Monday, February 20, 2017

STATUS SOSIAL DAN KECURANGAN

Oleh: A. Fuad Usfa
Dalam apa yang saya lihat di masyarakat kita, status sosial begitu agungnya..., dengan segala pembenaran dan back up_nya... Manusia tak lagi setara, karena telah dipilah oleh status-status itu. Tak ada equality , kesetaraan, kecuali hanya simbol-simbol semu... Jurang-jurang itu nyata ada di masyarakat kita, bukan hayalan, sedangkan semboyan-semboyan dengan kata-kata nan indah begitu ramai hingga memekakkan telinga kita, semua itu sifatnya sangat normatif..., tiada substantif..., sekedar sampiran luar saja...

Dengan status sosial itulalah kekebalanpun diperolehnya, kecurangan sosial yang luar biasa.
(AFOF, Cannington WA, 20 Februari 2017)
(FB)

ANTRI DAN KULTUR

Oleh: A. Fuad Usfa

Saya baru saja membaca status Andre Tuwaidan, tentang kerisauan guru di Australia kalau anak muridnya tidak bisa antri.

Membaca itu saya jadi ingat di awal2 kami di sini, seingat sy di satu bulan pertama kami di sini.
Pada saat perayaan Hari Raya Idul Fitri yg diadakan di lapangan sepak bola lonjong (sepak bola yg paling populer di sini). Acara seperti ini biasa diadakan oleh komunitas muslim di sini, dari berbagai etnis, seperti Arab, Turki, Afghan, Melayu, Indonesia, dll. Acara tersebut diramaikan dg ragam permainan anak2, kuliner, hiburan, dll... Acara itu diadakan oleh komunitas 'kita' tapi sebagaimana pada umumnya acara2 seperti ini yg diadakan oleh komunitas dan agama apapun juga terbuka untuk umum.

Di acara itu sy bertemu dg bang Latif..., kami ngobrol2..., tiba2 beliau bilang pada sy seraya menunjuk ke arah tempat permainan anak2..., beliau bilang, 'kasihan anak orang putih itu..., coba lihat itu, ia diantar ibunya..., ia antri dari tadi, belum melangkah sudah diserobot..., dia diam saja..., terus diserobot...', ---begitulah kalau dibahasakan Indonesia, beliau biasa berbicara dg bahasa Melayu---, kembali ke pokok hal; akhirnya ibu itu menyerah dan mundur..., lalu bang Latif bilang, 'dia terpaksa mundur tidak bisa antri, kasihan', kata beliau.
#kita vs mereka

Itulah yg sy ingat diantara pengalaman pertama sy di sini... #antri...
(AFOF, Cannington WA, 8 Februari 2016)
(FB)

DOA

DOA
(dan Peran)
Oleh: A. Fuad Usfa

Sebuah perbandingan, ada dua anak bersekolah di sekolah yang sama, katakanlah nama anak itu Mamit dan Akur. Mamit anak yang cerdas, sedang Akur biasa-biasa saja. Mamit anak yang rajin berdoa, sedang Akur boleh dikata tidak. Mamit malas besekolah dan malas belajar tapi berdoa tak putus-putus. Sedangkan Akur rajin bersekolah dan rajin belajar tapi malas berdoa. Tibalah sampai ujian di sekolahnya, dan hasilnya si Mamit tidak lulus (tidak naik kelas), hampir semua soal ia tidak bisa menjawab, sedang si Akur lulus dengan predikat bagus.

Pada tahun berikutnya Mamit rajin bersekolah dan belajar tapi tak seperti sebelumnya malah kini ia malas berdoa, bahkan boleh dikata tidak pernah berdoa, sedang si Akur malah malas sekolah dan malas belajar tapi sangat rajin berdoa, bahkan serasa tak terputus-putusnya berdoa. Singkat cerita tibalah saat ujian, dan si Mamit lulus dengan predikat sangat bagus, sedang si Akur tidak lulus (tidak naik kelas), bahkan hampir semua soal ia tidak bisa menjawab.

Pada tahun berikutnya si Mamit dan Akur malas bersekolah dan malas belajar, tapi mereka sangat rajin berdoa, bahkan boleh dikata tak putus-putusnya. dan pada saat ujian mereka tidak lulus (tidak naik kelas).

Pada tahun berikutnya si Mamit dan Akur sangat rajin bersekolah dan rajin pula belajar serta rajin pula berdoa. Singkat cerita tibalah saat ujian, dan mereka lulus (naik kelas).

(AFOF, Cannington WA, 20 Februari 2017)
(FB)

Sunday, February 19, 2017

NYI RORO KIDUL

(Hazanah Sinkritisme)
Oleh: A. Fuad Usfa
Di setiap masyarakat kita temui keyakinan-keyakinan yang tumbuh dan berkembang di dalamnya. Sesungguhnya keyakinanan itu  tidak dengan sendirinya menyebar dan berkembang, melainkan karena memang disebar dan dikembangkan oleh sebab berbagai motif.

Soal keyakinan susah dijelaskan, keyakinan yg manapun juga, yg berasal dari ajaran apa dan dari manapun juga, gotak gatik gatuk pun sering tak dapat dihindari. Pembenaran dg menggunakan daya hayal dari tingkat terendah hingga tertinggi..., yaaa..., yg namanya keyakinan sih!.

Nyi Roro Kidul terdapat dalam keyakinan masyarakat Jawa, Sunda dan Bali..., dg versi yg berbeda, berbeda itu sih biasa kan...?, dalam keyakinan manapun juga ya begitu.
Di Hotel Grand Bali Beach pada kamar 327 adalah satu-satunya kamar yang tidak terbakar di saat terjadi  peristiwa kebakaran besar pada Januari tahun 1993. Setelah dilakukan pemugaran, Kamar 327 dan 2401 selalu dirawat, diberi hiasan ruangan dengan warna hijau, diberi suguhan (sesaji) setiap hari, namun tidak untuk dihuni dan khusus dipersembahkan bagi Ratu Kidul. Juga di Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu. Kamar 308 disiapkan khusus bagi Ratu Kidul. Di dalam ruangan ini terpajang beberapa lukisan Kanjeng Ratu Kidul karya pelukis Basoeki Abdullah. Di Yogyakarta, Hotel Queen of The South di dekat Parangtritis mereservasi Kamar 33 diperuntukkan bagi Sang Kanjeng Ratu. Yaaa..., ini hazanah Jawa, Sunda dan Bali, tak kalah menariknya dg hazanah dari kawasan lainnya tentu..., di berbagai belahan dunia. Bila dibanding dengan hazanah yang dimiliki dan berkembang serta dikembangkan oleh pemilik hazanah mistik di berbagai dunia bisa jadi ini adalah hazanah besar yang dimiliki bangsa kita, yang namun dikerdilkan oleh kita sendiri. Menggali kubur sendiri untuk mengubur diri sendiri sudah bukan hal yang samar di masyarakat kita.

sebagaimana umumnya dalam hazanah yang terdapat pada bangsa-bangsa lain, demikian juga dalam hal ini terdapat berbagai versi2 ..., ada yg mengatakan bahwa Nyi Roro Kidul adalah bawahan dari Kanjeng Ratu Kidul..., Kanjeng Ratu Kidul adalah istri spiritual bagi raja2 Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta, ada yg mengatakan bahwa Nyo Roro Kidul adalah titisan dari seorang putri Pajajaran yg mati bunuh diri karena diusir dari keraton oleh sebab penyakitnya, yg mana penyakitnya itu disebabkan kekuatan sihir oleh tukang sihir atas keinginan istri sang Raja yang bernama Dewi Mutiara (sang ibu tiri).

Dalam pandangan saya, dalil keyakinan itu adalah ada tiga pertanyaan dan jawaban, tidak akan lepas dari itu, yaitu: 1. Apakah keyakinan itu pasti benar...?, kalau keyakinan itu pasti benar, maka setiap keyakinan itu akan benar, sebab mempunyai kedudukan yg sama, yaitu yakin. 2. Apakah keyakinan itu pasti salah?, kalau keyakinan itu pasti salah, maka setiap keyakinan itu akan salah, oleh sebab mempunyai kedudukan yg sama, yaitu yakin. 3. Apakah keyakinan itu mungkin benar dan mungkin salah?, kalau mungkin benar dan mungkin salah, maka setiap keyakinan itu mungkin benar dan mungkin juga salah, oleh sebab mempunyai kedudukan yg sama, yaitu yakin.
(AFOF, Cannington WA, 20 Februari 2017).
(FB)

PINDAH AGAMA

PINDAH AGAMA
Oleh: A. Fuad Usfa
1. Pengantar
Saya membaca dan mendengar, bahwa si fulan telah pindah agama, bahkan bukan hanya sekedar membaca dan mendengar dari orang lain melainkan sy pernah ngomong2 langsung dengan orang yang pindah agama.

2. Bukan Hal Baru
Perihal pindah agama bukanlah hal yang baru, hal itu sudah terjadi sejak jaman dahulu, bahkan juga ada yang pindah-pindah agama. Penyebabnya tentu banyak, ada yang dengan sukarela dan ada pula yang terpaksa, atau bahkan karena dipaksa. Sukarela, terpaksa atau dipaksa tentu akan dirasakan oleh yang bersangkutan, tapi bagi generasi berikutnya tak akan pernah dihiraukan, apakah kakek nenek buyutnya terdahulu menerima dalam keadaan suka hati ataukah menderita tak akan menjadi kepeduliannya, sebagai generasi baru mereka hanya akan menerima begitu saja agama warisannya itu, terlebih manakala menguntungkan, yg tentu saja yang dimaksud menguntungkan disini dalam kalkulasi duniawi. Lalu dibentuklah. Segala daya dan upaya dikerahkan untuk membentuk serta mengembangkan, dari hal yg  terjujur hingga yg terbohong, berbagai kejujuran dan manipulasipun dilakukan demi untuk itu, maka terjadilah sesuai yg dibentuk, lalu berlakulah pula hukum evolusi, kaedah bisnispun tak terkecuali menjadi bagiannya.

Generasi baru tak akan menggubris keadaan apa yg menyebabkan orang tua-orang tua mereka pindah agama, suka rela, terpaksa atau dipaksa. Atau dalam kasus (Irene ataupun Syaifuddin), mereka tak akan menggubris, apakah orang tua mereka telah mendapat perlakuan yang adil dari sesama, atau bahkan 'dari Tuhan' ataukah tidak.

3. Sang Pendakwah
Kita sering dihebohkan dg berita2 bahwa si fulan telah pindah agama, bahkan bukan hanya sekedar pindah agama, melainkan mereka aktif menjadi pendakwah2 agama barunya itu, hal ini berlaku untuk agama apa saja, tak terkecuali, baik dari kalangan Islam, Kristen, hindu, dan seterusnya. Seperti Kiai Sadrah, yg nama kecilnya adalah Radin, kemudian setelah nyantri mendapat tambahan nama menjadi Radin Abas, dan setelah pindah agama Kristen mendapat nama baptis Sadrah. Belakangan ini ada Irene Handoyo, ada Syaifuddin Ibrahim, dan masih banyak yang lain lagi. Irene menjadi pendakwah Islam, sedang Syaifuddin menjadi pendakwah Kristen. Pada masa lalunya Syaifuddin telah mampu mengislamkan orang non muslim, setelah ia pindah agama Kristen, bahkan baru saja pindah, ia telah mampu mengkristenkan banyak orang Islam, bahkan konon  sangat spektakuler.

4. Pindah-pindah Agama
Bukan hanya sejedar pindah agama, melainkan pindah2 agamapun juga terjadi, banyak contohnya, bahkan di negeri kita belakangan ini banyak yg gusar, ternyata banyak diantara mereka yg pindah pada agama tertentu, dan sudah dipublikasikan, ternyata pindah lagi pada agama semula. menjadi gusar oleh sebab jumlahnya banyak.

5. Ironis
Ada juga yg pada saat awal ia pindah agama, maka kalangan agama barunya itu menyambutnya dg baik, bahkan mengelu-elukannya, disambutnya bagai pahlawan, seakan dikalungkannya anugrah kebesaran; namun setelah masa betikutnya ternyata berbeda pandangan dengannya, atau dg 'madzhabnya', maka dicaci makinyalah hingga ke akar2nya, disesat2kannya, dan bahkan disebutnya gadungan, palsu, penyusup, dan sebagainya.

6. Dua Keadaan
Dua keadaan yg dihadapi oleh orang yang pindah agama, dan ini terjadi pada agama apa saja, tanpa kecuali, yaitu di satu sisi ia telah menjadi orang yg sesat, sebab ia telah masuk pada keadaan yg gelap, padahal sebelum pindah agama ia benar-benar berada pada keadaan terang benderang, maka itu ia patut untuk dikasihani, sebab ia telah memilih neraka daripada sorga. Demikianlahlah pandangan orang2 darimana si pindah agama itu berasal. Maksudnya adalah, apakah ia berasal dari Islam, Kristen, Hindu, dst.
Namun dalam waktu yang bersamaan, persis dalam waktu yang bersamaan, tak terhalang sedetik pun, ia telah dinyatakan mendapat hidayah, terbebas dari kesesatan, ia telah masuk ke alam yg terang benderang setelah sebelumnya berada di alam yang penuh kegelapan, disambutnya ia dg penuh kegembiraan dan suka cita, sebab ia adalah termasuk golongan orang-orang ahli sorga, ia adalah termasuk golongan orang-orang sang pemenang; seperti itulah kalangan agama barunya menyambutnya, dan dirinya sendiri merasa lega dan bahagia menyambut yg disebutnya sebagai hidayah itu dan bersiap untuk menyongsong sorga.

7. Hal yang Pasti
Bagi kita yang tidak termasuk orang yang pindah agama, namun mesti menyadari bahwa tentu saja orang tua-orang tua kita, entah kapan mulainya, dari pihak mana, entah mereka dalam keadaan terpaksa, dipaksa, ataukah suka rela kita tidak tahu, namun kita bisa memastikan bahwa mereka telah melakukan pindah agama, yang lalu diwariskan pada kita. 'Tak tahulah' kita ini obyek ataukah subyek.

8. Posisi
Bagi kita yang tidak termasuk orang yang pindah agama, seandainya kita berada pada posisi seperti Irene atau Syaifuddin, dan yang lai-lainnya kala sebelum pindah agama dan sekali gus, dalam waktu yang bersamaan tanpa ada jarak waktu sedetikpun, juga berada pada posisi saat (detik) kini, apa sikap kita?. Maksud saya jangan pisahkan antara saat yang lalu dg (sekali gus) saat ini (secara bersamaan).

(AFOF, Perth WA, 17 Juli 2016)
(FB)

Saturday, February 18, 2017

GENTLEMAN

Oleh: A. Fuad Usfa
(Acap Mayoritas itu Tak lebih dari Klaim)
Oleh: A. Fuad Usfa
Diperlukan kesiapan bertarung secara gentleman dalam ring demokrasi..., sebab dari situlah kita akan menemukan siapa sesungguhnya yg mayoritas dan minoritas..., siapa pun juga orangnya... #sehingga tidak hanya kalim sepihak..., klaim mayoritas...
(FB)

PENGHINAAN

Oleh: A. Fuad Usfa
Penghinaan terkait dengan emosi, terlepas dari rasio, keduanya tidak bisa saling bertemu, bila satu bergerak maka yang satunya akan diam, demikian pula sebaliknya. Jika ada seseorang yang menghina lalu kita tangkap hinaan itu dengan emosi, maka akan terjadilah pergumulan, oleh sebab memang di situlah arenanya. Saya menjumpai suatu bangunan budaya yang mana rasio lebih dikedepankan daripada emosi, dan ternyata pergumulan terkait dengan penghinaan dapat tereliminir dan bahkan terhindari.

Sesungguhnya penghinaan hanyalah satu pihak saja, bukan dua pihak, oleh sebab itu bila dibiarkan berlalu maka tak mungkin ada benturan, adanya benturan itu oleh sebab melajunya satu pihak tadi dihadang oleh pihak yang lain. Suatu misal bilamana ada seseorang mengata-ngatai kita 'engkau bang*at', dan 'bang*at' itu kita biarkan saja berlalu, maka ia akan berlalu begitu saja, namu manakala 'bang*at' itu dihadang (katakan misalnya) dengan kata 'engkau yang bang*at', maka akan terjadilah pergumulan. Adapun yang memegang peran untuk menghindari adanya benturan di sini adalah rasio. Rasiolah yang akan dapat menghilangkan benturan itu, menghilangkan benturan bermakna menghilangkan sifat penghinaan. Bilamana penghinaan itu telah kehilangan sifat, maka ia akan menjadi netral, adanya adalah sama dengan tiadanya. Bila seseorang mengatakan 'engkau bang*at', sejatinya kita ini tetap bukan bang*at. Apapun yang orang katakan pada kita, sejatinya kita adalah tetap kita. Suatu misal, ada sebuah bendera, dan bendera itu diinjak oleh seseorang, maka sesungguhnya sejatinya bendera itu tetap bendera, apakah itu diijak, ditempel, digantung, dibalik, dst, tetaplah ia itu bendera. Rasiolah yang akan mendudukkan bendera itu tetap pada yang sejatinya. Tuhan dihina katanya, lantaran dihina itu apakah Tuhan itu hina?, tidak, tidak ada Tuhan hina, dan kalau tidak hina untuk apa terhina, sebab sjatinya Tuhan itu tetap Tuhan. Bila ada Tuhan terhina, maka sesungguhnya dia itu bukan Tuhan, sebab ia tidak menyadari kesejatiannya. Tuhan sebagai titik pusat agama, maka agamapun tidak mungkin hina.

Atas dasar itu tatkala di suatu saat akan ada demo katanya, sebab agama kita (bisa lebih fokus pada Tuhan, Nabi, dst) dihina katanya, saya tidak mau ikut-ikutan, sebab sejatinya agama adalah tetap agama. Itulah salutnya saya pada rekan-rekan pemeluk agama Kristen (sebagai salahsatu contoh kongkrit dalam kasus seperti ini), dibilang Tuhannya punya anak yang dibayangkan seperti kita-kita sebagai manusia, dibilang kitab sucinya tidak asli dan sudah dipalsukan, ada juga gambar Yesus dan bunda Maria di sandal jepit, dst dst dikumandangkan di mana-mana, namun mereka tetap memahaminya dengan tidak reaktif. Apa sebabnya?, sebagaimana yang saya katakan di atas, yaitu rasio, ialah yang dapat menghilangkan sifat daripada penginaan itu.
Kitapun bisa melakukan itu, Tuhan adalah tetap sejatinya Tuhan, Nabi tetap sejatinya Nabi, Rasul adalah tetap sejatinya Rasul, dst. Saya ingat akan peribahasa yang kira-kira berbunyi, 'sinar mata hari walau menimpa pada kotoran sekalipun ia adalah tetap sinar yang sama'. Fokus bukan pada kotorannya, melainkan pada sinarnya. Sinar akan tetap sinar, walau disajikan hamparan kotoran sekalipun. Itulah sejatinya.
(AFOF, Perth WA, 29 Agustus 2016.

#Catatan: Adapun yang kadang malah bikin sangat krusial adalah, menghina orang bukan main semangatnya, namun begitu dirinya dislenting sedikit naik pitam tiada kepalang..., :(
(FB)

KEBENARAN DAN KEKUATAN

KEBENARAN DAN KEKUATAN
Oleh: A. Fuad Usfa

Perlu hati2 di musim fitnah nasional (MUFIN) ini..., wabah fitnah nasional (WAFIN) telah merasuk ke mana2, ke segala usia dan lapisan masyarakat..., telah merasuk ke orang2 kebanyakan dan orang2 terpelajar... Kata kunci adalah: kepentingan... Kebohongan2 sekalipun bila di hembuskan terus menerus akan dipahami sebagai kebenaran..., dan sejarah akan menorehkannya pula sedemikian itu..., aku bisa pahamlah, acap sejarah adalah milik yg menang, terlepas dari pembenaran yg telah diteriakkan  sebagai kebenaran...
Acap kebenaran hakiki berada di dasar tumpukan sampah2 yg ditaburkan dg segala pernak-perniknya...
Memang kebenaran acap tak lain hanyalah seonggokan klaim2 semata, tiada hakiki..., KLAIM kebenaran dan kekuatan dalam faktanya sulit dipilahkan...
(AFOF, Perth WA, 23 Mei 2014)
(FB)

GAMBARAN SIKAP TUHAN

GAMBARAN SIKAP TUHAN
Oleh: A. Fuad Usfa
(Medio Penghujung Musim Dingin 2016)
Sekitar sebulan yang lalu saya terjebak macet di Albany High Way..., yaitu persis sebelah Westfield Carousel, di kawasan Cannington Shopping Centre..., maklum sih waktu jam sibuk... Beberapa ratus meter ke depan terdapat traffic lights, sudah dua kali hijau saya belum juga bisa 'lepas', kena merah lagi..., sambil mendengarkan musik saya amati di sekitar kemacetan, persis di sebelah kanan saya ada seorang pengendara wanita berbusana jilbab, ia menyetir seorang diri. Dari situ pikiranku menerawang bukan hanya sebatas pandang, melainkan menembus cakrawala hingga tanpa batas, lalu mataku menjelajahi semua pengendara dan semua orang yang dapat saya lihat serta yg dapat saya bayangkan di seputar kawasan itu..., mataku tetap mengamati di sekitar kemacetan hingga menoleh kebelakangpun... Dari situ terbentuk konstruksi pikiranku, di antara sekian banyak orang yang terdapat di area itu, akankah hanya dia (wanita itu) dan aku saja yg akan masuk surga?, kalau begitu alangkah kejamnya Tuhan..., apa salah mereka itu?, mereka tak membikin huru-hara, bahkan umumnya mereka jauh lebih teratur, lebih tertib daripada kita-kita di negeri yang kononnya sebagai ummat yang terbaik. Ataukah hanya atas dasar yg sangat sederhana?, yaitu karena mereka tidak sama seperti dia dan aku...?, bukankah mereka ditakdirkan oleh Tuhan sendiri untuk lahir di lingkungan yang berbeda dengan dia dan aku...?.

Hanya aku dan dia yang akan masuk sorga?, saya merasa sedih membayangkan, bahwa mereka kononnya akan menggelepar-gelepar di api neraka, api yang sangat panas, yang panasnya jauh di atas panasnya api di dunia ini. Apakah Tuhan akan bersenang hati memperlakukan dan menyaksikan mereka menggelepar-gelepar tersiksa tanpa batas?, menyaksikan dan menyaksikan..., sesadis itukah Tuhan...?, padahal Tuhan sendirilah yang mentakdirkan mereka lahir di lingkungan yang berbeda dengan aku dan dia. Lalu Tuhan itu Tuhannya siapa sih...?.

