Saturday, December 30, 2017

TIDAK PASTI YANG DIPASTIKAN

By: Kookaburra (A. Fuad Usfa)

Banyak kita dengar orang berkata, ’kalau kita bla bla bla maka pasti Tuhan akan memberi apa yg kita bla bla bla...’.
Tapi ternyata tidak juga...

Lalau mereka akan berkelit, ‘sebabnya bla bla bla... (seperti contohnya, ‘kalau harapan kamu dikabulkan mungkin kamu akan lalai mengingatNya’. Contoh lain, ‘mungkin kesungguhanmu dalam meminta belum maksimal’. Contoh lain lagi, ‘Tuhan masih mau menguji kesungguhanmu’. Dll...)

Kalau begitu itu namanya tidak pasti...!.
Tidak pasti kok dibilang pasti...

Bahwasanya perkataan itu sangatlah lentur, maka itu akan bisa dibolak-balikkan sesuai yg kita bayangkan. Ini contoh nyata, bahwasanya yg tidak pastipun bisa dibalik menjadi dibilang pasti, padahal tidak pasti.
(Cannington WA, 24 Desember 2017)
(FB)

ALAM IDE

SEGALA YANG ABSTRAK (ALAM IDEA)
By: A. Fuad Usfa
Segala yg abstrak itu benar, segala yg abstrak itu salah, segala yg abstrak itu bisa benar dan bisa salah... Semua itu tergantung yg berkepentingan, disadari ataupun tidak... Mengapa...?, oleh sebab tak ada sesuatu yg lebih lentur daripada yg abstrak (alam idea)...

Adapun yang azasi itu bukan substansi alam idea, melainkan eksistensi alam idea itu...
(Perth WA, 26 Desember 2013)
(FB)

SUASANA DI MOMEN NATAL (2)

By: Kookaburra (A. Fuad Usfa)

Selain gambaran yg diutarakan kawan saya sebagaimana telah di utarakan di atas, perlu juga saya utarakan tuturan kawan (perkawananan) fesbuk saya bertanggal 25 Desember 2017, dua hari sebelum saya tulis torehanku ini. Ia berdomisili di Kanada, negara dengan kultur sosial yg sangat dekat dg Australia.

Di laman fesbuknya ia menceritakan tentang saat ia akan membayar pembelian mainan dua orang anaknya, tiba2 seorang ibu tengah baya cepat2 membayarkannya seraya berkata “saya bayarkan, mereka sangat cute, dan Selamat Natal” (terjemah dari saya).

Selanjutnya di laman fesbuknya itu ia mengutarakan bahwa menjelang Natal orang2 di sana berlomba2 menyumbang hadiah dan makanan, berlomba2 berbagi dan empati kepada siapa saja, baik yang dikenal ataupun tidak, tanpa memandang asal-usul, status, dan agama.

Sebagaimana yg telah saya utarakan di atas, tentu hal sedemikian itu tidak serta merta menjelma, melainkan oleh sebab terdapat konsep yg telah menjadi bagian dalam dirinya. Hal itu berjalan secara refleks.
(Cannington WA, 27 Desember 2017)
(BERSAMBUNG)
*Sebelum sy berbicara tentang pengalaman dan pengamatan  saya, saya akan mengutarakan bagaimana kegiatan yg dilakukan kalangan Ahmadiyah di Inggris dalam suasana di momen Natal.

SUASANA DI MOMEN NATAL (1)

By: Kookaburra (A. Fuad Usfa)

Suasana indah dari dasar hati anak manusia bersemai menyeruak di berbagai sudut. Suasana batin atas balutan spiritual yang menjadi anutan masyarakatnya. Menyebar bagai keharuman bunga di musim semi.

Tatkala insan memaknai Tuhan adalah Dzat nan penuh kasih, maka sikap insanpun akan dihiasi kasih. Begitulah tabiat pemaknaan. Ia akan berimbas pada perilaku, tidak bisa tidak, karena perilaku adalah buah daripada konsep.

Seorang kawan saya yg juga dari Indonesia bercerita, bagaimana ia merasakan suasana di bulan2 menjelang Natal. Seakan orang2 di sini ingin berlomba2 mengejar kesempurnaan kebaikan terhadap sesama, di sana sini nampak siraman kasih mereka.

Kawan saya itu pernah bekerja sebagai pengantar barang2 (paket kiriman) ke rumah2. Pekerjaan itu sdh lama ia tekuni. Ia begitu suka dg pekerjaannya itu. Baginya serasa hanya itu kerja yg paling cocok untuk dirinya. Baginya bidang kerjanya itu adalah bidang kerja yg memberi kemerdekaan bagi dirinya. Kerja sendiri, bisa mengatur waktu sendiri, enjoy..., yaaa..., pendek kata baginya itu suatu kemerdekaan tersendiri dalam melaksanakan tugas kerja.

Suatu ketika, saya diajak jalan2 mutar2 kawasan Perth yg begitu luasnya. Saya heran juga, hingga jalan2 pelosok pun ia tahu, tanpa melihat peta ataupun GPS.

Dengan gambaran itu kita bisa tahu, bahwa ia berinteraksi langsung dg masyarakat di sini. Dan lebih dari itu, orang tua angkatnya pun adalah orang asal Kanada. Jadi dengan demikian tentu ia tahu persis tentang kultur masyarakat sini.
(Cannington WA, 26 Desember 2017)
(BERSAMBUNG)

DOKTRIN YANG DIWARISKAN

By: Kookaburra (A. Fuad Usfa)

Suatu sore ada lima orang sedang duduk di tepi pantai, kelimanya berbeda agama. Mereka menikmati keindahan cakrawala kala mata hari hendak terbenam. Alunan ombak yang tenang, warna biru, ungu, dan kemerahan bagaikan tinta membaur di atas kanvas yg membentang luas. Mata hari  nampak begitu indah dg sinarnya yg menawan hati dan bersahabat.

Ke lima orang itu duduk terpukau, dan mereka sama mengagumi akan keagungan Tuhan. Tuhannya siapa...?!. Tuhan mereka masing2..., yang mereka sama tak tahu..., namun harus merasa tahu... Mengapa?!. Karena doktrinasi yg diwariskan...
(Cannington WA, 28 Desember 2018)
(FB)

TUHAN DENGAN ‘t’ KECIL

By: Kookaburra (A. Fuad Usfa)

Banyak, dan tak terhingga banyaknya, yang aku saksikan. Bahwa untuk menunjukkan keperkasaan tuhan, manusia sama berlomba dengan segala tenaga, pikiran, jiwa dan darah. Agar tuhan menjadi perkasa, seperkasa yg ada dalam bayangannya. Keperkasaan tuhan adalah sebatas  keperkasaan anak manusia.
#ternyata tuhan hanya dimaknai dg ‘t’ kecil...

(Cannington WA, 28 Desember 2018)
(FB)

KEARIFAN,PENGETAHUAN,KEBENARAN DAN KEKUATAN

By: Kookaburra

Kearifan itu dimiliki oleh setiap orang. Adapun tingkat kearifan seseorang itu berbeda. Sama halnya dengan pengetahuan. Tingkat pengetahuan itu pun berbeda2. Kearifan dan pengetahuan itu berbeda pula dengan kebenaran, ia berada pada ranah yg berbeda.

Kadang kita tidak mampu membedakan. Dari situ pulalah terbentuknya kelas2 yg bahkan bisa menindas. Dengan kondisi seperti itu yg menyebabkan acap kita tak mampu bersikap fair.

Katakan suatu contoh praktis saja, bagaimana kita memahami anak kita. Bagaimana orang tua/generasi tua memahami orang muda/generasi muda.

Dari itu sebetulnya kita bisa menarik garis ukur. Garis ukur ini dapat kita bagi menjadi dua bagian, yaitu bagian yg bisa diukur (hard) dan bagian yg tak bisa diukur (soft).

Ok..., terhadap hal yg bisa diukur, dengan ukuran yg jelas, tentu kita tidak bisa menolak, mau tidak mau harus menerima realita. Seperti misalnya orang tua sedang mengalami kesulitan dalam menggunakan komputer, internet, termasuk HP, fesbuk, twitter, WA, dll. Dalam hal ini banyak orang tua yg mau tidak mau harus minta tolong pada anaknya, kendatipun anaknya itu baru duduk di bangku sekolah menengah. Padahal dari segi usia tentu si anak jauh berada di bawah orang tua.

Nah sekarang kita banding dengan bagian yg tak bisa diukur (soft), seperti tradisi maupun agama misalnya. Sulit untuk menemukan siapa sebenarnya yg tepat, atau setidaknya lebih tepat?. Dalam hal ini anak selalu berada pada posisi bawah angin. Padahal sebetulnya sama saja kedudukannya antara bagian yg bisa diukur (hard) dg yg tidak bisa diukur (soft) itu.

Sebetulnya hal itu hanya pada persoalan bisa diukur dan tidak bisa diukurnya. Untuk kasus kita di Indonesia misalnya, hal posisi bawah angin itu diperparah dengan ketergantungan yg kuat si anak terhadap orang tua. Dalam skala umum oleh sebab budaya paternal yg sangat kuat.

Bilamana kita bisa mengakui kemampuan akan keunggulan anak terhadap satu hal, mengapa kita berat, bahkan tidak mengakui terhadap hal yang lain?!.

Dari situ bisa kita pahami bahwa kerangkeng2 terhadap individu dan sosial di masyarakat kita muncul oleh sebab aspek yg tidak bisa diukur itu. Sedang hal yg tidak bisa diukur itu hanyalah suatu kemungkinan semata. Adapun dalam pandangan yg dibentuk dalam masyarakat kita adalah bahwa kemungkinan2 itulah yg lalu dipastikan, dibuat pasti.

Maka dengan demikian berlakulah hukum, siapa yg kuat adalah siapa yg menang. Tentu saja hal itu berbeda lagi dari ranah kearifan, pengetahuan, dan kebenaran.
(Cannington WA, 30 Desember 2017)

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...