Oleh: A. Fuad Usfa
1. Periuk
Membaca judul di atas kita akan dapat gambaran ke mana arah pembicaraan kita selanjutnya. ‘Periuk dan fungsinya’. Kata kunci adalah, ada wadah dan ada fungsi.
Adapun yang dimaksud fungsi di sini tiada lain adalah kegunaan, atau tujuan dari keberadaan daripada sesuatu.
Sebagaimana kita sama tahu, bahwa masing-masing benda dibuat dengan maksud untuk kegunaan tertentu, atau dibuat dengan tujuan tertentu.
Dalam konteks kata periuk di atas tentu kita harus mendudukkan pada kegunaan atau tujuan dari pada periuk itu dibuat. Kita semua sama tahu, bahwa dia itu adalah salahsatu jenis peralatan untuk memasak.
Apakah bisa difungsikan lain?.
Tentu saja bisa, misalnya untuk menyimpan buah, mengangkat pasir, menyimpan buku, sampahpun bisa diletakkan di situ. Hal seperti itu bisa saja, kenapa tidak?!.
Namun hal yang perlu diingat adalah, bahwa hal yang demikian itu bukan tujuan daripada periuk itu dibuat. Oleh sebab itu tidaklah mungkin seseorang membeli periuk dengan tujuan untuk mengangkut pasir, atau untuk menyimpan buah, atau menaruh buku, apa lagi untuk menaruh sampah dapur, dan lain-lain di luar tujuan kegunaan periuk itu dibuat.
2. Sesuatu dan Fungsi
Selanjutnya mari kita bicara pada hal yang lebih luas daripada sekedar gambaran periuk seperti di atas.
Segala sesuatu ada fungsi-fungsi khusus, yaitu untuk apa sesuatu itu dibuat atau digagas. Suatu misal organisasi buruh, tentu hanya berbicara seputar buruh saja, dan lebih khusus lagi adalah untuk perlindungan nasib buruh. Demikian pula organisasi tani, koperasi, desa, dan sebagainya.
Sering kita jumpai, bahwa kita tidak mampu membedakan atas eksistensi sesuatu itu dan fungsi-fungsinya. Oleh sebab itu tidak heran manakala yang terjadi bercampur baur tidak menentu. Lalu yang terjadi adalah, yang penting ada ruang di situ, maka segalanya bisa dimasukkan sekehendaknya.
3. WhatsApp
Mari kita lihat salah satu contoh kongkrit. Kita ikut group WA. Sering kali group itu ada judulnya, judulnya sudah jelas adanya, atau di judul itu dengan jelas mencerminkan makna eksistensinya.
Suatu misal, katakanlah ada group WA yang ‘berjudul’ ‘Wahana Strategis Pengembangan Usaha Kecil’.
Setelah kita ikut group itu dengan maksud untuk memperoleh masukan bagaimana cara yang strategis dalam pengembangan seputar usaha kecil, sekaligus untuk ikut urun rembuk di dalamnya, namun apa yang terjadi dalam realitanya?. Justru yang masuk di laman tersebut sebagian terbesar adalah di luar yang kita bayangkan.
Di situ apa saja masuk, dari yang masih bersentuhan, semisal ungkapan, ‘aku buka lapak di pasar, hasilnya lumayan juga tuh...’. Itu masih bersentuhan memang, namun hal yang perlu dipahami bahwa itu bukan menunjukkan pada suat hal yang strategis. Tapi masih bisa dimaklumilah.
Okay, itu masih lumayan, namun ternyata yang sudah jauh dari konteks sekalipun juga masuk. Suatu misal, pelantikan ketua RT, acara penganten, acara sunatan, wejangan keagamaan, hingga pada politik dan intrik, bahkan gosippun bisa masuk dengan leluasanya.
Saya tidak mengatakan bahwa acara pelantikan Ketua RT itu tidak penting, tentu penting, bahkan sangat penting dalam konteksnya. Demikian pula hal yang lain seperti acara penganten, acara sunatan, ceramah-ceramah, suksesi kepemimpinan (politik), dan sebagainya. Tapi, tempatnya di mana?!.
Untuk media yang umum, seperti di Fesbuk misalnya, itu okay okay saja. Di situ kita bisa buka lapak masing-masing. Kita bisa unggah status-status kita, mau yang serius dengan topik apapun, mau yang bercanda-canda, mau selfie, atau mau apa sajalah, sepanjang tidak melanggar hukum dan etika, okay okay sajalah. Tapi walaupun fesbuk, kalau itu group tentu harus mengacu pada topik tertentu. Maka itu admin harus mengarahkan setiap status yang (hendak) masuk, dengan mengindahkan azas konsekuen, konsisten, dan responsibilitas.
4. Gerutu
Mengomentari laman WA, dengan nada rada jengkel dan geli seseorang berkata pada saya, ini apa bedanya dengan group-group WA yang lain?, laman HPku penuh dengan hal yang tidak kami bayangkan, yang masuk ya itu-itu juga, sama saja, peluang masuknya virus di HPku (baca, kita) makin signifikan nih. Keluhan semacam itu tentu tiada salah, dan saya rasa benar adanya.
5. Pola
Okay, kita lihat pada suatu yang lebih serius. Katakan dalam hal penyusunan korikulum di lembaga pendidikan kita.
