membina kemaslahatan dalam kehidupan.

5. Rasa agama.
Setiap insan, di mana dan kapanpun juga, mengatasi ruang dan waktu tentu, tak ada yg terlepas dari rasa ini. Perwujudan dari rasa ini adalah, bahwa mereka mengakui suatu kekuatan yg ada di luar dirinya. Setiap individu dan kelompok beragam responnya terhadap realita yg dihadapinya, dari rasa ini pulalah yg menyebabkan munculnya bermacam2 agama di dunia. Setiap agama bermula dari kelompok kecil, di suatu daerah tertentu, kemudian berkembang sesuai tingkat agresivitas pengembangannya. Dari keadaan yg demikian itulah bisa kita pahami bila agama2 itu sarat dg simbol2 dari tradisi mana agama itu muncul, yg bahkan kemudian diyakini sebagai kebenaran universal.
(FB)

Friday, April 21, 2017

SESAT YANG MENYESATKAN

Oleh: KH. Masadar F. Mas'udi
http://sehatunikmat.blogspot.com.au/2016/05/sesat-yang-menyesatkan-oleh-kh-masdar-f.html

AHOK HANYALAH DALIH UNTUK GULINGKAN JOKOWI

Investigasi Allan Nairm
http://faktabanten.co.id/investigasi-allan-nairn-ahok-hanyalah-dalih-untuk-gulingkan-jokowi/

ANIS SANDI PEMIMPIN ISLAMI DARI HONGKONG

Oleh: Prof. Sumanto al Qurtubi
https://pkspuyengan.com/prof-sumanto-alqurtuby-anis-sandi-pemimpin-islami-islami-dari-hongkong/

Saturday, March 25, 2017

KAWAN-KAWANKU

Oleh: A. Fuad Usfa
Dulu sy punya banyak kawan beda agama (sekarang pun juga, tapi ini sy cerita yg lalu aja sih), dari Bali juga banyak, ada yg bernama Made Warke, Wayan Sudana, Anak Agung Gede Agung Ida Bagus, Niluh, dsb..., kawan yg beragama Kristen dari NTT, Kalimantan, Jawa, Batak yg bernama Stevanus, Ferry, Budi, Iwan, Debby, dst... Hari2 bergaul dg mereka, bahkan dg Budi boleh dikata siang malam, begitulah 'paribasannya'..., masa kami masih muda..., masih mahasiswa..., kini mereka sdh menekuni profesinya masing2...
Mereka beda agama dg ku..., namun tentu aku tidak pernah bertanya apakah mereka minta dilahirkan seperti itu (minta dilahirkan sebagai insan yg beragama tertentu...?, tentu saja tidak...), sama saja dg ku dan sama juga dg yg lain...
#untuk renungan...
(FB)

KLAIM

Oleh: A. Fuad Usfa
Mengklaim seseorang atau kelompok sebagai bagian daripada kita dan harus seperti kita, sama halnya dg menjadikan orang lain sebagai obyek..., padahal setiap orang adalah subyek..., mereka berhak mempunyai pandangan sendiri...
Coba bercermin diri..., saat anda tidak mau mengikuti pandangan orang lain..., persis pada saat/waktu yg sama justru Anda sibuk memaksakan pandangan anda... Lalu orang lain itu dipandang sebagai apa?!, logikanya gimana?!. Sering sy baca, orang pandai yg menuntut ilmu hingga ke mana2 malah dibodoh2kan, dan yg membodoh2kan ternyata seperti kita, yg hanya ikut2an saja...
Sy berpendapat semua kita ini sama, 'tidak ada yg bodoh', dan 'tidak ada yg pinter'..., sama saja berkekurangan dan berkelebihan, saling menghargai dan mendudukkan secara proporsional posisi kita masing2... Jangan terjebak dalam kancah politiking, apapun bidangnya, termasuk bidang keagamaan...
Semua kita sebagai subyek, bukan obyek... Mengapa harus ada klaim...?!.
(FB)

CAHAYA KASIH

Oleh: A. Fuad Usfa
Ku berjalan di atas bumi ini, berjumpa beragam insan, tentu banyak yg tak ku kenal, kadang ku sempat menyapa kadang pun tidak, merekapun begitu... Dalam arung kehidupan aku tak mengerti mengapa aku tiba2 begini, dan tentu merekapun juga... "Setiap ku menyapanya selalu ku tanya pula", 'benarkah engkau?', mrk semua selalu menjawab, 'tentu benar', lalu kadang tak ku pedulikan..., karena aku tak punya otoritas utk itu..., di kejauhan ku tatap cahaya, lembut menyinari, lalu menelusup dalam kalbuku, ku ingat2, lalu ku ingat betul bahwa memang ia pernah hadir, namun awan kelabu lehitaman telah menutupinya, sebelum cahaya itu sempat bersarang di kalbuku seperti yg ku alami saat ini..., dan di kesunyian aku tanya tentang dia dg bisikan, dg lembut ia menjawab  'aku cahaya kasih', dg gemetar ku selimuti tubuhku, kengerian yg tak terperikan, krn kelelawar dan mahluk2 pecinta kegelapan bisa tiba2 dg liar menerkam dan mencabik2 jiwa raga ku..., ingin aku menjerit, namun hanya mampu berkata, 'ah, dasar'...
(AFOF 261014)
(FB)

OH TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa
Sy merenung, kala sy msh kecil, hidup di alam Desa, traditional, radio pun jarang orang punya, punya sepeda ontel sdh begitu bangga..., kala menginjak usia remaja arus modernitas sdh mulai merambah Desa kami, radio sdh makin banyak yg punya, tape recorder, TV, sepeda motor pun dah masuk pula... Di perantauan aku hidup di kota, kebanggaan si anak Desa, dunia yg ku arungi berubah pula, adat budaya pun berbeda, pergaulan, aku pun mulai bergaul dg Budi, Stevanus, Wayan, Manurung, dst..., lalu aku mulai mengenal kawasan2 lain..., berbeda2... Kini usiaku sdh tak ter bilang muda lagi, ku tatap ke belakang sejak di saat ku masih kecil dulu..., Serentang perjalanan..., serasa jauh perbedaan itu... Kawan2ku dan orang2 lain berbeda..., dari perbedaan yg dekat hingga yg jauh..., salah kah perbedaan itu?, kalau salah lalu siapa yg harus disalahkan pula?, diantara yg berbeda itu siapakah yg senyatanya salah?, (--ter lepas dari menurut pandangan kita--), dan harus kah diperangi?. Tuhan Maha Bijaksana, Maha Pengasih, Maha Penyayang...
(FB)

SALAHKAH?!

Oleh: A. Fuad Usfa
Salahkah dikau wahai sahabatku..., oleh sebab dikau terlahir dari rahim seorang ibu dan benih dari seorang ayah yg beda agama dg ku...?. Kau lahir, tumbuh dan besar di bawah asuhannya, sebagai tanggung jawab orang tua, yg harus dipikul di pundaknya... Lalu keterikatan batin, nilai dan pengetahuan yang di transfer olehnya mengalir begitu saja dalam nadimu..., sama sebagai yg dialami orang lain..., siapapun juga, termasuk aku...

Salahkah bila engkau memilih untuk tetap atau bergeser wahai sahabatku..., bukankah telah kita saksikan kekangan yg begitu kokoh telah menyebabkan kita tak mampu bergerak, apa lagi bergeser..., kecuali hanya bagi orang yg merdeka...
(AFOF, CWA, 200316).
(FB)

ADAHAKAH KITAB SUCI PALSU ATAU DIPALSUKAN?!

Oleh: A. Fuad Usfa
Diantara pertanyaan mendasar yang perlu dijawab secara proporsional antaranya adalah 'adakah kitab suci (dari agama apapun) yang palsu atau dipalsukan?!'.
(FB)

PENGHAMBAAN

Oleh: A. Fuad Usfa
Ku berdiri
Terpaku
Bumi Mu ya Allah
Sang insan berlomba
Sibuk menyusun status sosial
Berloba menyusun
Seterjal mungkin
Lalu
Tamengpun dibikin yang kokoh dan seindah mahligai kahyangan
Sang prajuritpun tak lupa mengawalnya.
(FB)

PATUNG

Oleh: A. Fuad Usfa
Andai ada beberapa patung di sebuah tempat suci yang mempercayainya, sebuah patung dirusak orang, lalu dikirim pesan yg berbunyi, apakah patung yg lain bisa membantunya?!.

Patung adalah simbol..., tentu mereka tiada memaknai sebagai dzat Tuhan sebagai ujudnya dalam bentuk patung...

Setiap keyakinan agama tidak ada Tuhan yg melakukan tindakan secara langsung kasat mata..., melainkan dalam bentuk tindakan2 yg terjadi setelahnya... Demikian itulah yg ada dalam setiap keyakinan..., tiada beda antara satu dan yang lainnya...
(FB)

TERORISME DAN TERORIS

Oleh: A. Fuad Usfa
Terorisme itu beda dg teroris..., banyak yg bermaksud mengaburkan ini..., untuk mengelabui, 'menghipnotis', lalu membikin-bikin kesan yg menggiring kita pada pemahaman bahwa kedua kata itu adalah sama maknanya...
(FB)

AGAMA DAN EKSISTENSINYA

Oleh: A. Fuad Usfa
Berdasar eksistensinya agama dpt dibagi dlm dua kategori, yaitu yg dihidupkan dan yg dimatikan...
(FB)

TAFSIR

Olen: A. Fuad Usfa
Tafsir adalah tetap tafsir..., tak ada tafsir yg sejatinya benar..., yg benar itu hanyalah obyek tafsir itu sendiri...
#Kebenaran tafsir itu hanyalah pada tafsirnya..., yaitu tafsir adalah tetap tafsir...
(FB)

PERANG

Oleh: A. Fuad Usfa
Importir dan eksportir perang bersinergi..., kalau perang telah berkecamuk, sibuk mencari kambing hitam..., itulah tabiat mereka... Sesungguhnya berkecamuknya perang bukan karena diadu domba, melainkan oleh sebab memang dikendaki...
(FB)

RESPON TERHADAP TERORISME

Oleh: A. Fuad Usfa
Beragam respon yg diambil orang dalam menghadapi ideologi kebencian yg berujud terorisme (saya tegaskan..., ingat, terorisme, bukan teroris...), antara lain sebagaimana respon dari seorang ex-Muslim dari Mesir yang mengaku keluar dari Islam empat tahun lalu, menulis komentar “keras” di akun twitternya seperti ini: I left Islam 4 years ago. Islam is a major source of terrorism in the world today.
Ulama Azhar, Ahmed al Tayyeb mengeluarkan pernyataan bahwa waktunya telah tiba bagi dunia untuk bersatu menghadapi raksasa ini (terorisme), serta mengatakan pula bahwa tindakan seperti ini (terorisme) bertentangan dg prinsip2 agama, kemanusiaan dan peradaban.

Al Azhar telah berupaya dg sekuat tenaga melakukan perlawanan terhadap pemahaman keagamaan bertumpu pada kebencian yg bermuara pada terorisme dan membentengi negaranya dari segala upaya golongan yg menyeret negaranya ke arah itu.
(FB)

BAHAGIA

Oleh: A. Fuad Usfa
Bahagia itu bersarang di hati, sama juga dengan sedih dan duka...
Bahagia itu personal, tak bisa digeneralkan, dibanding2 dg fenomina yg nampak, kita hanya mampu menangkap bayang, antara pasti dan tidak pasti...
Suatu ketika Imam Suprayogo, saat itu Pembantu Rektor I UMM, memimpin pertemuan dg rekan2 dosen, oleh sebab Aula kampus II sedang dikerjakan pembangunannya sehingga ketukan palu dari tukang yg sedang bekerja terasa mengusik jalannya pertemuan, lalu ia menyelingi dg kata, 'kita yg mungkin kata orang kita ini senang..., sy berpikir mungkin pak tukang itu lebih senang daripada kita hidupnya...' (-Intinya begitu, kalimat persisnya sy lupa-).
Pada puluhan tahun yang lalu, Buya HAMKA pernah berkisah, tentang persepsi seorang sufi dan dan orang umum di kota (-sekali lagi sy lupa ungkapan kata demi kata yg diungkapkan, namun sy ungkap dlm bentuk bahasa sy-), di suatu saat, di pinggir jalan seseorang berjumpa dg seorang sufi, lalu ia berpikir 'kasihan ia, berpakaian lusuh seperti badannya tak terurus'..., namun sebaliknya sang sufi berpikir 'kasihan ia, lelah mengumpulkan uang..., kasihan..., betapa hidupnya telah diperbudak oleh materi'.
Bahagia tidak bisa dibanding2 secara fisual, oleh sebab keberadaannya yg tersembunyi dan personal. Mungkin kita melihat orang sedang bertamasya, duduk di tepi pantai menikmati hidangan bawaannya, lalu kita membayangkan alangkah bahagianya mereka, padahal mungkin saja, dalam kepala mereka pusing menghitung2 berapa uang yg tidak harus dikeluarkan?. Satu prosen dua prosen pengeluaran uang dari seluruh kekayaannya dikalkulasi sedemikian rupa, betapa sayangnya ia pada hartanya, kalau mungkin tak ingin ia mengeluarkan namun bisa menikmati. Kita tentu tidak tahu, apakah mereka tipe orang yg seperti itu, dsb dsb.

Bahagia adalah menerima dan menikmati. Apapun  posisi kita, bila mampu menerima dan menikmati, bahagia akan bersama kita, bila tiada, bahagia akan menjauh.
Bahagia bukan harta, bahagia bukan kedudukan, bahagia bukan status sosial, walau tentu bahagia itu juga ada di situ, namun bukan hanya di situ, melainkan di mana2. Bahagia itu manakala kita bisa menerima dan menikmati, bahagia itu personal, dg menggunakan kata sifat bahwa kebahagiaan itu personal.
(FB)

Monday, March 20, 2017

SALAHKAH?!

Oleh: A. Fuad Usfa
Salahkah dikau wahai sahabatku..., oleh sebab dikau terlahir dari rahim seorang ibu dan benih dari seorang ayah yg beda agama dg ku...?. Kau lahir, tumbuh dan besar di bawah asuhannya, sebagai tanggung jawab yg harus dipikul di pundaknya... Lalu keterikatan batin, nilai dan pengetahuan yang di transfer olehnya mengalir begitu saja dalam nadimu..., sama sebagai yg dialami orang lain..., siapapun juga, termasuk aku...

Salahkah bila engkau memilih untuk tetap atau bergeser wahai sahabatku..., bukankah telah kita saksikan kekangan yg begitu kokoh telah menyebabkan kita tak mampu bergerak, apa lagi bergeser..., kecuali hanya bagi orang yg merdeka...
(AFOF, CWA, 200316).
(FB)

Tuesday, March 7, 2017

WAKTU

Oleh: A. Fuad Usfa
Ramai2 soal walk out paslon Gub DKI Jakarta Ahok-Jarot pada acara rapat pleno KPU DKI dg agenda penetapan calon Pilkada DKI putaran kedua, saya jadi terbandingkan dg di sini, betapa pandai orang sini memenej waktu, jangankan perkara besar, perkara hari2 saja tak mau menyelisihi waktu, walau hanya ukuran menit, apalagi jam.

Lalu sy teringat juga pertamakali sy datang ke sini dalam rangka lawatan kerja, yaitu di bulan Oktober tahun 2000, kami bersama kawan2 melakukan lawatan ke tiga Universitas, ketua rombongannya pak Dr. Habib Habib Achmad. Saat kami usai acara di Curtin University kami telpon taxi untuk kembali ke hotel di Hay Street. Singkat kata, kami pergi ke tempat dimana telah kami perjanjikan dg sopir taxi, ternyata taxi tidak ada, kami 'planga plongo' di mana sih taxi ini?!. Kemudian pihak Curtin yg memandu kami tanya, janjinya jam berapa?, lalu kami jawab, dan pihak Curtin yg memandu kami bilang, anda telat 5 (lima) menit. Heran bukan...?!, lima menit saja tak mau menunggu, padahal untuk datang ke tempat yg dijanjikan itu pemandu taxi harus mengeluarkan tenaga, waktu dan bensin (uang).
Maka setiap sy lewat di Curtin, melintas di tempat itu, selalu saya ingat kawan2 kala itu, ditinggal taxi, gara2 telat 5 menit.

#Oh KPU DKI kononnya satu jam, masih santai jua. #tapi aku paham, namun aku berpendapat tak semestinya terjadi.

(AFOF, Cannington WA, 7 Maret 2017)
(FB)

Monday, February 20, 2017

STATUS SOSIAL DAN KECURANGAN

Oleh: A. Fuad Usfa
Dalam apa yang saya lihat di masyarakat kita, status sosial begitu agungnya..., dengan segala pembenaran dan back up_nya... Manusia tak lagi setara, karena telah dipilah oleh status-status itu. Tak ada equality , kesetaraan, kecuali hanya simbol-simbol semu... Jurang-jurang itu nyata ada di masyarakat kita, bukan hayalan, sedangkan semboyan-semboyan dengan kata-kata nan indah begitu ramai hingga memekakkan telinga kita, semua itu sifatnya sangat normatif..., tiada substantif..., sekedar sampiran luar saja...

Dengan status sosial itulalah kekebalanpun diperolehnya, kecurangan sosial yang luar biasa.
(AFOF, Cannington WA, 20 Februari 2017)
(FB)

ANTRI DAN KULTUR

Oleh: A. Fuad Usfa

Saya baru saja membaca status Andre Tuwaidan, tentang kerisauan guru di Australia kalau anak muridnya tidak bisa antri.

Membaca itu saya jadi ingat di awal2 kami di sini, seingat sy di satu bulan pertama kami di sini.
Pada saat perayaan Hari Raya Idul Fitri yg diadakan di lapangan sepak bola lonjong (sepak bola yg paling populer di sini). Acara seperti ini biasa diadakan oleh komunitas muslim di sini, dari berbagai etnis, seperti Arab, Turki, Afghan, Melayu, Indonesia, dll. Acara tersebut diramaikan dg ragam permainan anak2, kuliner, hiburan, dll... Acara itu diadakan oleh komunitas 'kita' tapi sebagaimana pada umumnya acara2 seperti ini yg diadakan oleh komunitas dan agama apapun juga terbuka untuk umum.

