(Sekapur Sirih)
Oleh: A. Fuad Usfa
1. Pengantar
Kadang kita dihingarkan pada pernak-pernik 'perseteruan' dengan Malaysia. Penyebabnya tentu kompleks, sama halnya dengan dinamika dalam berkehidupan bermasyarakat pada umumnya.
2. Pendahuluan
Saya bicara dengan seseorang, saya bilang bahwa ‘saya ini kok melihat bahwa kita ini kalau tidak ribut kok sepertinya kurang enak’. Begitulah intinya. Kadang persoalannya adalah persoalan yang tidak mendasar. Tersinggungnya melebihi porsi.
Sering kali kata ganyang muncul kembali. Namun saya ada membaca tulisan Tsamara Amani, tulisan yang bagus. Tsamara justru menggunakan istilah ganyang sebagai dasar untuk introspeksi diri. Orientasi ke dalam, jauh dari ofensif. Itu yang kadang terlepas dari kita.
Ada beberapa tulisan (catatan) kecil saya tentang Malaysia, termasuk Melayu lebih umumnya. Saya sering ke Malaysia. Di situ ada paman, bibi, saudara kandung, keponakan, 'cucu ponakan', sepupu (misanan), dan sebut lagilah. Intinya saya punya keluarga banyak di sana. Lebih dari itu sangat banyak orang-orang sedaerah dengan saya di sana. Bahkan lebih dari itu banyak sekali orang-orang Indonesia pada umumnya di sana, bahkan yang jadi petinggi-petinggi negeri hingga raja di sana.
Itulah gambaran Melayu di sana.
3. Perseteruan
Perseteruan yang terjadi di tahun 1963 yang baru berakhir dengan perundingan di Bangkok pada 28 Mei 1966 mestinya menjadi pelajaran berharga bagi kita. Itu bukan main-main.
4. Merajut Duni Baru
Tidak lama setelah itu muncul kasus pulau Sipadan dan Ligitan yang telah berjalan lama, yaitu kasus yg mencuat sejak tahun 1967. Pada 1976 Traktat Persahabatan dan Kerja Sama Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity & Corpotation in Shouteast Asia) pada KTT pertama ASEAN di Pulau Bali yg antara lai menyebutkan akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan antar sesama anggota ASEAN.
Adapun dengan dasar yang intinya bahwa kepentingan-kepentingan internal yang saling tumpang tindih akan menyebabkan inobyektifitasnya. Maka itu Malaysia menolak. Malaysia berkeinginan menyelesaikan melalui International Court of Justice (ICJ).
Akhirnya pada tgl 7 Oktober 1996 Presiden Soeharto menyetujui. Pada tgl 31 Mei 1997 kedua negara menanda tangani persetujuan. Indonesia meratifikasi pada tgl 29 Desember 1997, dan Malaysia pada tgl 19 November 1997. Pada tahun 1998 sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ. Kemudian ICJ mengeluarkan putusan pada tgl 17 Desember 2002.
Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari itu.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa hubungan Indonesia-Malaysia pernah rusak yang berupa konfrontasi yang telah memakan korban di segala bidang, tentu termasuk korban jiwa yang tidak sedikit.
Setelah kepemimpinan di Indonesia beralih pada Orde Baru, maka upaya pemulihan hubungan persahabatan dirajut kembali. Tentu untuk itu tidaklah mudah, oleh sebab sentimen-sentimen yang telah terbentuk di hati kedua belah pihak masih bergores kuat.
5. Perundingan
Jepang, Philipina dan Thailan telah mengambil peran aktif dalam upaya pemulihan perdamaian dan stabilitas hubungan Indonesia-Malaysia. Upaya ketiga negara untuk pencapaian stabilitas telah mulai membuahkan hasil dengan dicapainya kesepakatan damai dalam 'Perjanjian Bangkok', yang kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan 'Persetujuan Pemulihan Hubungan Indonesia-Malaysia' pada tgl 11 Agustus 1966 di Jakarta.
Penandatanganan itu dilakukan oleh wakil kedua negara, yaitu oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia). Dampak konfrontasi yang menyebabkan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada 7 Januari 1965 pun dipulihkan kembali dengan menyatakan kembalinya Indonesia sebagai anggota PBB pada 28 September 1966.
6. Pernak-Pernik
Sebagaimana yang telah saya utarakan di atas, bahwa upaya perdamaian tentu banyak kendala. Di antara kendala yang sempat menimbulkan kecurigaan dari pihak Malaysia yaitu pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Rukmito Hendraningrat dengan pernyataanya pada tgl 6 April 1966 bahwa 'meskipun Indonesia telah "membuka pintu", tapi pada prinsipnya konfrontasi terbhadap Malaysia tetap tidak berubah'.
Pernyataan itu disampaikan setelah Soeharto mengumumkan bahwa Indonesia telah 'membuka pintu' bagi penyelesaian dengan cara-cara damai dengan keikut sertaannya dalam konfrensi Mentri-mentri Asia Tenggara mengenai pembangunan ekonomi yang dilaksanakan di Jepang pada 6-7 April 1966.
Demikian pula terhadap langkah-langkah yang diambil oleh Adam Malik tak kalah menimbulkan perdebatan utuk kalangan internal kita sendiri.
Namun sandungan-sandungan itu telah dapat dilalui. Bahkan pada th 1967 mencuat kasus pulau Sipadan dan Ligitan, Kasus eksekusi Basri Masse 1990, Batas Laut Selat malaka, sebagai suatu contoh.
7. Diplomasi Berkelanjutan
Demikian pula hubungan persahabatan dengan Singapura. Indonesia bersikap sama, lebih memilih penyelesaian diplomasi. Pada th 1963 Singapura masih bergabung dengan Malaysia, yang artinya bahwa Singapura adalah termasuk wilayah konfrontasi.
Pada 9 Agustus 1965 Kerajaan Malaysia mengeluarkan Singapura dari bagian Malaysia. Maka dengan itu berarti Singapura menjadi negara tersendiri.
Pada 9 Juni 1966 Pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura pada Lee Kwan Yew. Pada 17 Oktober 1968 Singapura mengeksekusi mati terhadap Usman dan Harun.
Namun pun banyak sandungan-sandungan itu, Indonesia tetap menghargai sepenuhnya kedaulatan masing-masing negara. Lebih memilih hubungan-hubungan rasional, atas dasar hukum dan jalan diplomasi.
8. Kerja Sama
Oleh sebab itu Indonesia maupun Malaysia aktif dalam pembentukan ASEAN.
Indonesia-Malaysia membangun hubungan kerja sama di segala bidang. Di bidang peningkatan kerjasama pertahanan keamanan antara lain dengan mengadakan latihan militer bersama seperti 'Kekar Malindo', 'Malindo Jaya', 'Elang Malindo', 'Aman Malindo' dan 'Darsasa'.
Demikian pula dibidang Sosial-Budaya, Ekonomi, dan lintas batas, yaitu dalam lingkup kerjasama 'Sosek Malindo'. Ditubuhkannya 'Majelis Bahasa Indonesia Malaysia (MBIM)'. Digalangkannya kerja sama Segi Tiga Pertumbuhan Sijori. Di kalangan swasta antara lain dengan terbentuknya 'Malindo Airways', dan sebut lagi yang lain.
Saat Malaysia giat-giatnya melaksanakan pembangunan, khususnya pada dekade 80an hingga 90an tenaga Indonesia telah turut berperan aktif saling menguntungkan, baik di level bawah hingga tenaga ahli.
Hubungan kerja sama yang kondusif itu telah berlangsung hingga kini dengan riak-riak dan desiran gelombang-gelombang kecil yang kadang muncul ke permukaan.
9. Riak-riak
Riak-riak gejolak politik kecil memang kadang muncul ke permukaan. Hal yang patut kita sadari bahwa membina hubungan baik, rasional, fungsional, proporsinal serta ‘profesional’ harus tetap kita jaga.
Seringkali ketegangan politik tak lebih dari sekedar riak-riak kecil, namun seakan merupakan gelombang besar yang menakutkan. Untuk itulah urgensinya kita saling memahami skala kepentingan yang berazas pada nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan.
10. Berangkulan
Antara Indonesia dan Malaysia bukan hanya sebatas hubungan bertetangga semata, melainkan terkait erat dengan hubungan keturunan (darah). Bahkan tak kurang di antara kita yang punya keluarga dekat, seperti saudara kandung, saudara sepupu, paman, bibi, keponakan, anak, cucu, dan sebagainya, hingga hubungan sedaerah dan senegara. Kaitan-kaitan itu sangan erat sekali.
Pasca ketegangan di era ‘60an itu, kita telah mengutamakan langkah-langkah diplomasi, hukum, sosial, budaya, serta upaya-upaya yang bukan konfrontatif mestilah kita pertahankan.
(Perth WA, 15 Mei 2020)
*) Tulisan ini adalah rangkuman tulisan saya dengan judul ‘Dinamika Relasi Indonesia-Malaysia’ (1 dan 2), dengan update tertentu.
No comments:
Post a Comment