Saya ingat doktrin, lalu saya berpikir, aku dan dia pun tidak akan mulus untuk masuk sorga, melainkan harus melalui jalur neraka dulu, setidaknya tiket melalui jalur ke neraka itu jelas telah dimiliki oleh wanita itu, yaitu dia telah keluyuran sendirian tanpa didampingi mahramnya, tentu itu telah menjadi sikapnya sehari-hari, seperti pergi ke sekolah, pergi bekeja, pergi belanja, dst, dia telah melakukan yang diharamkan. Selain itu (sebagaimana aku juga) dia telah menyerupai orang kafir, seperti yang jelas-jelas dia lakukan yaitu menyetir mobil, menggunakan HP, internet, AC, hiter, CDdan atau DVD, belum lagi asuransi, belum lagi manggunakan uang dolar, jasa Bank, beragam kartu Bank, kartu-kartu dari Government seperti Medicare, mungkin Health Care, dll, kira-kira begitulah antara lain gambaran tiket jalur lewat neraka itu, atau jangan-jangan aku dan dia malah masuk golongan orang-orang kafir, maka tentu kalau sudah begitu tamatlah sudah, titik sudah dan hanya akan menjadi 'santapan' Tuhan di kubangan neraka jahannam, sedang Tuhan tak pernah memberi tahu yang pasti, melainkan semua orang hanya tahu dari katanya dan katanya.

(Kendaraanku tentu sudah melejit melewati kemacetan, tapi pikiranku masih terus berjalan pada topik yang sama).

Lalu aku terbayang pada ribuan orang di dalam shopping centre..., kemudian ke seluruh kawasan Australia..., merambah ke seluruh dunia, melintas pada waktu yang tak terhingga. Apa data yang dapat kita peroleh?, ternyata hanya sebagian kecil saja orang yang akan masuk surga, seakan Tuhan telah gagal dalam berkreasi, yang hanya menampilkan kesadisan-kesadisan yang luar biasa. Tuhan hanya bisa bermain kata  yang membingungkan ummat manusia, itu pulalah diantara sumber terjadinya huru-hara di dunia, kita-kita yang kononnya adalah golongan yang sebaik-baik ummat, malah sibuk saling berperang dan meluaskan wilayah peperangan, sedang Tuhan seakan tak mampu memadamkan dan seakan sibuk berpihak pada agama bangsa tertentu, yaaa..., agama bangsa tertentu. Huru-hara dunia atas nama Tuhan terus terjadi, yang paling piawai memusuhi, membantai, serta membunuh terhadp yang berbeda malah dijanjikan oleh Tuhan kerajaan surga dengan para pendamping yang tidak tanggung-tanggung, yaitu bidadari bidadari yang cantik cantik rupawan yang tidak ada satupun kecantikan wanita-wanita di dunia yang menyamainya; eronisnya yang damai malah akan diganjar dengan neraka jahannam.

Adapun inti yang ingin saya katakan, bahwa sungguhnya tuhan yang dimaksudkan itu bukanlah Tuhan, melainkan hanyalah tuhan yang dibentuk oleh pikiran kita, maka makin sadis kita, atau suatu bangsa, maka akan makin sadislah gambaran sikap Tuhan terhadap yang berbeda dengan kita, oleh sebab gambaran sikap Tuhan tak lebih dari ujud pikir dan sikap kita.

#Keterangan: Pada tulisan tuhan ada tertulis t (kecil) dan T (besar).
(AFOF, Perth WA, Penghujung Musim Dingin 2016)

Friday, February 17, 2017

BINATANG

#Refleksi Tapak Perjalanan Panjang
(Sebuah Kesadaran Baru)

BINATANG
Oleh: A. Fuad Usfa

Apa yg selalu kita saksikan tentang persepsi kita terhadap binatang, betapa rendahnya binatang, rendah serendah2nya, mungkin masuk peringat di bawah setan, doktrin2 pun menorehkan siratan yg membekas tajam pada alam pikir dan jiwa kita. Suatu realita yang tak bisa kita pungkiri tentu. Maka bisa dipahamilah manakala stigma jelek selalu dilekatkan pada mahluk yg namanya binatang. Binatang telah menjadi sandaran perilaku jelek kita didunia nyata, pendek kata, binatang adalah mahluk rendah dan bahkan serendah2nya di bawah peringkat setan. Suatu contoh, begitu gampangnya kita menyandarkan suatu perbuatan yg kita anggap tidak baik itu pada binatang, kitapun dapat bertindak dg semena2 terhadap binatang. Itu semua oleh sebab penumpulan2 yg dijejalkan pada kita oleh lingkungan kita yg telah berperan membentuk sikap pikir dan mental kita, termasuk yg bersandar pada alam kesucian sekalipun.

Manusia dan binatang itu sama2 mempunyai apa yg disebut nafsu (keinginan), akal (pengendali), dan insting atau nurani (penyucian), di samping juga mempunyai indra, yaitu penglihatan, pendengaran, pencicipan, penciuman, perabaan, dan juga keragaan. Tingkat kemampuan dan pengembangannyalah yg berbeda.
Suatu misal mengapa binatang bisa menghindari dari bahaya, itu bukan karena insting semata, melainkan juga mereka menggunakan akalnya, pengalaman2 mereka telah turut membentuk konstruksi pikirnya, namun binatang tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkannya lebih jauh. Seorang kawan di sini (asal Sumatra Utara) bercerita pada sy, bahwa suatu ketika ia ada suatu kepentingan di Rumah Sakit Hewan, lalu ia menjumpai realita yg menarik perhatiannya, yaitu pada saat seekor anjing hendak diperiksa, tuannya mengajak masuk ruangan periksa, ternyata anjing itu merengek2 bagai manusia, ia merasa keberatan untuk diperiksa, rengekannya terdengangar bagaikan rengekan manusia, 'ngeeek..., ngeeek..., ngeeek...', sambil ia menggerak2kan tubuhnya sebagai pernyataan keberatan..., tapi tuannya membujuk,  membujuk dan membujuk, akhirnya ia bersedia untuk diperiksa, tentu akalnya dapat menangkap dan merekam kejadian sebelumnya, dari situ ia merespon dalam bentuk tindakan.

Banyak binatang yg mempunyai kemampuan yg melebihi manusia, baik insting, penciuman, pendengaran, rasa, maupun keragaan misalnya. Oleh sebab itu sejak jaman dulu manusia memnggunakan binatang untuk membantu keterbatasannya. Sejak masa yg tak terhingga lamanya manusia telah minta bantuan pada binatang.

