KEJUTAN BUDAYA
DAN POSISI MAHASISWA KKN DI TENGAH BUDAYA LOKAL
(Ku suguhkan Buat Mahasiswa UPN
DAN POSISI MAHASISWA KKN DI TENGAH BUDAYA LOKAL
(Ku suguhkan Buat Mahasiswa UPN
Yang Akan Melaksanakan KKN
Di Pulau Bawean)
Oleh: Aba
Di Pulau Bawean)
Oleh: Aba
Gosnells, Western Australia, 5 Juni 2010
Tatkala jiwa telah terbentuk,
Sulit untuk membentuk yang berikutnya.
(Aba)
1. Pendahuluan
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Demikian aku kutip dua pepatah dalam masyarakat kita. Dari dua pepatah tersebut menggambarkan adanya pengakuan terhadap keberagaman budaya serta pengakuan terhadap urgensi adaptasi.
Rektorat UPN "Veteran" Jatim, Yogyakarta, Jakarta
Foto di kutip daari Media Bawean 18 April 2010
2. Akar Budaya
Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Raga akan tumbuh sebagaimana adanya di manapun ia berada, sedang jiwa akan tumbuh sesuai dengan ranah ruang dan waktunya, maka itu beda ruang ataupun beda waktu akan beda pula coraknya. Raga tak bisa untuk menyesuaikan diri, dalam arti penyamaan diri (jazadnya) dengan orang-orang di mana tempat ia lahir dan tumbuh, orang hitam tak ‘kan bisa menjadi putih walau ia lahir dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat kulit putih di benua Eropa. Perbedaan dan persamaan yang timbul dan berkembang dalam konteks budaya bukanlah perbedaan dan persamaan atas raga (fisikal), melainkan perbedaan dan persamaan dalam pengertian rohaniyah (jiwa). Budaya yang mengejawantah dalam sikap perilaku serta benda-benda fisik tak lain daripada cerminan alam rohaniyah (jiwa) yang abstrak. Oleh sebab itu orang kulit hitam yang lahir dan tumbuh di tengah-tengah belantara Afrika akan berbeda (budayanya) dengan orang kulit hitam yang lahir dan tumbuh di lingkungan Gedung Putih Amirika Serikat, walau sama kulit hitamnya. Karena sebab adanya perbedaan pada pertumbuhan dan pengembangan rohaniyahnya (--termasuk alam pikir adalah merupakan alam rohaniyah yang abstrak--) seseorang yang lahir, tumbuh dan berkembang di Jawa, yang sedari alam kandungan telah terbina dengan nilai-nilai budaya Jawa, akan menjadi sebagaimana masyarakat Jawa di mana ia lahir, tumbuh dan kembang itu, ia akan memegang budayanya, bahkan ia akan memegangnya erat-erat serta mempertahankannya dan akan sensitif manakala berhadapan dengan budaya lain yang berbeda, apalagi dipahami bertentangan.
3. Shock
Manakala seseorang sedari kecil hingga dewasa/tua hanya berkecimpung dalam satu budaya saja, maka ia akan mengalami kejutan (shock) budaya yang luar biasa manakala memasuki area lain, atau budaya lain masuk dalam areanya, termasuk apa yang disebut upaya pembaharuan ataukah term apalah namanya. Setiap orang, siapapun juga, tak ada kecuali, termasuk mereka yang telah berinteraksi lintas budaya akan mengalami kejutan budaya manakala mereka memasuki area budaya lain atau sebaliknya. Kejutan itu bisa begitu hebat ataupun ringan saja, tergantung tingkat perbedaan –pemahaman—yang dikandungnya. Makin tinggi tingkat perbedaan –pemahaman- akan makin tinggi tingkat kejuatan yang dialami.
4. Adaptasi
Jalan untuk memadukan (menyerasikan) antar perbedaan itu adalah adaptasi. Adaptasi adalah proses penyerasian antar perbedaan yang ada. Sebagai illustrasi dapatlah diketengahkan suatu misal, manakala orang Jawa yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam budaya Jawa, lalu ia merantau ke Kalimantan. Suatu ketika ia membeli barang, ia menyerahkan uang dengan tangan kanan, namun tiba-tiba si penjual menerimanya dengan tangan kiri. Kita akan berkata jujur, tentu orang Jawa tadi akan mengalami shock yang cukup berat, hatinya akan merasa dicabik-cabik, karena merasa diperlakukan tidak sopan. Namun manakala telah beradaptasi ia akan dapat memahami, walau ia tetap belum bisa menerima. Kendatipun demikian anak keturunan orang Jawa tadi yang lahir, tumbuh dan berkembang di area budaya baru itu akan memiliki sikap yang berbeda, ia/mereka akan dengan mudah menerima atau bisa jadi justru terserap dalam budaya tempatan. Oleh karena kaedah budaya adalah saling merasuki, maka tergantunglah budaya mana yang paling dominant. Suatu misal yang lain lagi manakala seseorang yang lahir, tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Islam, ia serta datuk moyangnya adalah penganut agama Islam yang taat, hari-hari mengaji, sholat, hendak makan bismillah dan berdoa, dan lain-lain, kemudian ia hidup di tengah masyarakat barat (kulit putih) yang bukan beragama Islam, bahkan banyak pula yang free thinker, belum lagi budaya bebasnya, dan lain-lain yang tergambar dalam benaknya. Tak lama kemudia tiba-tiba putra/putri kandungnya jatuh cinta dan hendak kawin dengan orang barat itu, tentu kita dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada diri orang tersebut, walau si calon menantu bersedia memeluk agama Islam sekalipun, masih juga rasa was-was terselip di hati. Bagi mereka yang belum teradaptasi dengan kultur kebebasan barat terhadap penentuan langkah individu tentu ia akan mengalami shock yang amat berat, jangan heran bila ada juga yang tidak mau menghadiri pernikahan putra/putrinya, namun jangan heran pula bila dalam masa kemudiannya baru ia dapat menerima realitas itu. Sedang bagi yang sudah teradaptasi, mereka akan dapat menerima segala kemungkinan, terlepas karena terpaksa ataukah tidak. Selanjutnya guliran waktu yang akan menentukan, generasi berikutnya bisa berkata lain, tergantung budaya mana yang paling dominant merasuki. Kini pergeseran nilai telah terjadi. Bisa jadi bagi si anak/cucu justru budaya dalam masyarakat orang tua dan datuk moyangnyalah yang justru mengejutkan dirinya. Dengan demikian yang terjadi adalah saling keterkejutan. Demikianlah budaya. Posmodernisme menawarkan kata, ‘keberagaman’, ‘plural’, ‘pluralisme’.
5. Refleks
Kejutan budaya yang saangat hebat sering menimbulkan refleks yang membikin seseorang seperti terhipnotis, begitu sadar bagai terdampar di suatu pantai, dengan terkapar lesu.
6. Kesungguhan
Adaptasi merupakan kunci penghubung yang menawarkan kearifan, mudah diucap, namun memerlukan kesungguhan dalam aplikasi, terlebih manakala suatu budaya telah melekat dalam diri.
Muspika dan Kades Sangkapura
Foto di kutip daari Media Bawean 18 April 2010
7. Posisi Mahasiswa KKN Di Tengah Budaya Lokal Di Lokasi KKN
Mahasiswa yang ikut KKN tentu berasal dari berbagai latar belakang budaya, rata-rata mereka baru berada pada proses penyesuaian diri di lingkungan di mana mereka menempuh studi. Di lingkungan barunya itu mereka menemukan banyak hal baru yang mereka ingin gapai dan ingin tepiskan, proses akulturasi sedang berjalan, mungkin saja mereka sedang mencari identitas, sebagai orang lama, orang baru ataukah orang lama dan baru, yang demikian itu tentu lebih banyak berada di alam bawah sadarnya. Yang nyata mereka baru saja ke luar dari kungkungan budaya asalnya, dari pengawasan orang tua dan lingkungan asalnya. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama, terlalu instan untuk dikatakan telah mampu memilah-pilah. Kini, di lokasi KKN mereka harus masuk dalam budaya lain lagi, budaya yang berbeda dengan di lingkungan kota Surabaya, Yogyakarta maupun Jakarta, atau lingkungan kampusnya yang tentu lebih terbuka dan privacy. Di lingkungan baru (lokasi KKN) tentu saja mereka dituntut mampu menyesuaikan diri secara tiba-tiba, yang tentu tak ada tawaran lain, dalam konteks ini mereka berada pada posisi bawah angina, mereka adalah sebagai tamu yang sekali gus sebagai orang yang belajar memimpin dalam situasi dan kondisi apapun, namun sekaligus pula sebagi subyek. Budaya adalah merupakan ukuran dasar sebagai tali kendali yang mudah dipegangi. Disinilah mahasiswa KKN mesti memposisikan diri, dengan waktu yang singkat tentu tiada alternatif lain, sebab citra mahasiswa (baik sebagai diri maupun kolektifa) dan almamater serta dunia Perguruan Tinggi pada umumnya dipertaruhkan. Kearifan dalam memanage apa yang disebut kejutan budaya adalah suatu keharusan, tak ada tawaran lain.
8. Beberapa Hal Teknis
Dalam konteks budaya, terlebih dahulu yang perlu mahasiswa cermati di lokasi KKN adalah hal apa yang menjadi kecenderungan perilaku masyarakat yang merupakan arus utama, mahasiswa mesti paham ke mana arus bergerak, mahasiswa mesti paham mengatur posisi, mahasiswa mesti bergerak di tengah gerak gelombang masyarakat lokal, memahami hal di posisi mana masyarakat suka, tidak suka serta posisi netral. Suatu contoh di Bawean, posisi masyarakat suka seperti berpartisipasi dalam acara tahlilan, main zamroh, shalat maghrib berjamaah di masjid/surau, bermain olahraga berbaur dengan masyarakat, selalu bertegur sapa, dan lain-lain; sedang posisi masyarakat tidak suka seperti berlalu-lalang/hilir-mudik/‘keluyuran’ (apalagi berkelompok) di saat masuk waktu shalat maghrib; setahuku dalam hal ini orang Bawean teramat sangat tidak suka, terlebih lagi bila saat dhuhur di hari Jum’at, dan lain-lain; adapun posisi masyarakat netral seperti mengadakan pertemuan kelompok KKN, pertemuan antar kelompok KKN, dan lain-lain.
9. Penutup
Pada bagian penutup ini aku hanya gunakan untuk sekedar nyumbang saran, yaitu gunakan waktu anda yang teramat singkat sebaik mungkin, sebab anda mesti membangun kampus UPN di Bawean dengan megah, semegah yang di Surabaya, di Yogyakarta maupun yang di Jakarta, yaitu membangun di hati masyarakat.
No comments:
Post a Comment