Saturday, August 7, 2021

MERUNUT NORMA-NORMA SOSIAL

Oleh: A. Fuad Usfa


1. Pengantar

Tadi pagi saya memotret hidangan masakan saya di atas meja, yaitu untuk saya unggah di laman fesbuk saya. Terbersit dalam pikiran saya, ‘manusia hidup cukuplah dengan ‘sepiring piring-dua piring’ makan saja, dan minun ‘segelas-dua gelas’ saja pula. Tapi mengapa banyak manusia yang serahakh?!’, hingga ada yang melakukan penipuan, korupsi, merampok, dan berbagai tindakan keji lainnya?!’.


Lalu terngiang pula, seakan ada yang menimpali di luar diri saya, ‘manusia itu kan makhluk Tuhan yang paling kompleks. Mereka dibekali dengan insting, rasio, nafsu, serta nurani. Manusia juga terdiri dari raga dan jiwa yang bergam dimensinya, yang dapat merangsang insting, rasio, dan nafsunya untuk bergerak, bahkan menentang kejernihan nuraninya’.


2. Norma

‘Iya..., benar sekali’, demikian saya menimpalinya. Lalu saya berkata, ‘maka itulah muncul yang namanya moralitas. Ajaran tentang moral, dogma tentang moral. Dengan demikian muncullah norma-norma. Norma adalah tata aturan berperilaku. Terdapat empat norma pokok yang melingkupi dalam kehidupan manusia, yaitu norma susila, norma kesopanan, norma hukum, dan norma agama’. 


3. Norma Susila

‘Bila nurani manusia mampu mekontrol dirinya sendiri dengan kuat, cukuplah manusia dibingkai dalam norma susila saja. Kepekaan hati nuraninya akan cukup untuk menegur segala perbuatan yang tidak baik untuk dilakukan. Suatu contoh, saat hendak menyakiti seseorang, kendati hanya sedikit sekalipun, hatinya akan berontak, lalu akan kembali pada kesejatiannya. Apalagi untuk hal-hal yang lebih dari itu. Maka dengan kontrol norma susila itu tentu ia tidak akan mampu menipu, mencuri, dan seterusnya’. 


‘Jadi, apa norma susila itu?. Norma susila adalah seperangkat norma yang bersumber dari suara hati nurani terkait dengan baik dan buruknya suatu perbuatan. Dengan berpegang pada norma susila manusia akan terlatih membedakan antara mana  yang baik dan yang buruk. Hati nuraninya bergerak secara aktif untuk mengarahkan perilakunya’.


‘Adapun sanksinya datang dari dalam diri sendiri. Artinya, bila ia melanggarnya, maka sanksi akan muncul dengan sendirinya, yaitu dengan munculnya penyesalan’.


4. Norma Kesopanan

‘Dalam kehidupan sosialnya manusia mendapati juga adanya realita tentang jenjang-jenjang sosial. Itulah fakta dalam kehidupan sepanjang sejarah hidup manusia. Universal adanya, mengatasi ruang, waktu, dan keadaan’.


‘Bila hubungan-hubungan yang berkesinambungan terkait dengan itu tidak diatur, maka bisa menyebabkan kesidak seimbangan dan bahkan kegoncangan sosial. Oleh sebab itu diperlukanlah norma untuk menjaga harmoni di antara mereka. Untuk itu mengedepanlah apa yang kita kenal dengan norma kesopanan. Artinya, bagaimakah kita harus berperilaku agar nampak pantas atau patut. Jadi titik tekannya yaitu pada persoalan pantas ataukah tidak pantas dalam berperi laku di tengah-tengah asyarakat’.


‘Jadi kalau begitu apa norma kesopanan itu?. Norma kesopanan adalah seperangkat norma yang mengatur tentang kepantasan dalam berperilaku’.


‘Sanksinya datang dari luar diri sendiri, yaitu dari masyarakatnya. Kontrol kelompok, eksternal adanya. Jadi kekuatan sanksi berada di luar dirinya. yaitu dari masyarakatnya secara non formal’.


5. Norma Hukum

‘Dalam faktanya pula, banyak perbuatan manusia yang merugikan sesama, atau bahkan merugikan terhadap lingkungan sekitarnya, baik terhadap bumi, tumbuhan, hewan, dan seterusnya. Sedang norma susila maupun norma kesopanan tidak  mampu berbuat atau bahkan tidak berbuat untuk itu. Maka itulah diperlukan norma hukum, yaitu aturan yang dibuat oleh penguasa demi terciptanya keamanan dan ketertiban dalam masyarakat’.


‘Apa sih norma hukum itu?. Norma hukum adalah seperangkat aturan yang dibuat oleh penguasa yang memuat ketentuan tentang perbuatan terkait larangan dan kebolehan dalam berperilaku. Ketentuan tersebut mengikat secara tegas di bawah kontrol penguasa’.


‘Sanksinya ditegakkan oleh penguasa dengan dengan alat kekuasaannya’.


6. Norma Agama

‘Di samping ketiga norma tersebut di atas, dalam realitasnya manusia selalu membutuhkan sandaran rohaniyah. Hal tersebut bersifat universal, mengatasi ruang, waktu, dan keadaan’.


‘Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan hal itu, termasuk mereka yang berpaham atheis sekalipun. Itulah yang dapat kita sebut rasa agama (lihat tulisan saya tentang [setidaknya] lima rasa yang ada pada setiap manusia)’.


‘Rasa agama tersebut kemudian mengkristal pada tindakan real berupa eksistensi agama yang mencakupi ajaran ritual dan sosial. Dalam pengejawantahannya (-bisa kita lihat dalam realitasnya-) berbeda antara yang satu dengan lainnya, dalam makna di masing-masing agama. Bahkan dalam satu ‘madzhab’. (-kata madzhab saya kasih dalam dua tanda kutip, oleh sebab dalam tiap-tiap agama berbeda penyebutannya, tapi hakekatnya mempunyai makna yang sama-). Bahkan lebih spisifik dari itu juga dalam satu tempat ibadah sekalipun’. 


‘Norma agama ini diyakini oleh setiap pemeluknya berasal dari Tuhan. Demikian juga sanksinya ditetapkan oleh Tuhan’.


‘Dalam setiap agama pasti mengatur lintas dua hubungan, yaitu transidental (hubungan dengan pencipta [khalik]), dan hubungan horizontal (hubungan dengan sesama ciptaan [makhluk]). Adapun yang membedakan adalah keluasan cakupannya, terutama dalam perihal hubungan horizontalnya’.


‘Dalam konteks yang saya sebut dalam paragrap terakhir di ataslah klaim-klaim terhadap cakupan norma dari ketiga norma lainnya sebagaimana tersebut di atas,  ada yang ketat dan ada pula yang longgar. Mading-masing agama mempunyai klaim yang berbeda’.


‘Dalam negara sekuler, hubungan antara norma agama dengan ketiga norma lainnya sebagaimana tersebut di atas diadakan batas (pemilahan) yang jelas. Dasarnya adalah selalu berlatar belakang pada jejak historis’.

(Cannington WA, 11 Juli 2020)

Ed.rev.

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...