By: Kookaburra
Kearifan itu dimiliki oleh setiap orang. Adapun tingkat kearifan seseorang itu berbeda. Sama halnya dengan pengetahuan. Tingkat pengetahuan itu pun berbeda2. Kearifan dan pengetahuan itu berbeda pula dengan kebenaran, ia berada pada ranah yg berbeda.
Kadang kita tidak mampu membedakan. Dari situ pulalah terbentuknya kelas2 yg bahkan bisa menindas. Dengan kondisi seperti itu yg menyebabkan acap kita tak mampu bersikap fair.
Katakan suatu contoh praktis saja, bagaimana kita memahami anak kita. Bagaimana orang tua/generasi tua memahami orang muda/generasi muda.
Dari itu sebetulnya kita bisa menarik garis ukur. Garis ukur ini dapat kita bagi menjadi dua bagian, yaitu bagian yg bisa diukur (hard) dan bagian yg tak bisa diukur (soft).
Ok..., terhadap hal yg bisa diukur, dengan ukuran yg jelas, tentu kita tidak bisa menolak, mau tidak mau harus menerima realita. Seperti misalnya orang tua sedang mengalami kesulitan dalam menggunakan komputer, internet, termasuk HP, fesbuk, twitter, WA, dll. Dalam hal ini banyak orang tua yg mau tidak mau harus minta tolong pada anaknya, kendatipun anaknya itu baru duduk di bangku sekolah menengah. Padahal dari segi usia tentu si anak jauh berada di bawah orang tua.
Nah sekarang kita banding dengan bagian yg tak bisa diukur (soft), seperti tradisi maupun agama misalnya. Sulit untuk menemukan siapa sebenarnya yg tepat, atau setidaknya lebih tepat?. Dalam hal ini anak selalu berada pada posisi bawah angin. Padahal sebetulnya sama saja kedudukannya antara bagian yg bisa diukur (hard) dg yg tidak bisa diukur (soft) itu.
Sebetulnya hal itu hanya pada persoalan bisa diukur dan tidak bisa diukurnya. Untuk kasus kita di Indonesia misalnya, hal posisi bawah angin itu diperparah dengan ketergantungan yg kuat si anak terhadap orang tua. Dalam skala umum oleh sebab budaya paternal yg sangat kuat.
Bilamana kita bisa mengakui kemampuan akan keunggulan anak terhadap satu hal, mengapa kita berat, bahkan tidak mengakui terhadap hal yang lain?!.
Dari situ bisa kita pahami bahwa kerangkeng2 terhadap individu dan sosial di masyarakat kita muncul oleh sebab aspek yg tidak bisa diukur itu. Sedang hal yg tidak bisa diukur itu hanyalah suatu kemungkinan semata. Adapun dalam pandangan yg dibentuk dalam masyarakat kita adalah bahwa kemungkinan2 itulah yg lalu dipastikan, dibuat pasti.
Maka dengan demikian berlakulah hukum, siapa yg kuat adalah siapa yg menang. Tentu saja hal itu berbeda lagi dari ranah kearifan, pengetahuan, dan kebenaran.
(Cannington WA, 30 Desember 2017)
No comments:
Post a Comment