Oleh: Aba
Dalam kesempatan ini aku hanya bermaksud menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Guru dan murid. Realitas itu nampak dari komunikasi yang terbangun diantaranya. Bahasa guru begitu hangat, itu yang aku dapati via SMS yang tersisa di HPku (--mungkin HPnya lagi kehabisan pulsa.., ya iya la..., maka pakai HP abanya nih...--), dari jawaban sang guru kepada anak kami, Alba Fathiya N (Primary School). Diantara nya aku kutip di sini.
Dengan segala hormat, lewat ini pula aku sampaikan rasa terimakasihku buatmu wahai ibu guru anak kami.
Isi SMS:
* I been away camping Alba. No phone reception. We will be home to night. I hope all is ok sweety. (28 Januari 2009)
* Hanya memberitahu alamat (tidak aku kutip di sini). (29 Januari 2009)
* There was no address Alba!. (29 Januari 2009)
* Ok thanks it’s a long address! Hehe (29 Januari 2009)
* Cool. (29 Januari 2009)
* Yes i sure did :-D. (29 Januari 2009)
* Yes sweety i do i shall save them on my phone. (29 Januari 209)
* That’s ok but im going to have a showerand go to bed so I will see you tomorrow. (29 Januari 2009)
* I know its not sweety but we shall always be friends. Xoxo. (29 Januari 2009)
Sunday, May 30, 2010
Saturday, May 29, 2010
TEGUR SAPAKU
BUAT MAHASISWA PESERTA KKN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
YANG AKAN DILAKSANAKAN DI PULAU BAWEAN
BUAT MAHASISWA PESERTA KKN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
YANG AKAN DILAKSANAKAN DI PULAU BAWEAN
Oleh: Aba
Western Australia, Penghujung Musim Gugur 2010
Pengantar
Tulisan ini adalah merupakan ujud sebuah sapaanku bagi segenap mahasiswa peserta KKN dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN), serta ujud rasa terimakasihku sebagai salah-satu putra Daerah kepada segenap Pimpinan di lingkukangan UPN.
Pengantar
Tulisan ini adalah merupakan ujud sebuah sapaanku bagi segenap mahasiswa peserta KKN dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN), serta ujud rasa terimakasihku sebagai salah-satu putra Daerah kepada segenap Pimpinan di lingkukangan UPN.
Foto: Camat Sangkapura Bersama Rektorat UPN. Foto di kutip daari Media Bawean 18 April 2010
1.MaknaKKN dan Plesetannya
Membaca berita di Media Bawean tentang akan hadirnya mahasiswa KKN di pulau Bawean, bumi tempat aku lahir dan tumbuh, mengingatkanku saat menjadi pembimbing KKN dulu. Hampir dua puluh tahun, setidaknya dalam lebih dari dua puluh periode aku menjadi pembimbing KKN, entah mengapa kawan-kawan di LPM kerap menunjukku, dari saat KKN dilaksanakan di Desa-desa terpencil, miskin dengan lokasi yang sulit dijangkau dan pelasanannya selama tiga bulan hingga KKN yang dilaksanakan di kota-kota
Kecamatan yang lamanya hanya satu bulan saja. Namun KKN dimaksud tentu bukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, melainkan Kuliah Kerja Nyata, yang merupakan kegiatan intra kulikuler dengan bobot SKS tertentu, dan merupakan wahana bagi mahasiswa untuk terjun ke ‘dunia nyata’ memperaktekkan kemampuan keilmuannya sebagai insan sosial. Sekali-kali mahasiswa memaknai KKN sebagai Kisah Kasih Nyata, ah…, ada-ada aja…, maklumlah darah muda…, romantisme, kecantol anak pak Lurah. Sesekali juga KKN bisa bermakna Kesana Kesini Nampang…, makluamalah (riil saja) mahasiswa kita tidak semuanya kuliah dengan sungguh-sungguh, ada juga mahasiswa yang asal-asalan, asal kuliah aja. Maka itu begitu ada kesempatan nampang, apa lagi di daerah kecil (--walau ianya sendiri bisa jadi juga berasal dari Desa, tapi khan sudah lama hidup di kota--), gairah nampangnya sih kambuh juga, naik kendaraan ke sana-ke sini, goncengan ke sana-ke sini, tak peduli cowok-cewek goncengan (sepeda motor) rapat-rapat. Nah…, untuk yang seperti ini sih sang Pembimbing atau Kordes mesti waspada, apalagi di daerah yang masyarakatnya agamis semacam di Bawean, sebab bisa-bisa salah satu missi KKN untuk menunjukkan citra baik Perguruan Tinggi (khususnya Perguruan Tinggi yang melakukan KKN), malah jadi tercemar. Sesekali juga anak muda bisa memaknai KKN adalah Karena Kamu Nyentrik sih…. Ah…, emang anak jaman sekarang (kata ortu/ajadu alias anak jaman dulu) kadang aneh-aneh, malah yang nyentrik-nyentrik jadi idola…, jangan-jangan ia jadi pay boy dadakan…, maka hati-hati lho neng…, sebab mas KKN hanya numpang lewat aja di Desa lu…, kalau sampai Kecantol Kamu (bisa) Nyesel, kalau entar mas KKN udah balik macam mana?!, lu ngebimbang dianya terus…,ya…, karena kamu sih…, KKN juga…!, maksudnya?, Karena Kamu Naksir banget…, he he…, guyon aja nih…!. Sekali-kali pula kalau kurang cermat KKN bisa bermakna KongKoNan (Jawa: yang disuruh-suruh), yaitu disuruh ngerjakan proyek ini, disuruh mengerjakan proyek itu…,waduh kasihan mahasiswa hanya jadi kongkonan, hal ini bisa terjadi di daerah-daerah yang sudah sering ditempati KKN, sehingga pihak Desa tahu persis bagaimana kiat bikin program yang menjebak mahasiswa jadi kongkonan (obyek). Kalau hal ini terjadi tentu tidak bagus bagi sebuah misi pendidikan kader, yang mana KKN berfungsi pula untuk itu. Oleh sebab itu untuk menghadapi kemungkinan tersebut pihak kampus harus memberi pembekalan yang semestinya.
2. Penyusunan Program
Penyusunan program merupakan suatu seni yang harus dikuasai oleh mahasiswa peserta KKN. Sebelum turun ke lapangan hendaknya mahasiswa melakukan penjajagan guna menyusun suatu rangkaian program. Kalau satu daratan dan jarak jangkaunya dekat tentu jauh lebih mudah oleh karena bisa ulang-alik melakukan penjajagan/pendekatan sebelum hari H, sebab bisa ditempuh dengan kendaraan darat yang mana bisa saja berangkat dan balik sewaktu-waktu, namun kalau ke Bawean tentu tidak bisa, untuk itu tentu perlu kiat tersendiri. Memang selalunya pihak Kordes dan beberapa fungsionarislah yang melakukan beberapa penjajagan sebelum hari H. sehingga pada hari Hnya tinggal melakukan singkronisasi seperlunya.
Kadang mahasiswa KKN menghadapi kendala dalam penyusunan program oleh sebab kondisi di lapangan, seperti misalnya kurang respeknya pihak masyarakat daerah lokasi KKN, maka untuk itu kedekatan mahasiswa dengan tokoh-tokoh masyarakat termasuk (khususnya) kalangan tokoh pemuda sangatlah urgen. Juga tidak menutup kemungkinan atas sebab desakan pihak penguasa daerah lokasi KKN yang berkepentingan untuk memasukkan programnya, sedang bagi mahasiswa (atas hasil survey lapangan) yang telah disesuaikan dengan visi dan misi KKN berpendapat bahwa programnya dipandang lebih utama daripada program yang disodorkan pihak Desa (misalnya), apalagi bila waktu dan dana yang tersedia sangatlah terbatas. Untuk itu mahasiswa hendaknya lebih cermat dalam penyusunan program, jangan sampai asal masukkan karena sungkan (misalnya), sebab bisa berakibat overlodnya program. Mahasiswa harus memprediksi jangan sampai mereka meninggalkan satu programpun yang hanya setengah jadi, lebih tepatnya yang belum tuntas dengan berbagai alasan, baik itu program fisik maupun non fisik, sehingga nantinya akan merepotkan/menjadi beban bagi masyarakat serta dapat mencederai citra kampus. Katakan suatu misal, program pengerasan jalan Desa sepanjang 250 meter, dan sepanjang 250m itu telah dicangkul, namun setelah ditata batu sepanjang 150m ternyata masa KKN telah selesai, apalagi bila dana kurang sehingga materialan belum tersedia, begitu datang musim hujan malah becek tidak karuan, masalah bukan…?!!. Oh iya…, kalau boleh, aku pingin nitip sebuah program, tidak muluk-muluk, praktis aja, yaitu mencetak brosur untuk mengenalkan pulau kami, cetak banyak-banyak, lalu setidaknya kirim pada pecinta alam di semua Perguruan Tinggi dan organisasi pecinta alam lainnya, Resimen Mahasiswa dan organisasi terjun payung serta terbang layang di seluruh Indonesia, beri stimulus untuk mengenal bumi kami dan biarlah masa bergulir sampaai kami siap sarana prasarana yang mumpuni sehingga kelak siapapun akan datang menginjakkan kaki di bumi kami.
3. Program Penyuluhan
Setahuku tidak pernah kegiatan KKN yang tidak memasukkan penyuluhan sebagai salah satu program kerjanya. Terhadap program penyuluhan ini pola penyuluhan tabrak lari mesti dibuang jauh-jauh, seperti misalnya masyarakat diberi penyuluhan yang muluk-muluk, maka begitu mahasiswa itu kembali ke kampus, malah di Desa lokasi KKN terjadi keresahan dan bahkan sampai adu jotos segala. Hal ini dapat dikemukakan suatu misal, yaitu mahasiswa memberi penyuluhan tentang pengurusan sertifikat tanah dan segala halnya, termasuk tentang biaya, lalu dibukanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi hingga korupsinya. Selepas mahasiswa KKN masyarakat berontak, sedang mahasiswa sudah tidak tahu menahu lagi. Kondisi seperti ini dapat dikategorikan sebagai program non fisik yang tidak tuntus dan meninggalkan masalah sosial. Tabrak, lalu lari…!, maka itu dalam program penyuluhan diperlukan kearifan serta tanggung jawab.
4. Hal-hal Ganjil
Dalam perjalanan hidup kita sering menemui hal-hal yang ganjil, suatu misal, bahwa bagi masyarakat pedalaman yang tingkat pendidikan masyarakatnya rendah, mahasiswa sering dipandang serba bisa, oleh sebab itu bisa-bisa banyak orang yang sedang sakit minta diobati, tapi setelah diberi air masak biasa yang pura-pura dido’ain (maksudnya agar mereka tidak kecewa) ternyata sembuh…!. Jangan heran dengan yang demikian itu, sebab itulah peran sugesti yang ternyata cukup ampuh. Peran sugesti ini juga dapat kita amati (misalnya) bila berobat pada perawat X di Desa Sana ternyata cepat sembuh (ces pleng),sedang bila berobat pada perawat Y di Desa Sini tak kunjung sembuh, padahal obatnya sama saja. Masalahnya masyarakat sudah tersugesti terhadap perawat X di Desa Sana, sedang terhadap perawat Y di Desa Sini tidak yakin, padahal sugesti tumbuh dari yakin. Adakah hal-hal ganjil di pulau kami?!, tak tahulah…, perjalanan waktu yang akan menjawab, yaitu setelah program KKN rampung.
5. Kearifan Masyarakat Desa
Desa sebagai obyek KKN yang bermakna pula sebagai sasaran pembelajaran mahasiswa, maka penting pula untuk menggali berbagai kearifan masyarakat Desa. Sebagai illustrasi dapatlah diutarakan suatu misal kecil, mahasiswa KKN memberi penyuluhan tentang rumah sehat di sebuah kampung kecil di pelosok, rumah-rumah mereka sangat sederhana, terbuat dari anyaman bambu (gedek). Mahasiswa menerangkan tentang bagaimana rumah yang sehat itu, ia bilang raumah yang sehat itu harus punya jendela dan fantilasi, sedang ia melihat di kampong ini, bahkan di Desa ini sebagian besar rumah tidak ada jendela dan fatilasinya… dan seterusnya. Saat sesi tanya-jawab salah seorang warga dengan lugunya bertanya, ‘mas KKN…, bagaimana lagi kalau rumah-rumah kami di sini diberi jendela dan fantilasi mas KKN…, sedang tanpa jendela dan fantilasi seperti sekarang ini saja kami sudah kedinginan karena angin keluar-masuk tak karuan…?!!”. (Maksudnya angin itu keluar-masuk dari celah/lobang anyaman bambu/gedek yang dibuat sebagai dinding). Artinya apa?, konten dan konteks telah membentuk sikap perilaku atau budaya suatu masyarakat, maka itu jangan-jangan mereka lebih arif daripada kita oleh sebab kita tidak paham tentang konten dan konteksnya.
Akhirul kalam, doaku dari jauh, selamat berjuang, sukses selalu, amin. Semuga tulisan ini bisa terbaca oleh anda semua.
=====
Catatan: Bila aku ada waktu, aku akan suguhkan tulisan dengan judul ‘Kejutan Budaya’, barangkali dapatlah dibaca oleh mahasiswa peserta KKN sebagai sumbang pikir dariku dalam pemahaman budaya. http://fuadusfa4.blogspot.com
2. Penyusunan Program
Penyusunan program merupakan suatu seni yang harus dikuasai oleh mahasiswa peserta KKN. Sebelum turun ke lapangan hendaknya mahasiswa melakukan penjajagan guna menyusun suatu rangkaian program. Kalau satu daratan dan jarak jangkaunya dekat tentu jauh lebih mudah oleh karena bisa ulang-alik melakukan penjajagan/pendekatan sebelum hari H, sebab bisa ditempuh dengan kendaraan darat yang mana bisa saja berangkat dan balik sewaktu-waktu, namun kalau ke Bawean tentu tidak bisa, untuk itu tentu perlu kiat tersendiri. Memang selalunya pihak Kordes dan beberapa fungsionarislah yang melakukan beberapa penjajagan sebelum hari H. sehingga pada hari Hnya tinggal melakukan singkronisasi seperlunya.
Kadang mahasiswa KKN menghadapi kendala dalam penyusunan program oleh sebab kondisi di lapangan, seperti misalnya kurang respeknya pihak masyarakat daerah lokasi KKN, maka untuk itu kedekatan mahasiswa dengan tokoh-tokoh masyarakat termasuk (khususnya) kalangan tokoh pemuda sangatlah urgen. Juga tidak menutup kemungkinan atas sebab desakan pihak penguasa daerah lokasi KKN yang berkepentingan untuk memasukkan programnya, sedang bagi mahasiswa (atas hasil survey lapangan) yang telah disesuaikan dengan visi dan misi KKN berpendapat bahwa programnya dipandang lebih utama daripada program yang disodorkan pihak Desa (misalnya), apalagi bila waktu dan dana yang tersedia sangatlah terbatas. Untuk itu mahasiswa hendaknya lebih cermat dalam penyusunan program, jangan sampai asal masukkan karena sungkan (misalnya), sebab bisa berakibat overlodnya program. Mahasiswa harus memprediksi jangan sampai mereka meninggalkan satu programpun yang hanya setengah jadi, lebih tepatnya yang belum tuntas dengan berbagai alasan, baik itu program fisik maupun non fisik, sehingga nantinya akan merepotkan/menjadi beban bagi masyarakat serta dapat mencederai citra kampus. Katakan suatu misal, program pengerasan jalan Desa sepanjang 250 meter, dan sepanjang 250m itu telah dicangkul, namun setelah ditata batu sepanjang 150m ternyata masa KKN telah selesai, apalagi bila dana kurang sehingga materialan belum tersedia, begitu datang musim hujan malah becek tidak karuan, masalah bukan…?!!. Oh iya…, kalau boleh, aku pingin nitip sebuah program, tidak muluk-muluk, praktis aja, yaitu mencetak brosur untuk mengenalkan pulau kami, cetak banyak-banyak, lalu setidaknya kirim pada pecinta alam di semua Perguruan Tinggi dan organisasi pecinta alam lainnya, Resimen Mahasiswa dan organisasi terjun payung serta terbang layang di seluruh Indonesia, beri stimulus untuk mengenal bumi kami dan biarlah masa bergulir sampaai kami siap sarana prasarana yang mumpuni sehingga kelak siapapun akan datang menginjakkan kaki di bumi kami.
3. Program Penyuluhan
Setahuku tidak pernah kegiatan KKN yang tidak memasukkan penyuluhan sebagai salah satu program kerjanya. Terhadap program penyuluhan ini pola penyuluhan tabrak lari mesti dibuang jauh-jauh, seperti misalnya masyarakat diberi penyuluhan yang muluk-muluk, maka begitu mahasiswa itu kembali ke kampus, malah di Desa lokasi KKN terjadi keresahan dan bahkan sampai adu jotos segala. Hal ini dapat dikemukakan suatu misal, yaitu mahasiswa memberi penyuluhan tentang pengurusan sertifikat tanah dan segala halnya, termasuk tentang biaya, lalu dibukanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi hingga korupsinya. Selepas mahasiswa KKN masyarakat berontak, sedang mahasiswa sudah tidak tahu menahu lagi. Kondisi seperti ini dapat dikategorikan sebagai program non fisik yang tidak tuntus dan meninggalkan masalah sosial. Tabrak, lalu lari…!, maka itu dalam program penyuluhan diperlukan kearifan serta tanggung jawab.
4. Hal-hal Ganjil
Dalam perjalanan hidup kita sering menemui hal-hal yang ganjil, suatu misal, bahwa bagi masyarakat pedalaman yang tingkat pendidikan masyarakatnya rendah, mahasiswa sering dipandang serba bisa, oleh sebab itu bisa-bisa banyak orang yang sedang sakit minta diobati, tapi setelah diberi air masak biasa yang pura-pura dido’ain (maksudnya agar mereka tidak kecewa) ternyata sembuh…!. Jangan heran dengan yang demikian itu, sebab itulah peran sugesti yang ternyata cukup ampuh. Peran sugesti ini juga dapat kita amati (misalnya) bila berobat pada perawat X di Desa Sana ternyata cepat sembuh (ces pleng),sedang bila berobat pada perawat Y di Desa Sini tak kunjung sembuh, padahal obatnya sama saja. Masalahnya masyarakat sudah tersugesti terhadap perawat X di Desa Sana, sedang terhadap perawat Y di Desa Sini tidak yakin, padahal sugesti tumbuh dari yakin. Adakah hal-hal ganjil di pulau kami?!, tak tahulah…, perjalanan waktu yang akan menjawab, yaitu setelah program KKN rampung.
5. Kearifan Masyarakat Desa
Desa sebagai obyek KKN yang bermakna pula sebagai sasaran pembelajaran mahasiswa, maka penting pula untuk menggali berbagai kearifan masyarakat Desa. Sebagai illustrasi dapatlah diutarakan suatu misal kecil, mahasiswa KKN memberi penyuluhan tentang rumah sehat di sebuah kampung kecil di pelosok, rumah-rumah mereka sangat sederhana, terbuat dari anyaman bambu (gedek). Mahasiswa menerangkan tentang bagaimana rumah yang sehat itu, ia bilang raumah yang sehat itu harus punya jendela dan fantilasi, sedang ia melihat di kampong ini, bahkan di Desa ini sebagian besar rumah tidak ada jendela dan fatilasinya… dan seterusnya. Saat sesi tanya-jawab salah seorang warga dengan lugunya bertanya, ‘mas KKN…, bagaimana lagi kalau rumah-rumah kami di sini diberi jendela dan fantilasi mas KKN…, sedang tanpa jendela dan fantilasi seperti sekarang ini saja kami sudah kedinginan karena angin keluar-masuk tak karuan…?!!”. (Maksudnya angin itu keluar-masuk dari celah/lobang anyaman bambu/gedek yang dibuat sebagai dinding). Artinya apa?, konten dan konteks telah membentuk sikap perilaku atau budaya suatu masyarakat, maka itu jangan-jangan mereka lebih arif daripada kita oleh sebab kita tidak paham tentang konten dan konteksnya.
Akhirul kalam, doaku dari jauh, selamat berjuang, sukses selalu, amin. Semuga tulisan ini bisa terbaca oleh anda semua.
=====
Catatan: Bila aku ada waktu, aku akan suguhkan tulisan dengan judul ‘Kejutan Budaya’, barangkali dapatlah dibaca oleh mahasiswa peserta KKN sebagai sumbang pikir dariku dalam pemahaman budaya. http://fuadusfa4.blogspot.com
Saturday, May 22, 2010
GERAK BAWEAN
Oleh: Aba
Gagasan, Dari Negeri Kanguru
Suatu ketika seseorang yang telah lama bermukim di Australia berkata, ‘katanya Bawean sudah semakin maju, tapi saya ke sana kok masih begitu-begitu saja?’, (--yang perlu ditekankan disini, bahwa ia berkata tidak dengan ekspresi kesombongan, aku kira tak ada tersirat sedikitpun rasa sombong itu padanya, getaran yang aku tangkap tak lain hanya sekedar ungkapan perasaan semata--). Pada suatu kesempatan yang lain seseorang yang juga telah lama bermukim di Australia mengatakan, bahwa kemajuan telah merambah Pulau Bawean yang telah amat dirasakan oleh masyarakatnya. Demikian antara lain perbincangan spontanitas dengan mereka.
Tentu kedua pernyataan tersebut tidak bisa disalahkan demikian saja, oleh sebab semua merujuk pada realitas yang sama. Persoalannya adalah dari sudut mana mereka mengukurnya?!. Bilamana tolok ukurnya adalah negara atau daerah-daerah yang lebih maju, terlebih lagi bila yang dijadikan tolok ukur (bandingan) adalah negara maju yang hari-hari jalan raya selalu mulus dan tidak dijumpai ada kerusakan (satu bolonganpun), mall-mall yang menawan hati, semua telah berjalan secara komputerisasi, belanja cukup pakai kartu, naik kemdaraan tak perlu sibuk dengan surat kendaraan, tak ada KTP dan KK, dan lain-lain, tapi semua dapat dicek dalam seketika, sderta tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun ekonomi yang menakjubkan, maka pernyataan pertama tentu akan benar adanya, namun bilamana yang dijadikan tolok ukur adalah perkembangan Bawean dari masa ke masa tentu pernyataan ke dua adalah juga benar adaanya. Hanya saja dari aspek keadilan dalam membandingkanlah yang menjadi persoalan dari pandangan yang pertama di atas.
Kata dasar yang harus kita sadari, bahwa gerak kemajuan itu adalah melalui titian (proses). Kita harus menyadari bahwa sesungguhnya kemajuan itu tidak mungkin dapat dicapai demikian saja, bagai kata pepatah ‘bag membalik telapak tangan’. Negara-negara maju telah merubah dunianya dengan menggunakan titian panjang, bahkan dalam ukuran abad. Persoalan yang kita hadapi adalah bagaimana cara yang harus kita tempuh untuk mengejar ketertinggalan itu?. Kalau kita mengikut tahapan langkah laluan mereka tentu tidak mungkin, sebab masa tidak pernah kompromi, apalagi untuk set back, belum lagi setting sejarah dan budaya (latar belakang). Tentu kita sepakat, untuk itu diperlukan langkah ekslarasi (percepatan) dengan melalukan lompatan-lompatan, maka kita dituntut pula untuk mampu melihat paradigma-paradigma serta berbagai konsekwensi yang mungkin akan kita hadapi. Dalam pikiran penulis, perubahan yang signifikan akan dapat dicapai manakala kita mampu melakukan langkah baru yang bersifat paradigmatik. Dalam konteks inilah studi-studi (expertist) diperlukan. Para tokoh beserta perangkat pengambil kebijakan (pelaku sejarah) hendaknya bergerak kearah sana.
Dalam tulisan ini penulis coba menengok bentangan benang merah yang mungkin dapat kita cermati bersama:
1. Dari pengalaman di musim penghujan yang baru lalu, yang diiringi tidak bersahabatnya
situasi dan kondisi cuaca daratan dan lautan di sekitar Pulau Bawean;
2. Dari keadaan tersebut di atas menyebabkan hubungan Bawean dan Jawa sebagai kantong
utama pensuplai kebutuhan ekonomi sempat terputus beberapa saat dan telah pula
mempengaruhi stabilitas perekonomian di Pulau Bawean;
3. Realitas tersebut telah mengingatkan kita bahwa ketergantungan pulau Bawean terhadap
daerah lain, Jawa khususnya begitu tinggi;
4. Kondisi ketergantungan itu menandakan bahwa pulau Bawean adalah belum bisa dikatakan
merupakan daerah yang diperhitungkan secara ekonomi, walau secara politis tidaklah
demikian. Dalam konteks politik dapatlah dipahami oleh sebab tingkat populasi yang cukup signifikan;
5. Realitas seperti itu mesti kita pahami sepenuhnya;
6. Untuk mengetahui pengembangan kekuatan (potensi) ekonomi tidak bisa tidak hendaknya
mengajak para ekonom dan expertist lainnya serta pelaku bisnis (riil) yang bisa berbicara prospek pengembangan
kemajuan dengan paradigma tatanan ekonomi modern.
7. Peran para tokoh dan pengambil kebijakan amatlah diharapkan, sehingga kita dapat
menggodognya dengan arah yang jelas oleh sebab kita telah siap dapur, resep dan koki.
Gagasan, Dari Negeri Kanguru
Suatu ketika seseorang yang telah lama bermukim di Australia berkata, ‘katanya Bawean sudah semakin maju, tapi saya ke sana kok masih begitu-begitu saja?’, (--yang perlu ditekankan disini, bahwa ia berkata tidak dengan ekspresi kesombongan, aku kira tak ada tersirat sedikitpun rasa sombong itu padanya, getaran yang aku tangkap tak lain hanya sekedar ungkapan perasaan semata--). Pada suatu kesempatan yang lain seseorang yang juga telah lama bermukim di Australia mengatakan, bahwa kemajuan telah merambah Pulau Bawean yang telah amat dirasakan oleh masyarakatnya. Demikian antara lain perbincangan spontanitas dengan mereka.
Tentu kedua pernyataan tersebut tidak bisa disalahkan demikian saja, oleh sebab semua merujuk pada realitas yang sama. Persoalannya adalah dari sudut mana mereka mengukurnya?!. Bilamana tolok ukurnya adalah negara atau daerah-daerah yang lebih maju, terlebih lagi bila yang dijadikan tolok ukur (bandingan) adalah negara maju yang hari-hari jalan raya selalu mulus dan tidak dijumpai ada kerusakan (satu bolonganpun), mall-mall yang menawan hati, semua telah berjalan secara komputerisasi, belanja cukup pakai kartu, naik kemdaraan tak perlu sibuk dengan surat kendaraan, tak ada KTP dan KK, dan lain-lain, tapi semua dapat dicek dalam seketika, sderta tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun ekonomi yang menakjubkan, maka pernyataan pertama tentu akan benar adanya, namun bilamana yang dijadikan tolok ukur adalah perkembangan Bawean dari masa ke masa tentu pernyataan ke dua adalah juga benar adaanya. Hanya saja dari aspek keadilan dalam membandingkanlah yang menjadi persoalan dari pandangan yang pertama di atas.
Kata dasar yang harus kita sadari, bahwa gerak kemajuan itu adalah melalui titian (proses). Kita harus menyadari bahwa sesungguhnya kemajuan itu tidak mungkin dapat dicapai demikian saja, bagai kata pepatah ‘bag membalik telapak tangan’. Negara-negara maju telah merubah dunianya dengan menggunakan titian panjang, bahkan dalam ukuran abad. Persoalan yang kita hadapi adalah bagaimana cara yang harus kita tempuh untuk mengejar ketertinggalan itu?. Kalau kita mengikut tahapan langkah laluan mereka tentu tidak mungkin, sebab masa tidak pernah kompromi, apalagi untuk set back, belum lagi setting sejarah dan budaya (latar belakang). Tentu kita sepakat, untuk itu diperlukan langkah ekslarasi (percepatan) dengan melalukan lompatan-lompatan, maka kita dituntut pula untuk mampu melihat paradigma-paradigma serta berbagai konsekwensi yang mungkin akan kita hadapi. Dalam pikiran penulis, perubahan yang signifikan akan dapat dicapai manakala kita mampu melakukan langkah baru yang bersifat paradigmatik. Dalam konteks inilah studi-studi (expertist) diperlukan. Para tokoh beserta perangkat pengambil kebijakan (pelaku sejarah) hendaknya bergerak kearah sana.
Dalam tulisan ini penulis coba menengok bentangan benang merah yang mungkin dapat kita cermati bersama:
1. Dari pengalaman di musim penghujan yang baru lalu, yang diiringi tidak bersahabatnya
situasi dan kondisi cuaca daratan dan lautan di sekitar Pulau Bawean;
2. Dari keadaan tersebut di atas menyebabkan hubungan Bawean dan Jawa sebagai kantong
utama pensuplai kebutuhan ekonomi sempat terputus beberapa saat dan telah pula
mempengaruhi stabilitas perekonomian di Pulau Bawean;
3. Realitas tersebut telah mengingatkan kita bahwa ketergantungan pulau Bawean terhadap
daerah lain, Jawa khususnya begitu tinggi;
4. Kondisi ketergantungan itu menandakan bahwa pulau Bawean adalah belum bisa dikatakan
merupakan daerah yang diperhitungkan secara ekonomi, walau secara politis tidaklah
demikian. Dalam konteks politik dapatlah dipahami oleh sebab tingkat populasi yang cukup signifikan;
5. Realitas seperti itu mesti kita pahami sepenuhnya;
6. Untuk mengetahui pengembangan kekuatan (potensi) ekonomi tidak bisa tidak hendaknya
mengajak para ekonom dan expertist lainnya serta pelaku bisnis (riil) yang bisa berbicara prospek pengembangan
kemajuan dengan paradigma tatanan ekonomi modern.
7. Peran para tokoh dan pengambil kebijakan amatlah diharapkan, sehingga kita dapat
menggodognya dengan arah yang jelas oleh sebab kita telah siap dapur, resep dan koki.
FESTIFAL TETEK-BENGEK
Oleh: Aba
Manakala kita punya uang dan hanya kita simpan saja, mungkin di bawah bantal, di bawah kasur, atau mungkin dibenam di bawah lantai rumah, dan lain-lain, maka bermakna uang tersebut tidak ada gunanya. Uang akan bermakna manakala digunakan dan dikembangkan baik bagi kita maupun yang lain. Keberadaan uang akan bisa dibilang sehat manakala uang itu diputar. Makin cepat perputaran uang makin bagus. Perlu ditekankan di sini kata perputaran, jadi bukan hanya sekedar kata aliran, atau mengalir, yang sifatnya satu arah, hanya sekedar lewat saja, bersifat konsumtif, sedang perputaran, terjadinya sirkulasi uang dan lebih bersifat produktif.
Berbagai macam kiat yang dilakukan orang untuk melakukan pemutaran uang, diantara kiat-kiat itu terdapat hal menarik yang aku amati di Western Australia, yaitu dengan mengadakan festifal-festifal. Dengan festifal ini bukan hanya sekedar terjadi perputaran uang, melainkan juga sebagai daya tarik (magnet) para pengunjung dari berbagai penjuru (orientasi turisme). Diantara festifal-festifal itu ialah ‘Chilli Festival’ (‘Festifal Lombok’), ini yang berkenaan dengan berbagai hal yang berlombok, di sana dijual segala makanan dan minuman yang mengandung pedas Lombok, termasuk es krim, segala jenis tanaman Lombok, dan lain-lain. Untuk menyemarakkan suasana digelar atraksi drum band remaja. Ada pula ‘Festifal Kepiting” yaitu yang berkaitan dengan masakan laut jenis kepiting, juga ada festifal seni untuk kalangan muda-mudi, ini berkaitan dengan dinamika kaum muda, di situ digelar pula musik-musik dan sebagainya, serta berbagai-bagai festifal yang lain lagi.
Dalam hematku, menarik untuk digetuk-tularkan di Indonesia, misalnya tiap daerah berbeda-beda sesuai potensi masing-masing, terutama untuk menggerakkan dan mengembangkan sektor ekonomi kecil dan menengah, di samping sektor parawisata. Nama atau fersi sih…, boleh beda, namun (-tentu-) intinya sama.
Manakala kita punya uang dan hanya kita simpan saja, mungkin di bawah bantal, di bawah kasur, atau mungkin dibenam di bawah lantai rumah, dan lain-lain, maka bermakna uang tersebut tidak ada gunanya. Uang akan bermakna manakala digunakan dan dikembangkan baik bagi kita maupun yang lain. Keberadaan uang akan bisa dibilang sehat manakala uang itu diputar. Makin cepat perputaran uang makin bagus. Perlu ditekankan di sini kata perputaran, jadi bukan hanya sekedar kata aliran, atau mengalir, yang sifatnya satu arah, hanya sekedar lewat saja, bersifat konsumtif, sedang perputaran, terjadinya sirkulasi uang dan lebih bersifat produktif.
Berbagai macam kiat yang dilakukan orang untuk melakukan pemutaran uang, diantara kiat-kiat itu terdapat hal menarik yang aku amati di Western Australia, yaitu dengan mengadakan festifal-festifal. Dengan festifal ini bukan hanya sekedar terjadi perputaran uang, melainkan juga sebagai daya tarik (magnet) para pengunjung dari berbagai penjuru (orientasi turisme). Diantara festifal-festifal itu ialah ‘Chilli Festival’ (‘Festifal Lombok’), ini yang berkenaan dengan berbagai hal yang berlombok, di sana dijual segala makanan dan minuman yang mengandung pedas Lombok, termasuk es krim, segala jenis tanaman Lombok, dan lain-lain. Untuk menyemarakkan suasana digelar atraksi drum band remaja. Ada pula ‘Festifal Kepiting” yaitu yang berkaitan dengan masakan laut jenis kepiting, juga ada festifal seni untuk kalangan muda-mudi, ini berkaitan dengan dinamika kaum muda, di situ digelar pula musik-musik dan sebagainya, serta berbagai-bagai festifal yang lain lagi.
Dalam hematku, menarik untuk digetuk-tularkan di Indonesia, misalnya tiap daerah berbeda-beda sesuai potensi masing-masing, terutama untuk menggerakkan dan mengembangkan sektor ekonomi kecil dan menengah, di samping sektor parawisata. Nama atau fersi sih…, boleh beda, namun (-tentu-) intinya sama.
UNDANGAN MAKAN BERSAMA
Oleh: Aba
Western Australia, Medio Mei 2010
Kring…., kring…, kring…
Kiki : Hello, bisa bicara dengan kak Ifat…?
Ifat : Oh.., I sendiri nih…
Kiki : Hai kak Ifat, apa kabar…?
Ifat : Alhamdulillah baik..
Kiki : Kak Ifat, I Kiki, I nak celebrate ‘Mother’s Day’ nih…, nak makan-makan, brekky, di restoran ‘Ayam Bakar Mak Saleh’, dalam pukul 08.30 am hingga pukul 10 am lah…, lepas tu I ada perlu lain. I nak undang you untuk joint in, ramai-ramai, keluarga I, keluarga Siti, keluarga bang Mi’un, keluarga kak Yak, keluarga Jakfar, lalu I ingat you, macam mana boleh…?
Ifat : Sebentar I tengok agenda dulu nih…, (kres…, kres…,kres…: suara kertas), lalu, ‘ O..., boleh…, boleh…!!’.
Makan-makan di rumah makan dengan mengundang ramai-ramai begituan sih bisa-bisa aja, namun tentu tak seperti di Indo, sebab kalau di Indo si pengundang (yang ngajak) mesti tanggung jawab bayarin dong…, kalau di Australia tradisinya beda, sebab masing-masing keluarga itu mesti bertanggung jawab sendiri atas bayaran makan-minum yang dipesannya. Kalau ngajak-ngajak (ngundang-ngundang) teman untuk makan-makan berdua, bertiga dan seterusnya (misalnya) macam mana…?!; ya sama aja dong….!!!, maksudnya...?, ya..., bayar sendiri-sendiri lah....!!!
Western Australia, Medio Mei 2010
Kring…., kring…, kring…
Kiki : Hello, bisa bicara dengan kak Ifat…?
Ifat : Oh.., I sendiri nih…
Kiki : Hai kak Ifat, apa kabar…?
Ifat : Alhamdulillah baik..
Kiki : Kak Ifat, I Kiki, I nak celebrate ‘Mother’s Day’ nih…, nak makan-makan, brekky, di restoran ‘Ayam Bakar Mak Saleh’, dalam pukul 08.30 am hingga pukul 10 am lah…, lepas tu I ada perlu lain. I nak undang you untuk joint in, ramai-ramai, keluarga I, keluarga Siti, keluarga bang Mi’un, keluarga kak Yak, keluarga Jakfar, lalu I ingat you, macam mana boleh…?
Ifat : Sebentar I tengok agenda dulu nih…, (kres…, kres…,kres…: suara kertas), lalu, ‘ O..., boleh…, boleh…!!’.
Makan-makan di rumah makan dengan mengundang ramai-ramai begituan sih bisa-bisa aja, namun tentu tak seperti di Indo, sebab kalau di Indo si pengundang (yang ngajak) mesti tanggung jawab bayarin dong…, kalau di Australia tradisinya beda, sebab masing-masing keluarga itu mesti bertanggung jawab sendiri atas bayaran makan-minum yang dipesannya. Kalau ngajak-ngajak (ngundang-ngundang) teman untuk makan-makan berdua, bertiga dan seterusnya (misalnya) macam mana…?!; ya sama aja dong….!!!, maksudnya...?, ya..., bayar sendiri-sendiri lah....!!!
Thursday, May 20, 2010
LILIN
Oleh: A. Fuad UsfaGosnells Western Australia,
Penghujung Musim Gugur 2010
Lilin akrab dengan kehidupan kita sehari-hari, ia akan dijumpai dari desa hingga kota metropolitan. Tiada ulang tahun tanpa lilin, itulah tradisi yang sudah mengakar, suka atau tidak suka mesti diakui.
Dalam gelap lilin akan menyinari, seakan ia pemberi kehidupan. Gelap sering membikin orang ketakutan, gelisah, tak tenang, dan lilin akan membantu manusia mengatasi perasaan yang demikian itu. Di kegelapan pena sang arif bijak tak mampu mengalir, dengan lilin pena itu akan mengalir yang dengan hasilnya akal dan budi manusia tercerahkan. Lilin akan terus menerangi dan menerangi dengan tanpa menghiraukan walau tubuhnya akan terus berangsur luluh, luluh dan luluh.
Lilin dapat juga dijadikan sebagai simbol keikhlasan, ia telah memberi terang, berbuat untuk kemaslahatan tanpa mengharap balasan orang atas dirinya. Ia tetap menerangi dan menerangi, seakan ia berkata, jangan hiraukan diriku asal kalian dalam terang, demi kemaslahatan semua aku rela walau diriku ‘kan hancur. Lilin dapat juga dijadikan sebagai simbol kepahlawanan, karena demi menerangi ummat ia rela untuk berkorban.
Thomas Alfa Edison telah menemukan listrik, kini semua telah gemerlap dengan cahayanya, namun semangat lilin tak pernah pudar, bagaikan jiwa yang selalu melekat pada kehidupan, tia sosok primitif ataupun sang eksekutif metropolitan.
Penghujung Musim Gugur 2010
Lilin akrab dengan kehidupan kita sehari-hari, ia akan dijumpai dari desa hingga kota metropolitan. Tiada ulang tahun tanpa lilin, itulah tradisi yang sudah mengakar, suka atau tidak suka mesti diakui.
Dalam gelap lilin akan menyinari, seakan ia pemberi kehidupan. Gelap sering membikin orang ketakutan, gelisah, tak tenang, dan lilin akan membantu manusia mengatasi perasaan yang demikian itu. Di kegelapan pena sang arif bijak tak mampu mengalir, dengan lilin pena itu akan mengalir yang dengan hasilnya akal dan budi manusia tercerahkan. Lilin akan terus menerangi dan menerangi dengan tanpa menghiraukan walau tubuhnya akan terus berangsur luluh, luluh dan luluh.
Lilin dapat juga dijadikan sebagai simbol keikhlasan, ia telah memberi terang, berbuat untuk kemaslahatan tanpa mengharap balasan orang atas dirinya. Ia tetap menerangi dan menerangi, seakan ia berkata, jangan hiraukan diriku asal kalian dalam terang, demi kemaslahatan semua aku rela walau diriku ‘kan hancur. Lilin dapat juga dijadikan sebagai simbol kepahlawanan, karena demi menerangi ummat ia rela untuk berkorban.
Thomas Alfa Edison telah menemukan listrik, kini semua telah gemerlap dengan cahayanya, namun semangat lilin tak pernah pudar, bagaikan jiwa yang selalu melekat pada kehidupan, tia sosok primitif ataupun sang eksekutif metropolitan.
WAKTU
Oleh: Aba
Perth, Ujung Musim Gugur 2010
‘Demi masa’ (Q:S:103:1)
Bila sesuatu itu bergerak ke depan, terus ke depan dan tak pernah mundur betapapun singkatnya kemunduran itu, itulah waktu. Waktu telah melingkupi semua, tak ada yang terlepas dari lingkup waktu. Bergeraklah, jangan berhenti, sebab waktu pasti kan melumatnya.
Sering kita tidak sadar akan gerak waktu yang pelan namun pasti, tak terasa detik demi detik telah membawa pada bilangan tahun dan abad. Tiada terasa ia telah membawa sesuatu menjadi tumbuh, tegar dan gagah, dan, lalu tak terasa waktu telah melumatnya pula. Waktu telah melumat kulit kita, yang dulu segar dan dengan bangga dipamerkan pada semua, kini waktu telah melumatnya menjadi keriput; dulu tulang belulang tegak sehingga kita perkasa, kini waktu telah melumatnya pula sehingga menjadi membungkuk, linu dan rapuh; rambut, mata, telinga atau apapun juga tanpa kecuali dengan tak terasa telah dilumat oleh waktu.
‘Demi masa’ (Q:S:103:1).
Dalam budaya (culture) masarakat barat penghargaan terhadap waktu begitu nyata, sehingga seakan tak ada lain yang selalu mengejar mereka kecuali waktu. Detik dan menit dihituingnya secara cermat, jangankan hitungan jam (hour). Segala langkah apapun dihitungnya secara cermat dengan ukuran waktu. Beberapa illustrasi dapat kita ketengahkan disini; aku selalu menjemput anak-anak dari sekolah, beberapa waktu yang lalu aku selalu menunggu sebelum sirine waktu berakhirnya jam sekolah berbunyi, maka jam tanganku aku cocokkan dengan jam sirine itu, ternyata besok harinya dan seterusnya sirine selalu berbunyi tepat jam 03.00 pm (kecuali hari Rabu jam 02.35 pm). Adapun yang ada dalam pikiranku, mengapa tidak pernah lebih barang satu mentpun atau kurang barang satu menitpun. Begitu tepatnya sirine berbunyi dari hari ke hari. Kalau dalam masyarakat kita, apabila hendak naik kendaraan umum, jam keberangkatan dan ketibaan yang terjadwal hanyalah kereta api dan pesawat terbang (--walau mesti kita akui dengan apa adanya, yaitu selalu molor--), di sini bis umumpun juga terjadwal. Bilamana kita hendak berangkat kerja dengan naik bis umum maka haruslah tahu jadwal terlebih dahulu, sebab bila misalnya terlambat maka berarti kita harus menunggunya dengan lumayan lama, oleh sebab bis hanya melayani dalam tiap satu jam sekali (untuk hari-hari biasa) dalam satu rute, sedang untuk hari Sabtu dan Minggu serta hari-hari besar hanya melayani dalam tiap dua jam. Maka itu mengetahui waktu rute dan menata waktu dengan pasti amatlah penting, tentu bagi budaya kita yang tiada terbiasa menata waktu terasa amat terganggu, sedang bagi mereka tidaklah demikian. Bila di sebuah perusahaan (misalnya) mengadakan rapat dengan karyawan mulai jam 10.00 am – 11.00 am, maka akan disebutkan bahwa kehadiran akan dibayar dengan gaji selama satu jam kerja, maka rapat pasti dimulai jam 10.00 am dan diakhiri jam 11.00 am. Jika kita punya tetangga dan lalu minta tolong pada kita untuk membantu meratakan tanah di halaman rumahnya (misalnya), maka ia akan menentukan berapa dollar ($) ia akan membayar dalam setiap jamnya buat kita. Bilamana mereka hendak bertamu, maka mesti menghubungi terlebih dahulu, ada waktu ataukah tidak, atau membuat kesepakata (appointment) hari apa dan jam berapa (am/pm) akan bertamu (--dan jangan harap waktu akan molor, artinya mereka akan datang tepat waktu)--). Oleh sebab itu tak heran bilamana mereka telah mempunyai jadwal (agenda) kegiatan beberapa waktu ke depan. Bilamana kita bekerja, maka dihitung dengan ukuran jam (hour), artinya satu jam (one hour) berapa gajinya. Kalau satu jam gajinya $20 (dua puluh dollar), maka bilamana satu hari bekerja delapan jam berarti sama dengan 8 x 20 adalah $160 (seratus enam puluh dollar), bagaimana bila ada pecahan setengah jam misalnya?, maka berarti setengah jam (30 menit) x $20 = $10 (sepuluh dollar), bila lima belas menit = $5 (lima dollar) dan seterusnya, dan seterusnya.
Dalam masyarakat kita tidak demikian, molor sudah biasa, di Indonesia dikenal dengan istilah 'jam karet', dalam masyarakat melayu di sini dikenal dengan istilah 'janji melayu'. Suatu ketika aku sekeluarga menghadiri acara ulang tahun anak kawan, kawan kami itu masih keturunan Bawean (ayah) dan Melayu (ibu). Acara diadakan di suatu pantai, saat itu bertepatan dengan musim panas, yang mana pada setiap musim panas pantai-pantai serta tempat-tempat pemandian di sini selalu ramai. Seingatku undangan jam 09.00 am, dan kami datang sebelum jam itu. Hingga masuk jam 10 am baru kami yang datang (walau yang diundang tidak banyak), tak ada masalah tentu, seperti di Indonesia juga, sudah biasa, jam karet; sambil duduk santai-santai saja aku bilang sama sang shahibul khajah dengan irama datar-datar saja, sebab tentu sudah maklum, saya bilang, ‘saya kira orang kita di sini sudah ketularan orang putih, meniru orang putih pula dalam hal waktu’, dan kemudian kawan kami itu (juga) dengan nada datar-datar saja bilang, ‘bukan soal meniru, tapi soal pendirian masing-masing’, demikian kawan kami itu berujar (--suami dia adalah orang kulit putih--). Lain lagi di Pulau Bawean; seingatku di tahun 2001 aku diundang tetangga, undangan jam 2 siang, maka persis jam 2 siang itu aku hadir, apa terjadi?, rumah itu sepi-sepi saja dari undangan, aku pikir karena aku terlalu dini datangnya, tapi apa nyatanya?, acara sudah buyar. Lalu dengan heran aku tanya, mengapa?, mereka (sang keluarga yang punya hajat) bilang ‘orang-orang sudah beda dengan dulu…, sekarang kalau para undangan sudah pada hadir, maka cepat-cepat panggil Kiyainya, lalu segera baca doa, dan buyar…, maka itu kalau engkau diundang jam 2 jangan datang jam 2, datanglah jam 1… Aduh maklum aku sudah lama di rantau ya…, macam ‘Ashabul Kahfi’ aja…
Lain lubuk lain ikannya, lain ladang lain belalang. Begitulah ragam manusia memaknai waktu, dan yang jelas waktu pasti menggilas, bermain dengan indah di tengah gilasan waktu akan menyisakan tapak keindahan; persoalannya selincah apakah kaki kita…??!!
‘Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran’. (Q:S:103:1-3).
Perth, Ujung Musim Gugur 2010
‘Demi masa’ (Q:S:103:1)
Bila sesuatu itu bergerak ke depan, terus ke depan dan tak pernah mundur betapapun singkatnya kemunduran itu, itulah waktu. Waktu telah melingkupi semua, tak ada yang terlepas dari lingkup waktu. Bergeraklah, jangan berhenti, sebab waktu pasti kan melumatnya.
Sering kita tidak sadar akan gerak waktu yang pelan namun pasti, tak terasa detik demi detik telah membawa pada bilangan tahun dan abad. Tiada terasa ia telah membawa sesuatu menjadi tumbuh, tegar dan gagah, dan, lalu tak terasa waktu telah melumatnya pula. Waktu telah melumat kulit kita, yang dulu segar dan dengan bangga dipamerkan pada semua, kini waktu telah melumatnya menjadi keriput; dulu tulang belulang tegak sehingga kita perkasa, kini waktu telah melumatnya pula sehingga menjadi membungkuk, linu dan rapuh; rambut, mata, telinga atau apapun juga tanpa kecuali dengan tak terasa telah dilumat oleh waktu.
‘Demi masa’ (Q:S:103:1).
Dalam budaya (culture) masarakat barat penghargaan terhadap waktu begitu nyata, sehingga seakan tak ada lain yang selalu mengejar mereka kecuali waktu. Detik dan menit dihituingnya secara cermat, jangankan hitungan jam (hour). Segala langkah apapun dihitungnya secara cermat dengan ukuran waktu. Beberapa illustrasi dapat kita ketengahkan disini; aku selalu menjemput anak-anak dari sekolah, beberapa waktu yang lalu aku selalu menunggu sebelum sirine waktu berakhirnya jam sekolah berbunyi, maka jam tanganku aku cocokkan dengan jam sirine itu, ternyata besok harinya dan seterusnya sirine selalu berbunyi tepat jam 03.00 pm (kecuali hari Rabu jam 02.35 pm). Adapun yang ada dalam pikiranku, mengapa tidak pernah lebih barang satu mentpun atau kurang barang satu menitpun. Begitu tepatnya sirine berbunyi dari hari ke hari. Kalau dalam masyarakat kita, apabila hendak naik kendaraan umum, jam keberangkatan dan ketibaan yang terjadwal hanyalah kereta api dan pesawat terbang (--walau mesti kita akui dengan apa adanya, yaitu selalu molor--), di sini bis umumpun juga terjadwal. Bilamana kita hendak berangkat kerja dengan naik bis umum maka haruslah tahu jadwal terlebih dahulu, sebab bila misalnya terlambat maka berarti kita harus menunggunya dengan lumayan lama, oleh sebab bis hanya melayani dalam tiap satu jam sekali (untuk hari-hari biasa) dalam satu rute, sedang untuk hari Sabtu dan Minggu serta hari-hari besar hanya melayani dalam tiap dua jam. Maka itu mengetahui waktu rute dan menata waktu dengan pasti amatlah penting, tentu bagi budaya kita yang tiada terbiasa menata waktu terasa amat terganggu, sedang bagi mereka tidaklah demikian. Bila di sebuah perusahaan (misalnya) mengadakan rapat dengan karyawan mulai jam 10.00 am – 11.00 am, maka akan disebutkan bahwa kehadiran akan dibayar dengan gaji selama satu jam kerja, maka rapat pasti dimulai jam 10.00 am dan diakhiri jam 11.00 am. Jika kita punya tetangga dan lalu minta tolong pada kita untuk membantu meratakan tanah di halaman rumahnya (misalnya), maka ia akan menentukan berapa dollar ($) ia akan membayar dalam setiap jamnya buat kita. Bilamana mereka hendak bertamu, maka mesti menghubungi terlebih dahulu, ada waktu ataukah tidak, atau membuat kesepakata (appointment) hari apa dan jam berapa (am/pm) akan bertamu (--dan jangan harap waktu akan molor, artinya mereka akan datang tepat waktu)--). Oleh sebab itu tak heran bilamana mereka telah mempunyai jadwal (agenda) kegiatan beberapa waktu ke depan. Bilamana kita bekerja, maka dihitung dengan ukuran jam (hour), artinya satu jam (one hour) berapa gajinya. Kalau satu jam gajinya $20 (dua puluh dollar), maka bilamana satu hari bekerja delapan jam berarti sama dengan 8 x 20 adalah $160 (seratus enam puluh dollar), bagaimana bila ada pecahan setengah jam misalnya?, maka berarti setengah jam (30 menit) x $20 = $10 (sepuluh dollar), bila lima belas menit = $5 (lima dollar) dan seterusnya, dan seterusnya.
Dalam masyarakat kita tidak demikian, molor sudah biasa, di Indonesia dikenal dengan istilah 'jam karet', dalam masyarakat melayu di sini dikenal dengan istilah 'janji melayu'. Suatu ketika aku sekeluarga menghadiri acara ulang tahun anak kawan, kawan kami itu masih keturunan Bawean (ayah) dan Melayu (ibu). Acara diadakan di suatu pantai, saat itu bertepatan dengan musim panas, yang mana pada setiap musim panas pantai-pantai serta tempat-tempat pemandian di sini selalu ramai. Seingatku undangan jam 09.00 am, dan kami datang sebelum jam itu. Hingga masuk jam 10 am baru kami yang datang (walau yang diundang tidak banyak), tak ada masalah tentu, seperti di Indonesia juga, sudah biasa, jam karet; sambil duduk santai-santai saja aku bilang sama sang shahibul khajah dengan irama datar-datar saja, sebab tentu sudah maklum, saya bilang, ‘saya kira orang kita di sini sudah ketularan orang putih, meniru orang putih pula dalam hal waktu’, dan kemudian kawan kami itu (juga) dengan nada datar-datar saja bilang, ‘bukan soal meniru, tapi soal pendirian masing-masing’, demikian kawan kami itu berujar (--suami dia adalah orang kulit putih--). Lain lagi di Pulau Bawean; seingatku di tahun 2001 aku diundang tetangga, undangan jam 2 siang, maka persis jam 2 siang itu aku hadir, apa terjadi?, rumah itu sepi-sepi saja dari undangan, aku pikir karena aku terlalu dini datangnya, tapi apa nyatanya?, acara sudah buyar. Lalu dengan heran aku tanya, mengapa?, mereka (sang keluarga yang punya hajat) bilang ‘orang-orang sudah beda dengan dulu…, sekarang kalau para undangan sudah pada hadir, maka cepat-cepat panggil Kiyainya, lalu segera baca doa, dan buyar…, maka itu kalau engkau diundang jam 2 jangan datang jam 2, datanglah jam 1… Aduh maklum aku sudah lama di rantau ya…, macam ‘Ashabul Kahfi’ aja…
Lain lubuk lain ikannya, lain ladang lain belalang. Begitulah ragam manusia memaknai waktu, dan yang jelas waktu pasti menggilas, bermain dengan indah di tengah gilasan waktu akan menyisakan tapak keindahan; persoalannya selincah apakah kaki kita…??!!
‘Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran’. (Q:S:103:1-3).
Subscribe to:
Posts (Atom)
MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN
Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...
-
Oleh: Aba Anekdot sering muncul dalam masyarakat manapun juga. Anekdot memang perlu untuk mengendorkan urat syaraf yang lagi tegang buka...
-
Oleh: Aba Kangguru adalah merupakan spisies binatang mamalia yang terdapat di Australia. Ia telah menjadi maskot negara benua itu. Kaki bel...