Oleh : Aba
Kadang penulis teringat di masa kecil dulu, di masa teknologi modern belum masuk ke Pulau Bawean, tidak ada listrik, tidak ada TV, apalagi game sebagai mainan anak jaman sekarang, hanya ada radio, itupun tidak banyak orang yang punya.
Penulis ingat pula di suatu ketika ada pesawat terbang yang melintas dengan terbang rendah, banyak orang yang jualan di pasar lari kalang kabut dengan maksud mencari perlindungan, sehingga banyak uang mereka yang tercecer, saat itu anak-anak kecil banyak yang pergi ke pasar mencari uang yang tercecer itu. Banyak orang tua yang melarang anak-anak menunjuk kearah pesawat terbang yang melintas kendati terbang jauh, sehingga umum pada waktu itu sesame anak-anak saling memperingatkan kawan-kawannya.
Kalau malam telah tiba, bumi menjadi gelap gulita, yang tiada terbayangkan bila diukur dengan jaman sekarang. Bila tidur di langgar, tidak tahu siapa yang di sebelah kita, sebab kendati dalam jarak satu centi meterpun mata di dekatkan penglihatan tidak akan bisa menjangkau, apa lagi bila musim penghujan tiba, gelap dan becek menjadi satu kesatuan yang senada seirama, saat itu terkadang Nampak warna keabu-abuan di bawah kita, itulah yang sering dikira batu, yang ternyata begitu diinjak adalah genangan air, sehingga kaki serta sarung jadi basah dan kotor karenanya.
Lain di luar lain pula di dalam rumah, para orang tua begitu mesra bercengkrama dengan anak-anak mereka, alunan nyanyian nina bobok sering terdengar di rumah-rumah untuk menidurkan sang anak kesayangan. Bila anak sudah mengerti pembicaraan, orang tua mulai menidurkan anak dengan dongen-dongeng, sehingga anak menjadi ‘ketagihan’.
Dongeng adalah merupakan ceritera fiksi. Sama halnya dengan ceritera pada umumnya, di dalam dongeng banyak mengandung makna yang tersirat di balik yang tersurat. Banyak dongeng sebagai bahasa perlambang yang sarat dengan pesan moral.
Dalam kesempata ini kiranya menarik untuk kita singkap siratan makna dalam dongeng si Dukseng, salahsatu dongeng yang popular di masa itu.
Al kisah, pada suatu masa, di sebuah kampung di tepian hutan, hiduplah seorang ibu bersama anaknya yang bernama si Dukseng. Disebut dukseng oleh sebab kalau berbicara suaranya dukseng. Ibunya sangat mencintai anak si mata wayangnya itu, dengan sabar dan bijaksana ia mendidiknya hingga memasuki usia dewasa. Suatu ketika Dukseng berjalan-jalan masuk di pinggiran hutan, dan tanpa dinyana tiba-tiba ada seorang dara nan cantik jelita sedang terbaring di bawah pohon. Demi melihatnya Dukseng terperanjat dan serta merta ia berkata sendiri, ‘ah…, ada putri, betapa cantiknya engkau, akan ku persunting engkau putri’, demikian ia berkata. Dukseng mencoba membangunkan sang putri, tapi sang putri tiada bangun jua, Dukseng punya akal, ‘ah…, biar aku gendong sajalah…’, bisiknya. Maka Dukseng menggendong sang putri kerumahnya serta dibaringkan di kamarnya. Kala itu ibunya sedang tidak di rumah.
