Oleh: A. Fuad Usfa
Bagian (1)
Fiksi:
Aku melihat sesuatu persis di depan mataku
Sebuah benda, hitam pekat
Oh sungguh tiada menarik
Bahkan membosankan
Hitam, gelap
Aku membayangkan bagai malam tanpa bulan dan bintang
Aku pikir, aku harus melepas pandanganku
Sungguh aku tak membutuhkan itu
Perlahan aku menjauh, dan menjauh
Oh..., ternyata
Aku perhatikan, nampak indah dan makin indah
Dan
Benda yang kutatap adalah sama
Sama persis
Ya, sama persis, tiada beda apapun
Hanya posisiku yang berbeda
Kini
Hitam pekat itu justru indah
Indaaah sekali
Aku tak lagi jemu menatapnya
Bahkan ingin memilikinya
Karena ia adalah tahi lalat di dagu sang bidadari
Ternyata
Perspektif telah membalik keadaan.
(BERSAMBUNG)
(Cannington WA, 12 Juli 2020)
Ed.rev.
Bagian (2)
Tadi malam saya menulis tentang perspektif (1).
Saya mencoba menggambarkan tentang bagai mana suatu obyek dilihat. Obyek itu persis sama. Saya ibaratkan ‘tahi lalat’.
Tahi lalat itu adalah tahi lalat yang berada di tempat yang tiada salah. Saya memberi bayangan bahwa tahi lalat itu berada di dagu. Bukan hanya di dagu, melainkan di dagu sang bidadari. Bidadari adalah gambaran keindahan.
Pendek kata, dari aspek tingkat kewajaran tidak terdapat kesalahan apapun atas keberadaan tahi lalat itu. Adapun yang membedakan adalah perspektif semata.
*
Adapun permisalan dan ungkapan tentu bisa berbeda, dari permisalan yang sederhana seperti tahi lalat yang saya gambarkan itu, hingga pada permisalan yang lebih kompliks tentu bisa kita suguhkan. Bahkan bukan hanya sekedar permisalan, melainkan bisa contoh dalam kasus kongkrit.
Perspektif sering pula menyebabkan orang dikuasai bayang-bayang. Bisa membenci, bahkan bisa ‘kesemsem’ ingin memiliki, bahkan ingin menyatu dengannya. Semua itu tentu wajar saja, sepanjang tidak mengganggu keseimbangan dalam kehidupan sosial.
Itulah sebabnya, kita perlu menyadarinya.
Kadang persoalan-persoalan krusial yang muncul di tengah-tengah kehidupan sosial kita hanya berkutat seputar perspektif saja, yang kemudian diletakkan dalam sebuah bingkai. Beragam bingkai itu. Entah, di bingkai yang mana di letakkannya. Bisa jadi suka suka, asal suka, mungkin saja.
(Cannington WA, 13 Juli 2020)
Ed.rev.
Artinya, saat perpektif bersentuhan dengan kepentingan, saat itulah munculnya gesekan. Maknanya, seringkali persoalan krusial itu bukan terletak pada bendanya, melainkan pada kepentingan. Bukan kata benda, melainkan kata sifat.
Begitulah perspektif.
No comments:
Post a Comment