Cerpen
Dalam rangka hari ibu kali ini, dalam sempitnya waktuku (khususnya di hari ini), kusempatkan menulis fiksi dalam bentuk cerpen, yg aku kasih judul 'MAMAYSYA ANAKKU'.
MAMAYSYA ANAKKU
Mamaysya adalah seorang sosok wanita terpelajar yang hadir dari keluarga miskin, nama ayahnya Landuk dan ibunya bernama Siti. Perjalanan hidup Mamaysya telah menguak misteri, Tuhan telah membuka jalan mengantar Mamaysya menjalani kehidupan yang berbeda dengan kedua orang tuanya, ia wujud sewbagai seorang wanita modern dan terpelajar. Pengalaman hidupnya trlah banyak memberi pelajaran akan nilai-nilai keutamaan.
Ayahnya telah berpulang keharibaanNya kala Mamaysya berusia dua tahun, ibunyalah yang membesarkan Mamaysya seorang diri.
Suratan takdir telah mengantar Mamaysya menjadi seorang wanita karir yang terbilang sukses. Dengan kelembutannya Mamaysya membina beberapa banyak anak buah, ia adalah seorang menejer muda.
Di suatu senja dua hari menjelang hari yang disebut orang sebagai hari ibu Mamaysya duduk seorang diri di teras rumahnya, pikirannya menerawang akan kemulyaan hati ibunya, lalu menjalar pada nasib seorang janda tetangganya sendiri, yang mana ia telah begitu tegar dalam membina anak-anaknya, Mamaysya pun tahu persis bahwa tetangganya itu begitu lurus dalam menjalani hidup, tiada pernah pula melakukan suatu yang merugikan orang lain demi nafkah keluarganya, ia berjalan di atas kejujuran. Berbeda dengan keadaan ibunya yang janda karena kematian ayahnya, tetangganya itu janda karena dicerai suaminya. Terbersit pula kekaguman Mamaysya atasnya, oleh sebab di saat mana suaminya telah rebah dalam pelukan dari wanita satu ke wanita yang lain, ia tak tergoyahkan, hanya anak-anaknya yang selalu dalam benaknya, yang tentu hal seperti itu banyak pula terjadi pada wanita-wanita lain.
Di suatu saat, di bulan Mei, bulan kelahiran Mamaysya, ia mengajukan suatu pertanyaan pada ibunya, 'mak..., bila aku ingat-ingat, emak tidak pernah meminta suatu barang apapun dariku mak..., sedang bila aku memberi sesuatu barang pada emak, sekecil apapun emak selalu menerima dengan sangat senangnya, dan emak selalu mengatakan terimakasih..., ketahuilah mak..., tanpa mengatakan itupun aku telah tahu mak, ya..., tahu dari raut muka emak...; betapa besar penghargaan emak untuk aku..., padahal betapa besar pengorbanan yang telah emak berikan buat aku mak..., dan amatlah tiada terhingga mak...'. Mendengar pa yang diutarakan anaknya itu ibu Siti serta merta menukas, 'anakku Mamaysya..., engkau mesti paham nak..., bahwa aku adalah orang tuamu..., ibumu...; kehadiranmu ke dunia ini bukanlah atas kemauanmu, karena orang tuamulah engkau hadir. Anakku Mamaysya..., engkau mesti paham nak..., bahwa emak mesti bertanggung jawab wahai anakku..., emak mesti mengantarkan engkau sebaik mungkin yang emak mampu...; wahai anakku Mamaysya... janganlah engkau memandang segala kebaikan emak (-manakala memang itu baik-) sebagai hutang budi wahai anakku..., karena itu semata-mata tanggung jawab emak anakku...; batapa besar rasa terima kasih emak buatmu nak..., di saat emgkau memberikan sesuatu pada emak..., apapun juga bentuknya wahai anakku..., karena itu adalah wujud kemuliaan hatimu... Ketahuilahb wahgai anakku..., emak tak berharap sesuatu barang apapun darimu nak..., oleh sebab segala kiprah baikmu sudah merupakan pemberian yang tiada ternilai bagi emak wahai anakku Mamaysya..., ketahuilah wahai anakku. Pandangan mata Mamaysya terpaku menatap wajah ibunya yang mulai nampak kerutan ketuaan, ibunya yang selama ini ia kagumi semakin dikaguminya, hati Mamaysaya amatlah bahagia sedang air matanya menetes sebagai pertanda keluluhan hatinya, lalu Mamaysya memeluk ibunya dengan erat, erat dan erat sekali. (Perth, 12 Mei 2013).
No comments:
Post a Comment