ASAM GARAM DI PULAU IMPIAN
Oleh: Aba
(BAGIAN 2)
Sesampainya di dermaga Sangkapura Abdullah mencegat taxi untuk diantar ke Gunung Teguh dan mencari motel tempat menginap. Abdullah bertanya pada pak sopir, ‘di Gunung Teguh dan sekitar terdapat berapa motel pak?’, tanyanya, ‘oh setahu saya lebih dari sepuluh mas’, jawab pak sopir, ‘saya tolong diantar ke sana pak ya…’, lanjut Abdullah, ‘boleh mas, nanti mas boleh milih, di situ ada yang sekalian ada cottagenya mas, kalau mau mas bisa sewa cottage, hanya saja tarifnya lebih mahalan dikit, namanya Motel & Cottage Salsabilah’, ujar pak sopir, ‘bangunannya didesain dalam bentuk tradisional mas, semua motel di situ didesain tradisional memang, oh iya…, ini saya bawa beberapa brosur untuk motel-motel di situ, termasuk Salsabilah mas’, lanjut pak sopir sambil memberikan beberapa brosur. Setelah membolak-balik brosur itu Abdullah tertarik pada cottage, ‘oh ini saja pak, Cottage, nampaknya lebih menarik dan prevasi khan pak…?!!, kata Abdullah pada pak sopir, ‘baik mas…’, ujar pak sopir, ‘berapa lama mas menginap di situ?, tanya pak sopir usil, ‘tergantung sih pak…, maunya sih satu bulan, mau menikmati udara gunung yang asri di pulau ini pak…, itung-itung rekreasi batin sih…, habis di kota jenuh sih…, sumpek pak…’, kata Abdullah sambil nyengar-nyengir. ‘O…, gitu mas ya…, manusia serba susah mas ya…, mas bilang di kota jenuhlah, sumpek…, pingin menikmati desa, padahal saya sih hidup di sini rasanya bosan mas…, saaapiiii…!!’, ujar pak sopir sambil bercanda; mendengar kata sapi, Abdullah jadi bertanya, ‘sapi apa pak?’, ‘maksud saya sepi mas…, maaf saya hanya bercanda’, ‘oh bapak ini suka bercanda juga ya..?, bagus pak, bercanda itu sehat…, itung-itung juga ngilangin stres khan pak…?’, ujar Abdullah. Tak terasa texi telah sampai di depan Cottage. ‘Telah sampai mas…’, kata pak sopir, ‘oh…, tak terasa, habis bapaknya terlalu ramah sih…, okay pak…, dan berapa pak ongkosnya…?’, ujar Abdullah. Setelah membayar ongkos, Abdullah turun dan menuju ke resepsionis.
*
Motel & Cottage Salasabilah dibangun diatas tanah yang tidak seberapa luas, namun penataannya amat bagus, di halaman depan pojok kanan ditanam pohon pandan yang ditata rapih, maksudnya untuk mengenalkan bahwa dari daun pandan itulah tikar Bawean dibuat, persis di halaman tengah terdapat dzurung kuno dan terdapat pula beberapa dzurung kecil ukuran 1,5 X 2 m2, dzurung-dzurung itu tempat tamu-tamu bersantai sambil memesan makan-minum lesehan, sering juga digunakan untuk rapat bapak-ibu kantoran, LSM sampai dengan perkumpulan olahraga dan selainnya. Menariknya lagi, tiap-tiap dzurung itu diberi nama berganti-ganti sesuai tema, misalnya tema Negara, maka masing-masing dzurung punya nama Negara, seperti Malaysia, Argentina dan lain sebagainya beserta beberapa uraian singkat, seperti ibu kotanya, populasinya dan lain sebagainya serta dipasang di sebuah bingkai yang menarik. Tiap minggu tema-tema itu diganti, maka sang pemilik harus kreatif. Juga menariknya di setiap malam bulan purnama semua lampu di luar dimatikan sehingga dapat menikmati cahaya purnama sambil bersantai duduk di dzurung.
*
Sesampainya di dermaga Sangkapura Abdullah mencegat taxi untuk diantar ke Gunung Teguh dan mencari motel tempat menginap. Abdullah bertanya pada pak sopir, ‘di Gunung Teguh dan sekitar terdapat berapa motel pak?’, tanyanya, ‘oh setahu saya lebih dari sepuluh mas’, jawab pak sopir, ‘saya tolong diantar ke sana pak ya…’, lanjut Abdullah, ‘boleh mas, nanti mas boleh milih, di situ ada yang sekalian ada cottagenya mas, kalau mau mas bisa sewa cottage, hanya saja tarifnya lebih mahalan dikit, namanya Motel & Cottage Salsabilah’, ujar pak sopir, ‘bangunannya didesain dalam bentuk tradisional mas, semua motel di situ didesain tradisional memang, oh iya…, ini saya bawa beberapa brosur untuk motel-motel di situ, termasuk Salsabilah mas’, lanjut pak sopir sambil memberikan beberapa brosur. Setelah membolak-balik brosur itu Abdullah tertarik pada cottage, ‘oh ini saja pak, Cottage, nampaknya lebih menarik dan prevasi khan pak…?!!, kata Abdullah pada pak sopir, ‘baik mas…’, ujar pak sopir, ‘berapa lama mas menginap di situ?, tanya pak sopir usil, ‘tergantung sih pak…, maunya sih satu bulan, mau menikmati udara gunung yang asri di pulau ini pak…, itung-itung rekreasi batin sih…, habis di kota jenuh sih…, sumpek pak…’, kata Abdullah sambil nyengar-nyengir. ‘O…, gitu mas ya…, manusia serba susah mas ya…, mas bilang di kota jenuhlah, sumpek…, pingin menikmati desa, padahal saya sih hidup di sini rasanya bosan mas…, saaapiiii…!!’, ujar pak sopir sambil bercanda; mendengar kata sapi, Abdullah jadi bertanya, ‘sapi apa pak?’, ‘maksud saya sepi mas…, maaf saya hanya bercanda’, ‘oh bapak ini suka bercanda juga ya..?, bagus pak, bercanda itu sehat…, itung-itung juga ngilangin stres khan pak…?’, ujar Abdullah. Tak terasa texi telah sampai di depan Cottage. ‘Telah sampai mas…’, kata pak sopir, ‘oh…, tak terasa, habis bapaknya terlalu ramah sih…, okay pak…, dan berapa pak ongkosnya…?’, ujar Abdullah. Setelah membayar ongkos, Abdullah turun dan menuju ke resepsionis.
*
Motel & Cottage Salasabilah dibangun diatas tanah yang tidak seberapa luas, namun penataannya amat bagus, di halaman depan pojok kanan ditanam pohon pandan yang ditata rapih, maksudnya untuk mengenalkan bahwa dari daun pandan itulah tikar Bawean dibuat, persis di halaman tengah terdapat dzurung kuno dan terdapat pula beberapa dzurung kecil ukuran 1,5 X 2 m2, dzurung-dzurung itu tempat tamu-tamu bersantai sambil memesan makan-minum lesehan, sering juga digunakan untuk rapat bapak-ibu kantoran, LSM sampai dengan perkumpulan olahraga dan selainnya. Menariknya lagi, tiap-tiap dzurung itu diberi nama berganti-ganti sesuai tema, misalnya tema Negara, maka masing-masing dzurung punya nama Negara, seperti Malaysia, Argentina dan lain sebagainya beserta beberapa uraian singkat, seperti ibu kotanya, populasinya dan lain sebagainya serta dipasang di sebuah bingkai yang menarik. Tiap minggu tema-tema itu diganti, maka sang pemilik harus kreatif. Juga menariknya di setiap malam bulan purnama semua lampu di luar dimatikan sehingga dapat menikmati cahaya purnama sambil bersantai duduk di dzurung.
*
Motel & Cottage Salsabilah adalah milik mak Bilah, yang nama lengkapnya Salsabilah Shaleh Khafi.
*
Pada hari pertama itu Abdullah memutuskan untuk tidak ke mana-mana, ia pikir biar rehat aja. Sekitar jam 3 sore mak Bilah lagi duduk di dzurung Canada (tema Negara), Abdullah datang menghampiri seraya menyapa dengan salam, ‘assalamualaikum mak…’, sapa Abdullah, ‘wa alaikum salam’, jawab mak Bilah, ‘ai…, nak Abdullah…’, lanjut mak Bilah, ‘lagi santai mak…?’ tanya Abdullah iseng, ‘iya nak Abdullah…’, jawab mak Bilah. Sesungguhnya kehadiran Abdullah telah mengganggu asyik-masyuknya mak Bilah yang sedang melamunkan anaknya, yaitu Latifah si mata wayang yang mungkin baru usai acara bersama rombongan bapak pimpinan di kota Kecamatan Tambak, namun Abdullah tentu tidak tahu itu semua. Walau begitu mak Bilah mesti bersikap seramah mungkin pada tamunya. ‘apa acara nak Abdullah hari ini dan bagaimana kesan nak Abdullah di pulau kami ini?’, tanya mak Bilah sok usil, dan Abdullah menjawab bahwa hari ini ia belum ke mana-mana, dan baru menikmati suasana sekitar ini saja, ia katakan masih ingin rehat dulu, dan menceriterakan tentang senangnya suasana baru di balik gunung Malokok dengan perkampungan yang damai, bentangan sawah dengan padi yang mulai menguning serta juga sempat mengintip luas lautan di arah selatan sana, ‘yah…, belum kemana-mana mak…, hanya mutar-mutar sekitar sini aja…’, ujar Abdullah. Perbincangan berlanjut antara sang tamu dan sang pemilik hingga tak terasa satu jam telah berlalu dan mak Bilah harus mohon diri oleh sebab tamu baru datang. ‘Ada tamu nak Abdullah, mak layan tamu dulu ya…’ kata mak Bilah mohon diri, ‘baik mak…’, timpal Abdullah.
*
Mak Bilah memang asli kampung itu, liku-liku hidupnya telah ia lalui, pernah pula keputus asaan menyapa diri mak Bilah, dikala suatu ketika, di masa remaja dulu, kala panah asmara menikam di jantung hatinya. Memang acap kali dalam hidup, kita tak mampu memilih, tiba-tiba sesuatu menjelma. Cintapun demikian, ia selalu hadir tanpa diundang, demikian pula dengan kisah cinta-kasih mak Bilah, dalam kemalangan justru ia mendapatkan cinta, dan cinta itu pula yang sempat membawanya dalam kemalangan.
*
Suatu masa yang telah berlalu, Salsabilah adalah mahasiswi di sebuah Perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, semester I, II, III, dan IV telah dilalui, keadaan ekonomi orang tua Salsabilah yang pas-pasan telah mengantar ia pada posisi sulit, tatkala tiba suatu saat harus membayar uang kontrakan tempat kos, orang tua Salsabilah dengan terpaksa dan dengan diam-diam pinjam uang pada orang kaya di sebrang desa, tiba saat janji akan membayar, orang tua Salsabilah belum juga ada uang, sedang sebidang tanahnya yang hendak dijual belum juga ada orang yang berminat. Saat itu Salsabilah sedang pulang kampung dalam liburan semester. Suatu sore, di kala Salsabilah sedang berbaring di kamarnya terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya, lalu pak Saleh (ayah Salsabilah) membukakan pintu, ‘assalamualaikum pak Saleh..’ sapa sang tamu, ‘wa alaikum salam…’, jawab pak Saleh, ‘ai…, pak Jun…, silahkan masuk pak Jun…’, pinta pak saleh dengan ramah. Namun pak Junnaidi yang biasa dipanggil pak Jun itu tak berkenan masuk, oleh sebab masih ada keperluan lain, katanya, ia hanya berbicara di pintu saja, ‘begini pak Saleh…, bagaimana dengan hutang pak Saleh…, bila tidak mampu membayar pangkalnya, bayar saja bunganya dulu’, demikian perkataan pak Jun yang langsung menohok tanpa basa-basi. Betapa kagetnya pak Saleh, mengapa tidak?, oleh sebab pak Jun bicara bunga, bila pula diperjanjikan?, namun pak Saleh tak mau memperdebatkannya, dipikir lebih baik mengalah saja, lalu ia berujar, ‘kami mohon maaf yang sebesar-besarnya pak Jun…, hari ini kami belum ada uang pak…, kami masih akan jual tanah…, beri saya waktu dan kami akan melunasi bila tanah telah laku…’ pinta pak Saleh, namun tanpa basa-basi pak Jun langsung menimpali, ‘makanya kalau tidak punya uang jangan berani-beraninya nyekolahkan anak, emangnya uang orang mau bikin bayarin…’, sergahnya dan langsung pergi begitu saja. Salsabilah mendengar dengan jelas perbincangan itu, dan ia tak dapat berbuat apa-apa, hanya air maata yang tiba-tiba membasahi bantal yang dalam dekapannya. Semalaman Salsabilah sulit tidur, hanya sekejap saja sempat tertidur lalu terbangun dan langsung shalat tahajjud, malam itu pula Salsabilah memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, dan ingin bekerja saja untuk membantu kedua orang tuanya, ia menyesali mengapa telah membikin kedua orang tua yang amat dicintainya itu berada pada posisi sulit dan terhinakan di mata seorang rentenir.
Pagi hari sekira jam 8.30 Salsabilah berangkat menuju sebuah toko milik seorang kaya bernama aba Ayyas, saat itu aba Ayyas baru saja membuka tokonya. ‘Assalamualaikum aba…’, sapa Salsabilah dengan salam, ‘wa alaikum salam…’, jawab aba Ayyas, ‘apa kabar nak…, apa perlu sesuatu…?’, tanya aba Ayyas. Dengan terbata-bata Salsabilah mengatakan pada aba Ayyas, bahwa kedatangannya bermaksud minta tolong pada aba Ayyas. Demi mendengar yang demikian itu aba Ayyas mempersilahkan Salsabilah duduk. Di situ kedua makhluk Allah itu berbicara serius yang intinya Salsabilah memohon untuk dapatnya bekerja di toko aba Ayyas, sedang gaji (--sejumlah utang ayahnya kepada pak Jun--) dimohon dapatnya diberikan di muka, Salsabilah hanya bilang ada perlu saja dan tentu tidak bilang kalau hendak bayar utang. Aba Ayyas bilang bahwa kedatangan Salsabilah adalah tepat waktu, sebab aba Ayyas memang memerlukan tenaga untuk membantu di tokonya, serta tidak keberatan dengan apa yang diharapkan Salsabilah. Betapa senang hati Salsabilah, ingin rasanya ia berteriak dan segera berlari menjumpai kedua orang tuanya, tapi tentu tidak mungkin ia melakukan itu. Salsabilah menangis, aba Ayyas tak tahu harus berbuat apa, aba Ayyas tertegun terheran-heran, lalu bertanya, ‘mengapa nak…?!!, ada apa nak…?!!, mengapa engkau menangis nak…?!!’, tanya aba Ayyas bertubi-tubi, dan sambil terisak Salsabilah hanya menjawab ‘terimakasih aba…, terimakasih’, jawabnya.
*
*
Pada hari pertama itu Abdullah memutuskan untuk tidak ke mana-mana, ia pikir biar rehat aja. Sekitar jam 3 sore mak Bilah lagi duduk di dzurung Canada (tema Negara), Abdullah datang menghampiri seraya menyapa dengan salam, ‘assalamualaikum mak…’, sapa Abdullah, ‘wa alaikum salam’, jawab mak Bilah, ‘ai…, nak Abdullah…’, lanjut mak Bilah, ‘lagi santai mak…?’ tanya Abdullah iseng, ‘iya nak Abdullah…’, jawab mak Bilah. Sesungguhnya kehadiran Abdullah telah mengganggu asyik-masyuknya mak Bilah yang sedang melamunkan anaknya, yaitu Latifah si mata wayang yang mungkin baru usai acara bersama rombongan bapak pimpinan di kota Kecamatan Tambak, namun Abdullah tentu tidak tahu itu semua. Walau begitu mak Bilah mesti bersikap seramah mungkin pada tamunya. ‘apa acara nak Abdullah hari ini dan bagaimana kesan nak Abdullah di pulau kami ini?’, tanya mak Bilah sok usil, dan Abdullah menjawab bahwa hari ini ia belum ke mana-mana, dan baru menikmati suasana sekitar ini saja, ia katakan masih ingin rehat dulu, dan menceriterakan tentang senangnya suasana baru di balik gunung Malokok dengan perkampungan yang damai, bentangan sawah dengan padi yang mulai menguning serta juga sempat mengintip luas lautan di arah selatan sana, ‘yah…, belum kemana-mana mak…, hanya mutar-mutar sekitar sini aja…’, ujar Abdullah. Perbincangan berlanjut antara sang tamu dan sang pemilik hingga tak terasa satu jam telah berlalu dan mak Bilah harus mohon diri oleh sebab tamu baru datang. ‘Ada tamu nak Abdullah, mak layan tamu dulu ya…’ kata mak Bilah mohon diri, ‘baik mak…’, timpal Abdullah.
*
Mak Bilah memang asli kampung itu, liku-liku hidupnya telah ia lalui, pernah pula keputus asaan menyapa diri mak Bilah, dikala suatu ketika, di masa remaja dulu, kala panah asmara menikam di jantung hatinya. Memang acap kali dalam hidup, kita tak mampu memilih, tiba-tiba sesuatu menjelma. Cintapun demikian, ia selalu hadir tanpa diundang, demikian pula dengan kisah cinta-kasih mak Bilah, dalam kemalangan justru ia mendapatkan cinta, dan cinta itu pula yang sempat membawanya dalam kemalangan.
*
Suatu masa yang telah berlalu, Salsabilah adalah mahasiswi di sebuah Perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, semester I, II, III, dan IV telah dilalui, keadaan ekonomi orang tua Salsabilah yang pas-pasan telah mengantar ia pada posisi sulit, tatkala tiba suatu saat harus membayar uang kontrakan tempat kos, orang tua Salsabilah dengan terpaksa dan dengan diam-diam pinjam uang pada orang kaya di sebrang desa, tiba saat janji akan membayar, orang tua Salsabilah belum juga ada uang, sedang sebidang tanahnya yang hendak dijual belum juga ada orang yang berminat. Saat itu Salsabilah sedang pulang kampung dalam liburan semester. Suatu sore, di kala Salsabilah sedang berbaring di kamarnya terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya, lalu pak Saleh (ayah Salsabilah) membukakan pintu, ‘assalamualaikum pak Saleh..’ sapa sang tamu, ‘wa alaikum salam…’, jawab pak Saleh, ‘ai…, pak Jun…, silahkan masuk pak Jun…’, pinta pak saleh dengan ramah. Namun pak Junnaidi yang biasa dipanggil pak Jun itu tak berkenan masuk, oleh sebab masih ada keperluan lain, katanya, ia hanya berbicara di pintu saja, ‘begini pak Saleh…, bagaimana dengan hutang pak Saleh…, bila tidak mampu membayar pangkalnya, bayar saja bunganya dulu’, demikian perkataan pak Jun yang langsung menohok tanpa basa-basi. Betapa kagetnya pak Saleh, mengapa tidak?, oleh sebab pak Jun bicara bunga, bila pula diperjanjikan?, namun pak Saleh tak mau memperdebatkannya, dipikir lebih baik mengalah saja, lalu ia berujar, ‘kami mohon maaf yang sebesar-besarnya pak Jun…, hari ini kami belum ada uang pak…, kami masih akan jual tanah…, beri saya waktu dan kami akan melunasi bila tanah telah laku…’ pinta pak Saleh, namun tanpa basa-basi pak Jun langsung menimpali, ‘makanya kalau tidak punya uang jangan berani-beraninya nyekolahkan anak, emangnya uang orang mau bikin bayarin…’, sergahnya dan langsung pergi begitu saja. Salsabilah mendengar dengan jelas perbincangan itu, dan ia tak dapat berbuat apa-apa, hanya air maata yang tiba-tiba membasahi bantal yang dalam dekapannya. Semalaman Salsabilah sulit tidur, hanya sekejap saja sempat tertidur lalu terbangun dan langsung shalat tahajjud, malam itu pula Salsabilah memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, dan ingin bekerja saja untuk membantu kedua orang tuanya, ia menyesali mengapa telah membikin kedua orang tua yang amat dicintainya itu berada pada posisi sulit dan terhinakan di mata seorang rentenir.
Pagi hari sekira jam 8.30 Salsabilah berangkat menuju sebuah toko milik seorang kaya bernama aba Ayyas, saat itu aba Ayyas baru saja membuka tokonya. ‘Assalamualaikum aba…’, sapa Salsabilah dengan salam, ‘wa alaikum salam…’, jawab aba Ayyas, ‘apa kabar nak…, apa perlu sesuatu…?’, tanya aba Ayyas. Dengan terbata-bata Salsabilah mengatakan pada aba Ayyas, bahwa kedatangannya bermaksud minta tolong pada aba Ayyas. Demi mendengar yang demikian itu aba Ayyas mempersilahkan Salsabilah duduk. Di situ kedua makhluk Allah itu berbicara serius yang intinya Salsabilah memohon untuk dapatnya bekerja di toko aba Ayyas, sedang gaji (--sejumlah utang ayahnya kepada pak Jun--) dimohon dapatnya diberikan di muka, Salsabilah hanya bilang ada perlu saja dan tentu tidak bilang kalau hendak bayar utang. Aba Ayyas bilang bahwa kedatangan Salsabilah adalah tepat waktu, sebab aba Ayyas memang memerlukan tenaga untuk membantu di tokonya, serta tidak keberatan dengan apa yang diharapkan Salsabilah. Betapa senang hati Salsabilah, ingin rasanya ia berteriak dan segera berlari menjumpai kedua orang tuanya, tapi tentu tidak mungkin ia melakukan itu. Salsabilah menangis, aba Ayyas tak tahu harus berbuat apa, aba Ayyas tertegun terheran-heran, lalu bertanya, ‘mengapa nak…?!!, ada apa nak…?!!, mengapa engkau menangis nak…?!!’, tanya aba Ayyas bertubi-tubi, dan sambil terisak Salsabilah hanya menjawab ‘terimakasih aba…, terimakasih’, jawabnya.
*
Sampai saat pembayaran gaji tiba, aba Ayyas ketepatan ada di Surabaya, maka anaknya yang bernama Abbas yang mewakilinya, lalu disisihkanlah uang gaji buat Salsabilah, dan Salsabilah bilang kalau uang gaji selama sekian bulan telah diterima di muka, maka itu Abbas tidak jadi menerimakan. Pada sore harinya aba Ayyas menelpon Abbas dan pada saat itu Abbas menceriterakan tentang gaji Salsabilah, aba Ayyas bilang bahwa uang yang diterimakan kepada Salsabilah dimaksud adalah bukan uang gaji, uang itu dari aba Ayyas untuk membantu kesulitan yang dialami keluarga Salsabilah, maka tiap bulan aba Ayyas akan tetap membayar gaji buat Salsabilah. Aba Ayyas memutuskan untuk membantu kesulitan keluarga Salsabilah sebab ia mendengar kabar dari tetangga Salsabilah bahwa pak Jun ada marah-marah pada pak Saleh waktu menagih utang atau bunga, dan tetangga juga sama dengar, demi yang demikian itu aba Ayyas mengira-ngira sendiri bahwa nampaknya uang gaji yang diminta di muka oleh Salsabilah adalah untuk membayar hutang tersebut, tapi aba Ayyas tidak berkata tentang itu pada Abbas, sebab aba Ayyas selalu menghindari dari sifat riya’ dan itu pula yang diajarkan pada segenap keluarganya.
Selepas maghrib Abbas pergi ke rumah Salsabilah, dan waktu itu Salsabilah baru pulang dari langgar, ia memakai baju kurung warna hijau lumut bermotif kembang-kembang. Sungguh saat itu Abbas begitu tertegun nampak penampilan Salsabilah yang begitu anggun, bibirnya yang merah bagai permata rubi dalam imajinasi Syaikh Nizami, dengan kulitnya yang putih bagai salju terpercik di sela dedaunan dalam sorot cahaya lampu mobil Abbas. Abbas turun dan menyapanya, namun Abbas teragak canggung, dengan salam yang agak kecanggungan itu Abbas menyapa Salsabilah, ‘assalamualaikum Bilah…’, sapanya, ‘wa alaikum salam…’, jawabnya, ‘ai…bang Abbas…’, lanjutnya penuh heran. Salsabilah sungguh merasa terheran-heran mengapa Abbas tiba-tiba datang bertandang ke rumahnya, lalu dengan bingung karena tak tahu apa yang harus dikatakan Salsabilah serta merta mempersilahkan Abbas untuk masuk, ‘silahkan masuk bang Abbas…, silahkan masuk bang…’ pintanya dengan penuh hormat, ‘terimakasih Bilah’, jawab Abbas. Dengan senag hati Abbas masuk ke ruang tamu rumah Salsabilah yang diterangi listrik 60 wat. Sesuatu yang lain tiba-tiba dirasakan Abbas, Abbas merasakan adanya suasana romantis di ruang itu, terasa kedatangannya seperti suasana apel wakuncar, entah makhluk apa gerangan yang telah melintas sehingga suasana di ruang itu betut-betul terasa romantis. Memang kala itu Salsabilah amatlah anggun, diliriknya jemari Salasabilah yang putih dan indah dengan seuntai cincin bermata merah delima melingkar di jari manisnya. Sejenak pula terjadi kebisuan di antara mereka. Sebetulnya Salsabilah telah lama terpikat akan ketampanan Abbas yang masih berdarah arab Hadramout itu, namun perasaan itu dikuburnya oleh sebab ia pikir jauh panggang daripada api, tapi kali ini terasa sulit untuk mengelak, hatinya berdegup, dalam hati Salsabilah bertanya-tanya pula mengapa Abbas tiba-tiba datang…, ada apa gerangan…, ataukah apel…?, ah…, tidak…, tidak mungkin…!!, pertanyaan itu dibuatnya sendiri serta dijawaabnya sendiri pula. Dengan gugup suara Salsabilah memecah keheningan, ‘maaf bang…, bang Abbas minum apa…?, teh atau kopi…?’, tanya Salsabilah; Abbas yang punya selera humor itu tercetus pula candanya, ia pikir sekali gus untuk mencoba menutupi kecanggungannya, dengan senyum simpul dan dengan mata mencuri pandang pada beberapa helai rambut yang menjuntai dari balik kerudung tepat bagai membelah pipi Salsabilah, Abbas berujar ‘teh…, kopi…, apa tak ada yang lainnya lagi Bilah…?!’, Salsabilah jadi merasa bingung dengan jawaban Abbas, ‘Oh…, maklumlah kami hidup pas-pasan bang…’, jawabnya, tapi aduh…!!, dengan jawaban itu Salsabilah malah makin salah tingkah, mengapa ia menjawab sekasar itu?, ia menyesal sekali dengan jawabannya itu, mengapa begitu gugup hingga tak disadarinya ia berkata kasar justru pada orang yang amat dikaguminya?, di tengah kegalauan itu dengan kalem Abbas berujar ‘misalnya air putih Bilah…, sebab aku lebih suka air putih lho…’ ujarnya; Salsabilah benar-benar jadi serba canggung, ‘baik bang…’ jawabnya. Waduh…, 1:0 buat bang Abbas, pikir Salsabilah. Untuk menutupi perasaannya serta merta Salsabilah pergi ke dapur dan kembali dengan segelas air mineral, di suguhinya pula dodol, wajik serta gegerit buatan ibunya. Suasana sudah mulai terasa mencair, kekakuan sudah beringsut lentur, dua remaja sudah mulai bisa menguasai diri. ‘Silahkan bang…’, pinta Salsabilah, semua kue itu makku yang bikin’ lanjutnya. ‘Oh…, mak pandai bikin kue ya…?’ tanya Abbas, ‘iya dong…, makku pandai bikin kue, lagi pula hobbi sih…’ jawab Salsabilah, ‘tapi air putihnya mana…?!, Abbas sudah mulai mengeluarkan candanya, ‘itu khan bang…’ jawab Salsabilah; ‘bukan…, bukan…, itu bukan air putih…, itu khan air bening…’ sergah Abbas, Salsabilah jadi canggung lagi, tapi lagi-lagi Abbas segera mencairkan suasana, ia berujar ‘aku hanya bercanda Bilah…’ ujarnya sambil tertawa, dan Salsabilah pun ikut tertawa, ya…, tertawa riang…, dan dua remaja yang bagai lopak-lopak kalaben todungnga itu tenggelam dalam suasana ceria.
Dalam kesempatan itu pula Abbas menyampaikan uang gaji Salsabilah, yang dengan berat hati uang gaji itu diterima Salsabilah setelah Abbas berupaya meyakinkan bahwa abanya akan amat suka hati bila Salsabilah mau menerimanya, dan sebaliknya akan kecewa hati bilamana Salsabilah enggan menerimanya.
Kebaikan hati hadir dalam diri insan, tiada memandang akan suku, bangsa, ras, ataupun keyakinannya, tiada memandang kecantikan ataupun ketampanan, demikian pula dengan keburukan hati. Acap kita dapati betapa orang jauh yang tiada kita kenal sekalipun telah menberi manfaat bagi kita, sementara orang yang dekat, baik satu keyakinan, satu ras, satu suku, satu negri, satu desa, satu kampung, bahkan sedarah sekalipun justru dapat menaburkan duka. Hati bersemayam dalam dada, tersembunyi, tiada cahaya dapat menembusnya, hitam dan pekat kemerahan warna padanya, namun bila ia baik maka ia dapat menyinari kegelapan yang tergelap sekalipun, lebih kuat daripada cahaya matahari di musim kemarau, ia pun akan mampu menghamparkan permadani putih berkilauan, lebih putih dari hamparan salju, namun bila ia jahat semua cahaya kan tertutupi, bagai malam kelam menutupi segala cahaya, ia pun akan mampu menghamparkan lumpur yang penuh onak dan duri.
Salsabilah telah beruntung mendapat kenal dengan Abbas dan keluarganya yang mulya hati itu, orang bijak tentu akan bilang kebaikan tak dapat diukur dengan tampakan kasap mata, tak selalu yang indah di mata itu baik, pun tak selalu yang buruk di mata itu buruk, ada kala yang indah di mata itu justu menyimpan keburukan di baliknya, bagai pesona gunung yang nampak menawan, namun bersemayam didalamnya segala binatang buas dan berbisa, di selain dari itu, tiada jarang yang indah di kasap mata, dan padanya pula menyimpan keindahan di baliknya, bagai sebuah istana yang memikat di luar dan memikat pula di dalamnya. Tersebut terakhir itulah perumpamaan Salsabilah dan pula Abbas.
*
(Bersambung)
Selepas maghrib Abbas pergi ke rumah Salsabilah, dan waktu itu Salsabilah baru pulang dari langgar, ia memakai baju kurung warna hijau lumut bermotif kembang-kembang. Sungguh saat itu Abbas begitu tertegun nampak penampilan Salsabilah yang begitu anggun, bibirnya yang merah bagai permata rubi dalam imajinasi Syaikh Nizami, dengan kulitnya yang putih bagai salju terpercik di sela dedaunan dalam sorot cahaya lampu mobil Abbas. Abbas turun dan menyapanya, namun Abbas teragak canggung, dengan salam yang agak kecanggungan itu Abbas menyapa Salsabilah, ‘assalamualaikum Bilah…’, sapanya, ‘wa alaikum salam…’, jawabnya, ‘ai…bang Abbas…’, lanjutnya penuh heran. Salsabilah sungguh merasa terheran-heran mengapa Abbas tiba-tiba datang bertandang ke rumahnya, lalu dengan bingung karena tak tahu apa yang harus dikatakan Salsabilah serta merta mempersilahkan Abbas untuk masuk, ‘silahkan masuk bang Abbas…, silahkan masuk bang…’ pintanya dengan penuh hormat, ‘terimakasih Bilah’, jawab Abbas. Dengan senag hati Abbas masuk ke ruang tamu rumah Salsabilah yang diterangi listrik 60 wat. Sesuatu yang lain tiba-tiba dirasakan Abbas, Abbas merasakan adanya suasana romantis di ruang itu, terasa kedatangannya seperti suasana apel wakuncar, entah makhluk apa gerangan yang telah melintas sehingga suasana di ruang itu betut-betul terasa romantis. Memang kala itu Salsabilah amatlah anggun, diliriknya jemari Salasabilah yang putih dan indah dengan seuntai cincin bermata merah delima melingkar di jari manisnya. Sejenak pula terjadi kebisuan di antara mereka. Sebetulnya Salsabilah telah lama terpikat akan ketampanan Abbas yang masih berdarah arab Hadramout itu, namun perasaan itu dikuburnya oleh sebab ia pikir jauh panggang daripada api, tapi kali ini terasa sulit untuk mengelak, hatinya berdegup, dalam hati Salsabilah bertanya-tanya pula mengapa Abbas tiba-tiba datang…, ada apa gerangan…, ataukah apel…?, ah…, tidak…, tidak mungkin…!!, pertanyaan itu dibuatnya sendiri serta dijawaabnya sendiri pula. Dengan gugup suara Salsabilah memecah keheningan, ‘maaf bang…, bang Abbas minum apa…?, teh atau kopi…?’, tanya Salsabilah; Abbas yang punya selera humor itu tercetus pula candanya, ia pikir sekali gus untuk mencoba menutupi kecanggungannya, dengan senyum simpul dan dengan mata mencuri pandang pada beberapa helai rambut yang menjuntai dari balik kerudung tepat bagai membelah pipi Salsabilah, Abbas berujar ‘teh…, kopi…, apa tak ada yang lainnya lagi Bilah…?!’, Salsabilah jadi merasa bingung dengan jawaban Abbas, ‘Oh…, maklumlah kami hidup pas-pasan bang…’, jawabnya, tapi aduh…!!, dengan jawaban itu Salsabilah malah makin salah tingkah, mengapa ia menjawab sekasar itu?, ia menyesal sekali dengan jawabannya itu, mengapa begitu gugup hingga tak disadarinya ia berkata kasar justru pada orang yang amat dikaguminya?, di tengah kegalauan itu dengan kalem Abbas berujar ‘misalnya air putih Bilah…, sebab aku lebih suka air putih lho…’ ujarnya; Salsabilah benar-benar jadi serba canggung, ‘baik bang…’ jawabnya. Waduh…, 1:0 buat bang Abbas, pikir Salsabilah. Untuk menutupi perasaannya serta merta Salsabilah pergi ke dapur dan kembali dengan segelas air mineral, di suguhinya pula dodol, wajik serta gegerit buatan ibunya. Suasana sudah mulai terasa mencair, kekakuan sudah beringsut lentur, dua remaja sudah mulai bisa menguasai diri. ‘Silahkan bang…’, pinta Salsabilah, semua kue itu makku yang bikin’ lanjutnya. ‘Oh…, mak pandai bikin kue ya…?’ tanya Abbas, ‘iya dong…, makku pandai bikin kue, lagi pula hobbi sih…’ jawab Salsabilah, ‘tapi air putihnya mana…?!, Abbas sudah mulai mengeluarkan candanya, ‘itu khan bang…’ jawab Salsabilah; ‘bukan…, bukan…, itu bukan air putih…, itu khan air bening…’ sergah Abbas, Salsabilah jadi canggung lagi, tapi lagi-lagi Abbas segera mencairkan suasana, ia berujar ‘aku hanya bercanda Bilah…’ ujarnya sambil tertawa, dan Salsabilah pun ikut tertawa, ya…, tertawa riang…, dan dua remaja yang bagai lopak-lopak kalaben todungnga itu tenggelam dalam suasana ceria.
Dalam kesempatan itu pula Abbas menyampaikan uang gaji Salsabilah, yang dengan berat hati uang gaji itu diterima Salsabilah setelah Abbas berupaya meyakinkan bahwa abanya akan amat suka hati bila Salsabilah mau menerimanya, dan sebaliknya akan kecewa hati bilamana Salsabilah enggan menerimanya.
Kebaikan hati hadir dalam diri insan, tiada memandang akan suku, bangsa, ras, ataupun keyakinannya, tiada memandang kecantikan ataupun ketampanan, demikian pula dengan keburukan hati. Acap kita dapati betapa orang jauh yang tiada kita kenal sekalipun telah menberi manfaat bagi kita, sementara orang yang dekat, baik satu keyakinan, satu ras, satu suku, satu negri, satu desa, satu kampung, bahkan sedarah sekalipun justru dapat menaburkan duka. Hati bersemayam dalam dada, tersembunyi, tiada cahaya dapat menembusnya, hitam dan pekat kemerahan warna padanya, namun bila ia baik maka ia dapat menyinari kegelapan yang tergelap sekalipun, lebih kuat daripada cahaya matahari di musim kemarau, ia pun akan mampu menghamparkan permadani putih berkilauan, lebih putih dari hamparan salju, namun bila ia jahat semua cahaya kan tertutupi, bagai malam kelam menutupi segala cahaya, ia pun akan mampu menghamparkan lumpur yang penuh onak dan duri.
Salsabilah telah beruntung mendapat kenal dengan Abbas dan keluarganya yang mulya hati itu, orang bijak tentu akan bilang kebaikan tak dapat diukur dengan tampakan kasap mata, tak selalu yang indah di mata itu baik, pun tak selalu yang buruk di mata itu buruk, ada kala yang indah di mata itu justu menyimpan keburukan di baliknya, bagai pesona gunung yang nampak menawan, namun bersemayam didalamnya segala binatang buas dan berbisa, di selain dari itu, tiada jarang yang indah di kasap mata, dan padanya pula menyimpan keindahan di baliknya, bagai sebuah istana yang memikat di luar dan memikat pula di dalamnya. Tersebut terakhir itulah perumpamaan Salsabilah dan pula Abbas.
*
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment