PENDIDIKAN DAN TINDAK KEKERASAN
Oleh: A. Fuad Usfa
1. Pengantar
Tulisan ini terkait dengan tulisan saya yang bejudul 'Sanksi Dalam Tata Tertib Sekolah' yang saya unggah di laman fesbuk saya ini juga tadi pagi.
Adapun yang dimaksud tindak kekerasan adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siapapun dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan. Di lembaga pendidikan terdapat pihak-pihak yang terllibat di dalamnya, yaitu Negara, lembaga atau pengelola pendidikan, masyarakat, guru, peserta didik, serta orang tua atau wali murid. Semuanya terlibat sebagai satu kesatuan. Dapatlah disebut sebagai masyarakat pendidikan. Sebagaimana dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, masyarakat pendidikan pun terikat oleh ketentuan hukum yang berlaku sebagai suatu kesatuan sistem.
2. Pendidikan
Pendidikan dan pengajaran merupakan suatu istilah yang mempunyai pengertian berbeda, tapi keduanya selalu digunakan dalam satu kesatuan. Pendidikan berorientasi pada pembentukan dan pengambangan mentalitas, sedang pengajaran lebih pada pembentukan dan pengembangan rasionalitas. Keduanya bisa dibedakan, tapi tidak bisa dilepas-pisahkan. Artinya seseorang yang memperoleh pengajaran akan berimplikasi pada pembentukan dan pengembangan rasionalitas dan sekaligus terhadap mentalitasnya. Untuk membentuk serta mengembangkan mentalitas haruslah melalui pengajaran terlebih dahulu. Artinya jika menyebut pendidikan tentu di dalamnya termasuk pengajaran.
Mentalitas dan rasional adalah suatu abstrak yang tidak dapat dibentuk secara matematis, ia adalah gelombang yang bergerak dinamik. Dalam konteks ini dunia pendidikan tidak dapat dilepas-pisahkan dengan skala dinamika dalam ruang dan waktu.
Secara fisik manusia tidak jauh dari banyak binatang, yang membedakanya adalah rasio dan mentalitasnya. Kekuatan inilah yang menyebabkan manusia terus berkembang seiring dengan dinamika dalam ruang dan waktu, baik secara individu maupun kelompok.
Lembaga pendidikan adalah lembaga yang berkewajiban melakukan aktifitas mendidik, mendidik yang ideal adalah mendidik dengan penuh kesadaran dalam arti yang tertutup dari sifat emosional, sebab emosional dapat dengan leluasa menutup kesadaran seseorang.
Negara adalah lembaga tertinggi untuk melakukan tindakan kebijakan, dalam hal ini terhadap dunia pendidikan, sekolah dengan guru yang berada di garis depan adalah pihak yang mempunyai kekuasaan secara operasionalnya, sedang murid secara operasional adalah pihak yang terlemah. Di sinilah pentingnya mengapa harus ada jaminan perlindungan terhadap murid. Murid bisa dengan mudah untuk dijadikan obyek.
Sebagaimana diutarakan di atas, menyebut kata pendidikan tentu di dalamnya included pengajaran. Aktifitas tersebut merupakan kewajiban dari Negara, dalam hal ini yang diwakili oleh lembaga pendidikan. Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan, dan menempuh pendidikan sembilan tahun adalah merupakan hak anak, yang tentu menjadi kewajiban daripada Negara. Hal itu telah mendapat jaminan secara hukum.
Setiap anak berhak untuk mendapat pembinaan, kata pembinaan bermakna positif, maka itu tidak boleh ada pembunuhan karakter, berbagai stigma negatif, serta menghambat perkembangan dan harapan masa depannya. Pendidikan terhadap setiap anak sebagai peserta didik tidak boleh dengan mengetrapkan pendidikan yang justru melanggar hukum (-harap digaris bawahi kalimat 'tidak boleh dengan mengetrapkan pendidikan yang justru melanggar hukum'-), sebab hal tersebut merupakan salah satu bentuk pembinaan karakter yang negatif. Negara, dalam hal ini lembaga pendidikan dan guru berkewajiban mengkondisikannya, dan harus dilaksanakan secara sportif oleh semua yang terlibat di dalamnya.
3. Aspek Hukum
Hukum muncul kepermukaan oleh sebab suatu peristiwa. Dalam ajaran ilmu hukum dikenal bahwa pada perinsipnya terdapat dua peristiwa, yaitu peristiwa biasa dan peristiwa hukum. Peristiwa biasa adalah peristiwa yang tidak merasukiranah hukum, sedang peristiwa hukum adalah suatu peristiwa pelanggaran terhadap hukum.
Tindak kekerasan sebagai suatu tindakan sepihak yang dilakukan oleh Negara, dalam hal ini lembaga pendidikan dan lebih khusus lagi oleh guru tidaklah berlandas atas hukum. Hukum tidak bisa lepas dari sistem, yaitu satu kesatuan keterkaitan yang tidak bisa dilepas pisahkan satu sama lain. Sistem adalah merupakan satu kebulatan yang utuh tak terberai.
Pertanyaan yang muncul, bagaimana bila pihak-pihak yang mengalami tindak kekerasan mengangkatnya sebagai kasus hukum yang mesti diproses?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut rumusannya adalah sebagai berikut, bahwa indak kekerasan merupakan tindak pidana, oleh sebab itu siapapun dalam masyarakat yang melakukan tindak kekerasan maka ia telah melakukan tindak pidana. Berkekanaan dengan itu pihak-pihak yang merasa dirugikan mempunyai hak untuk mengangkatnya sebagai suatu kasus, yaitu kasus hukum. Hal itu adalah sebagai suatu konsekwensi daripada suatu sistem.
Pertanyaan selanjutnya, apakah pihak yang berwenang boleh tidak menerima kasus yang bersangkutan?. Aparat yang berwenang, dalam hal ini Kepolisian sebagai garis depan dalam kasus pidana berkewajiban untuk melakukan proses. Apakah harus dinaikkan ke Pengadilan?. Untuk ini tidak ada keharusan, oleh sebab pihak Kepolisian diberi kewenangan oleh Undang-undang untuk melakukan diskresi hukum. Untuk itu maka mestinya Polisi yang menangani kasus bersangkutan harus sangat persuasif. Penyelesaian secara diskresi ini sangat penting sekali. Hukum tidak harus keras bagai batu, hukum itu tak lebih dari suatu alat untuk membina, bukan untuk menindas, oleh sebab itu bila ada jalan yang paling lunak, lakukanlah, jangan berpikir dengan kekerasan. Dalam ranah hukum pidana hendaknya dilakukan sebagai upaya terakhir, tidak lebih dari itu. Demikian itu pulalah pandangan mendasar yang dianut dalam doktrin hukum pidana.
Bagaimana bila kasus berlanjut ke Pengadilan?, Pengadilan tidak mempunyai kewenangan untuk menolak, Pengadilan harus mengadili, namun hakim tidak harus menjatuhkan putusan yang keras, bilamana mungkin hakim mesti menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya, apalagi mengingat kasus seperti ini baru menjadi fenomena di negara kita. Seringan-ringannya di sini saya maksudkan sesuai konteks.
Kasus yang bermunculan belakangan ini adalah suatu fenomena kesadaran baru, banyak yang belum siap menhadapi pergeseran ini. Kita telah terbiasa hidup dalam rengkuhan represi, perilaku menindas, 'teror' atau berbagai ancaman, 'bahasa-bahasa' irasional, reaktif, 'panik' atau gusar, telah menjadi bagian dari budaya kita.
Dalam hemat saya hal tersebut merupakan hal mendasar yang sudah semestinya menjadi perhatian pemerintah, yang tentu dalam hal ini Departemen Pendidikan sebagai pihak pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan, semoga bapak Mentri Pendidikan segera mengambil sikap dalam hal ini. Namun mungkinkah pengambil kebijakan mampu melakukan langkah-langkah progres ataukah justru berpihak pada sikap stagnansi. Sebagaimana kita sama pahami bersama bahwa rengkuhan represi begitu kuat mengakar di tengah-tengah kita. Walau pak mentri selalu mengemukakan dalam kaitannya dengan Nawa Cita, yaitu membangun karakter, sikap toleran, kebhinnekaan, membendung radikalisme, dan seterusnya, namun tentun paradoks bila lembaga pendidikan telah menjadi ujung tombak pembentukan sikap represi yang bahkan melabrak ketentuan hukum positif kita.
Apakah martabat guru direndahkan?, tentu tidak bermakna demikian, bagaimanapun guru adalah tetap mulya, martabat guru tetap tinggi, tidak semua guru punya perilaku yang melabrak ketentuan hukum dan kepatutan, hanya beberapa orang saja, itupun tidak terlepas daripada konteks ruang dan waktu yang telah membinanya. Guru adalah manusia juga, yang tidak bisa lepas dari berbagai keterbatasan. Dalam pandangan saya kita tidak perlu mencari-cari kesalahan dan pembenaran, kita mesti mencermati fenomena pergeseran secara rasional, itu saja.
Kita sudah terbiasa hidup dalam rengkuhan represi, saya, bapak ibu sekalian yang membaca tulisan saya, bapak Mentri Pendidikan, dan seterusnya, rengkuhan represi begitu kuatnya dalam kehidupan keseharian kita, hanya dengan evaluasi yang tenang dan rasional kita bisa melakukan suatu progres dalam menata sikap mental yang diharapkan. Adakah kesiapan untuk move on?.
A. Fuad Usfa, Perth Western Australia, 14 Agustus 2016
Catatan Pinggir:
#Saya pernah malang melintang sebagai sosok guru juga (seorang dosen), lebih dari dua puluh tahun saya bergelut dalam dunia keguruan, namun kesadaran mental ini muncul justru disaat saya tidak bergelut dalam dunia keguruan. Pengalaman hidup dalam mencermati dunia baru yang terbentang di hadapan saya dan renungan saya telah membuahkan kesadaran baru.
No comments:
Post a Comment