Di acara itu sy bertemu dg bang Latif..., kami ngobrol2..., tiba2 beliau bilang pada sy seraya menunjuk ke arah tempat permainan anak2..., beliau bilang, 'kasihan anak orang putih itu..., coba lihat itu, ia diantar ibunya..., ia antri dari tadi, belum melangkah sudah diserobot..., dia diam saja..., terus diserobot...', ---begitulah kalau dibahasakan Indonesia, beliau biasa berbicara dg bahasa Melayu---, kembali ke pokok hal; akhirnya ibu itu menyerah dan mundur..., lalu bang Latif bilang, 'dia terpaksa mundur tidak bisa antri, kasihan', kata beliau.
#kita vs mereka

Itulah yg sy ingat diantara pengalaman pertama sy di sini... #antri...
(AFOF, Cannington WA, 8 Februari 2016)
(FB)

DOA

DOA
(dan Peran)
Oleh: A. Fuad Usfa

Sebuah perbandingan, ada dua anak bersekolah di sekolah yang sama, katakanlah nama anak itu Mamit dan Akur. Mamit anak yang cerdas, sedang Akur biasa-biasa saja. Mamit anak yang rajin berdoa, sedang Akur boleh dikata tidak. Mamit malas besekolah dan malas belajar tapi berdoa tak putus-putus. Sedangkan Akur rajin bersekolah dan rajin belajar tapi malas berdoa. Tibalah sampai ujian di sekolahnya, dan hasilnya si Mamit tidak lulus (tidak naik kelas), hampir semua soal ia tidak bisa menjawab, sedang si Akur lulus dengan predikat bagus.

Pada tahun berikutnya Mamit rajin bersekolah dan belajar tapi tak seperti sebelumnya malah kini ia malas berdoa, bahkan boleh dikata tidak pernah berdoa, sedang si Akur malah malas sekolah dan malas belajar tapi sangat rajin berdoa, bahkan serasa tak terputus-putusnya berdoa. Singkat cerita tibalah saat ujian, dan si Mamit lulus dengan predikat sangat bagus, sedang si Akur tidak lulus (tidak naik kelas), bahkan hampir semua soal ia tidak bisa menjawab.

Pada tahun berikutnya si Mamit dan Akur malas bersekolah dan malas belajar, tapi mereka sangat rajin berdoa, bahkan boleh dikata tak putus-putusnya. dan pada saat ujian mereka tidak lulus (tidak naik kelas).

Pada tahun berikutnya si Mamit dan Akur sangat rajin bersekolah dan rajin pula belajar serta rajin pula berdoa. Singkat cerita tibalah saat ujian, dan mereka lulus (naik kelas).

(AFOF, Cannington WA, 20 Februari 2017)
(FB)

Sunday, February 19, 2017

NYI RORO KIDUL

(Hazanah Sinkritisme)
Oleh: A. Fuad Usfa
Di setiap masyarakat kita temui keyakinan-keyakinan yang tumbuh dan berkembang di dalamnya. Sesungguhnya keyakinanan itu  tidak dengan sendirinya menyebar dan berkembang, melainkan karena memang disebar dan dikembangkan oleh sebab berbagai motif.

Soal keyakinan susah dijelaskan, keyakinan yg manapun juga, yg berasal dari ajaran apa dan dari manapun juga, gotak gatik gatuk pun sering tak dapat dihindari. Pembenaran dg menggunakan daya hayal dari tingkat terendah hingga tertinggi..., yaaa..., yg namanya keyakinan sih!.

Nyi Roro Kidul terdapat dalam keyakinan masyarakat Jawa, Sunda dan Bali..., dg versi yg berbeda, berbeda itu sih biasa kan...?, dalam keyakinan manapun juga ya begitu.
Di Hotel Grand Bali Beach pada kamar 327 adalah satu-satunya kamar yang tidak terbakar di saat terjadi  peristiwa kebakaran besar pada Januari tahun 1993. Setelah dilakukan pemugaran, Kamar 327 dan 2401 selalu dirawat, diberi hiasan ruangan dengan warna hijau, diberi suguhan (sesaji) setiap hari, namun tidak untuk dihuni dan khusus dipersembahkan bagi Ratu Kidul. Juga di Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu. Kamar 308 disiapkan khusus bagi Ratu Kidul. Di dalam ruangan ini terpajang beberapa lukisan Kanjeng Ratu Kidul karya pelukis Basoeki Abdullah. Di Yogyakarta, Hotel Queen of The South di dekat Parangtritis mereservasi Kamar 33 diperuntukkan bagi Sang Kanjeng Ratu. Yaaa..., ini hazanah Jawa, Sunda dan Bali, tak kalah menariknya dg hazanah dari kawasan lainnya tentu..., di berbagai belahan dunia. Bila dibanding dengan hazanah yang dimiliki dan berkembang serta dikembangkan oleh pemilik hazanah mistik di berbagai dunia bisa jadi ini adalah hazanah besar yang dimiliki bangsa kita, yang namun dikerdilkan oleh kita sendiri. Menggali kubur sendiri untuk mengubur diri sendiri sudah bukan hal yang samar di masyarakat kita.

sebagaimana umumnya dalam hazanah yang terdapat pada bangsa-bangsa lain, demikian juga dalam hal ini terdapat berbagai versi2 ..., ada yg mengatakan bahwa Nyi Roro Kidul adalah bawahan dari Kanjeng Ratu Kidul..., Kanjeng Ratu Kidul adalah istri spiritual bagi raja2 Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta, ada yg mengatakan bahwa Nyo Roro Kidul adalah titisan dari seorang putri Pajajaran yg mati bunuh diri karena diusir dari keraton oleh sebab penyakitnya, yg mana penyakitnya itu disebabkan kekuatan sihir oleh tukang sihir atas keinginan istri sang Raja yang bernama Dewi Mutiara (sang ibu tiri).

Dalam pandangan saya, dalil keyakinan itu adalah ada tiga pertanyaan dan jawaban, tidak akan lepas dari itu, yaitu: 1. Apakah keyakinan itu pasti benar...?, kalau keyakinan itu pasti benar, maka setiap keyakinan itu akan benar, sebab mempunyai kedudukan yg sama, yaitu yakin. 2. Apakah keyakinan itu pasti salah?, kalau keyakinan itu pasti salah, maka setiap keyakinan itu akan salah, oleh sebab mempunyai kedudukan yg sama, yaitu yakin. 3. Apakah keyakinan itu mungkin benar dan mungkin salah?, kalau mungkin benar dan mungkin salah, maka setiap keyakinan itu mungkin benar dan mungkin juga salah, oleh sebab mempunyai kedudukan yg sama, yaitu yakin.
(AFOF, Cannington WA, 20 Februari 2017).
(FB)

PINDAH AGAMA

PINDAH AGAMA
Oleh: A. Fuad Usfa
1. Pengantar
Saya membaca dan mendengar, bahwa si fulan telah pindah agama, bahkan bukan hanya sekedar membaca dan mendengar dari orang lain melainkan sy pernah ngomong2 langsung dengan orang yang pindah agama.

2. Bukan Hal Baru
Perihal pindah agama bukanlah hal yang baru, hal itu sudah terjadi sejak jaman dahulu, bahkan juga ada yang pindah-pindah agama. Penyebabnya tentu banyak, ada yang dengan sukarela dan ada pula yang terpaksa, atau bahkan karena dipaksa. Sukarela, terpaksa atau dipaksa tentu akan dirasakan oleh yang bersangkutan, tapi bagi generasi berikutnya tak akan pernah dihiraukan, apakah kakek nenek buyutnya terdahulu menerima dalam keadaan suka hati ataukah menderita tak akan menjadi kepeduliannya, sebagai generasi baru mereka hanya akan menerima begitu saja agama warisannya itu, terlebih manakala menguntungkan, yg tentu saja yang dimaksud menguntungkan disini dalam kalkulasi duniawi. Lalu dibentuklah. Segala daya dan upaya dikerahkan untuk membentuk serta mengembangkan, dari hal yg  terjujur hingga yg terbohong, berbagai kejujuran dan manipulasipun dilakukan demi untuk itu, maka terjadilah sesuai yg dibentuk, lalu berlakulah pula hukum evolusi, kaedah bisnispun tak terkecuali menjadi bagiannya.

Generasi baru tak akan menggubris keadaan apa yg menyebabkan orang tua-orang tua mereka pindah agama, suka rela, terpaksa atau dipaksa. Atau dalam kasus (Irene ataupun Syaifuddin), mereka tak akan menggubris, apakah orang tua mereka telah mendapat perlakuan yang adil dari sesama, atau bahkan 'dari Tuhan' ataukah tidak.

3. Sang Pendakwah
Kita sering dihebohkan dg berita2 bahwa si fulan telah pindah agama, bahkan bukan hanya sekedar pindah agama, melainkan mereka aktif menjadi pendakwah2 agama barunya itu, hal ini berlaku untuk agama apa saja, tak terkecuali, baik dari kalangan Islam, Kristen, hindu, dan seterusnya. Seperti Kiai Sadrah, yg nama kecilnya adalah Radin, kemudian setelah nyantri mendapat tambahan nama menjadi Radin Abas, dan setelah pindah agama Kristen mendapat nama baptis Sadrah. Belakangan ini ada Irene Handoyo, ada Syaifuddin Ibrahim, dan masih banyak yang lain lagi. Irene menjadi pendakwah Islam, sedang Syaifuddin menjadi pendakwah Kristen. Pada masa lalunya Syaifuddin telah mampu mengislamkan orang non muslim, setelah ia pindah agama Kristen, bahkan baru saja pindah, ia telah mampu mengkristenkan banyak orang Islam, bahkan konon  sangat spektakuler.

4. Pindah-pindah Agama
Bukan hanya sejedar pindah agama, melainkan pindah2 agamapun juga terjadi, banyak contohnya, bahkan di negeri kita belakangan ini banyak yg gusar, ternyata banyak diantara mereka yg pindah pada agama tertentu, dan sudah dipublikasikan, ternyata pindah lagi pada agama semula. menjadi gusar oleh sebab jumlahnya banyak.

5. Ironis
Ada juga yg pada saat awal ia pindah agama, maka kalangan agama barunya itu menyambutnya dg baik, bahkan mengelu-elukannya, disambutnya bagai pahlawan, seakan dikalungkannya anugrah kebesaran; namun setelah masa betikutnya ternyata berbeda pandangan dengannya, atau dg 'madzhabnya', maka dicaci makinyalah hingga ke akar2nya, disesat2kannya, dan bahkan disebutnya gadungan, palsu, penyusup, dan sebagainya.

6. Dua Keadaan
Dua keadaan yg dihadapi oleh orang yang pindah agama, dan ini terjadi pada agama apa saja, tanpa kecuali, yaitu di satu sisi ia telah menjadi orang yg sesat, sebab ia telah masuk pada keadaan yg gelap, padahal sebelum pindah agama ia benar-benar berada pada keadaan terang benderang, maka itu ia patut untuk dikasihani, sebab ia telah memilih neraka daripada sorga. Demikianlahlah pandangan orang2 darimana si pindah agama itu berasal. Maksudnya adalah, apakah ia berasal dari Islam, Kristen, Hindu, dst.
Namun dalam waktu yang bersamaan, persis dalam waktu yang bersamaan, tak terhalang sedetik pun, ia telah dinyatakan mendapat hidayah, terbebas dari kesesatan, ia telah masuk ke alam yg terang benderang setelah sebelumnya berada di alam yang penuh kegelapan, disambutnya ia dg penuh kegembiraan dan suka cita, sebab ia adalah termasuk golongan orang-orang ahli sorga, ia adalah termasuk golongan orang-orang sang pemenang; seperti itulah kalangan agama barunya menyambutnya, dan dirinya sendiri merasa lega dan bahagia menyambut yg disebutnya sebagai hidayah itu dan bersiap untuk menyongsong sorga.

7. Hal yang Pasti
Bagi kita yang tidak termasuk orang yang pindah agama, namun mesti menyadari bahwa tentu saja orang tua-orang tua kita, entah kapan mulainya, dari pihak mana, entah mereka dalam keadaan terpaksa, dipaksa, ataukah suka rela kita tidak tahu, namun kita bisa memastikan bahwa mereka telah melakukan pindah agama, yang lalu diwariskan pada kita. 'Tak tahulah' kita ini obyek ataukah subyek.

8. Posisi
Bagi kita yang tidak termasuk orang yang pindah agama, seandainya kita berada pada posisi seperti Irene atau Syaifuddin, dan yang lai-lainnya kala sebelum pindah agama dan sekali gus, dalam waktu yang bersamaan tanpa ada jarak waktu sedetikpun, juga berada pada posisi saat (detik) kini, apa sikap kita?. Maksud saya jangan pisahkan antara saat yang lalu dg (sekali gus) saat ini (secara bersamaan).

(AFOF, Perth WA, 17 Juli 2016)
(FB)

Saturday, February 18, 2017

GENTLEMAN

Oleh: A. Fuad Usfa
(Acap Mayoritas itu Tak lebih dari Klaim)
Oleh: A. Fuad Usfa
Diperlukan kesiapan bertarung secara gentleman dalam ring demokrasi..., sebab dari situlah kita akan menemukan siapa sesungguhnya yg mayoritas dan minoritas..., siapa pun juga orangnya... #sehingga tidak hanya kalim sepihak..., klaim mayoritas...
(FB)

PENGHINAAN

Oleh: A. Fuad Usfa
Penghinaan terkait dengan emosi, terlepas dari rasio, keduanya tidak bisa saling bertemu, bila satu bergerak maka yang satunya akan diam, demikian pula sebaliknya. Jika ada seseorang yang menghina lalu kita tangkap hinaan itu dengan emosi, maka akan terjadilah pergumulan, oleh sebab memang di situlah arenanya. Saya menjumpai suatu bangunan budaya yang mana rasio lebih dikedepankan daripada emosi, dan ternyata pergumulan terkait dengan penghinaan dapat tereliminir dan bahkan terhindari.

Sesungguhnya penghinaan hanyalah satu pihak saja, bukan dua pihak, oleh sebab itu bila dibiarkan berlalu maka tak mungkin ada benturan, adanya benturan itu oleh sebab melajunya satu pihak tadi dihadang oleh pihak yang lain. Suatu misal bilamana ada seseorang mengata-ngatai kita 'engkau bang*at', dan 'bang*at' itu kita biarkan saja berlalu, maka ia akan berlalu begitu saja, namu manakala 'bang*at' itu dihadang (katakan misalnya) dengan kata 'engkau yang bang*at', maka akan terjadilah pergumulan. Adapun yang memegang peran untuk menghindari adanya benturan di sini adalah rasio. Rasiolah yang akan dapat menghilangkan benturan itu, menghilangkan benturan bermakna menghilangkan sifat penghinaan. Bilamana penghinaan itu telah kehilangan sifat, maka ia akan menjadi netral, adanya adalah sama dengan tiadanya. Bila seseorang mengatakan 'engkau bang*at', sejatinya kita ini tetap bukan bang*at. Apapun yang orang katakan pada kita, sejatinya kita adalah tetap kita. Suatu misal, ada sebuah bendera, dan bendera itu diinjak oleh seseorang, maka sesungguhnya sejatinya bendera itu tetap bendera, apakah itu diijak, ditempel, digantung, dibalik, dst, tetaplah ia itu bendera. Rasiolah yang akan mendudukkan bendera itu tetap pada yang sejatinya. Tuhan dihina katanya, lantaran dihina itu apakah Tuhan itu hina?, tidak, tidak ada Tuhan hina, dan kalau tidak hina untuk apa terhina, sebab sjatinya Tuhan itu tetap Tuhan. Bila ada Tuhan terhina, maka sesungguhnya dia itu bukan Tuhan, sebab ia tidak menyadari kesejatiannya. Tuhan sebagai titik pusat agama, maka agamapun tidak mungkin hina.

Atas dasar itu tatkala di suatu saat akan ada demo katanya, sebab agama kita (bisa lebih fokus pada Tuhan, Nabi, dst) dihina katanya, saya tidak mau ikut-ikutan, sebab sejatinya agama adalah tetap agama. Itulah salutnya saya pada rekan-rekan pemeluk agama Kristen (sebagai salahsatu contoh kongkrit dalam kasus seperti ini), dibilang Tuhannya punya anak yang dibayangkan seperti kita-kita sebagai manusia, dibilang kitab sucinya tidak asli dan sudah dipalsukan, ada juga gambar Yesus dan bunda Maria di sandal jepit, dst dst dikumandangkan di mana-mana, namun mereka tetap memahaminya dengan tidak reaktif. Apa sebabnya?, sebagaimana yang saya katakan di atas, yaitu rasio, ialah yang dapat menghilangkan sifat daripada penginaan itu.
Kitapun bisa melakukan itu, Tuhan adalah tetap sejatinya Tuhan, Nabi tetap sejatinya Nabi, Rasul adalah tetap sejatinya Rasul, dst. Saya ingat akan peribahasa yang kira-kira berbunyi, 'sinar mata hari walau menimpa pada kotoran sekalipun ia adalah tetap sinar yang sama'. Fokus bukan pada kotorannya, melainkan pada sinarnya. Sinar akan tetap sinar, walau disajikan hamparan kotoran sekalipun. Itulah sejatinya.
(AFOF, Perth WA, 29 Agustus 2016.

#Catatan: Adapun yang kadang malah bikin sangat krusial adalah, menghina orang bukan main semangatnya, namun begitu dirinya dislenting sedikit naik pitam tiada kepalang..., :(
(FB)

KEBENARAN DAN KEKUATAN

KEBENARAN DAN KEKUATAN
Oleh: A. Fuad Usfa

Perlu hati2 di musim fitnah nasional (MUFIN) ini..., wabah fitnah nasional (WAFIN) telah merasuk ke mana2, ke segala usia dan lapisan masyarakat..., telah merasuk ke orang2 kebanyakan dan orang2 terpelajar... Kata kunci adalah: kepentingan... Kebohongan2 sekalipun bila di hembuskan terus menerus akan dipahami sebagai kebenaran..., dan sejarah akan menorehkannya pula sedemikian itu..., aku bisa pahamlah, acap sejarah adalah milik yg menang, terlepas dari pembenaran yg telah diteriakkan  sebagai kebenaran...
Acap kebenaran hakiki berada di dasar tumpukan sampah2 yg ditaburkan dg segala pernak-perniknya...
Memang kebenaran acap tak lain hanyalah seonggokan klaim2 semata, tiada hakiki..., KLAIM kebenaran dan kekuatan dalam faktanya sulit dipilahkan...
(AFOF, Perth WA, 23 Mei 2014)
(FB)

GAMBARAN SIKAP TUHAN

GAMBARAN SIKAP TUHAN
Oleh: A. Fuad Usfa
(Medio Penghujung Musim Dingin 2016)
Sekitar sebulan yang lalu saya terjebak macet di Albany High Way..., yaitu persis sebelah Westfield Carousel, di kawasan Cannington Shopping Centre..., maklum sih waktu jam sibuk... Beberapa ratus meter ke depan terdapat traffic lights, sudah dua kali hijau saya belum juga bisa 'lepas', kena merah lagi..., sambil mendengarkan musik saya amati di sekitar kemacetan, persis di sebelah kanan saya ada seorang pengendara wanita berbusana jilbab, ia menyetir seorang diri. Dari situ pikiranku menerawang bukan hanya sebatas pandang, melainkan menembus cakrawala hingga tanpa batas, lalu mataku menjelajahi semua pengendara dan semua orang yang dapat saya lihat serta yg dapat saya bayangkan di seputar kawasan itu..., mataku tetap mengamati di sekitar kemacetan hingga menoleh kebelakangpun... Dari situ terbentuk konstruksi pikiranku, di antara sekian banyak orang yang terdapat di area itu, akankah hanya dia (wanita itu) dan aku saja yg akan masuk surga?, kalau begitu alangkah kejamnya Tuhan..., apa salah mereka itu?, mereka tak membikin huru-hara, bahkan umumnya mereka jauh lebih teratur, lebih tertib daripada kita-kita di negeri yang kononnya sebagai ummat yang terbaik. Ataukah hanya atas dasar yg sangat sederhana?, yaitu karena mereka tidak sama seperti dia dan aku...?, bukankah mereka ditakdirkan oleh Tuhan sendiri untuk lahir di lingkungan yang berbeda dengan dia dan aku...?.

