Oleh: A. Fuad Usfa
Kita sering menyebut istilah profesional. Seperti misalnya, ‘lembaga kita harus dikelola secara profesional’. Lalu muncul pertanyaan, seperti apa sih gambaran dari pada yang disebut profesional itu?.
Secara general, saya mencoba untuk menggambarkan sebagai berikut. Pengelolaan secara profesional itu setidaknya harus ada perencanaan yang jelas, pelaksanaan yang terkoordinasi, adanya evaluasi baik berkala maupun anytime, serta adanya feedback.
1. Perencanaan:
Hal yang harus diperhatikan setidaknya: 1.1. Pokok; 1.2. operasional; 1.3. Skala, baik ruang maupun waktu; 1.4. Sumber daya; 1.5. Fokus; 1.6. Budgeting; 1.7. Struktur; 1.8. Antisipatif; 1.9. Fairness.
2. Pelaksanaan:
Hal yang harus diperhatikan setidaknya: 2.1. Konsekwensi dan konsistensi; 2.2. Efisiensi; 2.3. Realita dan penyikapannya; 2.4. Etos; 2.5. Pola interaksional; 2.6. Pelayanan; 2.7. Fokus; 2.8. Sadar posisi; 2.9. Proporsional.
3. Evaluasi:
Hal yang harus diperhatikan setidaknya: 3.1. Aspek umum dan khusus; 3.2. Kekuatan dan kelemahan; 3.3. Obyektifitas; 3.4. Aspek orientasi; 3.5. Konteks; 3.6. Efektifitas.
4. Feedback
Perumusan kembali atas rekomendasi hasil evaluasi.
Semua proses itu haruslah dilandasi dengan rasionalitas, obyektifitas, prinsip keahlian, harus fokus, serta mandiri dan bertanggung jawab. Saya pikir, ini diantara jiwa profesionalitas.
Bagaimana dalam merespon gagasan-gagasan spontanitas?.
Spontanitas bukanlah jiwa dari profesionalisme. Namun tetaplah harus dipandang sebagai masukan yang sederajat dengan masukan-masukan lainnya.
Bagaimana sih salahsatu gambaran sebagai contoh praktisnya?.
Contohnya begini: Misalnya dalam dunia pendidikan.
Dalam penyusunan korikulum, katakan korikulum lokal. Untuk ini saja kita tidak bisa hanya berdasar intuisi, melainkan harus melibatkan orang yang menguasai di bidangnya. Kadang kita harus datang ke Yogyakarta, ke semarang, katakanlah begitu. Dan/atau kita mesti mengundang mereka untuk datang, secara umum (-garis bawahi, ‘secara umum’-) membahasnya bersama. Tentu dengan segala konsekwensinya.
Ini salahsatu contoh. Sekedar salahsatu contoh saja untuk menggambar pentingnya expertise (keahlian), obyektifitas, fairness, dan seterusnya sebagai mana digambarkan di atas.
Kemudian dari pada itu, semua itu harus terukur.
Bagaimana bisa mengakses demi terlaksananya poin-poin di atas?. Tentu perlu proses, namun kita harus memahami peta secara jelas, bukan atas dasar intuisi dan spontanitas semata.
Mungkin ada hal yang perlu kita kemukakan di sini, yaitu apa sih yang dimaksud dengan prinsip mandiri dan bertanggung jawab?. Saya rasa terlalu panjang bila diuraikan. Contoh praktisnya saja begini, (-katakan dalam pengelolaan suatu lembaga, tentu lembaga apapun-). Bahwa yang bertanggung jawab adalah pihak pengelola, ia atau mereka itu mandiri. Tentu tidak boleh menyeret-nyeret pihak lain, apalagi menyalah-nyalahkan pihak lain, mengata-ngatai, dan yang sejenisnya, terhadap siapapun itu di luar lembaga, dengan alasan apapun.
Lembaga harus bekerja profesional. Lembagalah yang harus pro aktif. Tentu tidak boleh didasari dengan asumsi-asumsi, walaupun atas dasar yang (mungkin) selama ini berkembang di tengah-tengah kita, atau apapun alasannya.
Berkenaan dengan konteks masukan, tentu berbeda lagi (-di atas sudah sedikit saya singgung-).
Demikian juga dengan hal yang menyangkut produk-produk suatu lembaga itu. Ada prinsip-prinsip umum yang telah menjadi acuan secara general, seperti prinsip harkat dan martabat kemanusiaan misalnya.
Saya kira begitulah sekedar untuk bicara, berkenaan dengan gambaran umum tentang profesionalitas dalam pengelolaan suatu lembaga. Siapa tahu mungkin saja ada kegunaannya. Wallahu a’lam.
(Cannington WA, 20 Juni 2021).
No comments:
Post a Comment