Saturday, August 28, 2021

PUISI OMAR KHAYYAM

Oleh: A. Fuad Usfa 


Kita tentu mengenal siapa itu Omar Kayyam, nama yang tak asing bagi kalangan kita. 


Ia adalah seorang matematikawan, astronom dan filosof besar (yang hidup di abad ke 11-12 pada masa kekuasaan dinasti Seljuk) yang diakui dunia hingga di abad modern ini. Dan, ia pun terkenal luas sebagai seorang penyair. 


Puisi Omar Khayayam pendek-pendek, hanya empat baris saja (quatrain/rububaiyat), namun terbentang makna yang dalam. Karya puisi Omar Khayyam yang terkenal adalah yang berjudul ‘Rubaiyat’. Terjemahan dalam bahasa Inggris yang terkenal adalah terjemahan dari Edward FitzGerald (1859) yang diberi judul ‘The Rubaiyat of Omar Khayyam’.


Melihat sajian dari tulisannya itu, nampak Omar Khayyam tampil sebai sosok skeptis. Berikut ini kita bisa menyimak di antaranya:


* Oh datanglah Khayyam yang tua, dan tinggalkan yang bijak untuk berbicara; suatu hal yang pasti, bahwa kehidupan berjalan cepat; satu hal yang pasti, dan sisanya adalah dusta; bunga yang pernah sekali mekar mati untuk selamanya.


* Kala aku masih muda begitu bergairah mengunjungi cerdik pandai dan orang suci, dan mendengarkan perdebatan besar tentang ini dan tentang: tapi terlebih lagi keluar dari pintu yang sama ketika saya masuk.


* Dengan biji hikmah ku menabur, dan dengan tanganku sendiri mengusahakan untuk tumbuh: dan hanya segitulah panen yang ku petik—“aku datang bagaikan air, dan seperti angin aku pergi.”

(Cannington WA, 1 Februari 2020)

HIDUP DAN 'PERBUDAKAN'

 QOUTATION DARI LATIFA

(In ‘MY Forbidden Face’)

By: Latifa

Diangkat oleh: A. Fuad Usfa


Hidup selalu datang dan pergi

Hidup tak perlu ditekan-tekan

Manakala penindasan menjadi bagian dari hidupku

Aku tiada perlu untuk hidup

Di dalam perbudakan

Kalaulah bermandi di curahan hujan emas sekalipun

Dan, aku akan berkata pada langit

Aku tiada perlu akannya

(Latifa, My Forbidden Face, Virgo, London, 2002)

(Gosnells WA, 2Januari 2013)

Ed.rev,

TERUNTUK PUTRIKU SAMANTHA

By: Jason F. Wright

Diangkat oleh: A. Fuad Usfa


teruntuk putriku samantha


ayah ingin membelikan sebuah jaket untukmu

tapi tidak ada bahan yang cukup indah

untuk menyulam jaket yang pantas bagimu

dan ayah juga tidak memiliki banyak uang untuk membeli bahan itu.


ayah ingin membelikan sebuah jaket untukmu

tapi tidak ada cukup warna di dunia ini

yang mampu menandingi semangat hidupmu

bahkan pelangipun kalah cemerlang


ayah akan membelikan sebuah jaket untukmu

di surga.

(Gosnells WA, 6 Januari 2012)


Puisi persembahan dari sang ayah... kutipan dari novel  jason f. wright, 'the wednesday letters'.

Monday, August 23, 2021

SAPAAN ANGIN

Oleh: A. Fuad Usfa


Kemaren aku berangkat kerja tiada nampak bersitan sinar mentari. 


Kawasan Perth bagaikan dilingkupi tenda raksasa dengan warna abu-abu yang melengkungi kawasan.


Suhu udara begitu bersahabat, dan tidak tersa hangat walau di tengah musim panas. 


Seperti biasa, ku mengendara tuk menuju destinasi, dan ku buka jendela walau hanya beberapa centi meter saja, untuk sekedar penawar rindu akan sapaan angin pagi di musim panas.

(Cannington WA, 19 Januari 2018)

MENUJU DESTINASI

(Lembah nan Indah)

Oleh: A. Fuad Usfa


Menuju sebuah 'danau' kecil di sebuah lembah.


Melewati jalan setapak ‘penuh tantangan’. Jalan setapak berpasir, berbatu-batu kecil dan kadang ada juga yang relatif besar. 


Di tengah hutan pardu dengan pohon-pohon natif. Nuansa tersendiri yang sangat mengesankan.


Lembah dalam walau di rute yang tiada seberapa terjal. Tapi berjalan di jalan berpasir dan berbatuan kecil-kecil, kadang relatif besar yang berserakan cukup melelahkan, baik kala menurun maupun mendaki.


Perlu ke hati-hatian agar pergelangan kaki tidak terkilir (Jw.keseleo).


Lembah yang indah, diapit tebing bukit batu yang mempesona👍🙂

Kalbarri National Park

(Kalbarri WA, 20 Januari 2021)

MENUJU DESTINASI

Oleh: A. Fuad Usfa


Dulu, dari daerahku hendak ke Jawa yang jaraknya sekitar 80 mil saja susahnya setengah mati, apa lagi ke ke Bangka-Beltung, atau ke Kijang Kep. Riau, atau ke Singapura. Korban tenggelam dan wafat dalam perahu pun tiada terbilang.


Kini, kapal dan pesawat pun sudah tersedia.


Dulu naik perahu sudah dianggap biasa. Naik perahu layar bermesin (PLM) sudah istimewa, itupun tanpa kontrol syahbandar yang layak.


Penumpang melebihi kapasitas dianggap biasa saja, tiada ada yang harus dirisaukan. Istilah orang saat itu: ‘bagaikan (ikan) pindang’.


Ombak dan badai sering melanda di tengah pejalanan, tiada terkecuali dalam tapak destinasiku (-ku adalah salah seorang saksi sejarah-).


Jangan ditanya berapa saja yang tenggelam, berapa yang wafat di perahu lalu di benam ke laut, berapa yang melahirkan dalam perahu, serta berapa yang lumpuh dalam perahu yang lalu dipapah begitu sampai di dermaga.


Berapa saja yang kehabisan bekal di perjalanan, yang terpaksa mampir pulau Karimun, terutama kala kehabisan cadangan air.


Kini hendak ke daratan Jawa, Bangka-Belitung, Kijang, Tanjung Pinang, (Batam), Singapore, Malaysia, Australia, layanang perjalanan yang cepat dan nyaman menyambutnya.

(Cannington WA, 23 September 2018)

Saturday, August 21, 2021

AGAMA DAN SELIMUT KASIH

Oleh: A. Fuad Usfa


Semoga agama telah kita jadikan selimut kasih

Bukan malah menjadi sumber intrik dan peperangan 

Di mana-mana bagian di jagad ini


Ummat yang beragam latar belakang sejarah

Mereka dilahirkan dari latar berbeda

Dari yang masih primitif hingga pusat-pusat megapolitan


Ummat yang telah membentuk dan terbentuk dengan pandangan-pandangan mereka 

Sebagaimana kita juga


Semoga agama bukan malah menjadi sumber penindasan

Egoisme, dan 

Sentra arogansi.

(Gosnells WA, 16 Agustus 2013)

Ed.rev.

KOMPLEKSITAS DAN KELUGUAN

Oleh: A. Fuad Usfa 


Aku teringat pada masa lalu, khususnya kala aku masih pelajar dan mahasiswa. 


Kala kita diperjalanan, seperti naik bus misalnya. Kita duduk bersebelahan dengan orang yang tiada kita kenal, lalu kita atau orang lain itu hendak makan permen misalnya. 


Tentu kita atau orang lain itu akan menawarkan pada orang yang duduk di sebelah menyebelah. Dan, kita atau orang lain itu akan dengan senang hati menerima tawaran itu, lalu dengan senang hati mencicipinya.


Seiring dengan perjalanan jaman, kala kehidupan manusia makin kompleks, pengalaman hidup manusia bertambah kompleks pula. 


Menyimak dari banyaknya kasus di sana sini, maka orang tak lagi selugu masa-masa itu, di masa lalu, masa aku masih ‘student’ dulu.


Kini orang tiada kan mudah menerima begitu saja untuk ditawari makanan atau cemilan oleh orang yang tiada dikenal, di dalam perjalanan khususnya. Anak-anaknyapun yang dalam satu perjalanan akan diajari untuk waspada terhadap yang demikian itu.


Tiada ‘kan pandang penampilan, tiada ‘kan pandang jenis kelamin, juga etnis dan keyakinan atau agamanya, dan lain-lain.


Jaman terus bergulir, kompleksitas makin menyelimuti kehidupan insan, keluguanpun  makin terkikis. 

(Diangkat dari oretan kecilku: Forrestdale WA, 4 Desember 2018)

Friday, August 20, 2021

'IKU LAK KAREPMU'

Oleh: A. Fuad Usfa


Sewaktu Dawam Raharjo memberi kuliah (S2), yang mana saya termasuk di dalamnya, sang mahasisawa ada yang berkomentar 'MESTINYA (garis bawahi kata ‘mestinya’) bla lbla bla...'. 

Pak Dawam berkomentar, 'iku lak karepmu...'. 


‘Iku lak karepmu', menunjuk pada suatu makna paradigma berpikir. Seakan suatu kritik kepada kondisi masyarakat kita yang begitu ego, kebenaranpun dikoptasi sedemikian rupa.

(Gosnells WA, 10 Agustus 2012)

Ed.rev.

TEMPAT-TEMPAT SETAN BERTENGGER

Oleh: A. Fuad Usfa


Setan adalah makhluk Tuhan yang paling durhaka. Mereka akan datang dari segala penjuru. Tak pandang pun di bulan suci, di tempat suci, dan sebut lagi yang lain. Pendek kata di segala waktu dan tempat. 


Mereka bisa hadir bertengger dalam denyut nadi kita, ataupun di dalam aliran darah kita. Mereka bisa bertengger di hati kita, di pikiran kita, serta di lidah-lidah kita. 


Dengan yang demikian itulah kita perlu waspada, sebab setan tak akan segan-segan meneriakkan kata setan walau itu tertuju pada dirinya sendiri. 


Untuk itulah perlunya kita selalu waspada dan selalu menjaga kesucian hati, pikiran, dan lidah kita. Suatu yang niscaya dalam menghadapi kehidupan kita ini.

(Busselton WA, Medio akhir musim dingin 2019)

Edisi liburan musim dinging: di Busselton

Ed.rev.

PERIUK DAN FUNGSINYA

Oleh: A. Fuad Usfa


1. Periuk

Membaca judul di atas kita akan dapat gambaran ke mana arah pembicaraan kita selanjutnya. ‘Periuk dan fungsinya’. Kata kunci adalah, ada wadah dan ada fungsi.


Adapun yang dimaksud fungsi di sini tiada lain adalah kegunaan, atau tujuan dari keberadaan daripada sesuatu. 


Sebagaimana kita sama tahu, bahwa masing-masing benda dibuat dengan maksud untuk kegunaan tertentu, atau dibuat dengan tujuan tertentu. 


Dalam konteks kata periuk di atas tentu kita harus mendudukkan pada kegunaan atau tujuan dari pada periuk itu dibuat. Kita semua sama tahu, bahwa dia itu adalah salahsatu jenis peralatan untuk memasak. 


Apakah bisa difungsikan lain?. 

Tentu saja bisa, misalnya untuk menyimpan buah, mengangkat pasir, menyimpan buku, sampahpun bisa diletakkan di situ. Hal seperti itu bisa saja, kenapa tidak?!.

Namun hal yang perlu diingat adalah, bahwa hal yang demikian itu bukan tujuan daripada periuk itu dibuat. Oleh sebab itu tidaklah mungkin seseorang membeli periuk dengan tujuan untuk mengangkut pasir, atau untuk menyimpan buah, atau menaruh buku, apa lagi untuk menaruh sampah dapur, dan lain-lain di luar tujuan kegunaan periuk itu dibuat.


2. Sesuatu dan Fungsi 

Selanjutnya mari kita bicara pada hal yang lebih luas daripada sekedar gambaran periuk seperti di atas. 


Segala sesuatu ada fungsi-fungsi khusus, yaitu untuk apa sesuatu itu dibuat atau digagas. Suatu misal organisasi buruh, tentu hanya berbicara seputar buruh saja, dan lebih khusus lagi adalah untuk perlindungan nasib buruh. Demikian pula organisasi tani, koperasi, desa, dan sebagainya. 


Sering kita jumpai, bahwa kita tidak mampu membedakan atas eksistensi sesuatu itu dan fungsi-fungsinya. Oleh sebab itu tidak heran manakala yang terjadi bercampur baur tidak menentu. Lalu yang terjadi adalah, yang penting ada ruang di situ, maka segalanya bisa dimasukkan sekehendaknya.


3. WhatsApp

Mari kita lihat salah satu contoh kongkrit. Kita ikut group WA. Sering kali group itu ada judulnya, judulnya sudah jelas adanya, atau di judul itu dengan jelas mencerminkan makna eksistensinya. 

Suatu misal, katakanlah ada group WA yang ‘berjudul’ ‘Wahana Strategis Pengembangan Usaha Kecil’. 


Setelah kita ikut group itu dengan maksud untuk memperoleh masukan bagaimana cara yang strategis dalam pengembangan seputar usaha kecil, sekaligus untuk ikut urun rembuk di dalamnya, namun apa yang terjadi dalam realitanya?. Justru yang masuk di laman tersebut sebagian terbesar adalah di luar yang kita bayangkan. 


Di situ apa saja masuk, dari yang masih bersentuhan, semisal ungkapan, ‘aku buka lapak di pasar, hasilnya lumayan juga tuh...’. Itu masih bersentuhan memang, namun hal yang perlu dipahami bahwa itu bukan menunjukkan pada suat hal yang strategis. Tapi masih bisa dimaklumilah.


Okay, itu masih lumayan, namun ternyata yang sudah jauh dari konteks sekalipun juga masuk. Suatu misal, pelantikan ketua RT, acara penganten, acara sunatan, wejangan keagamaan, hingga pada politik dan intrik, bahkan gosippun bisa masuk dengan leluasanya.


Saya tidak mengatakan bahwa acara pelantikan Ketua RT itu tidak penting, tentu penting, bahkan sangat penting dalam konteksnya. Demikian pula hal yang lain seperti acara penganten, acara sunatan, ceramah-ceramah, suksesi kepemimpinan (politik), dan sebagainya. Tapi, tempatnya di mana?!. 


Untuk media yang umum, seperti di Fesbuk misalnya, itu okay okay saja. Di situ kita bisa buka lapak masing-masing. Kita bisa unggah status-status kita, mau yang serius dengan topik apapun, mau yang bercanda-canda, mau selfie, atau mau apa sajalah, sepanjang tidak melanggar hukum dan etika, okay okay sajalah. Tapi walaupun fesbuk, kalau itu group tentu harus mengacu pada topik tertentu. Maka itu admin harus mengarahkan setiap status yang (hendak) masuk, dengan mengindahkan azas konsekuen, konsisten, dan responsibilitas.


4. Gerutu

Mengomentari laman WA, dengan nada rada jengkel dan geli seseorang berkata pada saya, ini apa bedanya dengan group-group WA yang lain?, laman HPku penuh dengan hal yang tidak kami bayangkan, yang masuk ya itu-itu juga, sama saja, peluang masuknya virus di HPku (baca, kita) makin signifikan nih. Keluhan semacam itu tentu tiada salah, dan saya rasa benar adanya.


5. Pola

Okay, kita lihat pada suatu yang lebih serius. Katakan dalam hal penyusunan korikulum di lembaga pendidikan kita. 


Ternyata semangat yang sama sering juga terjadi. Sangat sulit untuk bisa fokus, karena semua dianggap penting. Ternyata sangat sulit untuk membedakan antara mana yang utama, sangat penting, penting, agak penting, tidak penting, bahkan bisa-bisa dengan yang sangat tidak penting. Hal itu terjadi oleh sebab sudah terpola dengan sikap hidup keseharian kita. Campur aduk sudah menjadi pola kita. Fokus, konsekwen, konsisten, dan responsibel?, ah...!!.


Okay... Katakan misalnya di Fakultas Hukum, atau di Fakultas Ekonomi, atau Fakultas apa sajalah. Seringkali hal yang bukan bidangnya dipaksakan untuk masuk. Juga ditingkatan-tingkatan lain, bahkan sedari tingkatan bawah.


Katakan suatu misal di Fakultas Hukum. Dalam penyusunan korikulum mata kuliah selalunya yang muncul adalah ini penting, itu penting, banyak hal yang dipandang penting, padahal bukan bidang ilmu hukum. 


Lalu apa yang terjadi dalam pembahasan?. Mata kuliah (atau pelajaran) agama penting, penting sekali, sangat penting sekali; 

oh iya, juga sejarah perjuangan bangsa itu penting, penting sekali, sangat penting; 

oh iya, P4 itu penting, penting sekali, sangat penting; 

oh iya, filsafat itu penting, penting sekali, sangat penting, (oh iya, untuk memahami fisafat kita harus terlebih dahulu memahami logika, maka logika itu penting, penting sekali, sangat penting sekali); 

oh iya, manajemen itu penting, penting sekali, sangat penting sekali;

oh iya, ekonomi pembangunan itu penting, penting sekali, sangat penting sekali;

oh iya Kemuhammadiyahan itu penting, penting sekali, sangat penting sekali, (mungkin begitu kalau di lembaga pendidikan yang dikelolah Muhammadiyah. Kalau yang dikelolah NU mungkin KeNUan dan/atau ASWAJA, demikian pula yang PERSIS, serta lembaga-lembaga sosial keagamaan yang lain; 

dan lain-lain lagi. 


Sehingga dengan demikian kita menjadi rancu, bobot kulrikulum kita sangat padat. Kita tidak lagi mampu membedakan mana ranah keilmuan dan ranah doktrinasi.


Itu belum lagi masuknya kepentingan-kepentingan yang lain, termasuk yang bersifat individu. Semisal, tatkala suatu mata kuliah atau suatu mata pelajaran itu atas dasar hasil evaluasi dipandang tidak perlu lagi untuk tidak disajikan, lalu muncul ungkapan, ‘kalau itu dihapus, saya harus pegang matakuliah (mata pelajaran) apa?, saya kan harus mempersiapkan dari awal lagi, harus belajar lagi, tentu harus membeli buku lagi, dan seterusnya’. Maka, tentu dengan demikian makin kabur dan kabur, karena dihadapkan pada dilema-dilema yang tidak substansional. 

Kata kuncinya adalah pola, sudah terpola. Serba rancu, semua dianggap penting.


Demikianlah, bermula dari sikap keseharian kita, lalu terus menerus terjadi, dan mengkristal dalam sikap pikir dan mentalitas kita, dan menjadilah bangunan pola. Maka kita telah terpola. 


Pola-pola itu telah sedemikian rupa ada di diri-diri kita, dan mengendap di alam bawah sadar kita. Jangan heran bila segala sesuatunya menjadi serba bias dan tidak jelas, sebab memang sudah terpola sedemikian rupa.


6. Ketidak jelasan

Dalam pada ini yang ingin saya katakan adalah, tentang tidak jelasnya paradigma kita. Budaya kita telah terbentuk dengan konstruksi kekaburan, tidak fokus dalam segala hal. Prinsip sambil lalu pun sudah membudaya pada masyarakat kita. Bagaimana profesionalisme akan tercapai?. 


Tentu disadari sepenuhnya, bahwa dalam banyak hal kita tidak mengindahkan azas konsekuensi, azas konsistensi, serta azas responsibilitas di dalam menyikapi persoalan dari yang terkecil, hingga yang besar, termasuk dalam pengambilan kebijakan publik dalam skala yang luas dan mendasar. 


7. Kembali Pada Periuk

Kala sang ibu memebeli periuk, anak-anak bersorak sorai. Sang ibu kegirangan oleh sebab yang dipikir adalah si anak paham maksudnya untuk apa ia membeli periuk besar, sebagai keluarga yang besar. 


Ternya di benak si anak berbeda, yang punya buah jeruk berpikir untuk menyimpan buah jeruknya, yang punya dawet berpikir untuk menyimpan dawetnya, yang punya buku berpikir ingin menaruh bukunya, yang punya kertas-kertas tak terpakaipun berpikir demikian, bahkan ada yang berpikir untuk menaruh sampah dapur, dan seterusnya. 


Tatkala sang ibu sampai di rumah dengan membawa periuk yang dibanggakannya itu, si anak langsung menyerbu kegirangan dengan konsepnya masing-masing, dan dalam sekejap periuk telah dipenuhi oleh beragam barang yang entah dan entah.

(Cannington WA, 14 September 2020)

MENERJEMAH SEJARAH

Oleh: A. Fuad Usfa


Orang lain telah menterjemah sejarah dalam bentuk sistem sosial dan kenegaraan yang berkemajuan, dalam bentuk terciptanya pesawat terbang yang canggih, dalam bentuk komputer, internet dan sebagainya. Sedang kita masih tetap sibuk berupaya memutar jarum sejarah dalam bentuk sebagaimana pendahulu awal mula mengkreasi sejarah --orientasi kebelakang, dan bangga kalau bisa berbuat sebagaimana yang diperbuat nenek moyang,yang meletakkan dasar--.

(Perth WA, 17 Agustus 2011) 

Ed.rev.

MEMBERI KEMERDEKAAN DI HARI KEMERDEKAAN

Oleh: A. Fuad Usfa 


Salah satu ujud kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai bangsa, mestinya sudah saatnya memberi kemerdekaan bangi bangsanya sendiri untuk menjalankan agama bangsa sendiri, yaitu dengan cara memberi pengakuan atas eksistensinya. 


Meletakkan agama bangsa sendiri setara dengan agama-agama lain dalam pengetrapan ajarannya. 

Ia adalah agama, bukan sekedar budaya ***). Ia adalah agama yang damai. Jangan sampai keberadaannya justru dalam posisi terjajah, di saat bangsa menyatakan terbebas dari penjajahan.


Agama adalah suatu keyakinan, sistem keyakinan terhadap Kausa Perima. Hakekatnya adalah merdeka, yang berintikan kasih sayang Tuhan.


Semoga dalam menjalani kemerdekaan, agama bangsa sendiri memperoleh kemerdekaan...., amin.

(Perth WA, 20 Agustus 2017)

------

***) Secara antropologis kemunculan agama berangkat dari akar yang sama.


*) (Ed.rev. Catatan: Saya hanya ingin menyatakan, berilah kemerdekaan untuk semua, semua saja. Fair).

Friday, August 13, 2021

LINGKAR KEHIDUPAN

Oleh: A. Fuad Usfa


Kehidupan bermega sisi dan dimensinya

Kehidupan adalah keseluruhan

Kehidupan adalah utuh

Kehidupan adalah dinamis


Bila kita ibaratkan 

Kehidupan bagai bulatan bola besar

Bola adalah satu yang utuh

Kita hanya berdiri di satu sisinya saja

Mungkin hanya tegak berdiri

Di sisi itu saja


Ada juga di antara kita yang mampu mengembara

Mungkin, yaaa..., hanya mungkin saja

Mungkin

Berkeliling mengembara di bulatan itu

Maka lebih beruntunglah ia

Walau tentu ia tiada mungkin lagi mengenali

Dinamika baru dari yang telah ia jalani dan alami itu


Sesungguhnya

Apa yang mampu kita ketahui dan pahami

Hanyalah yang ada di depan kita saja


Mengembaralah

Bacalah

Berdoalah


Kehidupan bermega sisi dan dimensinya

Kehidupan adalah keseluruhan

Kehidupan adalah utuh

Kehidupan adalah dinamis.

(Cannington WA, 17 April 2020)

Ed.rev.

KORUPSI BERBUSANA INDAH

Oleh: A. Fuad Usfa

Pernah di masa lalu korupsi disambut dengan tangan terbuka..., digunakanlah bahasa yang indah sebagai ligitimasi (pembenar), yaitu luaran, ceperan, tempat basah, dan lain lain. 

Banyak sekali orang mendambakannya, tiada tersembunyi, tiada pula tabir suatu apapun. 


Mahluk ini pernah menjadi idola. Orang yang duduk bangga, keluarga dan sanak kerabat bangga, tetangga bangga, sebut lagi yang lain, turut berbangga. Tiada usik apapun. Luaran, ceperan, tempat basah..., sebut lagi yang lain..., pendek kata, merdeka.


Suatu realita dalam sejarah kehidupan kita.

(Gosnells WA, 8 Juli 2012)

Ed.rev.

Thursday, August 12, 2021

COVID-19 DAN REALIATA PENYIKAPANNYA

Oleh: A. Fuad Usfa 


Pada 11 Maret 2020 WHO telah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. 

Covid-19 menularkan pada manusia bermula dari suatu daerah di negara Cina, yaitu Wuhan. Diperkirakan pertama kali berjangkit pada 17 November 2019.


Dari peristiwa itu kemudian muncul berbagai reaksi. 

Terhadap realita itu saya mengkategorikan terdapat empat cara pendekatan yang dilakukan orang atau kelompok, yaitu pendekatan positif, pendekatan negatif, pendekatan abu-abu, dan pendekatan ekonomi.


1. Pendekatan Positif

Di Cina sendiri tidak tanggung-tanggung, lansung mendirikan rumah sakit yang dibangun dalam hitungan hari. Para ahli mencari jalan keluar untuk mengatasi pencegahan dan terapinya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk itu. Pendekatan ini menggunakan standard keserba terukuran.


2. Pendekatan Negatif

Tapi di samping pendekatan positip itu terdapat pula pendekatan negatif. Dimaksud dengan pendekatan negatif adalah suatu pendekatan yang mengarah sikap yang semata-mata menyalahkan pada sesuatu atau keadaan tertentu, dan seakan di luar tanggung jawabnya. Pendekatannya adalah normatif-doktriner tanpa ada ukuran yang jelas.


3. Pendekatan Abu-abu

Kemudian dari pada itu terdapat juga reaksi abu-abu. Pada sikap ini lebih memilih berhati-hati dalam memberi sikap. Pendekatan ini lebih dekat pada pendekatan negatif, tapi sangat berhati-hati.


4. Pendekatan Ekonomi

Pendekatan ini sebetulnya tidak menyentuh upaya mengatasi penyebaran covid19, melainkan mencoba mengiringkan antara mengatasi tersebarnya covid19 dan tetap stabilnya ekonomi. Jadi titik tumpuhnya pada pemulihan stabilitas ekonomi.


Pendekatan pertama sangat aktif mencari solusi kongkrit dengan melakukan berbagai aktifitas penanganan langsung dan terukur dengan jelas, semisal pengadaan rumah sakit, penampungan, mengatasi kesediaan alat yang dibutuhkan bagi tenaga medis serta masyarakat luas, semacam kesediaan masker, vitamin, penyuluhan terkait dengan covid-19, social distancing, dan lain-lain yang serba terukur.


Adapun pendekatan kedua adalah sebaliknya dari pendekatan pertama. Pendekatan kedua ini lebih pada menyalahkan suatu atau keadaan tertentu, reaktif dan apriori. Sikap yang tampil dalam pendekatan seperti ini contohnya menyalahkan sikap penguasa, oleh sebab sikap masyarakat yang diklaimnya sebagai ingkar atau kafir, atau apalah istilah yang semacamnya. Bolehlah kiranya sikap ini disebut sikap penyandaran pada kambing hitam semata, yang tidak mungkin bisa diukur secara positif.


Dari sikap yang kedua tersebutlah munculnya klaim-klaim covid-19 adalah sebagai tentara Allah, covid-19 berjangkit ke Indonesia oleh sebab Rizik Sihab dihalang untuk kembali ke Indonesia, sikap menentang terhadap social distancing dengan dalih untuk beribadah, mengumandangkan sikap yang mengacuhkan apa yang dilakukan oleh pendekatan pertama dengan dalih hanya takut kepada Tuhan, mengumandangkan sikap bahwa covid-19 tidak akan berjangkit pada orang-orang yang berpegang pada pandangan (spiritualitas) yang dianutnya, dan sebagainya.


Sedangkan pendekatan ke tiga adalah sikap yang pada perinsipnya berpegang pada pendekatan kedua, hanya saja sangat berhati-hati. Pendekatan ini lebih memilih sikap relatif pasif, bahkan pasrah. Tapi tetap tanpa berupaya secara aktif mencari jalan keluar untuk pencegahan serta pengobatannya. Untuk upaya-upaya terbut bergantung pada di luar darinya. Jalan keluar yang ditawarkannya adalah jalan keluar yang bersifat supra natural, yang bersifat dogmatis kerohanian.


Apakah pendekatan pertama hanya bertumpu pada pendekatan yang bersifat materi (bertumpu pada pandangan [filsafat] materialisme/titik tumpu pada materi atau fisikal)?. Tentu tidak demikian yang saya maksudkan. Tapi titik tekannya pada pencarian solusi secara riil, positif, terukur. Adapun terhadap hal yang bersifat non fisik tentu bergantung pada nilai yang dianut dalam masyarakatnya. Jadi tidak serta merta terpisahkan. 


Selanjutnya, pendekatan ke-empat adalah kompromi antara mengatasi penyebaran covid19 dengan tetap stabilnya perekonomian. 


Dalam kasus di Indonesia sebetulnya hal tersebut telah diambil oleh sebagian masyarakat, yaitu dengan tetap melakukan aktifitas ekonomi di luar, walau ada ketentuan yang melarangnya. Dalam hal ini, salah satu contoh yang naik kepermukaan yaitu perlawanan yang dilakukan seorang ibu yang menjual pakaian (dalam) dengan dalih banyak tanggungan ekonomi yang harus dipenuhi. Juga adanya ungkapan-ungkapan seperti: ‘Ke luar mati kena covid, tidak ke luar mati kelaparan’, dan sejenisnya.


Belakangan ini Pemerintahpun menempuh jalan yang sama, namun dengan persyaratan harus mematuhi protokol kesehatan. 


Berkenaan dengan pematuhan terhadap protokol kesehatan tentu tidak mudah, karena keadaan tersebut tidak bisa tidak akan bersentuhan dengan tingkat berbagai kebutuhan, tingkat kesadaran masyarakat, serta tingkat kesiapan fasilitas dan aparat negara hingga pada tataran teknis.


Diantara ke-empat pendekatan itu terus berjalan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara saling mengisi sesuai tingkat kesiapan dan tekanan-tekanan yang menindihnya.

(Cannington WA, 31 Mei 2020)

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...