(Qou Vadis Keadilan)
Oleh: A. Fuad Usfa
Kenapa saya suka nyinyirin?!. Dasar pikiran saya adalah karena dalam fakta yang kita lihat ternyata penuh dengan paradoks-paradoks. #oh my God!
Hal seperti itu pula antara lain yang menyebabkan saya harus menilik ulang ajaran-ajaran yang diberikan pada saya (—-bahkan yang sejak kecil dulu—-). Saya harus kritis, tidak bisa tidak. Apakah paradok-paradok itu adalah bagian dari ajaran?!.
Secara jernih, mari kita lihat dalam keseharian kita, apa yang dihadapkan pada kita.
Saya sangat setuju dengan anti penindasan, dan kita harus berkata dan bersikap begitu, tidak bisa tidak. Penindasan tidak boleh terjadi di segala lini, masa, dan ruang. Tapi jangan di satu sisi kita mengutuk, tapi disaat yang persis bersamaan (—-atau bahkan mendahului, atau bahkan konsep dan/atau telah terkonsep—-) kita (—-bahkan telah, dan/atau akan tetap—-) melakukannya.
Ini suatu problematika kita, yang harus kita akui, namun sering kali kita lalai, atau memicingkan mata, atau memang tutup mata, atau bahkan menyetujui dengan segala jurus pernak-pernik permainan (termasuk permainan kata), dan alangkah kasihannya bila justru karena ketidak tahuannya atau bahkan (maaf) karena kebodohannya (sebagai obyek semata). Bagi saya ini sangatlah miris!.
Doa saya, semoga keadilan dapat kita tegakkan. Damailah dunia kita, tanpa intimidasi dalam segala ragam bentuknya, amin.
(Cannington WA, 20 Desember 2019)
No comments:
Post a Comment