Ada suatu yg tidak dimiliki oleh binatang daripada manusia, yaitu apa yg disebut nilai (value). Berkenaan dengan baik-buruk, elok-tak elok, kederajatan, pantas-tak pantas, dst, yg kemudian bahkan berujung pada keTuhanan. Binatang tidak memiliki itu. Apakah oleh sebab itu binatang lalu menjadi mahluk yg jahat?, tidak juga. Oleh sebab tidak memiliki apa yg disebut nilai ini maka binatang tak pernah mempunyai kemampuan untuk usil dengan pihak lain, mereka berjalan sebagaimana hukum2 yg telah digariskan, sesuai dg fitrah, yang kita kenal dg istilah hukum alam atau sunnatullah. Binatang tak pernah berpikir tentang kehidupan setelah kematiannya oleh sebab dasar menuju ke situ memang tidak ia punyai.
Kehidupan setelah kematian terbentuk karena aspek nilai, yg pada perkembangannya membentuk suatu sistem, yaitu sistem nilai. Pada hakekatnya nilai itu muncul oleh sebab kemampuan berfikir manusia yg bisa berkemang tak terhingga, kemampuan berpikir yg tak terhingga itu memunculkan kesadaran keterbatasan jangkauan pikirnya. Demikian juga dengan hasrat atau keinginannya. Dengan demikian maka muncul kehawatiran2, ketakutan2, yang pada akhirnya merasa perlu untuk melakukan pembatasan2. Batas2 itu diantaranya adalah nilai (value). Apakah dengan nilai (value) ini menjadikan manusia mempunyai derajat yg lebih tinggi dari binatang?, tentu tidak dengan sendirinya oleh sebab nilai (value) ini adalah ciptaan manusia, maka keberpihakannya tentu pada manusia. Suatu misal, patutkah pembantaian terhadap binatang dinyatakan baik bahkan mulia (-baik, mulia, dllnya ini adalah nilai-)...?. Ternyata hal itu telah dilakukan oleh manusia, bahkan sy sebut mulia sebab justru untuk persembahan pada Tuhan. Hal itu terjadi untuk sebagian besar agama. Pengecualiannya antara lain pada Hindu, Sikh, dan mungkin sebut yg lain lagi, itupun dg beberapa pengecualian pula. Banyak manusia yg berTuhan yg begitu saja menghinakan binatang, bahkan dinisbatkan pada titan Tuhan. Suatu misal anjing dan babi telah begitu hinanya, sehingga kita menjadi buta akan kelebihan dan kebolehan yg dimilikinya, bahkan aspek eko sistem yang juga terkait dengannya. Penafsiranpun telah ditutup tanpa syarat. Stigma itu telah begitu mengakar, seakan Tuhan telah mengajarkan teknik kutukan yg bisa dikembangkan pada berbagai hal serta berbagai kondisi dan keadaan. Ini realita..., bukan sekedar sudut pandang normatif semata yg tak pernah berujung.

Saya menyadari, tentu ini bukan cara berpikir yg umum bagi kita, mungkin dipandang aneh nyleneh, namun saya yakin tak semua merasa begitu.
(AFOF, Cannington WA, 18 Februari 2017)
#Setelah unggah status ini ku kan sepedaan..., setidaknya dg jarak 20km..., cool...
(FB)

Cerpen: KAWAN SEKAMPUNG

CERPEN
Fiksi
KAWAN SEKAMPUNG
(Hidup itu Penuh Misteri)
Oleh: A. Fuad Usfa
Persis di depan rumahku, rumah sederhana, sesederhana keadaanku, tapi rumahku bersih, bahkan puntung rokok pun tak ada, yang memang kata orang merokok tak bagus untuk kesehatan, baik kesehatan badan maupun kesehatan ekonomi. Walau demikian toh teramat banyak orang ketergantungan pada rokok, yg memang, apapun alasannya, pembenaran akan kita temukan di mana-mana. Pun demikian aku tak pernah berpikir itu.

Persis di depan rumahku, rumah bercat putih, yang kata orang putih itu lambang suci, pun demikian tak ada orang yg menanyakan padaku mengapa rumahku di cet putih, mungkin orang tak lagi peduli dg lambang2, di jaman kemunafikan merajalela.

Persis di depan rumahku, depan rumah yg tak becek walau baru saja hujan lebat mengguyur. Aku jumpa kawanku, kawan masa kecil, masa kebahagiaan dijumpai kala kami berenang di sungai, naik rakit dari batang pisang, kala kami mandi2 bersama, lepas semua pakaian dan sama berlompatan mencebur ke arus sungai, kala ku tak pernah membayangkan adanya jenis dalam diri kami.

Aku jumpa kawan masa kecilku di depan rumahku. Mulanya ku tak tahu kalau ia itu kawan masa kecilku. Kawan masa kecilku itu berpakaian perlente, ia berjalan pelan sambil matanya memandang2  bangunan rumah di sekitar rumahku. Aku baru curiga bahwa ia adalah teman masa kecilku setelah ku amati ia, kulihat tahi lalat di pipi kanannya, di pelipis kirinya ada sedikit bekas luka, aku ingat kawan masa kecilku terluka di pelipis kirinya, kala jatuh mengejar layang2, jatuh di anak sungai sebelah rumahku, rambutnya lurus, matanya sedikit sipit tapi serasi dg bentuk wajahnya. Mulanya aku berpikir, mungkin saja ia hanya mirip kawan masa kecilku, tapi perasaan ku mengatakan bahwa itu pasti kawan masa kecilku. Oleh sebab itu aku menyapanya, 'selamat pagi bapak...', ia menjawab, 'selamat pagi juga bapak..., apa kabar pagi ini...?, jawabnya, 'alhamdullilah baik', jawabku..., dan aku sambung dg pertanyaan, 'maaf, bapak ini dari kampung Delima ya pak...', dan aku sengaja tak menyebut Desanya, Kecamatannya, Kabupatennya, Provensinya, maupun Negaranya, sebab bila benar dari kampung Delima tentu aku dapat memastikan, bahwa ia itu memang kawan masa kecil di kampungku. Mendengar pertanyaanku itu, ia kaget, matanya terbelalak, mulutnya terbuka, dan dari mulutnya itu terdengar suara, 'hah...', lalu ia menjawab, 'iya..., betul..., apa bapak mengenal saya?', yg tentu saja serta merta aku jawab, 'aku Pardege..., anak kampung Delima..., tentu teman masa kecilmu bukan...?', ia terkaget-kaget, langsung menyalamiku, dan kami berpelukan, rasa hati kami teramat senang, berjumpa kawan masa kecilku, setelah puluhan tahun tidak berjumpa.
(AFOF, Cannington WA, 18 Februari 2017)
(FB)

Tuesday, February 14, 2017

PAHAMAN KORELASINYA DENGAN KEBERAGAMAN

PAHAM KEBENARAN 
KORELASINYA DENGAN KEBERAGAMAN
Oleh:A. Fuad Usfa

1. Paham Kebenaran Dan Bentukan
Beragam bahasan tentang kebenaran oleh sebab keberagaman obyek itu sendiri, dari yang fiskal hingga yang metafisikal, dari yang nampak hingga yang gaib. Bila ingin membangun rumah dengan gambar dari arsitek seperti ini, campuran semen, koral, dan sebagainya seperti ini, maka bilamana si tukang telah bekerja membangun dan hasilnya sesuai dengan gambar dan seterusnya tadi, maka bermakna benarlah kerja si tukang, oleh sebab keadaan tersebut bisa diukur dengan pasti, obyeknya nampak dengan jelas, maka bisa diukur tingkat kesesuaiannya dengan obyek. Sebaliknya bila berkaitan dengan yang metafisikal, abstrak, gaib, sebab hal tersebut akan melibatkan penafsiran atau intuisi.

Bila seseorang menyalahkan pandangan si fulan, lalu si fulan bertanya mengapa begitu, si yang menyalahkan tadi akan menjawab, 'bila bla bla...', yang kesimpulannya, 'menurut pendapat saya', 'kata orang tua saya', 'kata guru saya', 'kata bla bla bla....', dan seterusnya --dengan merujuk pada sumber-- yang tentu didukung dengan argumen. Bila pendapat tersebut berkenaan dengan hal yang fiskal, bolehlah sedapat mungkin dicocokkan dengan obyeknya, namun bila hal tersebut berkaitan dengan obyek yang non fisikal atau abstrak atau gaib, bagaimna mungkin?. Katakan suatu misal di goa itu ada gendoruwo; bagaimana uji kebenaran yang demikian itu?; hanya saja oleh sebab sedari lahir kita hidup di alam term gendoruwo maka terbentuklah alam pikir dan rasa kita tentang konsep alam gendoruwo, sehingga kita dapat paham genderowo seperti orang-orang terdahulu dan sekitar kita memahami alam gendoruwo, bukan berarti mengetahui tentang kebenaran genderuwo dan alam genderuwo, demikian pula misalnya tentang jin mata merah, dan sebagainya.