Ternyata semangat yang sama sering juga terjadi. Sangat sulit untuk bisa fokus, karena semua dianggap penting. Ternyata sangat sulit untuk membedakan antara mana yang utama, sangat penting, penting, agak penting, tidak penting, bahkan bisa-bisa dengan yang sangat tidak penting. Hal itu terjadi oleh sebab sudah terpola dengan sikap hidup keseharian kita. Campur aduk sudah menjadi pola kita. Fokus, konsekwen, konsisten, dan responsibel?, ah...!!.
Okay... Katakan misalnya di Fakultas Hukum, atau di Fakultas Ekonomi, atau Fakultas apa sajalah. Seringkali hal yang bukan bidangnya dipaksakan untuk masuk. Juga ditingkatan-tingkatan lain, bahkan sedari tingkatan bawah.
Katakan suatu misal di Fakultas Hukum. Dalam penyusunan korikulum mata kuliah selalunya yang muncul adalah ini penting, itu penting, banyak hal yang dipandang penting, padahal bukan bidang ilmu hukum.
Lalu apa yang terjadi dalam pembahasan?. Mata kuliah (atau pelajaran) agama penting, penting sekali, sangat penting sekali;
oh iya, juga sejarah perjuangan bangsa itu penting, penting sekali, sangat penting;
oh iya, P4 itu penting, penting sekali, sangat penting;
oh iya, filsafat itu penting, penting sekali, sangat penting, (oh iya, untuk memahami fisafat kita harus terlebih dahulu memahami logika, maka logika itu penting, penting sekali, sangat penting sekali);
oh iya, manajemen itu penting, penting sekali, sangat penting sekali;
oh iya, ekonomi pembangunan itu penting, penting sekali, sangat penting sekali;
oh iya Kemuhammadiyahan itu penting, penting sekali, sangat penting sekali, (mungkin begitu kalau di lembaga pendidikan yang dikelolah Muhammadiyah. Kalau yang dikelolah NU mungkin KeNUan dan/atau ASWAJA, demikian pula yang PERSIS, serta lembaga-lembaga sosial keagamaan yang lain;
dan lain-lain lagi.
Sehingga dengan demikian kita menjadi rancu, bobot kulrikulum kita sangat padat. Kita tidak lagi mampu membedakan mana ranah keilmuan dan ranah doktrinasi.
Itu belum lagi masuknya kepentingan-kepentingan yang lain, termasuk yang bersifat individu. Semisal, tatkala suatu mata kuliah atau suatu mata pelajaran itu atas dasar hasil evaluasi dipandang tidak perlu lagi untuk tidak disajikan, lalu muncul ungkapan, ‘kalau itu dihapus, saya harus pegang matakuliah (mata pelajaran) apa?, saya kan harus mempersiapkan dari awal lagi, harus belajar lagi, tentu harus membeli buku lagi, dan seterusnya’. Maka, tentu dengan demikian makin kabur dan kabur, karena dihadapkan pada dilema-dilema yang tidak substansional.
Kata kuncinya adalah pola, sudah terpola. Serba rancu, semua dianggap penting.
Demikianlah, bermula dari sikap keseharian kita, lalu terus menerus terjadi, dan mengkristal dalam sikap pikir dan mentalitas kita, dan menjadilah bangunan pola. Maka kita telah terpola.
Pola-pola itu telah sedemikian rupa ada di diri-diri kita, dan mengendap di alam bawah sadar kita. Jangan heran bila segala sesuatunya menjadi serba bias dan tidak jelas, sebab memang sudah terpola sedemikian rupa.
6. Ketidak jelasan
Dalam pada ini yang ingin saya katakan adalah, tentang tidak jelasnya paradigma kita. Budaya kita telah terbentuk dengan konstruksi kekaburan, tidak fokus dalam segala hal. Prinsip sambil lalu pun sudah membudaya pada masyarakat kita. Bagaimana profesionalisme akan tercapai?.
Tentu disadari sepenuhnya, bahwa dalam banyak hal kita tidak mengindahkan azas konsekuensi, azas konsistensi, serta azas responsibilitas di dalam menyikapi persoalan dari yang terkecil, hingga yang besar, termasuk dalam pengambilan kebijakan publik dalam skala yang luas dan mendasar.
7. Kembali Pada Periuk
Kala sang ibu memebeli periuk, anak-anak bersorak sorai. Sang ibu kegirangan oleh sebab yang dipikir adalah si anak paham maksudnya untuk apa ia membeli periuk besar, sebagai keluarga yang besar.
Ternya di benak si anak berbeda, yang punya buah jeruk berpikir untuk menyimpan buah jeruknya, yang punya dawet berpikir untuk menyimpan dawetnya, yang punya buku berpikir ingin menaruh bukunya, yang punya kertas-kertas tak terpakaipun berpikir demikian, bahkan ada yang berpikir untuk menaruh sampah dapur, dan seterusnya.
Tatkala sang ibu sampai di rumah dengan membawa periuk yang dibanggakannya itu, si anak langsung menyerbu kegirangan dengan konsepnya masing-masing, dan dalam sekejap periuk telah dipenuhi oleh beragam barang yang entah dan entah.
(Cannington WA, 14 September 2020)
No comments:
Post a Comment