Oleh: A. Fuad Usfa
Apa sih kesadadaran itu?. Kesadaran adalah keadaan di mana kita merasakan terhadap sesuatu yang diketahuinya oleh sebab eksistensinya berhadapan dengan dirinya.
Pada setiap manusia terdapat apa yang disebut hati nurani (kalbu), alam pikir, dan mentalitas. Ketiganya saling terkait, saling merasuki, dan tidak bisa dilepas pisahkan. Ketiganya berada dalam wilayah kesadaran.
Kesadaran ada pada setiap manusia.
Kita sering dihadapkan pada realita adanya kesejalanan serta ketidak sejalanan, atau bahkan pertentangan antara hati nurani, alam pikir, dan mentalitas.
Hati nurani adalah suara hati yang murni, moral sejati yang menempati diri manusia. Alam pikir adalah kesadaran rasional yang menjelaskan keberadaan segala sesuatu. Sedang mentalitas adalah pancaran eksistensi hati nurani dan alam pikir manusia dalam proses pergumulannya.
Hati nurani ajeg dalam diri manusia, sedang alam pikir bergerak secara dinamik, adapun mentalitas bergerak searah secara lamban.
Alam pikir bergerak secara dinamik mengikut berbagai perkembangan, sedang mentalitas bergerak searah secara lamban oleh sebab mentalitas merupakan ‘bangunan’ bentukan.
Sekali ‘bangunan’ mentalitas terbentuk, maka sulit untuk menyesuaikan dengan upaya ‘membangun’ yang berikutnya. Untuk itu memerlukan kondisi khusus, lazimnya memerlukan proses evolusi yang sedemikian rupa.
Saya katakan di atas, bahwa hati nurani ajeg dalam diri manusia. Ia tetap berada pada kemurniannya. Ia tidak dapat dipengaruhi, tapi dapat tertutupi, diperdaya, ataupun dipaksa (diperkosa) eksistensinya. Ia adalah standard moral yang murni.
Sebagai gambaran, misalnya terhadap perilaku penipuan, korupsi, penganiayaan, pembunuhan terhadap sesama manusia. Hati nurani tidak mungkin bisa menerima perbuatan seperti itu. Namun ia bisa ditutupi dengan ulah akal (alam pikir) dan mentalitas. Alam pikir (melalui rasionalisasi) serta mentalitas (atas dasar kemelekatan) dapat menutupi, memperdaya, atau memaksa (memperkosa) eksistensinya. Taruhlah suatu misal atas nama suatu tertentu.
Sebagai gambaran yang lain, misalnya ada orang ‘kita’ pergi ke Singapura atau Australia, atau sebut lagi yang lain. Memperhatikan kebersihan, kerapihan, orang antri yang begitu tertibnya.
Dengan memperhatikan yang demikian itu ia sangat kagum dan berkata, ‘oh iya ya, sesungguhnya agama kita kan telah mengajarkan tentang kebersihan, tentang keindahan, tentang keadilan’.
Maka sesungguhnya secara nurani dan rasio ia menyadari dan dapat menerimanya, tudak ada persoalan.
Namun, setelah ia kembali ke kampung halaman, sikapnya tetap saja seperti semula, walau ia tahu persis terhadap keadaan yang mengagumkan, yang ia saksikan sendiri di Singapura itu. Apa sebab?. Sebabnya tiada lain adalah karena aspek kesadaran mentalitasnya.
Jadi, kesadaran hati nurani telah dapat menerimanya, demikian pula kesadaran alam pikirnya, bahkan bisa jadi menuntutnya. Namun kesadaran mentalitasnyalah yang menjadi persoalan.
Coba kita perhatikan perilaku korupsi di negara kita, ketiada mampuan memangkas alur birokrasi, kemiskinan yang disebut sebagai kemiskinan struktural [baca, struktur yang mana (?): struktur budaya, struktur keyakinan, struktur kenegaraan, atau struktur apa (?), atau kompleksitas (?) misalnya], dan lain-lain.
Coba kita perhatikan dalam sikap hidup keseharian kita dan dalam masyarakat luas.
Paradok-paradok dalam kehidupan sering muncul oleh sebab adanya kesenjangan yang demikian itu.
Bilakah akan terjadi harmoni?. PR kita.
(Cannington WA, 1 Mei 2021)
Ed.rev.
No comments:
Post a Comment