Hanya aku dan dia yang akan masuk sorga?, saya merasa sedih membayangkan, bahwa mereka kononnya akan menggelepar-gelepar di api neraka, api yang sangat panas, yang panasnya jauh di atas panasnya api di dunia ini. Apakah Tuhan akan bersenang hati memperlakukan dan menyaksikan mereka menggelepar-gelepar tersiksa tanpa batas?, menyaksikan dan menyaksikan..., sesadis itukah Tuhan...?, padahal Tuhan sendirilah yang mentakdirkan mereka lahir di lingkungan yang berbeda dengan aku dan dia. Lalu Tuhan itu Tuhannya siapa sih...?.

Saya ingat doktrin, lalu saya berpikir, aku dan dia pun tidak akan mulus untuk masuk sorga, melainkan harus melalui jalur neraka dulu, setidaknya tiket melalui jalur ke neraka itu jelas telah dimiliki oleh wanita itu, yaitu dia telah keluyuran sendirian tanpa didampingi mahramnya, tentu itu telah menjadi sikapnya sehari-hari, seperti pergi ke sekolah, pergi bekeja, pergi belanja, dst, dia telah melakukan yang diharamkan. Selain itu (sebagaimana aku juga) dia telah menyerupai orang kafir, seperti yang jelas-jelas dia lakukan yaitu menyetir mobil, menggunakan HP, internet, AC, hiter, CDdan atau DVD, belum lagi asuransi, belum lagi manggunakan uang dolar, jasa Bank, beragam kartu Bank, kartu-kartu dari Government seperti Medicare, mungkin Health Care, dll, kira-kira begitulah antara lain gambaran tiket jalur lewat neraka itu, atau jangan-jangan aku dan dia malah masuk golongan orang-orang kafir, maka tentu kalau sudah begitu tamatlah sudah, titik sudah dan hanya akan menjadi 'santapan' Tuhan di kubangan neraka jahannam, sedang Tuhan tak pernah memberi tahu yang pasti, melainkan semua orang hanya tahu dari katanya dan katanya.

(Kendaraanku tentu sudah melejit melewati kemacetan, tapi pikiranku masih terus berjalan pada topik yang sama).

Lalu aku terbayang pada ribuan orang di dalam shopping centre..., kemudian ke seluruh kawasan Australia..., merambah ke seluruh dunia, melintas pada waktu yang tak terhingga. Apa data yang dapat kita peroleh?, ternyata hanya sebagian kecil saja orang yang akan masuk surga, seakan Tuhan telah gagal dalam berkreasi, yang hanya menampilkan kesadisan-kesadisan yang luar biasa. Tuhan hanya bisa bermain kata  yang membingungkan ummat manusia, itu pulalah diantara sumber terjadinya huru-hara di dunia, kita-kita yang kononnya adalah golongan yang sebaik-baik ummat, malah sibuk saling berperang dan meluaskan wilayah peperangan, sedang Tuhan seakan tak mampu memadamkan dan seakan sibuk berpihak pada agama bangsa tertentu, yaaa..., agama bangsa tertentu. Huru-hara dunia atas nama Tuhan terus terjadi, yang paling piawai memusuhi, membantai, serta membunuh terhadp yang berbeda malah dijanjikan oleh Tuhan kerajaan surga dengan para pendamping yang tidak tanggung-tanggung, yaitu bidadari bidadari yang cantik cantik rupawan yang tidak ada satupun kecantikan wanita-wanita di dunia yang menyamainya; eronisnya yang damai malah akan diganjar dengan neraka jahannam.

Adapun inti yang ingin saya katakan, bahwa sungguhnya tuhan yang dimaksudkan itu bukanlah Tuhan, melainkan hanyalah tuhan yang dibentuk oleh pikiran kita, maka makin sadis kita, atau suatu bangsa, maka akan makin sadislah gambaran sikap Tuhan terhadap yang berbeda dengan kita, oleh sebab gambaran sikap Tuhan tak lebih dari ujud pikir dan sikap kita.

#Keterangan: Pada tulisan tuhan ada tertulis t (kecil) dan T (besar).
(AFOF, Perth WA, Penghujung Musim Dingin 2016)

Friday, February 17, 2017

BINATANG

#Refleksi Tapak Perjalanan Panjang
(Sebuah Kesadaran Baru)

BINATANG
Oleh: A. Fuad Usfa

Apa yg selalu kita saksikan tentang persepsi kita terhadap binatang, betapa rendahnya binatang, rendah serendah2nya, mungkin masuk peringat di bawah setan, doktrin2 pun menorehkan siratan yg membekas tajam pada alam pikir dan jiwa kita. Suatu realita yang tak bisa kita pungkiri tentu. Maka bisa dipahamilah manakala stigma jelek selalu dilekatkan pada mahluk yg namanya binatang. Binatang telah menjadi sandaran perilaku jelek kita didunia nyata, pendek kata, binatang adalah mahluk rendah dan bahkan serendah2nya di bawah peringkat setan. Suatu contoh, begitu gampangnya kita menyandarkan suatu perbuatan yg kita anggap tidak baik itu pada binatang, kitapun dapat bertindak dg semena2 terhadap binatang. Itu semua oleh sebab penumpulan2 yg dijejalkan pada kita oleh lingkungan kita yg telah berperan membentuk sikap pikir dan mental kita, termasuk yg bersandar pada alam kesucian sekalipun.

Manusia dan binatang itu sama2 mempunyai apa yg disebut nafsu (keinginan), akal (pengendali), dan insting atau nurani (penyucian), di samping juga mempunyai indra, yaitu penglihatan, pendengaran, pencicipan, penciuman, perabaan, dan juga keragaan. Tingkat kemampuan dan pengembangannyalah yg berbeda.
Suatu misal mengapa binatang bisa menghindari dari bahaya, itu bukan karena insting semata, melainkan juga mereka menggunakan akalnya, pengalaman2 mereka telah turut membentuk konstruksi pikirnya, namun binatang tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkannya lebih jauh. Seorang kawan di sini (asal Sumatra Utara) bercerita pada sy, bahwa suatu ketika ia ada suatu kepentingan di Rumah Sakit Hewan, lalu ia menjumpai realita yg menarik perhatiannya, yaitu pada saat seekor anjing hendak diperiksa, tuannya mengajak masuk ruangan periksa, ternyata anjing itu merengek2 bagai manusia, ia merasa keberatan untuk diperiksa, rengekannya terdengangar bagaikan rengekan manusia, 'ngeeek..., ngeeek..., ngeeek...', sambil ia menggerak2kan tubuhnya sebagai pernyataan keberatan..., tapi tuannya membujuk,  membujuk dan membujuk, akhirnya ia bersedia untuk diperiksa, tentu akalnya dapat menangkap dan merekam kejadian sebelumnya, dari situ ia merespon dalam bentuk tindakan.

Banyak binatang yg mempunyai kemampuan yg melebihi manusia, baik insting, penciuman, pendengaran, rasa, maupun keragaan misalnya. Oleh sebab itu sejak jaman dulu manusia memnggunakan binatang untuk membantu keterbatasannya. Sejak masa yg tak terhingga lamanya manusia telah minta bantuan pada binatang.

