Oleh: A. Fuad Usfa
- Eksistensi Tuhan
Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca indra kita. Oleh sebab itu bisa dipahami manakala terdapat banyak konsep tentang Tuhan. Baik hal tersebut menyangkut perihal dzat-Nya maupun sifat-Nya, atau segala sisi-Nya.
Eksistensi Tuhan adalah mutlak. Ia tiada berawal dan tiada berakhir.
Narasi tersebut adalah narasi umum, bisa dimaknai apa saja. Baik Tuhan dalam pemaknaan personifikasi, maupun dalam makna hukum-hukum yang mutlak menguasai segenap apa yang nampak maupun yang gaib, hingga pemaknaan sekedar kebutuhan sandaran jiwa manusia.
Ada orang yang baik, berbudi pekerti mulia, halus perangai dan tutur budi bahasanya, menghargai sesama manusia apa lagi terhadap orang tuanya, menjaga alam lingkungannya dengan penuh amanah. Keadaan yang demikian itu oleh sebab mereka sandarkan pada Tuhan.
Namun ada juga yang bahkan sebaliknya, mereka tidak berbuat baik terhadap sesama manusia bahkan menjadi penganiaya, berbudi pekerti tidak mulia, kasar perangai dan tutur budi bahasanya, tidak menghargai sesama manusia termasuk terhadap orang tuanya, tidak peduli untuk menjaga alam lingkungannya. Keadaan yang demikian itu oleh sebab juga mereka sandarkan pada Tuhan.
Realita seperti yang saya narasikan di atas, tentulah suatu yang sangat mudah kita lihat dalam sejarah kehidupan manusia hingga detik ini.
Dari kata-kata kasar, hingga tragedi kemanusian sedari tataran individu hingga kelompok, dengan segala jenis perbuatan tetek bengeknya, hingga bom diledakkan di mana-mana. Atas nama Tuhan.
Lalu apakah ‘Tuhan’ itu ada sih?.
- Pertanyaan Klasik
Sesungguhnya pertanyaan tentang eksistensi Tuhan sudah ada sejak jaman dahulu kala. Bukan di akhir-akhir ini saja.
Menilik dari khazanah Buddhis, ternyata di zaman sang Buddha Gautama pun pertanyaan seperti itu telah banyak diungkapkan.
- Kisah Menarik
Ada sebuah kisah menarik.
Suatu ketika sang Buddha Gautama menapaki suatu pejalanan bersama para murid. Di pagi hari sang Buddha bertemu dengan seorang pemuda yang sedang galau. Ia bertanya pada sang Budha: ‘Guru Buddha, sebetulnya Tuhan itu ada ataukah tidak ada?’.
Sang Buddha menjawab: ‘O muridku, o anak muda, Tuhan itu ada’.
Anak muda itu berkata, ‘terimakasih, terimakasih guru Buddha’.
Saat siang hari sang Buddha bertemu lagi dengan seorang pemuda lain yang mempertanyakan hal yang sama. Namun kali ini dalam keadaan garang.
Ia bertanya: ‘Guru Buddha, apakan Tuhan itu ada ataukah tidak?’.
Sang Buddha menjawab: ‘O anak muda, Tuhan itu tidak ada’.
Anak muda itu berkata: ‘O begitukah guru Budha?’.
Sang Buddha menjawab: ‘Iya’.
Anak muda itu menimpali: ‘Terimakasih, terimakasih guru Buddha’.
Begitulah inti dialog itu.
Perjalanan dilanjutkan, dan akhirnya sampailah di tempat di mana para pemeditasi, para yogi, para pertapa berkumpul. Pertanyaan yang sama juga muncul. Di antara mereka ada yang bertanya, ‘sebetulnya Tuhan itu ada ataukah tidak ada?’.
Namun kali ini sang Buddha tidak menjawab.
- Makna Sang Kisah
Dari kisah perjalanan sebagaimana diutarakan di atas itu menimbulkan tanda tanya bagi para murid yang menyertai perjalanan sang Buddha itu,
Mereka bertanya-tanya, bagaimana sih sejatinya?. Mengapa sang Buddha memberi jawaban yang nampaknya tidak konsisten seperti itu?.
Untuk itu sang Buddha memberi jawaban, bahwasanya bagi kisah yang pertama kasusnya berbeda dengan yang kedua dan yang ketiga.
Terhadap kasus pertama sang Buddha menjawab Tuhan itu ada, sebab anak muda itu sedang galau. Ia memerlukan jawaban sebagai pegangan sebagai tempat ia bergantung.
Sebagai gambaran, kira-kira bisa saya umpamakan di sini. Saat kita naik kapal, lalu mabuk laut hingga muntah berwarna kuning. Dalam kondisi seperti itu badan terasa lemah sekali. Dalam kondisi seperti itu kita akan merasa mendapat asupan kekuatan, manakala kita bisa menegang bagian tubuh seseorang, bahkan hanya dengan menyentuhnya saja. Atau sedang sakit keras. Pendek kata, saat tubuh kita terasa lemah.
Atau ada gambaran lain yang dapat saya utarakan di sini, tentang suatu kisah.
Saya ingat dengan nenek saya yang saat itu sudah tua sekali. Saya tidak tahu berapa usia beliau saat itu.
Beliau punya penyakit sesak. Saat sesak beliau kumat, beliau selalu dengan lirih dan pasrah dengan nada penuh keikhlasan berkata, ‘aku menerima ya Allah, aku menerima ya Allah, aku menerima ya Allah, semua aku terima ya Allah’ (dalam bahasa Bawean yang halus).
Nenek saya itu punya ******** yang usianya kira-kira sepantaran.
Berbeda dengan nenek saya itu, saat sakit beliau kumat, beliau selalu dengan lirih dan pasrah dengan nada penuh keikhlasan berkata, ‘tolong datuk, tolong datuk, tolong datuk’.
Ungkapan berbeda, namun dari ungkapan itulah mereka merasa mendapat sandaran. Secara bentuk berbeda, namun esensi sama.
*
Sedangkan untuk pemuda yang kedua, kasusnya berbeda. Maka itu sang Buddha menjawab, ‘Tuhan tidak ada’. Sebab tentu si anak muda itu juga butuh sandaran. Ia merasa membutuhkan Tuhan.
Oleh sebab itu, bila sang Buddha menjawab bahwa Tuhan itu ada, maka Tuhannya akan jadi garang, karena itulah yang sesuai dengan kebutuhan dia. Ia bisa menyandarkan kegarangan dirinya pada Tuhan.
Contoh-contoh kasus seperti itu sangat mudah kita jumpai dari sejarah kehidupan manusia, dari jaman dahulu hingga detik ini. Saya katakan hingga detik ini.
Kalau kita buka media sosial, maka akan kita jumpai bertebaran kasus. Persekusi, ancaman, kata-kata kasar, hingga laku perbuatan yang mengerikan. Baik itu dilakukan perindividu maupun kelompok, bahkankan bergerombol. Atas nama Tuhan.
*
Sedang untuk yang ketiga, berbeda lagi. Sang Buddha tidak memberi jawaban apa-apa, oleh sebab mereka sudah sampai pada derajat Ketuhanan.
Kalau sudah sampai pada derajat itu, masak iya harus dijawab.
Dalam konteks Buddhis, mereka adalah orang-orang yang selesai dengan dirinya sendiri, terlepas dari kepentingan-kepentingan duniawi. Mereka telah masuk dalam kategori peringkat spiritualitas (inti, esen).
- Penutup
Menarik untuk menjadi bahan renungan, di tengah hiruk-pikuknya manusia yang ribut merebut-merebut dan mengkoptasi Tuhan agar bepihak pada kepentingannya, dengan segala sisi dan tensinya. Perhatikan dan cermati yang berlaku marak di tengah-tengah kita hingga detik ini. Tidak sulit, buka media sosial, langsung kita jumpai.
Di mana Tuhan dan eksistensi-Nya (?!).
(Cannington WA, 4 Desember 2021)