Terdapat dua alam yang melingkupi manusia, yaitu alam fitrah dan alam bentukan. Keberadaan kita tidak terlepas daripadanya, alam bentukan tidak terlepas dari pengetahuan kita, yang kemudian membentuk pemahaman, lalu aksi, lalu kebiasaan, dan menjelma menjadi sifat dan keperibadian, yang dari situlah terbentuknya kebudayaan hingga peradaban. Pengetahuan itu terdapat sumber-sumbernya, makin terdapat keberagaman sumber makin membentuk keberagaman pengetahuan, lalu keberagaman pemahaman, dan seterusnya. Persoalannya hanya pada aspek signifikansinya.

Disadari atau tidak akan adanya realitas itu, maka sering muncullah gagasan sensor untuk memotong aliran sumber, misalnya buku-buku karya X tidak boleh beredar di Indonesia, di Pondok Pesantren tertentu, dan sebagainya, atau jangan engkau bergaul dengan si fulan, sebab ia beragama (...............) nanti engkau terpengaruh, dan sebagainya. Di kala yang demikian itu terjadi, maka beralihlah medan, bukan medan kebenaran yang bicara, melainkan otoritaslah yang berlaku, bisa jadi sumber yang benar itulah yang dipotong. Dengan demikian medan kebenaran dipertanyakan, sebab persoalannya seakan si pemilik otoritas itulah si pemilik kebenaran. Suatu contoh yang ekstrim, perhatikan dengan cermat di tengah masyarakat kita, betapa banyak orang yang marah dengan mengancam (teror), melakukan pengrusakan dan bahkan pembunuhan (seperti pengeboman, dan sebagainya), menghalalkan darah sesama, dan klaim yang dikumandangkan adalah demi kebenaran. Alangkah naifnya melakukan gerakan semacam itu dengan mengatas namakan kebenaran, padahal pihak yang diserang itu berpendapat bahwa yang melakukan penyerangan itu yang tidak benar. Taruhlah misalnya kasus seputar Ahmadiyah di Indonesia yang selalu menjadi bulan-bulanan kelompok yang kononnya sepaham dengan kelompok mayoritas. (Coba cermati di sini, ada para pihak yang sebetulnya mempunyai posisi atau kedudukan yang sama, tapi dipahami tidak sama, ditinggikanlah dirinya dan direndahkanlah pihak yang lainnya). Bahkan orang-orang yang tidak tahu menahu atau yang biasa diistilahkan 'orang yang tak berdosa' sekalipun menjadi korban, menderita karena ulahnya. Kalau memang yang melakukan gerakan penyerangan tersebut benar, maka berarti kebenaran itu nista, oleh sebab ia dengan mudah bertindak nista. Bagaimana yang demikian itu bisa terjadi?!, maka sesungguhnya dalam konteks tolok ukur kebenaran yang positif gerakan tersebut menunjuk pada keadaan (pembuktian) ketidak benaran.

Bisalah dipahami bila muncul kontra gagasan, apakah engkau pemilik kebenaran?!. Di sini otoritas justru menjadi batu penghalang, atau belenggu, bahkan penindas atau tiran, baik itu otoritas pada struktur atas maupun struktur bawah atau akar rumput yang selalu begitu mudah digerakkan oleh struktur atas atau mereka yang dengan gampang bertindak gegabah oleh sebab dorongan hawa nafsunya, lalu diteriakkanlah jargon atau kualifikasi, bukan soal kebenaran, melainkan seakan kebenaran, semisal jargon atau kualifikasi 'sesat', tidak cukup itu, lalu ditambahkannya lagi, 'dan menyesatkan'. Muncul pertanyaan, siapa yang sesungguhnya sesat dan menyesatkan, apakah bukan yang meneriakkan itu?!. Misal lain, meresahkan masyarakat, padahal senyatanya sering kali tidak ada keresahan itu, yang ada adalah diresahkan oleh otoritas dengan bertindak kononnya atas nama tokoh masyarakat, dan sebagainya. Bahasa tersebut seakan kebenaran, padahal senyatanya tipu daya otoritas. Sebagaimana kita telah sama mafhum, di medan inilah arogansi, penindasan, tirani selalu menjelma. Tak hayallah mana kala muncul tuntutan, berilah kami kebebasan akses, oleh sebab kami sederajat dengan engkau, hanya bedanya kami tak punya otoritas, atau setidaknya karena kami lemah.

Alam bentukan mesti melalui pengajaran, pengajaran berlaku sejak kelahiran, bahkan sejak masih di alam kandungan. Pengajaran berlaku hingga akhir hayat. Pengajaran adalah transfer pengetahuan dan nilai dengan melalui berbagai sumber, termasuk pengalaman. Berdasar arus datangnya pengetahuan itu dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu yang disadari dan yang tidak disadari. Pengajaran bisa bermakna pula proses pembentukan, setiap hasil ajaran adalah bersifat bentukan, setiap bentukan tergantung pada siapa dan/atau di alam mana dibentuk hingga terbentuknya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka persoalannya tergantunglah pada aspek signifikansinya. Bila seseorang di tanya, misalnya, 'mengapa engkau muslim, mungkin jawabnya, 'mengapa tidak, kedua orang tuaku muslim kok...', kemudian pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'apakah engkau paham tentang Islam?, mungkin jawabnya, 'iya..., tentu saja, sebab aku disekolahkan di Pondok Pesantren oleh orang tuaku...' (-di sini terdapatnya 'pemaksaan' bentuk), lalu pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'di mana engkau mondok?', bisa saja dijawabnya, 'di Pondok Pesantren X...', namun bisa jadi jawaban pertanyaan yang terakhir tadi ditanggapi dengan negatif, yaitu bisa saja dijawab dengan, 'wah..., engkau bakal masuk neraka...', apa pasal?!, ternyata jawabnya disebabkan Pondok Pesantren itu penganut paham Syiah misalnya. Perlu dipahami bahwa dalam Syiah itu terdapat berbagai sekte, madzhab ataupun pandangan, sebagaimana juga dalam Suni. Coba cermati padahal itu belum masuk pada ajaran lain, masih dalam lingkup Islam itu sendiri, bagaimana lagi terhadap agama dan kepercayaan lain...?!. Dari gambaran di atas dapatlah diambil mafhum, bahwa antara paham kebenaran dan bentukan terdapat korelasi positif.

2. Kebenaran dan Korelasinya dengan Luas Kehidupan
Sebagai ilustrasi dapatlah penulis kemukakan beberapa pengalaman penulis sebagai berikut: Suatu ketika, di awal penulis di Australia (2007) penulis menelepon kawan yang satu profesi dengan penulis semasa di Indonesia, lalu ia bertanya pada penulis, apakah ada orang Aboriginal yang beragama Islam?, dan penulis jawab, belum tahu, masalahnya adalah adakah yang mengislamkan mereka?, maksud penulis adalah --dengan kata lain-- adakah yang bisa membentuk mereka menjadi pemeluk Islam?, kalau dikembangkan berbunyi demikian, salahkah mereka karena tidak memeluk Islam oleh sebab tidak ada yang bisa membentuk mereka untuk itu?, mungkinkah akan menjadi pemeluk Islam dengan sendirinya?, apa lagi tiba-tiba menjadi fasih berdoa dalam bahasa Arab sebagai mana kita yang telah dibentuk sejak mengenal dunia, yang diajari mengaji, bermadrasah, membaca berbagai kitab agama Islam, hidup dalam komunitas Islam yang begitu erat mengikat kita sehingga kita tidak bisa dan tidak berani --begitu takutnya-- untuk berbuat lain,arena begitu kuatnya pengikat itu, dan yang tidak ada namanya kamus kebebasan untuk memilih dan menutukan akan makna kebenaran. Pengalaman lain lagi yaitu tatkala penulis mengikuti acara yasinan dan tahlilan, sebelum acara dimulai seseorang yang duduk di sebelah kiri penulis bertanya, 'di Indonesia kamu mengikut organisasi apa?', kemudian penulis bertanya, 'maksud bapak apa?', kemudian ia menjawab, 'maksud saya kamu mengikut madzhab apa?', tentu di sini mengandung maksud telah di/terbentuk menjadi pengikut madzhab apa?, sebab tidak mungkin akan dengan sendirinya menjadi pengikut madzhab tertentu kalau tidak ada yang membentuk ke arah itu, apa lagi bila kenal pun tidak, tentu hal yang mustahil, dan tentu akan lebih mudah membentuknya bilamana seseorang itu awam agama dan ia begitu berminat belajar agama lalu datang pengikut suatu madzhab serta mengajarkan tentang ajaran madzhabnya. Pengalaman lain lagi penulis berbincang dengan tokoh agama --non Islam-- diantara perbincangan itu ada mengutarakan kata tanya, 'apakah kita sudah siap untuk menghadapNya?', dan jujur saja bahwa pertanyaan yang sama juga kerap kita dengar dari penganut agama lain, termasuk yang seagama dengan kita, yaitu Islam.