Ada suatu yg tidak dimiliki oleh binatang daripada manusia, yaitu apa yg disebut nilai (value). Berkenaan dengan baik-buruk, elok-tak elok, kederajatan, pantas-tak pantas, dst, yg kemudian bahkan berujung pada keTuhanan. Binatang tidak memiliki itu. Apakah oleh sebab itu binatang lalu menjadi mahluk yg jahat?, tidak juga. Oleh sebab tidak memiliki apa yg disebut nilai ini maka binatang tak pernah mempunyai kemampuan untuk usil dengan pihak lain, mereka berjalan sebagaimana hukum2 yg telah digariskan, sesuai dg fitrah, yang kita kenal dg istilah hukum alam atau sunnatullah. Binatang tak pernah berpikir tentang kehidupan setelah kematiannya oleh sebab dasar menuju ke situ memang tidak ia punyai.
Kehidupan setelah kematian terbentuk karena aspek nilai, yg pada perkembangannya membentuk suatu sistem, yaitu sistem nilai. Pada hakekatnya nilai itu muncul oleh sebab kemampuan berfikir manusia yg bisa berkemang tak terhingga, kemampuan berpikir yg tak terhingga itu memunculkan kesadaran keterbatasan jangkauan pikirnya. Demikian juga dengan hasrat atau keinginannya. Dengan demikian maka muncul kehawatiran2, ketakutan2, yang pada akhirnya merasa perlu untuk melakukan pembatasan2. Batas2 itu diantaranya adalah nilai (value). Apakah dengan nilai (value) ini menjadikan manusia mempunyai derajat yg lebih tinggi dari binatang?, tentu tidak dengan sendirinya oleh sebab nilai (value) ini adalah ciptaan manusia, maka keberpihakannya tentu pada manusia. Suatu misal, patutkah pembantaian terhadap binatang dinyatakan baik bahkan mulia (-baik, mulia, dllnya ini adalah nilai-)...?. Ternyata hal itu telah dilakukan oleh manusia, bahkan sy sebut mulia sebab justru untuk persembahan pada Tuhan. Hal itu terjadi untuk sebagian besar agama. Pengecualiannya antara lain pada Hindu, Sikh, dan mungkin sebut yg lain lagi, itupun dg beberapa pengecualian pula. Banyak manusia yg berTuhan yg begitu saja menghinakan binatang, bahkan dinisbatkan pada titan Tuhan. Suatu misal anjing dan babi telah begitu hinanya, sehingga kita menjadi buta akan kelebihan dan kebolehan yg dimilikinya, bahkan aspek eko sistem yang juga terkait dengannya. Penafsiranpun telah ditutup tanpa syarat. Stigma itu telah begitu mengakar, seakan Tuhan telah mengajarkan teknik kutukan yg bisa dikembangkan pada berbagai hal serta berbagai kondisi dan keadaan. Ini realita..., bukan sekedar sudut pandang normatif semata yg tak pernah berujung.

Saya menyadari, tentu ini bukan cara berpikir yg umum bagi kita, mungkin dipandang aneh nyleneh, namun saya yakin tak semua merasa begitu.
(AFOF, Cannington WA, 18 Februari 2017)
#Setelah unggah status ini ku kan sepedaan..., setidaknya dg jarak 20km..., cool...
(FB)

Cerpen: KAWAN SEKAMPUNG

CERPEN
Fiksi
KAWAN SEKAMPUNG
(Hidup itu Penuh Misteri)
Oleh: A. Fuad Usfa
Persis di depan rumahku, rumah sederhana, sesederhana keadaanku, tapi rumahku bersih, bahkan puntung rokok pun tak ada, yang memang kata orang merokok tak bagus untuk kesehatan, baik kesehatan badan maupun kesehatan ekonomi. Walau demikian toh teramat banyak orang ketergantungan pada rokok, yg memang, apapun alasannya, pembenaran akan kita temukan di mana-mana. Pun demikian aku tak pernah berpikir itu.

Persis di depan rumahku, rumah bercat putih, yang kata orang putih itu lambang suci, pun demikian tak ada orang yg menanyakan padaku mengapa rumahku di cet putih, mungkin orang tak lagi peduli dg lambang2, di jaman kemunafikan merajalela.

Persis di depan rumahku, depan rumah yg tak becek walau baru saja hujan lebat mengguyur. Aku jumpa kawanku, kawan masa kecil, masa kebahagiaan dijumpai kala kami berenang di sungai, naik rakit dari batang pisang, kala kami mandi2 bersama, lepas semua pakaian dan sama berlompatan mencebur ke arus sungai, kala ku tak pernah membayangkan adanya jenis dalam diri kami.

Aku jumpa kawan masa kecilku di depan rumahku. Mulanya ku tak tahu kalau ia itu kawan masa kecilku. Kawan masa kecilku itu berpakaian perlente, ia berjalan pelan sambil matanya memandang2  bangunan rumah di sekitar rumahku. Aku baru curiga bahwa ia adalah teman masa kecilku setelah ku amati ia, kulihat tahi lalat di pipi kanannya, di pelipis kirinya ada sedikit bekas luka, aku ingat kawan masa kecilku terluka di pelipis kirinya, kala jatuh mengejar layang2, jatuh di anak sungai sebelah rumahku, rambutnya lurus, matanya sedikit sipit tapi serasi dg bentuk wajahnya. Mulanya aku berpikir, mungkin saja ia hanya mirip kawan masa kecilku, tapi perasaan ku mengatakan bahwa itu pasti kawan masa kecilku. Oleh sebab itu aku menyapanya, 'selamat pagi bapak...', ia menjawab, 'selamat pagi juga bapak..., apa kabar pagi ini...?, jawabnya, 'alhamdullilah baik', jawabku..., dan aku sambung dg pertanyaan, 'maaf, bapak ini dari kampung Delima ya pak...', dan aku sengaja tak menyebut Desanya, Kecamatannya, Kabupatennya, Provensinya, maupun Negaranya, sebab bila benar dari kampung Delima tentu aku dapat memastikan, bahwa ia itu memang kawan masa kecil di kampungku. Mendengar pertanyaanku itu, ia kaget, matanya terbelalak, mulutnya terbuka, dan dari mulutnya itu terdengar suara, 'hah...', lalu ia menjawab, 'iya..., betul..., apa bapak mengenal saya?', yg tentu saja serta merta aku jawab, 'aku Pardege..., anak kampung Delima..., tentu teman masa kecilmu bukan...?', ia terkaget-kaget, langsung menyalamiku, dan kami berpelukan, rasa hati kami teramat senang, berjumpa kawan masa kecilku, setelah puluhan tahun tidak berjumpa.
(AFOF, Cannington WA, 18 Februari 2017)
(FB)

Tuesday, February 14, 2017

PAHAMAN KORELASINYA DENGAN KEBERAGAMAN

PAHAM KEBENARAN 
KORELASINYA DENGAN KEBERAGAMAN
Oleh:A. Fuad Usfa

1. Paham Kebenaran Dan Bentukan
Beragam bahasan tentang kebenaran oleh sebab keberagaman obyek itu sendiri, dari yang fiskal hingga yang metafisikal, dari yang nampak hingga yang gaib. Bila ingin membangun rumah dengan gambar dari arsitek seperti ini, campuran semen, koral, dan sebagainya seperti ini, maka bilamana si tukang telah bekerja membangun dan hasilnya sesuai dengan gambar dan seterusnya tadi, maka bermakna benarlah kerja si tukang, oleh sebab keadaan tersebut bisa diukur dengan pasti, obyeknya nampak dengan jelas, maka bisa diukur tingkat kesesuaiannya dengan obyek. Sebaliknya bila berkaitan dengan yang metafisikal, abstrak, gaib, sebab hal tersebut akan melibatkan penafsiran atau intuisi.

Bila seseorang menyalahkan pandangan si fulan, lalu si fulan bertanya mengapa begitu, si yang menyalahkan tadi akan menjawab, 'bila bla bla...', yang kesimpulannya, 'menurut pendapat saya', 'kata orang tua saya', 'kata guru saya', 'kata bla bla bla....', dan seterusnya --dengan merujuk pada sumber-- yang tentu didukung dengan argumen. Bila pendapat tersebut berkenaan dengan hal yang fiskal, bolehlah sedapat mungkin dicocokkan dengan obyeknya, namun bila hal tersebut berkaitan dengan obyek yang non fisikal atau abstrak atau gaib, bagaimna mungkin?. Katakan suatu misal di goa itu ada gendoruwo; bagaimana uji kebenaran yang demikian itu?; hanya saja oleh sebab sedari lahir kita hidup di alam term gendoruwo maka terbentuklah alam pikir dan rasa kita tentang konsep alam gendoruwo, sehingga kita dapat paham genderowo seperti orang-orang terdahulu dan sekitar kita memahami alam gendoruwo, bukan berarti mengetahui tentang kebenaran genderuwo dan alam genderuwo, demikian pula misalnya tentang jin mata merah, dan sebagainya.

Terdapat dua alam yang melingkupi manusia, yaitu alam fitrah dan alam bentukan. Keberadaan kita tidak terlepas daripadanya, alam bentukan tidak terlepas dari pengetahuan kita, yang kemudian membentuk pemahaman, lalu aksi, lalu kebiasaan, dan menjelma menjadi sifat dan keperibadian, yang dari situlah terbentuknya kebudayaan hingga peradaban. Pengetahuan itu terdapat sumber-sumbernya, makin terdapat keberagaman sumber makin membentuk keberagaman pengetahuan, lalu keberagaman pemahaman, dan seterusnya. Persoalannya hanya pada aspek signifikansinya.

Disadari atau tidak akan adanya realitas itu, maka sering muncullah gagasan sensor untuk memotong aliran sumber, misalnya buku-buku karya X tidak boleh beredar di Indonesia, di Pondok Pesantren tertentu, dan sebagainya, atau jangan engkau bergaul dengan si fulan, sebab ia beragama (...............) nanti engkau terpengaruh, dan sebagainya. Di kala yang demikian itu terjadi, maka beralihlah medan, bukan medan kebenaran yang bicara, melainkan otoritaslah yang berlaku, bisa jadi sumber yang benar itulah yang dipotong. Dengan demikian medan kebenaran dipertanyakan, sebab persoalannya seakan si pemilik otoritas itulah si pemilik kebenaran. Suatu contoh yang ekstrim, perhatikan dengan cermat di tengah masyarakat kita, betapa banyak orang yang marah dengan mengancam (teror), melakukan pengrusakan dan bahkan pembunuhan (seperti pengeboman, dan sebagainya), menghalalkan darah sesama, dan klaim yang dikumandangkan adalah demi kebenaran. Alangkah naifnya melakukan gerakan semacam itu dengan mengatas namakan kebenaran, padahal pihak yang diserang itu berpendapat bahwa yang melakukan penyerangan itu yang tidak benar. Taruhlah misalnya kasus seputar Ahmadiyah di Indonesia yang selalu menjadi bulan-bulanan kelompok yang kononnya sepaham dengan kelompok mayoritas. (Coba cermati di sini, ada para pihak yang sebetulnya mempunyai posisi atau kedudukan yang sama, tapi dipahami tidak sama, ditinggikanlah dirinya dan direndahkanlah pihak yang lainnya). Bahkan orang-orang yang tidak tahu menahu atau yang biasa diistilahkan 'orang yang tak berdosa' sekalipun menjadi korban, menderita karena ulahnya. Kalau memang yang melakukan gerakan penyerangan tersebut benar, maka berarti kebenaran itu nista, oleh sebab ia dengan mudah bertindak nista. Bagaimana yang demikian itu bisa terjadi?!, maka sesungguhnya dalam konteks tolok ukur kebenaran yang positif gerakan tersebut menunjuk pada keadaan (pembuktian) ketidak benaran.

Bisalah dipahami bila muncul kontra gagasan, apakah engkau pemilik kebenaran?!. Di sini otoritas justru menjadi batu penghalang, atau belenggu, bahkan penindas atau tiran, baik itu otoritas pada struktur atas maupun struktur bawah atau akar rumput yang selalu begitu mudah digerakkan oleh struktur atas atau mereka yang dengan gampang bertindak gegabah oleh sebab dorongan hawa nafsunya, lalu diteriakkanlah jargon atau kualifikasi, bukan soal kebenaran, melainkan seakan kebenaran, semisal jargon atau kualifikasi 'sesat', tidak cukup itu, lalu ditambahkannya lagi, 'dan menyesatkan'. Muncul pertanyaan, siapa yang sesungguhnya sesat dan menyesatkan, apakah bukan yang meneriakkan itu?!. Misal lain, meresahkan masyarakat, padahal senyatanya sering kali tidak ada keresahan itu, yang ada adalah diresahkan oleh otoritas dengan bertindak kononnya atas nama tokoh masyarakat, dan sebagainya. Bahasa tersebut seakan kebenaran, padahal senyatanya tipu daya otoritas. Sebagaimana kita telah sama mafhum, di medan inilah arogansi, penindasan, tirani selalu menjelma. Tak hayallah mana kala muncul tuntutan, berilah kami kebebasan akses, oleh sebab kami sederajat dengan engkau, hanya bedanya kami tak punya otoritas, atau setidaknya karena kami lemah.

Alam bentukan mesti melalui pengajaran, pengajaran berlaku sejak kelahiran, bahkan sejak masih di alam kandungan. Pengajaran berlaku hingga akhir hayat. Pengajaran adalah transfer pengetahuan dan nilai dengan melalui berbagai sumber, termasuk pengalaman. Berdasar arus datangnya pengetahuan itu dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu yang disadari dan yang tidak disadari. Pengajaran bisa bermakna pula proses pembentukan, setiap hasil ajaran adalah bersifat bentukan, setiap bentukan tergantung pada siapa dan/atau di alam mana dibentuk hingga terbentuknya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka persoalannya tergantunglah pada aspek signifikansinya. Bila seseorang di tanya, misalnya, 'mengapa engkau muslim, mungkin jawabnya, 'mengapa tidak, kedua orang tuaku muslim kok...', kemudian pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'apakah engkau paham tentang Islam?, mungkin jawabnya, 'iya..., tentu saja, sebab aku disekolahkan di Pondok Pesantren oleh orang tuaku...' (-di sini terdapatnya 'pemaksaan' bentuk), lalu pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'di mana engkau mondok?', bisa saja dijawabnya, 'di Pondok Pesantren X...', namun bisa jadi jawaban pertanyaan yang terakhir tadi ditanggapi dengan negatif, yaitu bisa saja dijawab dengan, 'wah..., engkau bakal masuk neraka...', apa pasal?!, ternyata jawabnya disebabkan Pondok Pesantren itu penganut paham Syiah misalnya. Perlu dipahami bahwa dalam Syiah itu terdapat berbagai sekte, madzhab ataupun pandangan, sebagaimana juga dalam Suni. Coba cermati padahal itu belum masuk pada ajaran lain, masih dalam lingkup Islam itu sendiri, bagaimana lagi terhadap agama dan kepercayaan lain...?!. Dari gambaran di atas dapatlah diambil mafhum, bahwa antara paham kebenaran dan bentukan terdapat korelasi positif.

2. Kebenaran dan Korelasinya dengan Luas Kehidupan
Sebagai ilustrasi dapatlah penulis kemukakan beberapa pengalaman penulis sebagai berikut: Suatu ketika, di awal penulis di Australia (2007) penulis menelepon kawan yang satu profesi dengan penulis semasa di Indonesia, lalu ia bertanya pada penulis, apakah ada orang Aboriginal yang beragama Islam?, dan penulis jawab, belum tahu, masalahnya adalah adakah yang mengislamkan mereka?, maksud penulis adalah --dengan kata lain-- adakah yang bisa membentuk mereka menjadi pemeluk Islam?, kalau dikembangkan berbunyi demikian, salahkah mereka karena tidak memeluk Islam oleh sebab tidak ada yang bisa membentuk mereka untuk itu?, mungkinkah akan menjadi pemeluk Islam dengan sendirinya?, apa lagi tiba-tiba menjadi fasih berdoa dalam bahasa Arab sebagai mana kita yang telah dibentuk sejak mengenal dunia, yang diajari mengaji, bermadrasah, membaca berbagai kitab agama Islam, hidup dalam komunitas Islam yang begitu erat mengikat kita sehingga kita tidak bisa dan tidak berani --begitu takutnya-- untuk berbuat lain,arena begitu kuatnya pengikat itu, dan yang tidak ada namanya kamus kebebasan untuk memilih dan menutukan akan makna kebenaran. Pengalaman lain lagi yaitu tatkala penulis mengikuti acara yasinan dan tahlilan, sebelum acara dimulai seseorang yang duduk di sebelah kiri penulis bertanya, 'di Indonesia kamu mengikut organisasi apa?', kemudian penulis bertanya, 'maksud bapak apa?', kemudian ia menjawab, 'maksud saya kamu mengikut madzhab apa?', tentu di sini mengandung maksud telah di/terbentuk menjadi pengikut madzhab apa?, sebab tidak mungkin akan dengan sendirinya menjadi pengikut madzhab tertentu kalau tidak ada yang membentuk ke arah itu, apa lagi bila kenal pun tidak, tentu hal yang mustahil, dan tentu akan lebih mudah membentuknya bilamana seseorang itu awam agama dan ia begitu berminat belajar agama lalu datang pengikut suatu madzhab serta mengajarkan tentang ajaran madzhabnya. Pengalaman lain lagi penulis berbincang dengan tokoh agama --non Islam-- diantara perbincangan itu ada mengutarakan kata tanya, 'apakah kita sudah siap untuk menghadapNya?', dan jujur saja bahwa pertanyaan yang sama juga kerap kita dengar dari penganut agama lain, termasuk yang seagama dengan kita, yaitu Islam.

Coba kita simak sejarah --ke belakang--, coba bergaul dengan manusia yang bergam ras, suku, kepercayaan, adat/tradisi dan sebagainya, berjalanlah dengan elegan, bukan hanya dengan menggunakan pendekatan normatif, coba jelajahi jengkal demi jengkal bumi dari mega polutan hingga hutan belantara pada masyarakat yang masih primitif, bukan hanya terpaku pada satu corak saja, sebab bila hanya satu corak, maka hanya satu corak itulah yang dikenal, maka hanya itulah miliknya, atau yang sering kita jumpai adalah tutup mata. Bila kebenaran itu hanya satu corak saja maka betapa kita telah mengingkari akan realitas keberagaman dan keluasan kehidupan. 

Sunday, February 12, 2017

PERAN SUGESTI

Oleh: A. Fuad Usfa
4. Hal hal ganjil
Dalam perjalanan hidup kita sering menemui hal-hal yang ganjil, suatu misal, bahwa bagi masyarakat pedalaman yang tingkat pendidikan masyarakatnya rendah, mahasiswa sering dipandang serba bisa, oleh sebab itu bisa-bisa banyak orang yang sedang sakit minta diobati, tapi setelah diberi air masak biasa yang pura-pura dido’ain (maksudnya agar mereka tidak kecewa) ternyata sembuh…!. Jangan heran dengan yang demikian itu, sebab itulah peran sugesti yang ternyata cukup ampuh. Peran sugesti ini juga dapat kita amati (misalnya) bila berobat pada perawat X di Desa Sana ternyata cepat sembuh (ces pleng),sedang bila berobat pada perawat Y di Desa Sini tak kunjung sembuh, padahal obatnya sama saja. Masalahnya masyarakat sudah tersugesti terhadap perawat X di Desa Sana, sedang terhadap perawat Y di Desa Sini tidak yakin, padahal sugesti tumbuh dari yakin. Adakah hal-hal ganjil di pulau kami?!, tak tahulah…, perjalanan waktu yang akan menjawab, yaitu setelah program KKN rampung. (Kutipan).
http://www.bawean.net/2010/05/tegur-sapa-buat-mahasiswa-peserta-kkn.html

Dalam kadar tertentu sugesti mempunyai peran cukup dominan dalam penyembuhan seseorang yg sakit, dari dulu hingga kini tak sulit kita temui dalam kehidupan kita sehari2, di masyarakat manapun juga dalam skala waktu yg tak terhingga..., di Malang ada seorang dokter yg sangat kesohor, kononnya ada pula orang yg begitu masuk ke tempat praktiknya badannya terasa enak... Masa kami mahasiswa dulu ada pengalaman, seseorang kawan diajak keluar ia tidak mau, sebab ia merasa tidak enak badan, lalu dua orang kawan yg mengajaknya punya ide, yaitu untuk memintakan air pada dukun (sebab biasanya ia selalu menggunakan dukun), tapi kawan itu hanya bohong2an aja..., setalah ia setuju maka kedua kawan itu tidak pergi ke dukun melainkan duduk di rumah bapak kost (bersebelahan), sekira beberapa saat dlm hitungan perkiraan PP ke rumah pak dukun lalu menemui kawan yg sakit itu dan memberikan segelas air utk diminum sampai habis..., beberapa saat kemudian ia jadi sembuh dan bahkan menerima ajakan utk keluar..., dan tentu masih banyak yg lain..., tentu kita tidak akan kesulitan untuk memahaminya..., itulah sugesti...

Dalam masyarakat manapun juga, dalam rentang waktu yg tak terhingga, termasuk dalam masyarakat primitif yg paling primitif..., yg menganut kepercayaan/keyakinan apapun, di situ dikenal yg namanya dukun atau bomo... Coba kita cermati pula berapa kadar obat pada obat2an di pasaran?, Zahminan Zaini dosen agama kami saat kuliah bilang, berdasar penelitian yg ia lakukan ternyata hanya 2 koma sekian prosen saja...
Konon ada juga orang yg sudah 'divonis' dokter, maka ia pulang dari rawat inap, makan apa saja yg dilarang dokter..., eeeee..., malah ia bisa bertahan hidup...
#sugesti...
(FB)

Friday, February 10, 2017

KEINSYAFAN DIRI

Oleh: A. Fuad Usfa
Dulu sy pernah terjebak dalam pemahaman keagamaan normatif, diantara ciri dari pandangan ini teks2 keagamaan lebih dipahami secara tekstual, hitam-putih, hanya kitalah yg paling benar, di luar kita salah, titik!. Th 1979 geliat gerakan masyarakat Islam bergolak, aku masuk dalam bagian 'sumbu pendek itu', kala itu era internet belum menjelma, maka betebaranlah brosur2, tabloid2, kaset2 orasi keagamaan, semisal Tonny Ardi, Husain al Habsyi, Syafruddin Prawiranegara, dll..., nafasnya adalah mendiskreditkan pemerintah dan pihak2 yg tidak sepandangan, tentu aku suka membacanya..., kala itu aku masih mahasiswa..., aku bagian dari sumbu pendek itu...
Pandangan dari Nurcholish Majid tidak aku sukai, tapi aku sering hadir diceramah2 beliau, sebab aku sebaju dg beliau... Pandangan yang bagaikan cakrawala nan luas itu sama sekali tak mampu sy pahami, sebab aku sedang berada dalam tempurung. Bom bom pun meledak di mana2, di sudut gereja, sudut candi Brobudur, atau sebut yg lain... Saat Gus Dur menyebut gerakan2 'sparatis' itu dg bughat, aku diantara orang yg tak setuju, aku adalah juga orang yg tak menyetujui Pancasila sebagai azas tunggal, bahkan dalam ranah di lingkup bawahpun, yaitu kala sy menyusun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga IMPSB sy merumuskannya secara tegas, walau kemudian berubah saat dalam pembahasan di Surabaya, itu persoalan lain, itu bukan rumusan dari saya, melainkan hasil bahasan, kawan2 sepantaran dan sepergerakan dg saya tentu tahu sikap saya..., sy 'sumbu pendek'...
Mataku mulai terbuka, saat mau mengintip ke luar tempurung, melrik catatan harian Ahmad Wahib, berdiskusi dg mereka2 yg membuka diri, menempuh bidang studi sosiologi, lalu terbukalah, betapa luas cakrawala itu..., lalu aku pun merambah dunia luar, dalam realita di lapangan terbuka..., dan aku berkata pada diriku, 'kau telah terperangkap, kau tersekap, coba kau angkat tempurung yg melingkupimu, tataplah realita yg mengelilingimu, ternyata tempurung itu hanya bagian dari keluasan lingkup itu sendiri'.
Kini ku mesti insaf dan bertobat..., amin. #Aku bagian dari semua.
(Cannington Western Australia, 11 Februari 2017)

Wednesday, February 8, 2017

BUKA MATA TERBENTUR TEBARAN FITNAH

Oleh: A. Fuad Usfa
Hari2..., begitu bangun tidur..., mata terbuka..., oalaaaaaah...!!!!!!!!, ternenturlah kita pada lembaran2 fitnah dan segala macam hoax, bagai menghunjani kita, bertubi tanpa ampun...
Dalam kondisi seperti ini, hindarilah segala macam fitnan dan ragam hoax dengan membabit2 nama Tuhan..., sebab Tuhan tiada bergantung pada kekejian dan kekuatan manusia (yg sering kali sangat curang)..., melainkan manusialah yg bergantung kekuatan Tuhan yang Maha luhur...
(FB)

SALAM

Oleh: A. Fuad Usfa
1. pendahuluan
Dulu, sekitar rentang awal dekade 90an, di Fakultas kami dapat proyek penelitian, wilayah penelitian kami Jawa Timur, kawan2 dibagi untuk wilayah masing2 dg dibantu oleh beberapa mahasiswa. Sy mendapat bagian di suatu wilayah kabupaten di tiga Kecamatan. Tentu kami harus tinggal berbaur dg masyarakat di situ. (Terlepas dari topik penelitian kami), di situ terdapat sesuatu hal baru yg sy temui dalam sejarah hidup sy, yaitu sy menemui hari2 masyarakat biasa saja membawa senjata tajam ke mana2, siapa mau ya bawa saja, terutama yg merasa punya 'musuh', utamanya di malam hari. Sy sempat bertanya pula 'mengapa?', katanya untuk jaga diri. Sy juga menemui kenyataan orang bicara bahwa di 'situ' ada pembunuhan, dg nada yg sepertinya tanpa beban (biasa saja).

2. Ber'ballighu 'Annii Walaw Ayah'
Suatu ketika sy diminta untuk ber'ballighu 'annii walaw ayah' (-istilah dari sy-), dan sy bersedia, sy ingin angkat isu dari pengalaman sy saat penelitian itu. Sy sadar bahwa sy harus bicara di hadapan kalangan kaum terpelajar, yg biasanya mesti berbicara dg topik besar, menyadur pandangan dari berbagai buku yg kalau perlu buku yg paling mutaakhir. Sehubungan dg topik yg sy angkat, kalau perlu tentu sy bisa kutip antara lain dari berbagai hal dari buku2 Kriminologi dan Patologi Sosial sebagai penegasan yg itu masih merupakan bagian dari disiplin ilmu yg sy tekuni. Tapi sy pikir, ada sesuatu yg sederhana dan hanya memerlukan pendekatan sederhana pula, dg logika/akal sehat serta pendekatan sosial yg sederhana. Untuk itu sy menyampaikan pandangan sy terkait dg kondisi di lapangan yg sy temui itu. Sy sampaikan yg intinya bahwa beberapa waktu yg lalu sy berkesempatan melakukan penelitian di suatu daerah (-tidak sy sebutkan daerahnya-) ...., bla bla bla..., daerah itu daerah muslim ...., bla bla bla..., sy temui realita ...., bla bla bla..., mestinya kita sebagai muslim sesama muslim dan umat manusia seumumnya cukuplah membawa senjata 'salam'... Sebetulnya secara roh kultur di masyarakat kita Indonesia secara  umum berkurang lebih dg kondisi yg sy temui itu..., kita sekalian, termasuk sy sebagai bagian dari produk budaya... Kemudian daripada itu sy disodori nota, yg maksudnya bahwa waktu sdh tak memungkinkan lg utk diteruskan...

3. Saya Jumpai di Sini
Waktu telah berlalu, sy sdh tidak mengingatnya lagi, sudah lebih dari 20 tahun yg lalu. Sekarang sy jadi ingat kembali, walau antara samar dan jelas tentang apa yg sy sampaikan itu, dan apa yg sy rasakan atas 'reaksi' uraian sy yg bersahaja itu... Sy jadi ingat kembali oleh sebab sy menemukan realita yg sy bayangkan dan harapkan diungkapan sy itu justru sy temui ada di sini..., dalam kontek yg berbeda, namun rohnya sama..., yaitu 'salam'... Demi Allah sy menemui realitas itu di sini, yaitu 'salam'.
Bukan persoalan kejahatan maupun patologi sosial..., sebab yg demikian itu adalah merupakan bagian daripada keberadaan insan..., namun persoalannya pada metode penyikapannya... #dan demi Allah sy jadi banyak 'belajar' justru di sini...
'Salam'
(AFOF, Cannington WA, 7 Februari 2016)
(FB)

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...