Friday, August 6, 2021

KEBERAGAMAN DAN KETUNGGALAN PANGAN UTAMA DI INDONESIA

(Suatu Pergeseran)

Oleh: A. Fuad Usfa


Pangan adalah salah satu kebutuhan utama bagi setiap makhluk hidup. Oleh sebab itu ketersediaannya tidak bisa tidak harus terpenuhi. 


Beragam bahan pangan yang dikenal bagi manusia di berbagai belahan bumi. 


Secara asal, pangan yang dikonsumsi oleh manusia tidak terlepas dari apa yang tersedia di lingkungannya. 


Bahan pangan tidak terkait dengan nilai, namun pe_nilaian dan bahkan stigmatisasi muncul pada masa kemudiannya oleh sebab berbagai faktor.


Di Indonesia pada dasarnya dikenal berbagai macam bahan pangan utama (pokok) seperti beras, jagung, sagu, sayur-sayuran/daun, ubi-ubian. Namun dalam perkembangan selanjutnya bergeser pada beras sebagai bahan pangan utama. Terutama pergeseran ini terjadi sejak masa Orde Baru.


Orde baru telah menggeser pada beras sebagai bahan pangan utama. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Orde Baru untuk mengembangkan budi daya padi, dan pernah mencapai masa gemilangnya.


Pada masa itu Indonesia pernah menjadi negara yang mampu mencukupi penyediaan bahan pangan utamanya. Indonesia pernah berhasil mencapai swasembada beras. Atas keberhasilannya itu Presiden Soeharto dianugrahi penghargaan dan medali dari Food and Agriculture Organisation (FAO) pada tahun 1986.


Namun keberhasilan itu tidak berlangsung lama, hanya berlagsung paling lama lima tahun saja, yaitu pada 1984-1989. Atau dengan masa gemilangnyya di tahun 1984-1985/1986 saja, sebab sejak 1986 sudah mulai merosot lagi, dan setelah 1989 terus merosot tajam.

*

Sepanjang masa kekuasaan Orde Baru upaya menjadikan beras sebagai bahan pangan utama bangsa Indonesia terus diupayakan. Berbagai program dirancang dan diujudkan. 


Pada 1967 Badan Urusan Logistik  (BULOG) didirikan. Badan ini didirikan dengan tugas untuk mengendalikan harga dan pengendalian bahan pokok, terutama pada tingkat konsumen, yang pada prakteknya konsen pada beras. Bermakna beras adalah sebagai bahan pangan utama. 


Pada perkembangan selanjutnya BULOG tidak hanya berperan menengendalikan harga dan pengendalian bahan pokok yang berupa beras saja, melainkan secara insidentil juga pada komuditas lain, seperi kedelai, gula pasir, minyak goreng, tepung terigu, dan beberapa lainnya.

*

Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bernama Kebijakan Swasembada Beras. Sejalan dengan itulah lalu dikeluarkan kebijakan intensifikasi, ekstensifikasi, dan deversifikasi. Dijalankannya kebijakan Revolusi Hijau hingga mencapai titik kulminasinya.


Semua yang saya gambarkan di atas berbasis pada beras, yang merupakan program unggulan pememerintah. Kondisi itu terus dikampanyekan. Program ekstensifikasi sama halnya juga dengan kampanye berasisasi bagi kawasan-kawasan masayarakat yang tidak berkonsumsi beras sebagai bahan pangan utama. 


Dari progmam-program Pemerintah (Orde Baru) itulah yang kemudian menggeser keragaman pangan utama pada ketunggalan pangan utama di Indonesia. Tentu hal itu harus ‘dibayar mahal’ dan yang kita rasakan hingga pada saat ini.

*

Kebijakan pemerintah dari rejim ke rejim masih terus mempertahankan kebijakan yang sama. Tidak ada kehendak politik untuk mengembalikan pada posisi sebagaimana Indonesia yang memiliki kekayaan potensi pangan bagi berbagai kawasan sesuai kondisi alamnya. Potensi alam dengan penyediaan pangan sesuai kondisinya masing-masing termarginalkan.

*

Alangkah indah dan akan lebih menawarkan kemakmuran serta kekayaan budaya (variasi) pangan kita, manakala kita mau memanfaatkan potensi alam kita sesuai kondinya demi pemenuhan bahan pangan yang merupakan kebutuhan utama. Sehingga yang disebut swasembada pangan itu bukan hanya dimaknakan sebagai swasembada beras.

*

Pergeseran telah terjadi, bahkan menjadi lebih parah oleh sebab pergeseran itu juga merambah pada aspek nilai. Seperti salah satu contoh, makan nasi lebih bergensi daripada makan singkong atau sagu, dan sebagainya. 


Bilakah orientasi keragaman pangan berdasar kekayaan hasil alam kita  yang sejati akan kita bina?!. 


Bila memang ada kemauan politik pemerintah (kita), maka persoalan utama yang harus kita hadapi adalah mengatasi stigma yang sudah terlanjur akut.

(Canington WA, 14 Mei 2020)

*) Rangkuman dari tulisan saya dengan judul yang sama (bagian 1 dan2)

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...