Tidak lama kemudian sang ibu datang dan serta merta dengan raut muka yang amat cerah karena gembira tiada terkira Dukseng memberitahukan pada ibunya, ‘mak…, mak…, aku punya putri mak…, putri nan cantik jelita mak…’, ujarnya. Sang ibu merasa heran atas kejadian yang menimpa anak kesayangannya itu, lalu ia bertanya dengan penuh heran, ‘putri apa Dukseng…, siapa yang engkau maksud…?’, tanyanya. Dukseng menjawab, ‘pokoknya putri mak…, cannnntik sekali…’, jawab Dukseng. Ibunya makin tidak mengerti, ia tercengan kebingungan. Saat ibunya lagi kebingunan itu Dukseng berkata lagi, ‘emmak sekarang bakal punya menantu mak…’, ujarnya. Ibunya tambah bingung lagi, lalu ia bertanya, ‘putri ada di mana sekarang Dukseng….?’, tanyanya. Dukseng menjawab pertanyaan ibunya itu dengan tangkas, ‘sekarang putri lagi tidur di kamarku mak…’, jawabnya. Ibunya makin tambah bingung lagi, lalu ia berkata, ‘coba ibu mau jumpa dia Dukseng…’, katanya. Tapi si Dukseng serta-merta mencegahnya, ‘jangan mak…, jangan, putri sedang tidur mak…’, sergahnya. Demi sayangnya pada anak si mata wayangnya itu sang ibu mengikut saja. Sampailah pada waktu makan siang, maka sang ibu bilang pada Dukseng, ‘Dukseng…, sekarang sudah waktu makan siang…, ajak makan si putri Dukseng…’, ujar sang ibu. Serta merta pula Dukseng menjawab, ‘putri masih tidur mak..’, jawabnya. Biar aku bangunkanlah…, kasihan dia, tentu sudah lapar,’, ujar sang ibu. Serta merta pula Dukseng bilang pada ibunya yang sabar itu, ‘sst.., sst.., jangan bising mak…, kasihan putri mak…, biar ia bangun sendiri mak…’, katanya pula. Demikian seterusnya, hingga akhirnya sang ibu mencium bau tidak sedap. Demi mencium bau tidak sedap itu ibu Dukseng merasa heran, sebab tidak biasanya yang sedemikian itu terjadi. Dengan penasaran sang ibu mencoba mencarai tahu dari mana sumber bau itu. Ternyata dari kamar si Dukseng. Kemudian sang ibu bilang pada Dukseng, ‘sumber bau tidak sedap itu dari dalam kamarmu Dukseng…, coba ibu kan tengok ke dalam…’, ujarnya. Dukseng berupaya mencegahnya, tapi sang ibu ada perasaan tidak enak yang mendalam, oleh sebab itu ia tidak menghiraukan upaya si Dukseng. Begitu pintu di buka bau tidak sedap itu makin kuat, dan alangkah kagetnya ia setelah melihat sang putri yang terbujur di raanjang si Dukseng itu ternyata adalah mayat. Maka serta merta sang ibu bilang pada Dukseng, ‘Dukseng…, mengapa engkau lakukan ini…, putrimu itu adalah mayat Dukseng…, maka itu daripadanya timbul bau tidak sedap Dukseng…’ ujar sang ibu. Selanjutnya ibu si Dukseng memerintahkan untuk menggali liang untuk pemakaman si putri.
Pada suatu hari di musim buah nangka, sang ibu mengumpulkan biji nangka dan merebusnya. Hidangan yang sedap itu dimakannya bersama Dukseng. Selang tidak berapa lama kemudian ibu si Dukseng itu ngentut dan menyebarlah bau tiudak sedap daripadanya. Tanpa basa-basi si Dukseng mengambil cangkul dan menggali liang di sisi si putrid, tentu saja sang ibu menjadi heran atas ulah si Dukseng, maka itu ia bertanya, ‘untuk apa engkau menggali liang macam itu Dukseng…?, tanyanya keheranan. Dengan tangkas pula si Dukseng menjawab, ‘tentu untuk menguburkan mu mak….’, jawab si Dukseng. Sang ibu menjadi heran bukan kepalang, maka itu ia bertanya, ‘mengapa engkau akan berlaku seperti itu Dukseng…?’ tanyanya tak habis pikir. Si dukseng menjawab, ‘sebab emmak sudah mati, suadah jadi mayat mak…’, jawabnya. Sang ibu makin tidak paham, lalu berkata, ‘apa katamu…?, emmakmu jadi mayat…?, yang betul Dukseng…!!!. Dengan tangkas pula si Dukseng berkata pada emmaknya itu, ‘iya mak…, tadi aku mencium bau tidak sedap dari emmak…’, jawabnya. Demi mendengar alasan si Dukseng itu sang ibu memberi penjelasan pada Dukseng anak si mata wayangnya itu.
Dari dongen si Dukseng ini ada siratan makna, bahwa sering dalam kehidupan sehari-hari kita masih memahami sesuatu hanya berkutat pada tataran kasap mata dan simbol saja, tanpa mampu memahami sejatinya, secara substansial. Ini terjadi dalam segala bidang, baik dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment