Oleh: A. Fuad Usfa
(CERPEN)
Tulisan ini hanyalah sebuah fiksi, oleh sebab itu manakala terdapat kesamaan/persinggungan ataupun hal yang kurang berkenan sungguh di luar kesengajaan, untuk itu kiranya mohon maaf dan maklum adanya.
Western Australia, Awal Musim Gugur di tahun 2010.Fahri, betapa beruntungnya wanita yang mendapatkan engkau Fahri… Demikian kata kaum ibu dan wanita-wanita muda di kampungnya. Kala Fahri masih anak-anak, masih ingusan, ia hanya melongo-longo saja mendengar celotehan mereka.
Fahri lahir di sebuah kampung kecil, tidak jauh dari Danau Kastoba. Hari-hari ia selalu datang bermain di danau. Entah mengapa gerangan ia begitu suka di situ. kadang mandi, mancing, serta bernmain sebagaimana laiknya anak-anak seusianya. Sering pula ia sendirian saja, itulah sebabnya orang tua Fahri sering merasa risau atas kebiasaan Fahri, padahal danau itu kata orang ada ‘penunggunya’. Oleh sebab kebiasaan itu pulalah Fahri mendapat julukan si anak danau.
Si anak danau itu berkulit putih, hidung mancung, rambut kecoklatan sedang matanya kebiru-biruan. Entah mengapa ia semacam itu. Kata orang-orang, sewaktu si ibu mengandungnya dulu, datang sekelompok orang bule kemping di padang danau, demi melihat orang-orang asing itu sang ibu terkejut, maka itu Fahri jadi kopiannya bule-bule itu. Demikian kisahnya menurut orang-orang di kampungnya.
Pendidikan dasar Fahri ditempuh di kampung kelahirannya, prestasinya bagus. Selepas SD ia melanjutkan studinya ke Sangkapura. Di Kota Kawedanan Bawean itu ia melanjutkan studi di SMP, di SMP itu pulalah seorang gadis nan cantik jelita, imut-imut, bagaikan kuntum mawar yang sedang mekar bersekolah. Nama gadis itu Wardah, bukankah wardah bermakna mawar?, pandai nian orang tuanya memilihkan nama. Namun Wardah tidak sampai tamat di situ, sebab baru satu tahun berjalan, saat kenaikan ke kelas 2 orang tua Wardah pindah tugas kerja yang tentu Wardah ikut juga bersamanya. Mereka pindah ke tanah Jawa.
Walau masih kecil Fahri sudah punya rasa tertarik pada Wardah, tapi ia tak dapat berbuat apa-apa, maklumlah masih terlalu kanak-kanak, namun perasaan itu begitu bergejolak dalam hatinya, inikah kiranya sentuhan cinta pertama?. Oleh sebab itu kepergian Wardah sempat membikinnya tiada dapat tidur, makanpun tiada enak. Indahnya mawar selalu terbayang di pelupuk matanya. Bagaimana dengan Wardah?, ternyata sang mawarpun merasakan suatu hal yang sama, ketampanan Fahri selalu bermain di alam bayangnya.
Waktu telah berjalan, hari berganti hari, lalu datanglah minggu, disusul bulan dan berbilanglah tahun, tentu bayangan kuntum mawar sudah tiada lagi, demikian pula bayang ketampanan si anak danau, semua telah ditelan sang waktu, bagai sirnanya embun ditelan cahaya sang surya.
Setelah Fahri lulus dari SMU, yang juga ditempuhnya di Kota Kawedanan yang sama ia kembali ke kampungnya. Ketampanan dan ahlak Fahri telah menjadi buah bibir, yang serasa menjadi hiasan di setiap tiupan angin di serata pulau Bawean, keharuman namanya bagai keharuman kasturi, ketampanannya bagai hendak menggapai ketampanan Yusuf.
Di saat Dies Natalis SMPnya, diadakanlah reuni. Alumni pada hadir di hari bersejarah bagi sekolahnya itu. Di sele-sela hadirin Wardah hadir walau terlambat, ia mengenakan gaun panjang berwarna keunguan dan ia duduk persis di sebelah Fahri. Fahri hampir tak mengenalnya, sang mawar menyapa Fahri, Fahri jadi gugup dan oh..., Wardah..., bisiknya (ia hampir tak percaya). ‘Apa kabar Wardah…?’. Fahri balik menyapanya, ‘baik Fahri…’ jawab Wardah. Oh…, iya…, Wardah tinggal di mana selama ini?’, tanya Fahri, ‘di Surabaya Fahri…’, jawabnya, ‘sudah berapa lama kita tiada bertemu ya…’, sambung Wardah, ‘oh…, iya…, sudah lama Wardah…’, jawab Fahri, ‘aku jadi pangling sama kamu…, kamu makin cantik…, cantik sekali’, tambah Fahri memujinya. Ternyata Wardah kini masih selincah Wardah di kala masih duduk di bangku SMP bersamanya dulu, pujian Fahri menggerakkan refleks jari-jemarinya nan lentik, ia mencubit lengan Fahri yang memakai kemeja lengan panjang, Fahri jadi GR juga dibuatnya. Ingin rasanya ia mengatakan bahwa ia begitu menaruh simpati padanya, serta menceriterakan bagaimana perasaannya dulu, kala ditinggal Wardah pindah sekolah, tapi tentu waktu dirasa tiada memberi peluang. Memang, acara sudah menjelang usai, dan Wardah hadir terlambat karena ada acara peribadinya yang tak mungkin bisa dilewatkan.
Kala acara telah usai Fahri mengantarnya hingga di halaman sekolah yang persis berada di tepi jalan raya. Dari arah barat tiba-tiba datang sebuah mobil sedan menepi, lalu dengan mengucapkan salam pada Fahri Wardah menuju mobil itu, ‘assalamualaikum Fahri, sampai jumpa’, ucapnya. Fahri hanya tertegun, bertepatan saat itu datang seorang kawannya menyapa Fahri, ‘apa kabar Fahri’, sapanya. Lalu ia bertanya pada Fahri apakah ia sudah dapat undangan dari Wardah. Tentu Fahri berupaya untuk tidak menunjukkan sikap sejatinya, yang tiba-tiba menjadi gugup atas pertanyaan kawannya, tiba-tiba ia menduga Wardah akan melangsungkan pernikahan, lalu Fahri hanya menjawab, tidak. Lalu temannya itu bilang bahwa Wardah akan bertunangan dalam minggu ini, orang tuanya telah menjodohkan dengan seorang menejer muda sebuah Bank di Surabaya.
Keesokan harinya Wardah ke rumah Fahri menyampaikan undangan, ya…, hanya menyampaikan undangan saja, sebab masih ada beberapa undangan untuk kawan-kawan sekelas di SMPnya dulu yang berasal dari Kecamatan Tambak. Sebagai seorang wanita yang berperasaan halus, ditambah sifat kedewasaannya, Wardah seakan mampu menyelami lubuk hati Fahri, Wardah tersenyum dengan kulum senyum nan indah, lalu ia 'berbisik', ‘jodoh di tangan Tuhan Fahri…, aku menunggu undanganmu, sebagaimana aku mengundangmu di saat ini..., aku berharaap engkau dapat hadir di malam pertunanganku, aku berharap doamu Fahri…’, dan dengan lembut ia berucap salam, ‘assalamualaikum Fahri…, aku berharap kehadiranmu’, lalu Wardah melanjutkan perjalanannya. Fahri paham, ya…, jodoh di tangan Tuhan. Dengan gontai Wardah melangkah meninggalkan Fahri, dan selang beberapa langkah ia bergumam sendiri, 'sejujurnya harus aku akui, bahwa engkau adalah cinta pertamaku Fahri...'. Wardah masuk mobil, lalu dengan perlahan mobil bergerak, melaju, dan terus melaju meninggalkan desa yang damai.