Coba kita simak sejarah --ke belakang--, coba bergaul dengan manusia yang bergam ras, suku, kepercayaan, adat/tradisi dan sebagainya, berjalanlah dengan elegan, bukan hanya dengan menggunakan pendekatan normatif, coba jelajahi jengkal demi jengkal bumi dari mega polutan hingga hutan belantara pada masyarakat yang masih primitif, bukan hanya terpaku pada satu corak saja, sebab bila hanya satu corak, maka hanya satu corak itulah yang dikenal, maka hanya itulah miliknya, atau yang sering kita jumpai adalah tutup mata. Bila kebenaran itu hanya satu corak saja maka betapa kita telah mengingkari akan realitas keberagaman dan keluasan kehidupan. 

Sunday, February 12, 2017

PERAN SUGESTI

Oleh: A. Fuad Usfa
4. Hal hal ganjil
Dalam perjalanan hidup kita sering menemui hal-hal yang ganjil, suatu misal, bahwa bagi masyarakat pedalaman yang tingkat pendidikan masyarakatnya rendah, mahasiswa sering dipandang serba bisa, oleh sebab itu bisa-bisa banyak orang yang sedang sakit minta diobati, tapi setelah diberi air masak biasa yang pura-pura dido’ain (maksudnya agar mereka tidak kecewa) ternyata sembuh…!. Jangan heran dengan yang demikian itu, sebab itulah peran sugesti yang ternyata cukup ampuh. Peran sugesti ini juga dapat kita amati (misalnya) bila berobat pada perawat X di Desa Sana ternyata cepat sembuh (ces pleng),sedang bila berobat pada perawat Y di Desa Sini tak kunjung sembuh, padahal obatnya sama saja. Masalahnya masyarakat sudah tersugesti terhadap perawat X di Desa Sana, sedang terhadap perawat Y di Desa Sini tidak yakin, padahal sugesti tumbuh dari yakin. Adakah hal-hal ganjil di pulau kami?!, tak tahulah…, perjalanan waktu yang akan menjawab, yaitu setelah program KKN rampung. (Kutipan).
http://www.bawean.net/2010/05/tegur-sapa-buat-mahasiswa-peserta-kkn.html

Dalam kadar tertentu sugesti mempunyai peran cukup dominan dalam penyembuhan seseorang yg sakit, dari dulu hingga kini tak sulit kita temui dalam kehidupan kita sehari2, di masyarakat manapun juga dalam skala waktu yg tak terhingga..., di Malang ada seorang dokter yg sangat kesohor, kononnya ada pula orang yg begitu masuk ke tempat praktiknya badannya terasa enak... Masa kami mahasiswa dulu ada pengalaman, seseorang kawan diajak keluar ia tidak mau, sebab ia merasa tidak enak badan, lalu dua orang kawan yg mengajaknya punya ide, yaitu untuk memintakan air pada dukun (sebab biasanya ia selalu menggunakan dukun), tapi kawan itu hanya bohong2an aja..., setalah ia setuju maka kedua kawan itu tidak pergi ke dukun melainkan duduk di rumah bapak kost (bersebelahan), sekira beberapa saat dlm hitungan perkiraan PP ke rumah pak dukun lalu menemui kawan yg sakit itu dan memberikan segelas air utk diminum sampai habis..., beberapa saat kemudian ia jadi sembuh dan bahkan menerima ajakan utk keluar..., dan tentu masih banyak yg lain..., tentu kita tidak akan kesulitan untuk memahaminya..., itulah sugesti...

Dalam masyarakat manapun juga, dalam rentang waktu yg tak terhingga, termasuk dalam masyarakat primitif yg paling primitif..., yg menganut kepercayaan/keyakinan apapun, di situ dikenal yg namanya dukun atau bomo... Coba kita cermati pula berapa kadar obat pada obat2an di pasaran?, Zahminan Zaini dosen agama kami saat kuliah bilang, berdasar penelitian yg ia lakukan ternyata hanya 2 koma sekian prosen saja...
Konon ada juga orang yg sudah 'divonis' dokter, maka ia pulang dari rawat inap, makan apa saja yg dilarang dokter..., eeeee..., malah ia bisa bertahan hidup...
#sugesti...
(FB)

Friday, February 10, 2017

KEINSYAFAN DIRI

Oleh: A. Fuad Usfa
Dulu sy pernah terjebak dalam pemahaman keagamaan normatif, diantara ciri dari pandangan ini teks2 keagamaan lebih dipahami secara tekstual, hitam-putih, hanya kitalah yg paling benar, di luar kita salah, titik!. Th 1979 geliat gerakan masyarakat Islam bergolak, aku masuk dalam bagian 'sumbu pendek itu', kala itu era internet belum menjelma, maka betebaranlah brosur2, tabloid2, kaset2 orasi keagamaan, semisal Tonny Ardi, Husain al Habsyi, Syafruddin Prawiranegara, dll..., nafasnya adalah mendiskreditkan pemerintah dan pihak2 yg tidak sepandangan, tentu aku suka membacanya..., kala itu aku masih mahasiswa..., aku bagian dari sumbu pendek itu...
Pandangan dari Nurcholish Majid tidak aku sukai, tapi aku sering hadir diceramah2 beliau, sebab aku sebaju dg beliau... Pandangan yang bagaikan cakrawala nan luas itu sama sekali tak mampu sy pahami, sebab aku sedang berada dalam tempurung. Bom bom pun meledak di mana2, di sudut gereja, sudut candi Brobudur, atau sebut yg lain... Saat Gus Dur menyebut gerakan2 'sparatis' itu dg bughat, aku diantara orang yg tak setuju, aku adalah juga orang yg tak menyetujui Pancasila sebagai azas tunggal, bahkan dalam ranah di lingkup bawahpun, yaitu kala sy menyusun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga IMPSB sy merumuskannya secara tegas, walau kemudian berubah saat dalam pembahasan di Surabaya, itu persoalan lain, itu bukan rumusan dari saya, melainkan hasil bahasan, kawan2 sepantaran dan sepergerakan dg saya tentu tahu sikap saya..., sy 'sumbu pendek'...
Mataku mulai terbuka, saat mau mengintip ke luar tempurung, melrik catatan harian Ahmad Wahib, berdiskusi dg mereka2 yg membuka diri, menempuh bidang studi sosiologi, lalu terbukalah, betapa luas cakrawala itu..., lalu aku pun merambah dunia luar, dalam realita di lapangan terbuka..., dan aku berkata pada diriku, 'kau telah terperangkap, kau tersekap, coba kau angkat tempurung yg melingkupimu, tataplah realita yg mengelilingimu, ternyata tempurung itu hanya bagian dari keluasan lingkup itu sendiri'.
Kini ku mesti insaf dan bertobat..., amin. #Aku bagian dari semua.
(Cannington Western Australia, 11 Februari 2017)

