Oleh: A. Fuad Usfa
Sering saya mengunggah status ‘foto’ makanan berjenis ‘roti-rotian’, atau apalah selain nasi. Kadang ada juga yang ‘sensi’, dan menunjukkan kesensiannya. Saya paham itu.
Sebetulnya ada esensi yang ingin saya utarakan, bahwa makanan itu sama saja. Artinya, kita tidak perlu menjadikan jenis makanan tertentu ‘sebagai mitos’. Lalu terbingkai dalam bentuk ‘ungkapan’ ideologis.
Sebetulnya kita di Indonesia punya banyak ragam pangan, tiap-tiap daerah punya makanan pokok tersendiri, namun itu semua tidak berkembang dan tidak dikembangkan. Bahkan justru dimatikan. Jenis bahan pangan jagung, sagu, ubi-ubian, misalnya, sudah dinilai jenis pangan kelas kesekian.
Orde baru telah menggeser jenis pangan pokok yang beragam itu kepada jenis padi. Sehingga yang kita maksud sebagai kesediaan pangan adalah kesediaan padi (beras). Hingga dengan demikian tidak perduli di suatu daerah itu tersedia lahan atau tidak. Ujungnya adalah menciptakan ketergantungan. Bahkan kesenjangan.
Kreasi pangan daerah telah tergerus sedemikian rupa. Telah digeser kepojok-pojok yang terpojok, setidaknya hanya dipandang sebagai cemilan saja.
Runyamnya lagi, jenis pangan telah pula bergeser dalam makna kefanatikan. Dimaknai secara ideologis, dan menjadi ‘mitos’ tersendiri.
Padahal kita bisa sarapan dengan roti, kita bisa sarapan dengan tiwul, kita bisa sarapan dengan gaplek, kita bisa sarapan dengan jagung, kita bisa sarapan dengan sagu-saguan, dan lain-lain. Demikian pula untuk makan siang dan makan malam. Bisa. Apapun juga, kita bisa memilih. Mestinyalah tersedia ragam pilihan. #Mestinya kita bisa.
Namun, hanya saja, saya membayangkan, kini sulit untuk itu.
Ketergantungan ternyata adalah pilihan juga.
(Cannington WA, 18 April 2020)
No comments:
Post a Comment