NAMA DIRI
Oleh: A. Fuad Usfa
Nama diri adalah nama yg tiba2 kita sandang..., kita tidak tahu menahu..., banyak orang yg tak pernah menghiraukan keberadaannya..., apapun nama diri yg disandangnya... Ada pula yg berbangga hati, ada pula yg mengkultuskannya..., ada yg membela2..., ada yg merubah sebagiannya..., ada pula yg menggantinya... Lalu hak siapa sih nama itu...?. Banyak orang lain yg usil dg nama seseorang..., apa pula hak mereka itu...?!. Nama diri adalah sebagai identitas untuk menunjukkan keberadaan dan keautentikan diri pemiliknya..., nama diri adalah tetap nama diri, ia itu netral, bebas nilai..., hanya kitalah yg memberi nilai..., bahkan kadang secara sepihak dan serampangan... Sesungguhnya orang yg empunyalah yg mempunyai hak atasnya untuk tetap menggunakan atau merubahnya, sebagai identitas keberadaan dan keautentikan dirinya... #baik buruk seseorang tidak tergantung pada nama... #nama diri pun tidak identik dg simbol...
(FB)
Monday, October 17, 2016
GENDERANG PERANG
GENDERANG PERANG
(Paradoks)
Oleh: A. Fuad Usfa
Dong..., dong..., dong...
Dong..., dong..., dong...
Dong..., dong..., dong...
Sayup-sayup terdengar suara
Tiada terputus
Terus menerus
Tiba-tiba bisa berubah meninggi dan menyepat
Dong dong dong
Dong dong dong
Dong dong dong
Suara genderang perang
Kudengar kasih haanya kumandang di mimbar-mimbar
Bersama dengan itu
Intimidasi
Darahpun bisa bersimbah
Rumahsakit kan penuh dengan korban
Mayat-mayat kan bergelimpangan
Dong..., dong..., dong...
Dong..., dong..., dong...
Dong..., dong..., dong...
Suara itu menurun dan melambat kembali
Namun intimidasi terus berlanjut
Bersama dengan kumandang kasih
Kasih yang semu.
(AFOF, Perth, Di Malam Hari, Tanggal 17 Oktober 2012)
(FB)
(Paradoks)
Oleh: A. Fuad Usfa
Dong..., dong..., dong...
Dong..., dong..., dong...
Dong..., dong..., dong...
Sayup-sayup terdengar suara
Tiada terputus
Terus menerus
Tiba-tiba bisa berubah meninggi dan menyepat
Dong dong dong
Dong dong dong
Dong dong dong
Suara genderang perang
Kudengar kasih haanya kumandang di mimbar-mimbar
Bersama dengan itu
Intimidasi
Darahpun bisa bersimbah
Rumahsakit kan penuh dengan korban
Mayat-mayat kan bergelimpangan
Dong..., dong..., dong...
Dong..., dong..., dong...
Dong..., dong..., dong...
Suara itu menurun dan melambat kembali
Namun intimidasi terus berlanjut
Bersama dengan kumandang kasih
Kasih yang semu.
(AFOF, Perth, Di Malam Hari, Tanggal 17 Oktober 2012)
(FB)
Thursday, October 13, 2016
SURAT BUAT SAHABAT
SURAT BUAT SAHABAT
Oleh: A. Fuad Usfa
Jarum jam telah menunjuk pukul 12 tengah hari, kendaraan begitu padat, panas mentari menyengat, asap kendaraan mengepul dan lalu menyatu memenuhi atmosfir kota Surabaya.
Di lantai 5, di pojok food court Mega Mall Tunjungan Plaza seorang anak muda dengan umurnya 23 tahun, Adiv namanya, ia tengah asyik memainkan jari-jemarinya di atas deretan huruf pada sebuah laptop, ia baru saja menutup kata dalam risalah yang hendak dikirim buat sahabatnya. Dalam risalah itu ia menulis:
Arman sahabatku, pada akhir-akhir ini aku amati engkau selalu bermenung bermuram durja, seakan tanganmu hendak menggapai masa yang telah meninggalkanmu. Begitu dalamkah engkau meratapi kepergian kekasihmu itu?.
Arman sahabatku, Qays telah menjadi catatan sejarah; ketahuilah sahabatku, bahwa meratapi cinta adalah suatu kesia-siaan. Cinta adalah suatu yang abstrak, yang menari-nari di ufuk alam kahyangan..., berpijaklah di bumi wahai sahabatku.
Arman sahabatku, engkau adalah seorang terpelajar yang mafhum akan sekalian makna perkembangan peradaban, ketahuilah, hanya mereka yang berpijak di bumilah yang mampu membinanya.
Wahai sahabatku, aku adalah sahabat sejatimu, aku ingin engkau seperti dulu lagi, selalu tyersenyum ceria, menatap masa depan dengan penuh optimis.
Wahai sahabat sejatiku, maafkan sahabatmu ini, manakala telah mengusik pilihan hidupmu, tak lain hanya karena aku ingin agar engkau terlepas dari alam hayal tanpa ujung.
Demikian dulu kiranya, dari sahabatmu yang penuh harap,
Adiv.
Tulisan ini sudah pernah dimuat dalam blog ini juga pada Juli 2012
Saturday, October 8, 2016
Tafsir Tekstual: SI DUNG DAN TUANNYA
Tafsir Tekstual
SI DUNG DAN TUANNYA
Oleh: A. Fuad Usfa
Aku teringat apa yg dikatakan Ali Harb (Libanon), ia bilang, “perkataan” adalah tipu daya dan “teks” adalah bentuk penipuan yang selalu memberi batasan di antara dimensi yang berbeda. Ali Harb tidak mengecualikan terhadap teks apa saja..., tidak ada kecualinya..., berlaku untuk semua teks.
Makna2 teks akan tertinggal, bahkan sebelum menjelma dalam bentuk teks itu sendiri. Sy mencoba membuat suatu perumpamaan di sini. Si Dung dan Tuannya... Singkat saja...: Suatu ketika si Dung diminta oleh tuannya mengambilkan sebutir telur di meja..., (--di meja itu terdapat beberapa dadu warna-warni dan beberapa butir telur--), ternyata si Dung mengambil dadu warna biru..., setelah diserahkan pada tuannya tuannya jadi kaget, dan berujar..., 'Dung..., ini namanya dadu..., bukan telur..., kalau telur itu yg bentuknya bulat sedikit lonjong..., kalau dadu tak bisa dimakan..., kalau telur dimakan sedap..., paham kan Djng...?', ujar tuannya..., lalu si Dung balik mengambil sebutir telur, seusai telur itu diserahkan pada tuannya, si Dung mencatat kata2 tuannya tadi dan lalu menghafalkannya...
Suatu ketika si Dung jalan2 ke area pengembalaan kambing..., begitu melihat banyak kotoran kambing si Dung bukan main riangnya..., ia hafal betul apa yg dikatakan tuannya, lalu diambilnya goni plastik, dipilihnya kotorang kambing itu yg berbentuk bulat sedikit lonjong..., karena itu adalah telur, itulah dalam pandangannya... Setelah goni itu penuh dipikulnyalah menuju rumah tuannya..., di perjalanan ia begitu girangnya, sebab merasa mendapat telur sebegitu banyaknya..., tapi beberapa orang menegur bahwa itu bukan telur, melainkan kotoran kambing..., setiap kali orang menegurnya ia tidak terima, bahkan marah dan bahkan ada pula yg dibunuh krn ia merasa pendapatnya disalahkan..., bahkan merasa dihina..., padahal ia ingat persis apa yg dikatakan tuannya, sebab ia telah mencatat dan menghafalkannya..., 'bulat sedikit agak lonjong'...
Begitu sampai di depan rumah tuannya ia berteriak2 kegirangan..., tatkala tuannya bertanya, mana telurnya Dung..., kontan si Dung menuangkan isi goninya dan berkata..., 'ini tuan, ini tuan...', maka tuannya jadi kaget dan bilang bahwa itu kotoran kambing, bukan telur..., tentu saja si Dung jadi bingung dan berujar..., 'bukankah tuan yg telah bilang pada sy, bahwa telur itu bulat sedikit lonjong..., sy telah mencatat dan menghafalkannya tuan..., ini catatan saya tuan...!'.
Beginilah manakala yg digunakan adalah tafsir tekstual... Si Dung hanya bisa mencatat dan menghafal teks, namun tak pernah paham terhadap konteksnya...
Semasa sy masih kecil sering didongengi.., dongeng rakyat di Bawean..., yaitu dongen yg berjudul 'Si Dhukseng'..., dongeng ini juga mengisahkan bahayanya orang yg hanya berpijak pada teks saja... Keadaan seperti itulah yg banyak kita saksikan dalam realitas sosial kita.
(AFOF, Cannington WA, 9 Oktober 2015).
SI DUNG DAN TUANNYA
Oleh: A. Fuad Usfa
Aku teringat apa yg dikatakan Ali Harb (Libanon), ia bilang, “perkataan” adalah tipu daya dan “teks” adalah bentuk penipuan yang selalu memberi batasan di antara dimensi yang berbeda. Ali Harb tidak mengecualikan terhadap teks apa saja..., tidak ada kecualinya..., berlaku untuk semua teks.
Makna2 teks akan tertinggal, bahkan sebelum menjelma dalam bentuk teks itu sendiri. Sy mencoba membuat suatu perumpamaan di sini. Si Dung dan Tuannya... Singkat saja...: Suatu ketika si Dung diminta oleh tuannya mengambilkan sebutir telur di meja..., (--di meja itu terdapat beberapa dadu warna-warni dan beberapa butir telur--), ternyata si Dung mengambil dadu warna biru..., setelah diserahkan pada tuannya tuannya jadi kaget, dan berujar..., 'Dung..., ini namanya dadu..., bukan telur..., kalau telur itu yg bentuknya bulat sedikit lonjong..., kalau dadu tak bisa dimakan..., kalau telur dimakan sedap..., paham kan Djng...?', ujar tuannya..., lalu si Dung balik mengambil sebutir telur, seusai telur itu diserahkan pada tuannya, si Dung mencatat kata2 tuannya tadi dan lalu menghafalkannya...
Suatu ketika si Dung jalan2 ke area pengembalaan kambing..., begitu melihat banyak kotoran kambing si Dung bukan main riangnya..., ia hafal betul apa yg dikatakan tuannya, lalu diambilnya goni plastik, dipilihnya kotorang kambing itu yg berbentuk bulat sedikit lonjong..., karena itu adalah telur, itulah dalam pandangannya... Setelah goni itu penuh dipikulnyalah menuju rumah tuannya..., di perjalanan ia begitu girangnya, sebab merasa mendapat telur sebegitu banyaknya..., tapi beberapa orang menegur bahwa itu bukan telur, melainkan kotoran kambing..., setiap kali orang menegurnya ia tidak terima, bahkan marah dan bahkan ada pula yg dibunuh krn ia merasa pendapatnya disalahkan..., bahkan merasa dihina..., padahal ia ingat persis apa yg dikatakan tuannya, sebab ia telah mencatat dan menghafalkannya..., 'bulat sedikit agak lonjong'...
Begitu sampai di depan rumah tuannya ia berteriak2 kegirangan..., tatkala tuannya bertanya, mana telurnya Dung..., kontan si Dung menuangkan isi goninya dan berkata..., 'ini tuan, ini tuan...', maka tuannya jadi kaget dan bilang bahwa itu kotoran kambing, bukan telur..., tentu saja si Dung jadi bingung dan berujar..., 'bukankah tuan yg telah bilang pada sy, bahwa telur itu bulat sedikit lonjong..., sy telah mencatat dan menghafalkannya tuan..., ini catatan saya tuan...!'.
Beginilah manakala yg digunakan adalah tafsir tekstual... Si Dung hanya bisa mencatat dan menghafal teks, namun tak pernah paham terhadap konteksnya...
Semasa sy masih kecil sering didongengi.., dongeng rakyat di Bawean..., yaitu dongen yg berjudul 'Si Dhukseng'..., dongeng ini juga mengisahkan bahayanya orang yg hanya berpijak pada teks saja... Keadaan seperti itulah yg banyak kita saksikan dalam realitas sosial kita.
(AFOF, Cannington WA, 9 Oktober 2015).
PAHAM KEBENARAN KORELASINYA DENGAN LUAS KEHIDUPAN
(Menyimak Kembali)
PAHAM KEBENARAN
KORELASINYA DENGAN KEBERAGAMAN
Oleh:A. Fuad Usfa
1. Paham Kebenaran Dan Bentukan
Beragam bahasan tentang kebenaran oleh sebab keberagaman obyek itu sendiri, dari yang fiskal hingga yang metafisikal, dari yang nampak hingga yang gaib. Bila ingin membangun rumah dengan gambar dari arsitek seperti ini, campuran semen, koral, dan sebagainya seperti ini, maka bilamana si tukang telah bekerja membangun dan hasilnya sesuai dengan gambar dan seterusnya tadi, maka bermakna benarlah kerja si tukang, oleh sebab keadaan tersebut bisa diukur dengan pasti, obyeknya nampak dengan jelas, maka bisa diukur tingkat kesesuaiannya dengan obyek. Sebaliknya bila berkaitan dengan yang metafisikal, abstrak, gaib, sebab hal tersebut akan melibatkan penafsiran atau intuisi.
Bila seseorang menyalahkan pandangan si fulan, lalu si fulan bertanya mengapa begitu, si yang menyalahkan tadi akan menjawab, 'bila bla bla...', yang kesimpulannya, 'menurut pendapat saya', 'kata orang tua saya', 'kata guru saya', 'kata bla bla bla....', dan seterusnya --dengan merujuk pada sumber-- yang tentu didukung atau tidak dengan argumen. Bila pendapat tersebut berkenaan dengan hal yang fiskal, bolehlah sedapat mungkin dicocokkan dengan obyeknya, namun bila hal tersebut berkaitan dengan obyek yang non fisikal atau abstrak atau gaib, bagaimna mungkin?. Katakan suatu misal di goa itu ada gendoruwo; bagaimana uji kebenaran yang demikian itu?; hanya saja oleh sebab sedari lahir kita hidup di alam term gendoruwo maka terbentuklah alam pikir dan rasa kita tentang konsep alam gendoruwo, sehingga kita dapat paham genderowo seperti orang-orang terdahulu dan sekitar kita memahami alam gendoruwo, bukan berarti mengetahui tentang kebenaran genderuwo dan alam genderuwo, demikian pula misalnya tentang jin mata merah, dan sebagainya.
Terdapat dua alam yang melingkupi manusia, yaitu alam fitrah dan alam bentukan. Keberadaan kita tidak terlepas daripadanya, alam bentukan tidak terlepas dari pengetahuan kita, yang kemudian membentuk pemahaman, lalu aksi, lalu kebiasaan, dan menjelma menjadi sifat dan keperibadian, yang dari situlah terbentuknya kebudayaan hingga peradaban. Pengetahuan itu terdapat sumber-sumbernya, makin terdapat keberagaman sumber makin membentuk keberagaman pengetahuan, lalu keberagaman pemahaman, dan seterusnya. Persoalannya hanya pada aspek signifikansinya.
Disadari atau tidak akan adanya realitas itu, maka sering muncullah gagasan sensor untuk memotong aliran sumber, misalnya buku-buku karya X tidak boleh beredar di Indonesia, di Pondok Pesantren tertentu, dan sebagainya, atau jangan engkau bergaul dengan si fulan, sebab ia beragama (...............) nanti engkau terpengaruh, dan sebagainya. Di kala yang demikian itu terjadi, maka beralihlah medan, bukan medan kebenaran yang bicara, melainkan otoritaslah yang berlaku, bisa jadi sumber yang benar itulah yang dipotong. Dengan demikian medan kebenaran dipertanyakan, sebab persoalannya seakan si pemilik otoritas itulah si pemilik kebenaran. Suatu contoh yang ekstrim, perhatikan dengan cermat di tengah masyarakat kita, betapa banyak orang yang marah dengan mengancam (teror), melakukan pengrusakan dan bahkan pembunuhan (seperti pengeboman, dan sebagainya), menghalalkan darah sesama, dan klaim yang dikumandangkan adalah demi kebenaran. Alangkah naifnya melakukan gerakan semacam itu dengan mengatas namakan kebenaran, padahal pihak yang diserang itu berpendapat bahwa yang melakukan penyerangan itu yang tidak benar. Taruhlah misalnya kasus seputar Ahmadiyah di Indonesia yang selalu menjadi bulan-bulanan kelompok yang kononnya sepaham dengan kelompok mayoritas. (Coba cermati di sini, ada para pihak yang sebetulnya mempunyai posisi atau kedudukan yang sama, tapi dipahami tidak sama, ditinggikanlah dirinya dan direndahkanlah pihak yang lainnya). Bahkan orang-orang yang tidak tahu menahu atau yang biasa diistilahkan 'orang yang tak berdosa' sekalipun menjadi korban, menderita karena ulahnya. Kalau memang yang melakukan gerakan penyerangan tersebut benar, maka berarti kebenaran itu nista, oleh sebab ia dengan mudah bertindak nista. Bagaimana yang demikian itu bisa terjadi?!, maka sesungguhnya dalam konteks tolok ukur kebenaran yang positif gerakan tersebut menunjuk pada keadaan (pembuktian) ketidak benaran.
Bisalah dipahami bila muncul kontra gagasan, apakah engkau pemilik kebenaran?!. Di sini otoritas justru menjadi batu penghalang, atau belenggu, bahkan penindas atau tiran, baik itu otoritas pada struktur atas maupun struktur bawah atau akar rumput yang selalu begitu mudah digerakkan oleh struktur atas atau mereka yang dengan gampang bertindak gegabah oleh sebab dorongan hawa nafsunya, lalu diteriakkanlah jargon atau kualifikasi, bukan soal kebenaran, melainkan seakan kebenaran, semisal jargon atau kualifikasi 'sesat', tidak cukup itu, lalu ditambahkannya lagi, 'dan menyesatkan'. Muncul pertanyaan, siapa yang sesungguhnya sesat dan menyesatkan, apakah bukan yang meneriakkan itu?!. Misal lain, meresahkan masyarakat, padahal senyatanya sering kali tidak ada keresahan itu, yang ada adalah diresahkan oleh otoritas dengan bertindak kononnya atas nama tokoh masyarakat, dan sebagainya. Bahasa tersebut seakan kebenaran, padahal senyatanya tipu daya otoritas. Sebagaimana kita telah sama mafhum, di medan inilah arogansi, penindasan, tirani selalu menjelma. Tak hayallah mana kala muncul tuntutan, berilah kami kebebasan akses, oleh sebab kami sederajat dengan engkau, hanya bedanya kami tak punya otoritas, atau setidaknya karena kami lemah.
Alam bentukan mesti melalui pengajaran, pengajaran berlaku sejak kelahiran, bahkan sejak masih di alam kandungan. Pengajaran berlaku hingga akhir hayat. Pengajaran adalah transfer pengetahuan dan nilai dengan melalui berbagai sumber, termasuk pengalaman. Berdasar arus datangnya pengetahuan itu dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu yang disadari dan yang tidak disadari. Pengajaran bisa bermakna pula proses pembentukan, setiap hasil ajaran adalah bersifat bentukan, setiap bentukan tergantung pada siapa dan/atau di alam mana dibentuk hingga terbentuknya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka persoalannya tergantunglah pada aspek signifikansinya. Bila seseorang di tanya, misalnya, 'mengapa engkau muslim, mungkin jawabnya, 'mengapa tidak, kedua orang tuaku muslim kok...', kemudian pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'apakah engkau paham tentang Islam?, mungkin jawabnya, 'iya..., tentu saja, sebab aku disekolahkan di Pondok Pesantren oleh orang tuaku...' (-di sini terdapatnya 'pemaksaan' bentuk), lalu pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'di mana engkau mondok?', bisa saja dijawabnya, 'di Pondok Pesantren X...', namun bisa jadi jawaban pertanyaan yang terakhir tadi ditanggapi dengan negatif, yaitu bisa saja dijawab dengan, 'wah..., engkau bakal masuk neraka...', apa pasal?!, ternyata jawabnya disebabkan Pondok Pesantren itu penganut paham Syiah misalnya. Perlu dipahami bahwa dalam Syiah itu terdapat berbagai sekte, madzhab ataupun pandangan, sebagaimana juga dalam Suni. Coba cermati padahal itu belum masuk pada ajaran lain, masih dalam lingkup Islam itu sendiri, bagaimana lagi terhadap agama dan kepercayaan lain...?!. Dari gambaran di atas dapatlah diambil mafhum, bahwa antara paham kebenaran dan bentukan terdapat korelasi positif.
2. Kebenaran dan Korelasinya dengan Luas Kehidupan
Sebagai ilustrasi dapatlah penulis kemukakan beberapa pengalaman penulis sebagai berikut: Suatu ketika, di awal penulis di Australia (2007) penulis menelepon kawan yang satu profesi dengan penulis semasa di Indonesia, lalu ia bertanya pada penulis, apakah ada orang Aboriginal yang beragama Islam?, dan penulis jawab, belum tahu, masalahnya adalah adakah yang mengislamkan mereka?, maksud penulis adalah --dengan kata lain-- adakah yang bisa membentuk mereka menjadi pemeluk Islam?, kalau dikembangkan berbunyi demikian, salahkah mereka karena tidak memeluk Islam oleh sebab tidak ada yang bisa membentuk mereka untuk itu?, mungkinkah akan menjadi pemeluk Islam dengan sendirinya?, apa lagi tiba-tiba menjadi fasih berdoa dalam bahasa Arab sebagai mana kita yang telah dibentuk sejak mengenal dunia, yang diajari mengaji, bermadrasah, membaca berbagai kitab agama Islam, hidup dalam komunitas Islam yang begitu erat mengikat kita sehingga kita tidak bisa dan tidak berani --begitu takutnya-- untuk berbuat lain,arena begitu kuatnya pengikat itu, dan yang tidak ada namanya kamus kebebasan untuk memilih dan menutukan akan makna kebenaran. Pengalaman lain lagi yaitu tatkala penulis mengikuti acara yasinan dan tahlilan, sebelum acara dimulai seseorang yang duduk di sebelah kiri penulis bertanya, 'di Indonesia kamu mengikut organisasi apa?', kemudian penulis bertanya, 'maksud bapak apa?', kemudian ia menjawab, 'maksud saya kamu mengikut madzhab apa?', tentu di sini mengandung maksud telah di/terbentuk menjadi pengikut madzhab apa?, sebab tidak mungkin akan dengan sendirinya menjadi pengikut madzhab tertentu kalau tidak ada yang membentuk ke arah itu, apa lagi bila kenal pun tidak, tentu hal yang mustahil, dan tentu akan lebih mudah membentuknya bilamana seseorang itu awam agama dan ia begitu berminat belajar agama lalu datang pengikut suatu madzhab serta mengajarkan tentang ajaran madzhabnya. Pengalaman lain lagi penulis berbincang dengan tokoh agama --non Islam-- diantara perbincangan itu ada mengutarakan kata tanya, 'apakah kita sudah siap untuk menghadapNya?', dan jujur saja bahwa pertanyaan yang sama juga kerap kita dengar dari penganut agama lain, termasuk yang seagama dengan kita, yaitu Islam.
Coba kita simak sejarah --ke belakang--, coba bergaul dengan manusia yang bergam ras, suku, kepercayaan, adat/tradisi dan sebagainya, berjalanlah dengan elegan, bukan hanya dengan menggunakan pendekatan normatif, coba jelajahi jengkal demi jengkal bumi dari mega polutan hingga hutan belantara pada masyarakat yang masih primitif, bukan hanya terpaku pada satu corak saja, sebab bila hanya satu corak, maka hanya satu corak itulah yang dikenal, maka hanya itulah miliknya, atau yang sering kita jumpai adalah tutup mata. Bila kebenaran itu hanya satu corak saja maka betapa kita telah mengingkari akan realitas keberagaman dan keluasan kehidupan.
(Telah dimuat dlm 'Dinamika' 18 Oktober 2015)
PAHAM KEBENARAN
KORELASINYA DENGAN KEBERAGAMAN
Oleh:A. Fuad Usfa
1. Paham Kebenaran Dan Bentukan
Beragam bahasan tentang kebenaran oleh sebab keberagaman obyek itu sendiri, dari yang fiskal hingga yang metafisikal, dari yang nampak hingga yang gaib. Bila ingin membangun rumah dengan gambar dari arsitek seperti ini, campuran semen, koral, dan sebagainya seperti ini, maka bilamana si tukang telah bekerja membangun dan hasilnya sesuai dengan gambar dan seterusnya tadi, maka bermakna benarlah kerja si tukang, oleh sebab keadaan tersebut bisa diukur dengan pasti, obyeknya nampak dengan jelas, maka bisa diukur tingkat kesesuaiannya dengan obyek. Sebaliknya bila berkaitan dengan yang metafisikal, abstrak, gaib, sebab hal tersebut akan melibatkan penafsiran atau intuisi.
Bila seseorang menyalahkan pandangan si fulan, lalu si fulan bertanya mengapa begitu, si yang menyalahkan tadi akan menjawab, 'bila bla bla...', yang kesimpulannya, 'menurut pendapat saya', 'kata orang tua saya', 'kata guru saya', 'kata bla bla bla....', dan seterusnya --dengan merujuk pada sumber-- yang tentu didukung atau tidak dengan argumen. Bila pendapat tersebut berkenaan dengan hal yang fiskal, bolehlah sedapat mungkin dicocokkan dengan obyeknya, namun bila hal tersebut berkaitan dengan obyek yang non fisikal atau abstrak atau gaib, bagaimna mungkin?. Katakan suatu misal di goa itu ada gendoruwo; bagaimana uji kebenaran yang demikian itu?; hanya saja oleh sebab sedari lahir kita hidup di alam term gendoruwo maka terbentuklah alam pikir dan rasa kita tentang konsep alam gendoruwo, sehingga kita dapat paham genderowo seperti orang-orang terdahulu dan sekitar kita memahami alam gendoruwo, bukan berarti mengetahui tentang kebenaran genderuwo dan alam genderuwo, demikian pula misalnya tentang jin mata merah, dan sebagainya.
Terdapat dua alam yang melingkupi manusia, yaitu alam fitrah dan alam bentukan. Keberadaan kita tidak terlepas daripadanya, alam bentukan tidak terlepas dari pengetahuan kita, yang kemudian membentuk pemahaman, lalu aksi, lalu kebiasaan, dan menjelma menjadi sifat dan keperibadian, yang dari situlah terbentuknya kebudayaan hingga peradaban. Pengetahuan itu terdapat sumber-sumbernya, makin terdapat keberagaman sumber makin membentuk keberagaman pengetahuan, lalu keberagaman pemahaman, dan seterusnya. Persoalannya hanya pada aspek signifikansinya.
Disadari atau tidak akan adanya realitas itu, maka sering muncullah gagasan sensor untuk memotong aliran sumber, misalnya buku-buku karya X tidak boleh beredar di Indonesia, di Pondok Pesantren tertentu, dan sebagainya, atau jangan engkau bergaul dengan si fulan, sebab ia beragama (...............) nanti engkau terpengaruh, dan sebagainya. Di kala yang demikian itu terjadi, maka beralihlah medan, bukan medan kebenaran yang bicara, melainkan otoritaslah yang berlaku, bisa jadi sumber yang benar itulah yang dipotong. Dengan demikian medan kebenaran dipertanyakan, sebab persoalannya seakan si pemilik otoritas itulah si pemilik kebenaran. Suatu contoh yang ekstrim, perhatikan dengan cermat di tengah masyarakat kita, betapa banyak orang yang marah dengan mengancam (teror), melakukan pengrusakan dan bahkan pembunuhan (seperti pengeboman, dan sebagainya), menghalalkan darah sesama, dan klaim yang dikumandangkan adalah demi kebenaran. Alangkah naifnya melakukan gerakan semacam itu dengan mengatas namakan kebenaran, padahal pihak yang diserang itu berpendapat bahwa yang melakukan penyerangan itu yang tidak benar. Taruhlah misalnya kasus seputar Ahmadiyah di Indonesia yang selalu menjadi bulan-bulanan kelompok yang kononnya sepaham dengan kelompok mayoritas. (Coba cermati di sini, ada para pihak yang sebetulnya mempunyai posisi atau kedudukan yang sama, tapi dipahami tidak sama, ditinggikanlah dirinya dan direndahkanlah pihak yang lainnya). Bahkan orang-orang yang tidak tahu menahu atau yang biasa diistilahkan 'orang yang tak berdosa' sekalipun menjadi korban, menderita karena ulahnya. Kalau memang yang melakukan gerakan penyerangan tersebut benar, maka berarti kebenaran itu nista, oleh sebab ia dengan mudah bertindak nista. Bagaimana yang demikian itu bisa terjadi?!, maka sesungguhnya dalam konteks tolok ukur kebenaran yang positif gerakan tersebut menunjuk pada keadaan (pembuktian) ketidak benaran.
Bisalah dipahami bila muncul kontra gagasan, apakah engkau pemilik kebenaran?!. Di sini otoritas justru menjadi batu penghalang, atau belenggu, bahkan penindas atau tiran, baik itu otoritas pada struktur atas maupun struktur bawah atau akar rumput yang selalu begitu mudah digerakkan oleh struktur atas atau mereka yang dengan gampang bertindak gegabah oleh sebab dorongan hawa nafsunya, lalu diteriakkanlah jargon atau kualifikasi, bukan soal kebenaran, melainkan seakan kebenaran, semisal jargon atau kualifikasi 'sesat', tidak cukup itu, lalu ditambahkannya lagi, 'dan menyesatkan'. Muncul pertanyaan, siapa yang sesungguhnya sesat dan menyesatkan, apakah bukan yang meneriakkan itu?!. Misal lain, meresahkan masyarakat, padahal senyatanya sering kali tidak ada keresahan itu, yang ada adalah diresahkan oleh otoritas dengan bertindak kononnya atas nama tokoh masyarakat, dan sebagainya. Bahasa tersebut seakan kebenaran, padahal senyatanya tipu daya otoritas. Sebagaimana kita telah sama mafhum, di medan inilah arogansi, penindasan, tirani selalu menjelma. Tak hayallah mana kala muncul tuntutan, berilah kami kebebasan akses, oleh sebab kami sederajat dengan engkau, hanya bedanya kami tak punya otoritas, atau setidaknya karena kami lemah.
Alam bentukan mesti melalui pengajaran, pengajaran berlaku sejak kelahiran, bahkan sejak masih di alam kandungan. Pengajaran berlaku hingga akhir hayat. Pengajaran adalah transfer pengetahuan dan nilai dengan melalui berbagai sumber, termasuk pengalaman. Berdasar arus datangnya pengetahuan itu dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu yang disadari dan yang tidak disadari. Pengajaran bisa bermakna pula proses pembentukan, setiap hasil ajaran adalah bersifat bentukan, setiap bentukan tergantung pada siapa dan/atau di alam mana dibentuk hingga terbentuknya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka persoalannya tergantunglah pada aspek signifikansinya. Bila seseorang di tanya, misalnya, 'mengapa engkau muslim, mungkin jawabnya, 'mengapa tidak, kedua orang tuaku muslim kok...', kemudian pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'apakah engkau paham tentang Islam?, mungkin jawabnya, 'iya..., tentu saja, sebab aku disekolahkan di Pondok Pesantren oleh orang tuaku...' (-di sini terdapatnya 'pemaksaan' bentuk), lalu pertanyaan itu dilanjutkan lagi, 'di mana engkau mondok?', bisa saja dijawabnya, 'di Pondok Pesantren X...', namun bisa jadi jawaban pertanyaan yang terakhir tadi ditanggapi dengan negatif, yaitu bisa saja dijawab dengan, 'wah..., engkau bakal masuk neraka...', apa pasal?!, ternyata jawabnya disebabkan Pondok Pesantren itu penganut paham Syiah misalnya. Perlu dipahami bahwa dalam Syiah itu terdapat berbagai sekte, madzhab ataupun pandangan, sebagaimana juga dalam Suni. Coba cermati padahal itu belum masuk pada ajaran lain, masih dalam lingkup Islam itu sendiri, bagaimana lagi terhadap agama dan kepercayaan lain...?!. Dari gambaran di atas dapatlah diambil mafhum, bahwa antara paham kebenaran dan bentukan terdapat korelasi positif.
2. Kebenaran dan Korelasinya dengan Luas Kehidupan
Sebagai ilustrasi dapatlah penulis kemukakan beberapa pengalaman penulis sebagai berikut: Suatu ketika, di awal penulis di Australia (2007) penulis menelepon kawan yang satu profesi dengan penulis semasa di Indonesia, lalu ia bertanya pada penulis, apakah ada orang Aboriginal yang beragama Islam?, dan penulis jawab, belum tahu, masalahnya adalah adakah yang mengislamkan mereka?, maksud penulis adalah --dengan kata lain-- adakah yang bisa membentuk mereka menjadi pemeluk Islam?, kalau dikembangkan berbunyi demikian, salahkah mereka karena tidak memeluk Islam oleh sebab tidak ada yang bisa membentuk mereka untuk itu?, mungkinkah akan menjadi pemeluk Islam dengan sendirinya?, apa lagi tiba-tiba menjadi fasih berdoa dalam bahasa Arab sebagai mana kita yang telah dibentuk sejak mengenal dunia, yang diajari mengaji, bermadrasah, membaca berbagai kitab agama Islam, hidup dalam komunitas Islam yang begitu erat mengikat kita sehingga kita tidak bisa dan tidak berani --begitu takutnya-- untuk berbuat lain,arena begitu kuatnya pengikat itu, dan yang tidak ada namanya kamus kebebasan untuk memilih dan menutukan akan makna kebenaran. Pengalaman lain lagi yaitu tatkala penulis mengikuti acara yasinan dan tahlilan, sebelum acara dimulai seseorang yang duduk di sebelah kiri penulis bertanya, 'di Indonesia kamu mengikut organisasi apa?', kemudian penulis bertanya, 'maksud bapak apa?', kemudian ia menjawab, 'maksud saya kamu mengikut madzhab apa?', tentu di sini mengandung maksud telah di/terbentuk menjadi pengikut madzhab apa?, sebab tidak mungkin akan dengan sendirinya menjadi pengikut madzhab tertentu kalau tidak ada yang membentuk ke arah itu, apa lagi bila kenal pun tidak, tentu hal yang mustahil, dan tentu akan lebih mudah membentuknya bilamana seseorang itu awam agama dan ia begitu berminat belajar agama lalu datang pengikut suatu madzhab serta mengajarkan tentang ajaran madzhabnya. Pengalaman lain lagi penulis berbincang dengan tokoh agama --non Islam-- diantara perbincangan itu ada mengutarakan kata tanya, 'apakah kita sudah siap untuk menghadapNya?', dan jujur saja bahwa pertanyaan yang sama juga kerap kita dengar dari penganut agama lain, termasuk yang seagama dengan kita, yaitu Islam.
Coba kita simak sejarah --ke belakang--, coba bergaul dengan manusia yang bergam ras, suku, kepercayaan, adat/tradisi dan sebagainya, berjalanlah dengan elegan, bukan hanya dengan menggunakan pendekatan normatif, coba jelajahi jengkal demi jengkal bumi dari mega polutan hingga hutan belantara pada masyarakat yang masih primitif, bukan hanya terpaku pada satu corak saja, sebab bila hanya satu corak, maka hanya satu corak itulah yang dikenal, maka hanya itulah miliknya, atau yang sering kita jumpai adalah tutup mata. Bila kebenaran itu hanya satu corak saja maka betapa kita telah mengingkari akan realitas keberagaman dan keluasan kehidupan.
(Telah dimuat dlm 'Dinamika' 18 Oktober 2015)
ANARKIS VS DEMOKRASI
ANARKIS VS DEMOKRASI
Oleh: A. Fuad Usfa
Sikap tindak anarkis terus dikembangkan, bahasa2 penuh ancaman diumbarkan, yg tentu kita sudah sama paham bahwa itu adalah bermakna teror..., pelakunya adalah teroris..., bila itu dikembangkan sebagai paham disebut dengan terorisme...
Sikap anarkis yg terjadi dalam perhelatan demokrasi sama dengan pencederaan demokrasi, menerima sistem demokrasi namun dalam kubangan anarkisme (terorisme). Sikap anarkis tentu bukannya muncul dg sendirinya, melainkan digerakkan oleh suatu kekuatan komando..., itu teroris namanya, walau mereka tidak akan terima bila disebut teroris... #katanya bukan teroris..., loch..., kok teroris...!!!
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Sikap tindak anarkis terus dikembangkan, bahasa2 penuh ancaman diumbarkan, yg tentu kita sudah sama paham bahwa itu adalah bermakna teror..., pelakunya adalah teroris..., bila itu dikembangkan sebagai paham disebut dengan terorisme...
Sikap anarkis yg terjadi dalam perhelatan demokrasi sama dengan pencederaan demokrasi, menerima sistem demokrasi namun dalam kubangan anarkisme (terorisme). Sikap anarkis tentu bukannya muncul dg sendirinya, melainkan digerakkan oleh suatu kekuatan komando..., itu teroris namanya, walau mereka tidak akan terima bila disebut teroris... #katanya bukan teroris..., loch..., kok teroris...!!!
(FB)
MARWAH DAUD DAN MUKJIZAT
MARWAH DAUD DAN 'MUKJIZAT'
(Kekuatan Bahasa)
Oleh: A. Fuad Usfa
Mungkin Marwah Daud lagi sulit menemukan bahasa dan langkah apa yg mesti diambil untuk menunjukkan temuan 'mukjizat' yg ia alami. Loh, kok 'mukjizat'...?!. Tak tahulah apa nama pesisnya, coba tanya saja pada Marwah Daud... Adapun yg jelas Marwah Daut sedang diterpa badai dari dalam dan luar dirinya... Marwah Telah masuk dalam kubangan tahayul dan klenik...?!, mungkin saja..., sebagaimana Marwah yg dulu juga, dan sebagaimana kita pun juga..., yg membatasi hanyalah bahasa... #bahasa itu lebih kuat dari telusur angin dan suara yg menelusur telinga2 kita, bahkan bisa lebih gaib dari segala yg gaib...
(FB)A
(Kekuatan Bahasa)
Oleh: A. Fuad Usfa
Mungkin Marwah Daud lagi sulit menemukan bahasa dan langkah apa yg mesti diambil untuk menunjukkan temuan 'mukjizat' yg ia alami. Loh, kok 'mukjizat'...?!. Tak tahulah apa nama pesisnya, coba tanya saja pada Marwah Daud... Adapun yg jelas Marwah Daut sedang diterpa badai dari dalam dan luar dirinya... Marwah Telah masuk dalam kubangan tahayul dan klenik...?!, mungkin saja..., sebagaimana Marwah yg dulu juga, dan sebagaimana kita pun juga..., yg membatasi hanyalah bahasa... #bahasa itu lebih kuat dari telusur angin dan suara yg menelusur telinga2 kita, bahkan bisa lebih gaib dari segala yg gaib...
(FB)A
KERIS
KERIS
Oleh: A. Fuad Usfa
Kalau orang Nusantara (Jawa khususnya) percaya 'kesaktian' keris, yo ra popo to...!, kecuali kalau mereka maksa2 orang harus percaya 'kesaktian' keris, siapa yg tidak percaya 'kesaktian' keris harus diperangi, tidak boleh jadi pemimpin..., atau melakukan tindakan2 anarki terhadap orang yg tidak percaya kesaktian keris..., atau tindakan2 anti toleransi terhadap golongan lain misalnya... Wong mereka gak bikin masalah apa2 kok..., syirik atau tidak yo urusan mereka, hanya Tuhanlah yg tahu... Wong yg ngotot tidak percaya kesaktian keris yg kononnya syirik, syirik, syirik ternyata percaya akan kesaktian pedang atau senjata api dan bom kok..., maaan man... #sy malah berpendapat bahwa mereka adalah orang2 yg punya keperibadian sebagai anak negeri yg tulen..., tak perlulah dijajah terlalu jauh..., untuk dipreteli...
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Kalau orang Nusantara (Jawa khususnya) percaya 'kesaktian' keris, yo ra popo to...!, kecuali kalau mereka maksa2 orang harus percaya 'kesaktian' keris, siapa yg tidak percaya 'kesaktian' keris harus diperangi, tidak boleh jadi pemimpin..., atau melakukan tindakan2 anarki terhadap orang yg tidak percaya kesaktian keris..., atau tindakan2 anti toleransi terhadap golongan lain misalnya... Wong mereka gak bikin masalah apa2 kok..., syirik atau tidak yo urusan mereka, hanya Tuhanlah yg tahu... Wong yg ngotot tidak percaya kesaktian keris yg kononnya syirik, syirik, syirik ternyata percaya akan kesaktian pedang atau senjata api dan bom kok..., maaan man... #sy malah berpendapat bahwa mereka adalah orang2 yg punya keperibadian sebagai anak negeri yg tulen..., tak perlulah dijajah terlalu jauh..., untuk dipreteli...
(FB)
ISASI
ISASI
Oleh: A. Fuad Usfa
Isasi adalah sebuah istilah yg netral, akan indah manakala dilakukan secara fair, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, namun akan menjadi persoalan manakala semangat penindasan yg dijadikan watak dari pada pengISASI, tentu dari pihak manapun juga. Dari itulah munculnya arogansi2 yg bahkan mengkoptasi kekuasaan Tuhan. Ancaman, fitnah, hoax, dan semacamnya..., pendek kata, segala jurus2 semanat penindasan itu dari yg berbentuk kata hingga tindakan2 bom2an dilakukannya dg beringas dan bangga hati (garis bawahi kata 'bangga hati')
Apa sich maksud dari pada rangkaian kalimat di atas?. Nah..., coba sebelum kata ISASI itu anda tambahi Hindu, atau Budha, atau Islam, atau Kristen, atau Konghucu, dst..., maka akan tersambunglah menjadi kalimat sempurna.
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Isasi adalah sebuah istilah yg netral, akan indah manakala dilakukan secara fair, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, namun akan menjadi persoalan manakala semangat penindasan yg dijadikan watak dari pada pengISASI, tentu dari pihak manapun juga. Dari itulah munculnya arogansi2 yg bahkan mengkoptasi kekuasaan Tuhan. Ancaman, fitnah, hoax, dan semacamnya..., pendek kata, segala jurus2 semanat penindasan itu dari yg berbentuk kata hingga tindakan2 bom2an dilakukannya dg beringas dan bangga hati (garis bawahi kata 'bangga hati')
Apa sich maksud dari pada rangkaian kalimat di atas?. Nah..., coba sebelum kata ISASI itu anda tambahi Hindu, atau Budha, atau Islam, atau Kristen, atau Konghucu, dst..., maka akan tersambunglah menjadi kalimat sempurna.
(FB)
DOA (4)
DOA (4)
Oleh: A. Fuad Usfa
Doa sudah tak mampu lagi, mungkin Tuhan sudah jenuh terhadap perilaku mereka, lalu mereka meneriakkan teror seruan perang dengan menyandarkan ucapan2nya pada Tuhan, ia meneriakkan teror seruan perang, karena Tuhan tak mengabulkan doanya..., mereka meneriakkan teror2 perang dengan semangat barbar... #Tuhan Maha Pengasih Maha Penyayang.
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Doa sudah tak mampu lagi, mungkin Tuhan sudah jenuh terhadap perilaku mereka, lalu mereka meneriakkan teror seruan perang dengan menyandarkan ucapan2nya pada Tuhan, ia meneriakkan teror seruan perang, karena Tuhan tak mengabulkan doanya..., mereka meneriakkan teror2 perang dengan semangat barbar... #Tuhan Maha Pengasih Maha Penyayang.
(FB)
WA LANTARDHA
WA LANTARDHA
Oleh: A. Fuad Usfa
Wa lantardha..., siap sih sebetulnya yg wa lantardha itu...?!
Kita mesti menjawabnya secara jujur..., renungkan dalam dalam..., bicaralah dg nurani kita...
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Wa lantardha..., siap sih sebetulnya yg wa lantardha itu...?!
Kita mesti menjawabnya secara jujur..., renungkan dalam dalam..., bicaralah dg nurani kita...
(FB)
TERCENUNG
TERCENUNGNG
Oleh: A. Fuad Usfa
Kadang aku berpikir, tercenung..., masak iya Tuhan suka adu domba hambanya..., diciptakanNya berbeda2, namun bukan diakurkannya melainkan dibenturkannya, padahal Ia Maha Bijaksana... Hambanya malah dibikin pusing, bagai diberinya teka-teki tak berujung, bagai permainan perjudian di area tak bertepi, tanpa diberiNya solusi yg jelas, melainkan hanya dari katanya dan katanya..., benturan terjadi di mana2, semua mengklaim karena dititahkan Tuhan..., namun tanpa kehadiran Tuhan... #suatu hal yg mustahil...
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Kadang aku berpikir, tercenung..., masak iya Tuhan suka adu domba hambanya..., diciptakanNya berbeda2, namun bukan diakurkannya melainkan dibenturkannya, padahal Ia Maha Bijaksana... Hambanya malah dibikin pusing, bagai diberinya teka-teki tak berujung, bagai permainan perjudian di area tak bertepi, tanpa diberiNya solusi yg jelas, melainkan hanya dari katanya dan katanya..., benturan terjadi di mana2, semua mengklaim karena dititahkan Tuhan..., namun tanpa kehadiran Tuhan... #suatu hal yg mustahil...
(FB)
REFLEKSI AROGANSI SANG NAFSU
REFLEKSI AROGANSI SANG NAFSU
A. Fuad Usfa
Injil kitab yg telah dipalsukan..., masak Tuhan punya anak..., masak Tuhan bisa mati... #ini mah bukan penghinaan, bukan penistaan, bukan fitnah..., melainkan menyampaikan yg benar..., beginilah hebatnya kita, bebas sebebas2nya..., tinggal bermain kata saja... Patung kok disembah..., pohon kok disembah, gunung kok disembah..., dll..., selagi yg bicara itu kita..., lancar2 saja... Coba kalau kita yg diperlakukan seperti itu, dislenting sedikit saja kita jadi ribut..., apakah ini disebabkan karena kita merasa Tuhan kita itu lemah...?, maka butuh campur tangan kita dengan cara2 yg tidak fair..., Allah Maha Perkasa...
Sy katakan, bahwa tak ada yg benar dari perkataan2 yg ditujukan kepada orang Kristen maupun Hindu/Budha seperti tersebut di atas..., atau yg ditujukan pada agama2 lain adalah tidak benar adanya..., karena manisnya gula hanya bisa dirasa pada gula..., bukan yg lain...
(FB)
A. Fuad Usfa
Injil kitab yg telah dipalsukan..., masak Tuhan punya anak..., masak Tuhan bisa mati... #ini mah bukan penghinaan, bukan penistaan, bukan fitnah..., melainkan menyampaikan yg benar..., beginilah hebatnya kita, bebas sebebas2nya..., tinggal bermain kata saja... Patung kok disembah..., pohon kok disembah, gunung kok disembah..., dll..., selagi yg bicara itu kita..., lancar2 saja... Coba kalau kita yg diperlakukan seperti itu, dislenting sedikit saja kita jadi ribut..., apakah ini disebabkan karena kita merasa Tuhan kita itu lemah...?, maka butuh campur tangan kita dengan cara2 yg tidak fair..., Allah Maha Perkasa...
Sy katakan, bahwa tak ada yg benar dari perkataan2 yg ditujukan kepada orang Kristen maupun Hindu/Budha seperti tersebut di atas..., atau yg ditujukan pada agama2 lain adalah tidak benar adanya..., karena manisnya gula hanya bisa dirasa pada gula..., bukan yg lain...
(FB)
DOA (5)
DOA (5)
Oleh: A. Fuad Usfa
Pak Sintho di negri sakura merasa doanya diterima, lalu berujar pada istrinya..., 'syukurlah Tuhan kita Maha Bijaksana dan Maha Perkasa, sehingga tidak membutuhkan bantuan hambanya yg lemah..., sedang kita lihat di berbagai pojok dunia manusia tercabik2 saling menyerang dan menindas hingga bersimbah darah dg bangga membantai sesama karena merasa membela Tuhannya..., kita wajib bersykyur ma...', katanya.
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Pak Sintho di negri sakura merasa doanya diterima, lalu berujar pada istrinya..., 'syukurlah Tuhan kita Maha Bijaksana dan Maha Perkasa, sehingga tidak membutuhkan bantuan hambanya yg lemah..., sedang kita lihat di berbagai pojok dunia manusia tercabik2 saling menyerang dan menindas hingga bersimbah darah dg bangga membantai sesama karena merasa membela Tuhannya..., kita wajib bersykyur ma...', katanya.
(FB)
Tuesday, October 4, 2016
KAMPUNGKU
Album Kenangan:
KAMPUNGKU
Oleh: A. Fuad Usfa
Suasana kawasan Blandongan Gresik seperti biasanya, tidak ramai, kendaraan pun tidak padat, tak jauh dari jalan raya terdapat pantai. Di pantai inilah (-dulu-) aku (-pernah-) naik sampan, lalu berpindah ke perahu kayu, perahu ini didominasi oleh bahan kayu, pakunyapun terbuat dari kayu, dempulnyapun juga terdapat campuran serat-serat kayu. Perahu itu tidak besar, aku dan beberapa yang lain naik dengan tangkasnya, awak perahu menyambutnya dengan segala senang hati. Dalam perahu itu terdapat beragam barang dagangan. Atap perahu terbuat dari bambu yang dianyam kasar-kasar dan sebagai pengikatnya adalah batangan kayu berukuran kira-kira 5x10cm x panjang atap, dan panjang atap itu saya kira tidak sampai 7m. Di atas atap itulah aku dan beberapa orang yang lain mengambil posisi tempat tidur, atau yang lebih tepat kita sebut posisi sandar untuk tidur. Kala itu bulan Ramadhan sudah menjelang akhir, tak ada kapal, aku pikir yang penting ada tumpangan menuju tanah kelahiranku. Hari sudah menjelang maghrib, menjelang berbuka puasa.
Perahu telah beranjak dari tempat berlabuh, sampai waktu maghrib kami berbuka, dan dilanjutkan dengan shalat Maghrib dengan duduk di tempat yang sangat sempit. Kami wudlu' dengan air laut, cukup dengan memegang tangkai timba dan langsung dicelupkan ke dalam air, tak perlu tali atau alat apapun, dekat sekali jarak air itu dengan pinggir atap perahu. Saya hanya berdoa' semoga Allah melancarkan perjalanan kami, dalam alunan gelombang yang damai serta hadirnya arus buritan. Di Laut Jawa inilah tak terbilang berapa banyak orang Bawean yang telah ditelan gelombang sebagai suhadha'.
Perahu trerus beranjak, tak ada tanda-tanda angin kencang dan gelombang yang menakutkan, awak perahu bilang, 'malam ini cuaca bagus'. Bulan yang tinggal 'menyabit' belum juga menampakkan dirinya, bintang gemintang gemerlap diangkasa nan luas, betapa agungNya Sang Pencipta. Aku mengambil tepe kecilku, kubuat untuk menemani perjalanan.
Kala itu aku masih mahasiswa, masih muda, badanku masih tegar bergumul dengan terpaan angin laut sekalipun. Cuaca masih tetap bersahabat, gelombang dan aruspun demikian. Hingga tiba makan sahur, lalu shalat subuh, namun Pulau Bawean belum juga menyambut kami. Tak lama kemudian aku tertidur, dan, aku bangun saat perahu telah masuk pelabuhan yang menjadi tempatku berenang saat ku kecil dulu seakan menantang kawanan hiu..., akh..., mengerikaan bila ku pikir saat ini...
Matahari telah beranjak tinggi, tak ada orang yang menjemput kami, sebab ini bukan kapal yang memuat banyak penumpang, melainkan ini perahu pengangkut barang, dan satu dua diantara kami hanyalah karena keterpaksaan saja. Aku melangkah ke luar pelabuhan, dan naik dokar; kampungku yang dulu terasa luas kini terasa menyempit, dengan jalan-jalan yang menciut. Entah berapa menit saja aku telah sampai di jalan seberang rumahku, rumahku kosong, tak ada orang, lagi berangkat menimba rizki, untuk biaya studi putra-putrinya, termasuk aku. Aku masuk taman pekarangan rumahku, beragam bunga seakan menyapaku, aku kangen, aku pulalah yang selalu menyirami di saat pagi dan petang kala aku balik kampung. Dipojok taman kuperhatikan bunga bogenfil kesayanganku pun tengah bermekaran dengan indahnya, namun semuanya membisu dan hanya mampu menampakkan senyum keindaahannya.
(FB)
KAMPUNGKU
Oleh: A. Fuad Usfa
Suasana kawasan Blandongan Gresik seperti biasanya, tidak ramai, kendaraan pun tidak padat, tak jauh dari jalan raya terdapat pantai. Di pantai inilah (-dulu-) aku (-pernah-) naik sampan, lalu berpindah ke perahu kayu, perahu ini didominasi oleh bahan kayu, pakunyapun terbuat dari kayu, dempulnyapun juga terdapat campuran serat-serat kayu. Perahu itu tidak besar, aku dan beberapa yang lain naik dengan tangkasnya, awak perahu menyambutnya dengan segala senang hati. Dalam perahu itu terdapat beragam barang dagangan. Atap perahu terbuat dari bambu yang dianyam kasar-kasar dan sebagai pengikatnya adalah batangan kayu berukuran kira-kira 5x10cm x panjang atap, dan panjang atap itu saya kira tidak sampai 7m. Di atas atap itulah aku dan beberapa orang yang lain mengambil posisi tempat tidur, atau yang lebih tepat kita sebut posisi sandar untuk tidur. Kala itu bulan Ramadhan sudah menjelang akhir, tak ada kapal, aku pikir yang penting ada tumpangan menuju tanah kelahiranku. Hari sudah menjelang maghrib, menjelang berbuka puasa.
Perahu telah beranjak dari tempat berlabuh, sampai waktu maghrib kami berbuka, dan dilanjutkan dengan shalat Maghrib dengan duduk di tempat yang sangat sempit. Kami wudlu' dengan air laut, cukup dengan memegang tangkai timba dan langsung dicelupkan ke dalam air, tak perlu tali atau alat apapun, dekat sekali jarak air itu dengan pinggir atap perahu. Saya hanya berdoa' semoga Allah melancarkan perjalanan kami, dalam alunan gelombang yang damai serta hadirnya arus buritan. Di Laut Jawa inilah tak terbilang berapa banyak orang Bawean yang telah ditelan gelombang sebagai suhadha'.
Perahu trerus beranjak, tak ada tanda-tanda angin kencang dan gelombang yang menakutkan, awak perahu bilang, 'malam ini cuaca bagus'. Bulan yang tinggal 'menyabit' belum juga menampakkan dirinya, bintang gemintang gemerlap diangkasa nan luas, betapa agungNya Sang Pencipta. Aku mengambil tepe kecilku, kubuat untuk menemani perjalanan.
Kala itu aku masih mahasiswa, masih muda, badanku masih tegar bergumul dengan terpaan angin laut sekalipun. Cuaca masih tetap bersahabat, gelombang dan aruspun demikian. Hingga tiba makan sahur, lalu shalat subuh, namun Pulau Bawean belum juga menyambut kami. Tak lama kemudian aku tertidur, dan, aku bangun saat perahu telah masuk pelabuhan yang menjadi tempatku berenang saat ku kecil dulu seakan menantang kawanan hiu..., akh..., mengerikaan bila ku pikir saat ini...
Matahari telah beranjak tinggi, tak ada orang yang menjemput kami, sebab ini bukan kapal yang memuat banyak penumpang, melainkan ini perahu pengangkut barang, dan satu dua diantara kami hanyalah karena keterpaksaan saja. Aku melangkah ke luar pelabuhan, dan naik dokar; kampungku yang dulu terasa luas kini terasa menyempit, dengan jalan-jalan yang menciut. Entah berapa menit saja aku telah sampai di jalan seberang rumahku, rumahku kosong, tak ada orang, lagi berangkat menimba rizki, untuk biaya studi putra-putrinya, termasuk aku. Aku masuk taman pekarangan rumahku, beragam bunga seakan menyapaku, aku kangen, aku pulalah yang selalu menyirami di saat pagi dan petang kala aku balik kampung. Dipojok taman kuperhatikan bunga bogenfil kesayanganku pun tengah bermekaran dengan indahnya, namun semuanya membisu dan hanya mampu menampakkan senyum keindaahannya.
(FB)
Saturday, October 1, 2016
SEMALAM DI MALAYSIA
SEMALAM DI MALAYSIA
Oleh: A. Fuad Usfa
Ingatkah dengan film Indonesia yang berjudul Semalam Di Malaysia?, di tahun 1975..., dan sebelum itu juga ada lagu dengan judul yang sama, lagu dari Said Kelana (Said Efendi) yang dipopulerkan melalui suara Sam Dlloyd. Di film itu Victor Abdullah yang diperankan oleh Sam Bimbo diumpamakan sebagai sang penyanyi pop Malaysia. Aduhai..., untuk apa ya hanya semalam di Malaysia yaaa..., buang-buang waktu aja ya...; dan, ternyata aku pun punyaya pengalaman sendiri semalam di Malaysia.
*
Pada tahun 2006, aku bersama seorang Notaris Surabaya (-beliau berkantor di JL. Semarang, tak jauh dari Pasar Blauran-), berkelana ke Malaysia hanya untuk semalam saja (tepatnya sehari semalam, hehe). Sebelumnya beliau juga telah melawat ke negeri jiran ini, dan, beliau banyak fulus, bukan orang macam aku tentu.
*
Saat matahari telah naik menerangi bumi kami sampai di Kuala Lumpur, kami langsung ke Bukit Bintang menuju hotel. Aku suka suasana Bukuit Bintang. Setelah kami mandi dan merapikan badan, pergi menelusur trotoar dan masuk restoran. Tak lama kemudian telpon (HP) berdering, seorang Guaman (Lawyer) dari kawasan Slangor hendak bertemu kami, kami katakan bahwa kami sedang makan siang di restoran x (aku lupa namanya). Tak lama kemudian beliau datang, alangkah baik hati beliau, hingga khirnya berpisah. Saat selepas waktu Maghrib seorang datuk hendak menjemput kami sebagai tamu di rumah beliau, dan tak lama kemudian beliaupun datang. Dengan mobil mewahnya kami menelusur jalanan mega politan menuju Syah Alam, jalanan paadat dengan kendaraan, lampu-lampu gemerlat mempesona. Sampailah kami di kediaman beliau, di suatu pemukiman elit, kami dipersilahkan masuk dan diterima dengan senag hati. Selepas itu kami diajak keluar menuju sebuah hotel megah, kami dijamu makan malam di sana. Kami berbincang apa yang bisa kami bincang, waktu itu aku minta pada beliau agar aku diberi akses untuk dapat menjalin hubungan kerjasama dengan Kantor Pengacara (Guaman) di Johor Bahru, dan beliau memberi akses untuk menghubungi kepala kantor yang juga masih berada di bawah naungan beliau. Alhamdulillah, demikian bisik kalbuku, yang berarti aku nantinya akan mampu membikin akses dari utara (Kedah) ke Selatan. Untuk kedah kami punya akses melalui ncik Abdul Muis, dan beberapa Peguam (lawyer) juga telah menyanggupi untuk memberi akses pada beberapa instansi hukum di Malaysia, dan juga ada yang menyanggupi untuk akses ke Brunai Darussalam, semua itu sudah aku laporkan ke lembaga kami, termasuk kepada pak Soeparto sebagai Kepala Hubungan Internasional. Kembali pada pembicaraan di atas; selepas makan malam itu kami diantar kembali ke hotel di mana kami menginap.
Hari telah makin larut, namun orang-orang makin ramai, dan makin ramai, kami turut menikmati keramaian itu, kami duduk di area tempat makan-makan, ramai sekali orang, kami pesan teh tarik, dan tergiur juga untuk turut mencicipi makan, maka kami pesan makanan. Malam makin larut, dan..., dem..., dem..., dor..., dor..., dar dir dor dem..., suara itu mengelegar..., percikan api meloncat-loncat..., ke angkasa luas..., kembang api yang beraneka ragam telah menghias Kuala Lumpur saat itu. Saat itu adalah bertepatan pada malam Hari Kemerdekaan Malaysia, di ujung bulan Agustus. Setelah kembang api itu usai, orang-orang mulai surut, dan kami masuk hotel, lalu berbaring dan lelap.
Menjelang subuh kami sudah bangun, sang Notaris kita menyegat taxi untuk menuju KLIA, bandara modern nan mewah, sedang aku meluncur menuju Selatan, untuk memasuki Negara Kota Singapore. Di Negara Kota ini aku mencoba merangkai hubungan penjajagan kerjasama juga, melalui Muhammadiyah Singapore, kami dikenalkan dengan encik Ahmad Khalis (Corporate Adviser), dan beliau telah merangkum rencana kerja yang kiranya mampu untuk kami lakukan, itupun telah aku laporkan ke lembaga kami.
Dari Singapore, lalu kami ke Batam, untuk evaluasi magang mahasiswa kami di PT. Epson, dan kami menyebrang ke Tanjung Pinang, semalam di tanjung Pinang, balik Batam, dan meluncur dari Hang Nadim menuju Juanda Surabaya. Diangkasa nan luaas, kutatap keluar jendela pesawat, gumpalan asap memutih bagai saalju, gumpalan itu berarak, dan, benakku berbisik, bermimmpikah aku...?!.
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Ingatkah dengan film Indonesia yang berjudul Semalam Di Malaysia?, di tahun 1975..., dan sebelum itu juga ada lagu dengan judul yang sama, lagu dari Said Kelana (Said Efendi) yang dipopulerkan melalui suara Sam Dlloyd. Di film itu Victor Abdullah yang diperankan oleh Sam Bimbo diumpamakan sebagai sang penyanyi pop Malaysia. Aduhai..., untuk apa ya hanya semalam di Malaysia yaaa..., buang-buang waktu aja ya...; dan, ternyata aku pun punyaya pengalaman sendiri semalam di Malaysia.
*
Pada tahun 2006, aku bersama seorang Notaris Surabaya (-beliau berkantor di JL. Semarang, tak jauh dari Pasar Blauran-), berkelana ke Malaysia hanya untuk semalam saja (tepatnya sehari semalam, hehe). Sebelumnya beliau juga telah melawat ke negeri jiran ini, dan, beliau banyak fulus, bukan orang macam aku tentu.
*
Saat matahari telah naik menerangi bumi kami sampai di Kuala Lumpur, kami langsung ke Bukit Bintang menuju hotel. Aku suka suasana Bukuit Bintang. Setelah kami mandi dan merapikan badan, pergi menelusur trotoar dan masuk restoran. Tak lama kemudian telpon (HP) berdering, seorang Guaman (Lawyer) dari kawasan Slangor hendak bertemu kami, kami katakan bahwa kami sedang makan siang di restoran x (aku lupa namanya). Tak lama kemudian beliau datang, alangkah baik hati beliau, hingga khirnya berpisah. Saat selepas waktu Maghrib seorang datuk hendak menjemput kami sebagai tamu di rumah beliau, dan tak lama kemudian beliaupun datang. Dengan mobil mewahnya kami menelusur jalanan mega politan menuju Syah Alam, jalanan paadat dengan kendaraan, lampu-lampu gemerlat mempesona. Sampailah kami di kediaman beliau, di suatu pemukiman elit, kami dipersilahkan masuk dan diterima dengan senag hati. Selepas itu kami diajak keluar menuju sebuah hotel megah, kami dijamu makan malam di sana. Kami berbincang apa yang bisa kami bincang, waktu itu aku minta pada beliau agar aku diberi akses untuk dapat menjalin hubungan kerjasama dengan Kantor Pengacara (Guaman) di Johor Bahru, dan beliau memberi akses untuk menghubungi kepala kantor yang juga masih berada di bawah naungan beliau. Alhamdulillah, demikian bisik kalbuku, yang berarti aku nantinya akan mampu membikin akses dari utara (Kedah) ke Selatan. Untuk kedah kami punya akses melalui ncik Abdul Muis, dan beberapa Peguam (lawyer) juga telah menyanggupi untuk memberi akses pada beberapa instansi hukum di Malaysia, dan juga ada yang menyanggupi untuk akses ke Brunai Darussalam, semua itu sudah aku laporkan ke lembaga kami, termasuk kepada pak Soeparto sebagai Kepala Hubungan Internasional. Kembali pada pembicaraan di atas; selepas makan malam itu kami diantar kembali ke hotel di mana kami menginap.
Hari telah makin larut, namun orang-orang makin ramai, dan makin ramai, kami turut menikmati keramaian itu, kami duduk di area tempat makan-makan, ramai sekali orang, kami pesan teh tarik, dan tergiur juga untuk turut mencicipi makan, maka kami pesan makanan. Malam makin larut, dan..., dem..., dem..., dor..., dor..., dar dir dor dem..., suara itu mengelegar..., percikan api meloncat-loncat..., ke angkasa luas..., kembang api yang beraneka ragam telah menghias Kuala Lumpur saat itu. Saat itu adalah bertepatan pada malam Hari Kemerdekaan Malaysia, di ujung bulan Agustus. Setelah kembang api itu usai, orang-orang mulai surut, dan kami masuk hotel, lalu berbaring dan lelap.
Menjelang subuh kami sudah bangun, sang Notaris kita menyegat taxi untuk menuju KLIA, bandara modern nan mewah, sedang aku meluncur menuju Selatan, untuk memasuki Negara Kota Singapore. Di Negara Kota ini aku mencoba merangkai hubungan penjajagan kerjasama juga, melalui Muhammadiyah Singapore, kami dikenalkan dengan encik Ahmad Khalis (Corporate Adviser), dan beliau telah merangkum rencana kerja yang kiranya mampu untuk kami lakukan, itupun telah aku laporkan ke lembaga kami.
Dari Singapore, lalu kami ke Batam, untuk evaluasi magang mahasiswa kami di PT. Epson, dan kami menyebrang ke Tanjung Pinang, semalam di tanjung Pinang, balik Batam, dan meluncur dari Hang Nadim menuju Juanda Surabaya. Diangkasa nan luaas, kutatap keluar jendela pesawat, gumpalan asap memutih bagai saalju, gumpalan itu berarak, dan, benakku berbisik, bermimmpikah aku...?!.
(FB)
SEMALAM DI MALAYSIA
SEMALAM DI MALAYSIA
Oleh: A. Fuad Usfa
Ingatkah dengan film Indonesia yang berjudul Semalam Di Malaysia?, di tahun 1975..., dan sebelum itu juga ada lagu dengan judul yang sama yang dipopulerkan melalui suara Sam Dlloyd. Di film itu Victor Abdullah yang diperankan oleh Sam Bimbo diumpamakan sebagai sang penyanyi pop Malaysia. Aduhai..., untuk apa ya hanya semalam di Malaysia yaaa..., buang-buang waktu aja ya...; dan, ternyata aku pun punyaya pengalaman sendiri semalam di Malaysia.
*
Pada tahun 2006, aku bersama seorang Notaris Surabaya (-beliau berkantor di JL. Semarang, tak jauh dari Pasar Blauran-), berkelana ke Malaysia hanya untuk semalam saja (tepatnya sehari semalam, hehe). Sebelumnya beliau juga telah melawat ke negeri jiran ini, dan, beliau banyak fulus, bukan orang macam aku tentu.
*
Saat matahari telah naik menerangi bumi kami sampai di Kuala Lumpur, kami langsung ke Bukit Bintang menuju hotel. Aku suka suasana Bukuit Bintang. Setelah kami mandi dan merapikan badan, pergi menelusur trotoar dan masuk restoran. Tak lama kemudian telpon (HP) berdering, seorang Guaman (Lawyer) dari kawasan Slangor hendak bertemu kami, kami katakan bahwa kami sedang makan siang di restoran x (aku lupa namanya). Tak lama kemudian beliau datang, alangkah baik hati beliau, hingga khirnya berpisah. Saat selepas waktu Maghrib seorang datuk hendak menjemput kami sebagai tamu di rumah beliau, dan tak lama kemudian beliaupun datang. Dengan mobil mewahnya kami menelusur jalanan mega politan menuju Syah Alam, jalanan paadat dengan kendaraan, lampu-lampu gemerlat mempesona. Sampailah kami di kediaman beliau, di suatu pemukiman elit, kami dipersilahkan masuk dan diterima dengan senag hati. Selepas itu kami diajak keluar menuju sebuah hotel megah, kami dijamu makan malam di sana. Kami berbincang apa yang bisa kami bincang, waktu itu aku minta pada beliau agar aku diberi akses untuk dapat menjalin hubungan kerjasama dengan Kantor Pengacara (Guaman) di Johor Bahru, dan beliau memberi akses untuk menghubungi kepala kantor yang juga masih berada di bawah naungan beliau. Alhamdulillah, demikian bisik kalbuku, yang berarti aku nantinya akan mampu membikin akses dari utara (Kedah) ke Selatan. Untuk kedah kami punya akses melalui ncik Abdul Muis, dan beberapa Peguam (lawyer) juga telah menyanggupi untuk memberi akses pada beberapa instansi hukum di Malaysia, dan juga ada yang menyanggupi untuk akses ke Brunai Darussalam, semua itu sudah aku laporkan ke lembaga kami, termasuk kepada pak Soeparto sebagai Kepala Hubungan Internasional. Kembali pada pembicaraan di atas; selepas makan malam itu kami diantar kembali ke hotel di mana kami menginap.
Hari telah makin larut, namun orang-orang makin ramai, dan makin ramai, kami turut menikmati keramaian itu, kami duduk di area tempat makan-makan, ramai sekali orang, kami pesan teh tarik, dan tergiur juga untuk turut mencicipi makan, maka kami pesan makanan. Malam makin larut, dan..., dem..., dem..., dor..., dor..., dar dir dor dem..., suara itu mengelegar..., percikan api meloncat-loncat..., ke angkasa luas..., kembang api yang beraneka ragam telah menghias Kuala Lumpur saat itu. Saat itu adalah bertepatan pada malam Hari Kemerdekaan Malaysia, di ujung bulan Agustus. Setelah kembang api itu usai, orang-orang mulai surut, dan kami masuk hotel, lalu berbaring dan lelap.
Menjelang subuh kami sudah bangun, sang Notaris kita menyegat taxi untuk menuju KLIA, bandara modern nan mewah, sedang aku meluncur menuju Selatan, untuk memasuki Negara Kota Singapore. Di Negara Kota ini aku mencoba merangkai hubungan penjajagan kerjasama juga, melalui Muhammadiyah Singapore, kami dikenalkan dengan encik Ahmad Khalis (Corporate Adviser), dan beliau telah merangkum rencana kerja yang kiranya mampu untuk kami lakukan, itupun telah aku laporkan ke lembaga kami.
Dari Singapore, lalu kami ke Batam, untuk evaluasi magang mahasiswa kami di PT. Epson, dan kami menyebrang ke Tanjung Pinang, semalam di tanjung Pinang, balik Batam, dan meluncur dari Hang Nadim menuju Juanda Surabaya. Diangkasa nan luaas, kutatap keluar jendela pesawat, gumpalan asap memutih bagai saalju, gumpalan itu berarak, dan, benakku berbisik, bermimmpikah aku...?!.
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Ingatkah dengan film Indonesia yang berjudul Semalam Di Malaysia?, di tahun 1975..., dan sebelum itu juga ada lagu dengan judul yang sama yang dipopulerkan melalui suara Sam Dlloyd. Di film itu Victor Abdullah yang diperankan oleh Sam Bimbo diumpamakan sebagai sang penyanyi pop Malaysia. Aduhai..., untuk apa ya hanya semalam di Malaysia yaaa..., buang-buang waktu aja ya...; dan, ternyata aku pun punyaya pengalaman sendiri semalam di Malaysia.
*
Pada tahun 2006, aku bersama seorang Notaris Surabaya (-beliau berkantor di JL. Semarang, tak jauh dari Pasar Blauran-), berkelana ke Malaysia hanya untuk semalam saja (tepatnya sehari semalam, hehe). Sebelumnya beliau juga telah melawat ke negeri jiran ini, dan, beliau banyak fulus, bukan orang macam aku tentu.
*
Saat matahari telah naik menerangi bumi kami sampai di Kuala Lumpur, kami langsung ke Bukit Bintang menuju hotel. Aku suka suasana Bukuit Bintang. Setelah kami mandi dan merapikan badan, pergi menelusur trotoar dan masuk restoran. Tak lama kemudian telpon (HP) berdering, seorang Guaman (Lawyer) dari kawasan Slangor hendak bertemu kami, kami katakan bahwa kami sedang makan siang di restoran x (aku lupa namanya). Tak lama kemudian beliau datang, alangkah baik hati beliau, hingga khirnya berpisah. Saat selepas waktu Maghrib seorang datuk hendak menjemput kami sebagai tamu di rumah beliau, dan tak lama kemudian beliaupun datang. Dengan mobil mewahnya kami menelusur jalanan mega politan menuju Syah Alam, jalanan paadat dengan kendaraan, lampu-lampu gemerlat mempesona. Sampailah kami di kediaman beliau, di suatu pemukiman elit, kami dipersilahkan masuk dan diterima dengan senag hati. Selepas itu kami diajak keluar menuju sebuah hotel megah, kami dijamu makan malam di sana. Kami berbincang apa yang bisa kami bincang, waktu itu aku minta pada beliau agar aku diberi akses untuk dapat menjalin hubungan kerjasama dengan Kantor Pengacara (Guaman) di Johor Bahru, dan beliau memberi akses untuk menghubungi kepala kantor yang juga masih berada di bawah naungan beliau. Alhamdulillah, demikian bisik kalbuku, yang berarti aku nantinya akan mampu membikin akses dari utara (Kedah) ke Selatan. Untuk kedah kami punya akses melalui ncik Abdul Muis, dan beberapa Peguam (lawyer) juga telah menyanggupi untuk memberi akses pada beberapa instansi hukum di Malaysia, dan juga ada yang menyanggupi untuk akses ke Brunai Darussalam, semua itu sudah aku laporkan ke lembaga kami, termasuk kepada pak Soeparto sebagai Kepala Hubungan Internasional. Kembali pada pembicaraan di atas; selepas makan malam itu kami diantar kembali ke hotel di mana kami menginap.
Hari telah makin larut, namun orang-orang makin ramai, dan makin ramai, kami turut menikmati keramaian itu, kami duduk di area tempat makan-makan, ramai sekali orang, kami pesan teh tarik, dan tergiur juga untuk turut mencicipi makan, maka kami pesan makanan. Malam makin larut, dan..., dem..., dem..., dor..., dor..., dar dir dor dem..., suara itu mengelegar..., percikan api meloncat-loncat..., ke angkasa luas..., kembang api yang beraneka ragam telah menghias Kuala Lumpur saat itu. Saat itu adalah bertepatan pada malam Hari Kemerdekaan Malaysia, di ujung bulan Agustus. Setelah kembang api itu usai, orang-orang mulai surut, dan kami masuk hotel, lalu berbaring dan lelap.
Menjelang subuh kami sudah bangun, sang Notaris kita menyegat taxi untuk menuju KLIA, bandara modern nan mewah, sedang aku meluncur menuju Selatan, untuk memasuki Negara Kota Singapore. Di Negara Kota ini aku mencoba merangkai hubungan penjajagan kerjasama juga, melalui Muhammadiyah Singapore, kami dikenalkan dengan encik Ahmad Khalis (Corporate Adviser), dan beliau telah merangkum rencana kerja yang kiranya mampu untuk kami lakukan, itupun telah aku laporkan ke lembaga kami.
Dari Singapore, lalu kami ke Batam, untuk evaluasi magang mahasiswa kami di PT. Epson, dan kami menyebrang ke Tanjung Pinang, semalam di tanjung Pinang, balik Batam, dan meluncur dari Hang Nadim menuju Juanda Surabaya. Diangkasa nan luaas, kutatap keluar jendela pesawat, gumpalan asap memutih bagai saalju, gumpalan itu berarak, dan, benakku berbisik, bermimmpikah aku...?!.
(FB)
PERJALANAN YANG MELELAHKAN
PERJALANAN YANG MELELAHKAN
(Pada Pertengahan Dekade 80an)
Oleh: A. Fuad Usfa
Tercatat dalam sejarah hidupkum, kaki menginjak bumi Borneo bagian selatan, Banjarmasin, bumi dalam genangan air. Langkah kulanjutkan ke Palangkaraya dengan naik Bis Air, menyusuri sungai besar. Sehari semalam di Palangkaraya, aku ingat satu diantara kawan baikku masa kuliah di FH Univ. Brawijaya Malang, namanya Ferry F. Ranka, kawanku itu dari keluarga Dayak, suku yg lemah lembut, sopan-santun, itu yang aku tahu. Aku datang ke rumahnya, aku memang diberi alamatnya dan dimintaa datang bila ke palangkaraya, tapi ia sedang di Jakarta. Aku harus ke Kota Waringin Timur, tepatnya Kota Sampit, tapi..., aduhai tak ada jalan, harus naik ojek melewati hutan Borneo, atau naik kapal/klotok menyusur sungai dan laut, atau naik pesawat DAS. Aku naik DAS, pesawat berbaing-baling dengan kapasitas 8 orang penumpang. Ah..., sulitnya..., sulitnya..., ya, sulitnya..., karena aku membandingkan dengan Jawa.
Tiada terasa, telah melampaui 30 tahun sudah..., pada saat ini tentu sudah tidak seperti itu lagi...
(FB)
(Pada Pertengahan Dekade 80an)
Oleh: A. Fuad Usfa
Tercatat dalam sejarah hidupkum, kaki menginjak bumi Borneo bagian selatan, Banjarmasin, bumi dalam genangan air. Langkah kulanjutkan ke Palangkaraya dengan naik Bis Air, menyusuri sungai besar. Sehari semalam di Palangkaraya, aku ingat satu diantara kawan baikku masa kuliah di FH Univ. Brawijaya Malang, namanya Ferry F. Ranka, kawanku itu dari keluarga Dayak, suku yg lemah lembut, sopan-santun, itu yang aku tahu. Aku datang ke rumahnya, aku memang diberi alamatnya dan dimintaa datang bila ke palangkaraya, tapi ia sedang di Jakarta. Aku harus ke Kota Waringin Timur, tepatnya Kota Sampit, tapi..., aduhai tak ada jalan, harus naik ojek melewati hutan Borneo, atau naik kapal/klotok menyusur sungai dan laut, atau naik pesawat DAS. Aku naik DAS, pesawat berbaing-baling dengan kapasitas 8 orang penumpang. Ah..., sulitnya..., sulitnya..., ya, sulitnya..., karena aku membandingkan dengan Jawa.
Tiada terasa, telah melampaui 30 tahun sudah..., pada saat ini tentu sudah tidak seperti itu lagi...
(FB)
DASAR ELO
DASAR ELO...
Oleh: A. Fuad Usfa
Suatu ketika aku bersama anakku putri ke SJIO, kira2 berjarak 15 Km dari kediaman kami. Anakku putri yg myetir kendaraan. Sepulang dari SJIO kami menggunakan jasa layanan petunjuk jalan via HP, sehingga dengan demikian perjalanan kami bisa lancar, mengingat begitu banyaknya jalan dengan berbagai pesimpangan dan rambu2nya. Di samping petunjuk dg peta juga menggunakan petunjuk dengan suara. Kami menyusur jalanan pusat kota Perth, suara tak pernah putus manakala kami harus mengambil arah yang semestinya, 'sekian meter lagi belok kanan, sekian meter lagi belok kiri, dst'. Di suatu persimpangan rupanya anakku putri terlupa dengan peringatan yg telah diberikan, anakku mengambil POSISI kiri yg berarti akan mengikut arah lurus, padahal semestinya mengambil posisi kanan, maka apa yang terjadi?, yaitu terdengar suara teguran yg memerintahkan untuk mengambil arah belok kanan.
Tentu alat itu akan memberi petunjuk pada siapa saja dengan yang seharusnya, tanpa memandang siapa, ras apa, pun apa pula agamanya, dst. Lalu aku jadi ingat yang mana dari suara mulut2 saudara kita keluar ungkapan kopar-kapir kopar-kapir...
Kami muslim niiiich..., kenapa diarahkan oleh si kapir pembuat alat itu...?!!!, #elo kapir kenape nunjuk2in gue yg muslim siiiiiich....?!!!. Ape iye elo lebih adil dari Tuhan kami yg masih ribut dg kopar-kapir kopar-kapir siiiiiiiich...?!!!. #tentu bukan Tuhan, melainkan ketidak adilan di otak dan hati hambaNya yg dipenuhi dengan sifat kebencian, sesungguhnya merekalah yang mengajarkan sikap kebencian yg dinisbatkan pada Tuhan.
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Suatu ketika aku bersama anakku putri ke SJIO, kira2 berjarak 15 Km dari kediaman kami. Anakku putri yg myetir kendaraan. Sepulang dari SJIO kami menggunakan jasa layanan petunjuk jalan via HP, sehingga dengan demikian perjalanan kami bisa lancar, mengingat begitu banyaknya jalan dengan berbagai pesimpangan dan rambu2nya. Di samping petunjuk dg peta juga menggunakan petunjuk dengan suara. Kami menyusur jalanan pusat kota Perth, suara tak pernah putus manakala kami harus mengambil arah yang semestinya, 'sekian meter lagi belok kanan, sekian meter lagi belok kiri, dst'. Di suatu persimpangan rupanya anakku putri terlupa dengan peringatan yg telah diberikan, anakku mengambil POSISI kiri yg berarti akan mengikut arah lurus, padahal semestinya mengambil posisi kanan, maka apa yang terjadi?, yaitu terdengar suara teguran yg memerintahkan untuk mengambil arah belok kanan.
Tentu alat itu akan memberi petunjuk pada siapa saja dengan yang seharusnya, tanpa memandang siapa, ras apa, pun apa pula agamanya, dst. Lalu aku jadi ingat yang mana dari suara mulut2 saudara kita keluar ungkapan kopar-kapir kopar-kapir...
Kami muslim niiiich..., kenapa diarahkan oleh si kapir pembuat alat itu...?!!!, #elo kapir kenape nunjuk2in gue yg muslim siiiiiich....?!!!. Ape iye elo lebih adil dari Tuhan kami yg masih ribut dg kopar-kapir kopar-kapir siiiiiiiich...?!!!. #tentu bukan Tuhan, melainkan ketidak adilan di otak dan hati hambaNya yg dipenuhi dengan sifat kebencian, sesungguhnya merekalah yang mengajarkan sikap kebencian yg dinisbatkan pada Tuhan.
(FB)
SEANDAINYA
SEANDAINYA
Oleh: A. Fuad Usfa
Seandainya orang Jepang hidup di negeriku, kita tak kan pernah naik mobil, sepeda motor, dst... Emangnya kenapa?; mereka kan kapir toh...?!!!, haram dooong...!!!. Tapi tak apa, kan masih ada Eropa, juga ada Amerika..., bahkan juga ada Cina... Oh iya yaaa..., mereka kan juga kapir siiiich...!!!. #gelap2an pakai lampu sumbu lebih asyik kok, gitu kale'... Ihik ihik..., :(:(:(
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Seandainya orang Jepang hidup di negeriku, kita tak kan pernah naik mobil, sepeda motor, dst... Emangnya kenapa?; mereka kan kapir toh...?!!!, haram dooong...!!!. Tapi tak apa, kan masih ada Eropa, juga ada Amerika..., bahkan juga ada Cina... Oh iya yaaa..., mereka kan juga kapir siiiich...!!!. #gelap2an pakai lampu sumbu lebih asyik kok, gitu kale'... Ihik ihik..., :(:(:(
(FB)
Namaku
NAMAKU
Oleh: A. Fuad Usfa
Suatu ketika aku komen status kawan..., banyak juga yg komen di situ, aku juga ikut nimbrung lagi, rupanya komenku dipandang aneh oleh seseorang, lalu ia komen (aku lupa isinya secara persis, namun intinya ia mempersoalkan kenapa aku makai nama sebagai nama yg aku sandang?), lalu dia bilang, 'ganti saja'. Hahahaha..., mungkin dia lupa kalau orang baru lahir itu belum bisa bilang apa2 kecuali menangis... Lagi pula apa yg aneh dg namaku?, justru yg terasa aneh kalau namaku Jokowi atau Ahok maaaan... Duuuuch Gusti...
(FB)
Oleh: A. Fuad Usfa
Suatu ketika aku komen status kawan..., banyak juga yg komen di situ, aku juga ikut nimbrung lagi, rupanya komenku dipandang aneh oleh seseorang, lalu ia komen (aku lupa isinya secara persis, namun intinya ia mempersoalkan kenapa aku makai nama sebagai nama yg aku sandang?), lalu dia bilang, 'ganti saja'. Hahahaha..., mungkin dia lupa kalau orang baru lahir itu belum bisa bilang apa2 kecuali menangis... Lagi pula apa yg aneh dg namaku?, justru yg terasa aneh kalau namaku Jokowi atau Ahok maaaan... Duuuuch Gusti...
(FB)
Subscribe to:
Posts (Atom)
MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN
Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...
-
Oleh: Aba Anekdot sering muncul dalam masyarakat manapun juga. Anekdot memang perlu untuk mengendorkan urat syaraf yang lagi tegang buka...
-
Oleh: Aba Kangguru adalah merupakan spisies binatang mamalia yang terdapat di Australia. Ia telah menjadi maskot negara benua itu. Kaki bel...