Wednesday, February 8, 2017

BUKA MATA TERBENTUR TEBARAN FITNAH

Oleh: A. Fuad Usfa
Hari2..., begitu bangun tidur..., mata terbuka..., oalaaaaaah...!!!!!!!!, ternenturlah kita pada lembaran2 fitnah dan segala macam hoax, bagai menghunjani kita, bertubi tanpa ampun...
Dalam kondisi seperti ini, hindarilah segala macam fitnan dan ragam hoax dengan membabit2 nama Tuhan..., sebab Tuhan tiada bergantung pada kekejian dan kekuatan manusia (yg sering kali sangat curang)..., melainkan manusialah yg bergantung kekuatan Tuhan yang Maha luhur...
(FB)

SALAM

Oleh: A. Fuad Usfa
1. pendahuluan
Dulu, sekitar rentang awal dekade 90an, di Fakultas kami dapat proyek penelitian, wilayah penelitian kami Jawa Timur, kawan2 dibagi untuk wilayah masing2 dg dibantu oleh beberapa mahasiswa. Sy mendapat bagian di suatu wilayah kabupaten di tiga Kecamatan. Tentu kami harus tinggal berbaur dg masyarakat di situ. (Terlepas dari topik penelitian kami), di situ terdapat sesuatu hal baru yg sy temui dalam sejarah hidup sy, yaitu sy menemui hari2 masyarakat biasa saja membawa senjata tajam ke mana2, siapa mau ya bawa saja, terutama yg merasa punya 'musuh', utamanya di malam hari. Sy sempat bertanya pula 'mengapa?', katanya untuk jaga diri. Sy juga menemui kenyataan orang bicara bahwa di 'situ' ada pembunuhan, dg nada yg sepertinya tanpa beban (biasa saja).

2. Ber'ballighu 'Annii Walaw Ayah'
Suatu ketika sy diminta untuk ber'ballighu 'annii walaw ayah' (-istilah dari sy-), dan sy bersedia, sy ingin angkat isu dari pengalaman sy saat penelitian itu. Sy sadar bahwa sy harus bicara di hadapan kalangan kaum terpelajar, yg biasanya mesti berbicara dg topik besar, menyadur pandangan dari berbagai buku yg kalau perlu buku yg paling mutaakhir. Sehubungan dg topik yg sy angkat, kalau perlu tentu sy bisa kutip antara lain dari berbagai hal dari buku2 Kriminologi dan Patologi Sosial sebagai penegasan yg itu masih merupakan bagian dari disiplin ilmu yg sy tekuni. Tapi sy pikir, ada sesuatu yg sederhana dan hanya memerlukan pendekatan sederhana pula, dg logika/akal sehat serta pendekatan sosial yg sederhana. Untuk itu sy menyampaikan pandangan sy terkait dg kondisi di lapangan yg sy temui itu. Sy sampaikan yg intinya bahwa beberapa waktu yg lalu sy berkesempatan melakukan penelitian di suatu daerah (-tidak sy sebutkan daerahnya-) ...., bla bla bla..., daerah itu daerah muslim ...., bla bla bla..., sy temui realita ...., bla bla bla..., mestinya kita sebagai muslim sesama muslim dan umat manusia seumumnya cukuplah membawa senjata 'salam'... Sebetulnya secara roh kultur di masyarakat kita Indonesia secara  umum berkurang lebih dg kondisi yg sy temui itu..., kita sekalian, termasuk sy sebagai bagian dari produk budaya... Kemudian daripada itu sy disodori nota, yg maksudnya bahwa waktu sdh tak memungkinkan lg utk diteruskan...

3. Saya Jumpai di Sini
Waktu telah berlalu, sy sdh tidak mengingatnya lagi, sudah lebih dari 20 tahun yg lalu. Sekarang sy jadi ingat kembali, walau antara samar dan jelas tentang apa yg sy sampaikan itu, dan apa yg sy rasakan atas 'reaksi' uraian sy yg bersahaja itu... Sy jadi ingat kembali oleh sebab sy menemukan realita yg sy bayangkan dan harapkan diungkapan sy itu justru sy temui ada di sini..., dalam kontek yg berbeda, namun rohnya sama..., yaitu 'salam'... Demi Allah sy menemui realitas itu di sini, yaitu 'salam'.
Bukan persoalan kejahatan maupun patologi sosial..., sebab yg demikian itu adalah merupakan bagian daripada keberadaan insan..., namun persoalannya pada metode penyikapannya... #dan demi Allah sy jadi banyak 'belajar' justru di sini...
'Salam'
(AFOF, Cannington WA, 7 Februari 2016)
(FB)

SAKSI

Cerita Pendek (Cerpen):
SAKSI
Oleh: A. Fuad Usfa
Senja menjelma, di saat weekend di bulan Pebruari 2007. Ahmad duduk termangu di Hotel Indonesia, matanya yang sayu menatap pada tugu nan kokoh, berdiri tegak di tengah-tengah bundaran. Kala itu cuaca mendung, hujan gerimis, Ahmad berbisik untuk dirinya sendiri, 'tak ada pelangi...', bisiknya. Entah mengapa di senja itu ia begitu merindu pelangi, sangat rindu..., bagai seorang kekasih merindu kekasihnya.

Di senja itu penampilan Ahmad begitu lusuh, bagai orang yang telah kehilangan gairah asmara, ia hanya memakai kaos singlet serta celana pendek, bau keringatpun tak dipedulikannya. Matanya menatap ke bundaran tugu, tatapannya begitu kuat, sekuat hunjaman pedang. Tiba-tiba suara kuat menggema dari tengah-tengah bundaran, Ahmad kaget bukan kepalang, suara itu tertuju pada Ahmad, begitu kuat dan kuatnya, lalu ditutupnya telinganya rapat-rapat dengan telapak tangaannya, dan suara itu malah makin kuat..., 'Ahmad..., mengapa engkau menatap kami seperti itu Ahmad...?!!!, adakah sesuatu yang salah dengan kami...?!!!, tidak Ahmad...!!!, tidak...!!!, tidaaakkk...!!!, demi Tuhan kami tidak ikut campur dengan kemunafikan mereka...!!!, kamilah kelak yang akan menjadi saksi..., atas kemunafikan-kemunafikan mereka. Kami tahu persis Ahmad, siapa mereka-mereka itu...!!!, saat dulu memimpin demontrasi, menuntut ditegakkannya keadilan sosial, pemberantasan korupsi dan segala yel-yel pembelaan atas yang lemah, katanya...'. Saat itu mereka berteriak lantang dengan pengeras-pengeras suara, tangannya terkepal..., merekapun telah menjadi tontonan..., termasuk oleh para gembel kota Jakarta, dan diantara penonton-penonton itu tak kurang pula yang turun berlabuh ke tengah arena, saat mereka menerima bayaran. Ahmad..., tahukah engkau Ahmad...?!!!, kini..., merekalah yang melakukan itu semua...!!!, demi Tuhan kami tak ikut campur Ahmad...!!!, dan kami akan menjadi saksi kelak...!!!'. Ahmad tercenung, dan memalingkan wajahnya, menatap keangkasa luas, berpaling ke segala penjuru..., mengharap 'kan menatap rona mega di ufuk sana..., namun malah ia mendapati langit semakin gelap.
(Perth, Western Australia, Jum'at malam, di tanggal 8 Pebruari, 2013)
(FB)

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...