CERPENKU
Judul: IBRAHIM
Pengantar
Cerpen ini ku tulis mengingat suatu peristiwa di 'kampungku' (dalam tanda kutip) entah berapa tahun yang lalu (mungkin setahun/dua tahun lalu) seseorang telah menjadi obyek hujatan di jejaring sosial. Allah telah berfirman, 'Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung jawaban'. (Q:S.17:38); 'Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?, tentu kamu merasa jijik'. (Q:S.49:12).
Acap kita-kita ini terlalu masuk dalam urusan orang lain, suatu hal yang tentu tak patut dikembangkan.
IBRAHIM
Ibrahim lahir lahir di Desa Kota Kusuma Sangkapura Bawean, ia anak muda yg rajin bekerja, masih kecil ia sudah pandai membantu ayah-ibunya untuk mencari kayu bakar di kawasan perkebunan Telok, tak seberapa jauh dari rumah tinggalnya. Kayu-kayu itu diikatntnya, dibuat dua ikatan yang sama besar dan dihubungkan dengan gala lalu dipikul dibawa pulang, demikian pula ia mencari daun kelapa yang kering untuk membarakan api. Keadaan hidupnya masih sangat tradisional di saat orang-orang pada memakai kompor gas.
Saat ia usia 17 tahun ia tertarik untuk mengadu nasib ke negeri seberang, kononnya mereka yang pergi ke sana sama berhasil, pulang bisa membangun rumah yang bagus, beli kendaraan yang bagus, berpakaian yang bagus dan sebagainya. Sebetulnya ia ingin bekerja kapal di Singapore, tapi uangnya tak cukup, hasil penjualan sepetak tanah pekarangan di samping rumahnya yang gubuk hanya mampu untuk beaya ikut calo masuk ke Negeri seberang.
Sesampainya di Negeri seberang ia bekerja di perkebunan, orang-orang bilang bekerja seperti itu disebut mengungsi. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, ia ikut saja apa yang diarahkan calo, ia bekerja di perkebunan kelapa sawit yang sangat luas.
Setahun-dua tahun telah berlalu, satu-dua Hari Raya telah terlampaui, orang tua di kampung telah merindukannya. Kedua orang tuanya adalah sosok orang tua yang ikhlas, sama sekali tak terbersit harapan akan kiriman apapun dari Ibrahim, ia hanya selalu berdoa akan akan cucuran rahmat Ilahi, diberiNya sehat wal afiyah, serta mendapatkan rizki yang halal dan barokah.
Acap kali orang-orang menanyakan (-saya rasa ini sudah mentradisi-) sudah berapa banyak Ibrahim mengirim uang, dan kedua orang tuanya hanya mengatakan, 'saya hanya berharap Ibrahim selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta'ala'.
Orang tua Ibrahim usianya sudah tua, hidup bersama kedua saudara perempuannya. Sebagaimana orang yang telah sepuh kesehatannya sering terganggu, pernah pula diopname di Rumah Sakit (Puskesmas) Sangkapura. Dari situlah mulai munculnya komentar-komentar miring terhadap Ibrahim. Di jejaring sosialpun mulai bertebaran hujatan-hujatan dari ungkapan anak durhaka dan berbagai doa dengan kata 'semoga.........', dan seterusnya yang semuanya tak ada yang sedap didengar. Komentar-komentar miring itupun sampai pula ke telinga kedua orang tuanya, mereka tak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya dapat berdoa demi keselamatan anaknya itu. Suatu ketika ayah Ibrahim berbisik lirih pada istrinya, 'mak' (-begitulah beliau selalu memanggil istrinya), 'kasihan Ibrahim ya mak ya..., mengapa orang-orang begitu tega, apa lagi diungkap-ungkap di dalam fesbuk segala ya mak ya..., orang yang tak kenal-mengenal pun ikut menghujat ya, padahal mereka tak tahu bagaimana nasib Ibrahim yang senyatanya, sedang kita saja tidak tahu ya mak ya..., mereka hanya tahu dari tulisan ke tulisan yang pun tak jelas sumbernya, lalu mengutuknya habis-habisan, bukannya mendoakannya, mendoakan Ibrahim dan mendoakan kita semua ya mak ya..., apa lagi ini bulan yang suci yang mestinya suci daripada hujatan dan fitnah ya mak ya...'; ibunya Ibrahim itu hanya bisa menangis, tak bisa memberi komentar balik.
Makin meninggi bilangan hari di bulan Puasa status dan komentar miring tentang Ibrahim makin memuncak, yang seakan memberi suatu Gambaran utuh bahwa Ibrahim adalah anak yang durhaka.
Walaupun Ibrahim selalu di pengungsian, berita-berita itu sampai pula ke Ibrahim bagaimana kejinya penilaian orang terhadap dirinya yang entah dari mana asal muasalnya. Di kegelapan malam nan pekat ia sujud pada Ilahi Rabbi dan berdoa semoga ia dan keluarganya dibebaskan dari segala macam fitnah. Ia hanya tidur di barak, suatu saat ia tersentak dari mimpi buruknya, lalu ia berkata sendirian, 'ya Allah ya Tuhan kami, begitu berat cobaan ini bagiku dan bagi keluargaku, begitu tega orang menyebar berita fitnah tentang aku, tapi seandainya mereka paham keadaan diriku tentu mereka tak akan berbuat sekeji itu. Orang yang tidak paham tentang kegagalan orang merantau tentu tak kan paham segala derita yang dialaminya. Dua tahun aku di sini, di hutan kelapa sawit, dibayar begitu rendah, cukup-cukup untuk ku makan, kadang pun tak terbayar, nyamuk-nyamuk liar bagai telah menjadi temanku, tak ada pilihan lain; aku hanya bisa hidup jujur, aku tak punya dokumen apa pun untuk kembali pulang, paspor telaah dimatikan, ngeri rasanya bila membayangkan yang orang-orang sebut lokap (tahanan) yang kejam. Ya Allah ya Tuhanku, mengapa kah kiranya aku masuk dalam perangkap ini...?!, ya Allah ya Ilahi Rabbi...
Menjelang Hari Raya hujatan-hujatan di jejaring sosial pun malah tambah menjadi-jadi justru saat itu Ibrahim dalam keadaan sakit di baraknya, hingga malam Hari Raya Idul Fitri suara takbir tahlil dan tahmid menggema di tanah rantaunya itu, menggema merasuk di telinga dan kalbunya..., 'Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, la Ilaha illAllahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd, Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, la Ilaha illAllahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd', Ibrahim menangis sejadi-jadinya, mengenang akan kedua orang tuanya yang kata berita yang sampai padanya talah sakit-sakitan, mengenang akan kakak-kakak perempuannya di kampung, mengenang kala dulu ia begitu gesit mengambil kayu dan daun kelapa kering untuk memasak ketupat keluarganya yang serba kekurangan, dan siapakah kini yang melakukannya?!, Ibrahim menangis, seiring dengan itu berita di jejaring sosial pun semakin mendera-dera tanpa ampun. (Perth, 21 Juni 2015)
No comments:
Post a Comment