SANKSI DALAM TATA TERTIB SEKOLAH
Oleh: A. Fuad Usfa
Sanksi atau disebut juga hukuman. Terdapat berbagai macam sanksi, seperti sanksi pidana, sanksi perdata, sanksi administrasi, sanksi adat, dan sebagainya. Dalam setiap peraturan perundangan baik tertulis maupun tidak tertulis didalamnya akan terdapat norma dan sanksi. Sanksi merupakan penguat norma.
Terdapat banyak aturan perundangan di berbagai Negara, dari yang paling dasar (grundnorm) sampai dengan yang paling operasianal, seperti peraturan tata tertib sekolah.
Dalam membuat aturan juga ada aturannya. Kita hidup dalam suatu Negara diikat oleh suatu sistem, oleh sebab itu dalam membuat peraturan dari yang paling tinggi hingga yang paling operasional harus merupakan suatu rangkaian yang tidak boleh menyalahi sistem.
Di Negara Republik Indonesia terdapat hirarchi aturan perundangan, yaitu berdasar TAP MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, sebagai pengganti dari TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, sebagai berikut:
1. UUD 1945 (dan perubahannya);
2. Ketetapan (TAP) MPR;
3. Undang-undang (UU);
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah (PP);
6. Keputusan Presiden (Kepres); dan
7. Peraturan Daerah (Perda).
Secara teoritis hal tersebut sejalan dengan teori berjenjang (Stufenbau) dalam teori sistem hukum, yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan menempatkan Grundnorm sebagai puncak dari segala jenjang. Kelsen menyatakan, bahwa sistem hukum adalah merupakan sistem bertangga yang mana norma hukum yang paling rendah harus berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan norma hukum yang tertinggi harus berpegang pada norma hukum yang paling dasar (Grundnorn).
Maka ketentuan tersebut membawa pada konsekwensi, bahwa sebagai suatu sistem ketentuan yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi.
Jadi segala pembuatan peraturan haruslah tersusun dalam kesatuan sistem, baik berkenaan dengan materi yang berupa norma dan sanksi serta pada aspek acaranya.
Berkaitan dengan anak, sesungguhnya banyak pihak yang terkait, taruhlah suatu misal Lembaga Pendidikan Sekolah. Problema anak terkait dengan keberadaannya di sekolah adalah merupakan problema universal, terjadi di setiap masa dan tempat. Adalah suatu hal yang logik bila sekolah harus melakukan langkah-langkah konkrit terhadap anak yang bermasalah. Dalam teori modern langkah penindakan harus atas dasar tujuan pembinaan, maka keberpihakan pada anak adalah merupakan suatu ujud perlindungan kepada anak dalam rangka pembinaan ke depan, dan ini telah dianut oleh berbagai Negara, termasuk Indonesia.
Oleh sebab itu pembuatan berbagai aturan tata-tertib sekolah haruslah merujuk pada pandangan filosofis, normatif dan sosiologis dalam konteks kesatuan sistem, apakah itu terkait dengan norma, sanksi ataupun acaranya. Taruhlah suatu misal di sini, terdapat aturan tata tertib sekolah yang mencantumkan sanksi ‘dikeluarkan dari sekolah (drop out)’, tentu sanksi tersebut mengandung masalah secara hukum (yang amat mendasar), sebab sanksi dari aturan tersebut bertentangan dengan dasar filosofis sebagaimana yang tertera dalam konsideran serta normatif hukum undang-undang yang berkaitan dengan anak khususnya. Dapatlah di sini dikutip pasal 9 ayat (1) Undang-undang tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan, ‘setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya’. Pasal 48 menyatakan, ‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar 9 (Sembilan) tahun untuk semua anak’. Pasal 49 menyatakan, ‘Negara, Pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberaikan kesempata yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan’. Bahkan anak yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatanpun berhak memperoleh pendidikan, sebagaimana telah diatur dalam pasal 60 ayat (2) Undang-undang Pengadilan Anak, yang menyatakan, ‘anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksauad adalam ayat (1) berhak memperoleh pendidikan dana latihan sesauai dengan bakat dan kemampuananya serta hak lain berdasar peraturan perundangan.
Dengan demikian pemutusan anak dari sekolah tidak dapat dibenarkan, dan negara berkewajiban memenuhi hak anak untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Mengenyam pendidikan merupakan hak anak, bahkan untuk pendidikan dasar Sembilan tahun menjadi KEWAJIBAN Negara untuk pemenuhan hak anak bagi semua anak.
#Tulisan saya ini sebelumnya telah dimuat di Media Bawean.
No comments:
Post a Comment