IYEM
Oleh: Aba
Tulisan ini adalah sebuah fiksi yang dikolaborasi
dengan realitas yang melatar belakangi munculnya gagasan penulisn. Dalam konteks konten fiksi, manakala terdapat kesamaan/persinggungan ataupun hal yang kurang berkenan sungguh di luar kesengajaan, untuk itu kiranya mohon maaf dan maklum adanya. Kendatipun demikian disadari sepenuhnya bahwa fiksi ini dimaksudkan sebagai sebuah kritik sosial.
Tulisan ini mula ditulis di musim gugur, oleh sebab ketiadaan masa merampungkannya maka baru di tayang dalam masa musim dingin ini, yaitu setelah lebih dari satu bulan berikutnya. Aduh…, apa boleh buat nih…
Western Australia, Medio Juli 2010
(Bagian 1)
Kemaren pagi, bertepatan dengan anggal 21 Mei 2010, kawanku asal Meddle east, tepatnya Libanon, namanya adalah Nadiyah, ia bilang, ‘Ahmed, hari ini akan hujan, dan seharian akan mendung’. Betul, hari kemaren hujan dan mendung seharian. Hari ini adalah hari Sabtu, hari off kerja bagi kami, seandainya hari ini aku bertemu Nadiyah, aku akan bilang, ‘Nadiyah…, hari inipun weather seperti kemaren, hujan dan mendung seharian’.
Sore hari ini aku duduk sendirian di balik jendela kaca transparan di sebuah unit usaha di kawasan Carousel, di luar angin bertiup kencang menerpa pepohonan, daun-daunnya berkaparan meliuk-liuk dipermainkan sang bayu, biasalah musim gugur dari tahun ke tahun seperti ini. Hari ini udara tidak seberapa dingin, hingga aku merasa tidak perlu memakai jaket. Aku menatap ke luar, aku membayangkan akan nasib si Aminah, si Iyem, si bibik, atau entah siapa lagi lah nama-nama yang bisa kita sebut, yang kata orang mereka itu adalah pahlawan devisa, mereka adalah TKW. Aduh…, apa pula hubungannya Nadiyah, hujan, mendung serta musim gugur yang senyatanya terjadi dengan TKW dalam tulisan fiksiku ini?!!!. Aku hanya membayangkan di kala aku membaca berbagai media di negeriku, tentang gugur dan gugurnya TKW kita, aku telusur irama suara sang bayu, mereka gugur begitu saja tanpa ada perlindungan dari sang penguasa, yang paling banter adalah saling mencari si kambing hitam, dan selepas dari itu masa akan menghapus ingatan kita, si kambing hitam dan sang penguasa telah cuci tangan, bersih dan tetap memainkan tarian.
*
Nadiyah…, hari ini masih juga hujan dan mendung menyelimuti kawasan Perth dan sekitarnya, di negeriku pun mendung dan hujan, yaitu mendung dan hujan dalam teriknya mentari dan cerahnya cuaca, yaitu mendung kesedihan dan hujan tangisan rakyat jelata yang menyabung nasib tanpa hirau akan ada jaminan perlindungan ataukah tidak.
*
Iyem adalah salahsatu TKW kita, ia berasal dari tanah Jawa yang subur, yang penduduknya embludek tanpa mampu diimbangi oleh Pulau-pulau lain di negeriku, termasuk pulau Sumatera yang besar. Pembangunan terpusat di tanah itu, uang dan sentra-sentra usaha melimpah pula. Tak adakah upaya untuk membangun kantong-kantong yang berimbang?!, ataukah kerena hawatir kalau Daerah-daerah bisa Berjaya lalu mereka minta merdeka?!, maka menjajah mereka, atau dalam bahasa halusnya menciptakan ketergantungan adalah merupakan jalan terbaik bagi kejayaan sang penguasa pusat dan sang demang di daerah. Memang kawasan lain telah memuntahkan hasil perut buminya, namun sayang bagai tiada perputaran uang di tanah itu. Namun begitu bukanlah bermakna penduduk di tanah Jawa telah menikmati kemakmuran; tidak…, jutaan ummat hidup dililit kemiskinan, bahkan di bawah ambang batas.
*
Iyem adalah dara nan cantik jelita, kulitnya putih bersih, berambut ikal, hidungnya mancung, senyumnya menawan. Iyem adalah gadis yang cerdas, selalu bintang kelas sedari TK hingga SMU, medali penghargaan selalu digondolnya. Mestinya Iyem layak menjadi apa yang disebut mahasiswa, namun apa daya orang tua Iyem tidak mampu memikul beaya untuk penyandangan status mahasiswa itu. Iyem sempat nganggur beberapa saat, hingga kemudian datang calo TKW menawarkan sejuta harapan. Siapa tidak tertarik dengan gaji tiga juta limaratus ribu rupiah per bulan?!!!. ‘Gaji segitu itu bersih lho Iyem…!!, sudah dipotong tax dan lain-lain tetek-bengek…!!’, demikian kata sang calo. ‘Terimakasih mas…, aku masih mau mikir dulu mas…’, jawab Iyem. ‘Apa lagi yang mau dipikir…?!!, ini kesempatan baik lho Iyem…, kerja di sini paling-paling enam ratus ribu rupuah sebulan…, belum lagi dipotong transport, belum juga baksonya, dan lain-lain, lagi pula kita ini pengerah tenagakerja yang b o n a f i d e lho Iyem…!!!’, demikian crocos sang calo. ‘Iya…, iya…, tapi Iyem mesti mikir dulu la mas…, kasih aja Iyem nomor HP mas, entar Iyem hubungi bila emang Iyem Okay…’, jawab Iyem dengan lembut. Lalu sang calo memberinya kartu nama.
Satu bulan kemudian Iyem memutuskan untuk ikut ambil bagian dalam bursa pahlawan devisa. Pelatihan tetek-bengek telah ia lalui, hingga tiba saat keberangkatan. Bersama kawan seangkatan ia melalui Bandara Juanda Surabaya menuju Batam, lalu ke kesuatu pulau tetangga sebagai tempat penampungan. Ternyata banyak kawan-kawan seperjuangan yang sedang antri di penampungan itu, tak kurang pula yang merasa putus asa, tapi apa mau dikata.
*
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment