Saturday, August 7, 2021

NAMBAH 'DULUR' DAN PERGESERAN

 Oleh: A. Fuad Usfa

Bagian (1)


1. Pendahuluan

Sebagian terbanyak dari perjalanan hidup saya adalah saya jalani di tanah Jawa. Di antara itu saya pernah hidup di lingkungan orang Jawa yg memang jawa, yaitu tatkala saya kos di Ketawang Gede Kota Malang. Beberapa tahun saya kos di sana, di keluarga jawa. Juga tatkala ngontrak rumah di kota Batu, kemudian juga saat saya ngontrak rumah di Pendem (yang juga masuk kawasan Kota Batu). 


Belum lagi di saat-saat saya membimbing KKN (Kuliah Kerja Nyata) mahasiswa, khususnya pada saat KKN diadakan di desa2 terpencil dan dijalankan selama tiga bulan). 


Lingkungan di situ adalah lingkungan yang memang jawa dengan tradisi dan falsafah jawa yang dianut masyarakatnya. Walau tentu sudah terdapat pembauran, namun masih kental kejawaannya.


Apa yang ingin saya utarakan dengan narasi singkat saya di atas?. Tak lain hanya salah satu saja dari falsafah hidup yg mereka pegang, yaitu ‘nambah dhulur’. 


2. Makna

Nambah dulur. Kata itu adalah salah satu kata yg selalu kita dengar. Artinya menganggap bahwa manusia ini adalah satu kesatuan, yg kadang hubungan-hubungan persaudaraannya terputus oleh berbagai sebab. Seperti karena jarak teritori, darah, budaya, dst. Tapi hakekatnya adalah sama. Oleh sebab itulah pentingnya memulihkan kedekatan-kedekatan yang telah terpisahkan itu.


Nambah dulur makna harfiyahnya adalah ‘menambah saudara’, sedangan makna termenologisnya dapatlah dirumuskan sebagai ‘menambah hubungan persaudaraan di antara sesama manusia tanpa memandang segala latar belakangnya’. 

(BRSAMBUNG)

(Cannington WA, 3 Januari 2018)


(bagian 2)


3. Nambah Dulur dan Keutuhan

Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa konsep ‘nambah dulur’ merupakan hubungan persaudaraan yg tulus dan luhur, tanpa ada pretensi apapun juga. Hubungan persaudaraan universal, sebagai satu kesatuan yg utuh.


Pengertian dan jiwa daripada nambah dulur berbeda dengan apa yg umum kita kenal dengan istilah ukhuah. Ukhuah adalah merupakan hubungan pesaudaraan yang terpilah-pilah. Konsep ukhuah memandang manusia itu terkotak-kotak, dan pada kotak-kotak itu terdapat jenjang kederajatan yang bertangga, ada kotak jenjang atas dan jenjang bawah, ada jenjang kotak yang lebih utama dan luhur ada pula pula jenjang peringkat bawah dan ‘terhina’, dst. Konsep ukhuah adalah konsep yg penuh dengan tendensi-tendensi, penuh dengan praduga/pretensi. Konsep ukhuah adalah konsep politik (politiking) terhadap segala hal kehidupan. Bukanlah konsep yang murni suara hati nurani kemanusian yg suci dan luhur.


4. Perbandingan

Pengertian kedua istilah tersebut di atas berbeda sangat jauh. Oleh sebab jauhnya itu maka dengan sendirinya tidak setara untuk disandingkan. Walau kemudian konsep ukhuah itu dilunakkan, pun masih belum mungkin untuk disandingkan. Persoalan utamanya adalah sifat mendasar yg dikandungnya, yaitu pengkotak2an, jenjang penderajatan, serta politiking yang tak mungkin terlepas dari konsep ukhuah.


Nambah dulur memahami sesama dengan penuh baik samgka, sedang ukhuah dengan ‘buruk’ sangka. Nambah dulur memahami semua orang sebagai bagian daripadanya, sedang ukhuah memahami orang di luar dirinya sebagai ‘makhluk’ yang harus dicurigai dan bahkan bisa dipahami sebagai musuh yg harus dilawan. 


Dari perbandingan di atas dapatlah kita lihat pada realita yang ada. Dalam realitanya kita melihat bagaimana konsep ukhuah itu telah mencoba menggeser konsep nambah dulur di kalangan masyarakat jawa. Adapun perihal kadarnya, itu lain persoalan. 


5. Konsekwensi Logis

Sehingga dengan demikian muncullah sikap keakuan, kecurigaan, permusuhan, dan seterusnya,  yang kita dapat saksikan dari hari ke sehari. Pada kasus-kasus belakangan ini perhatikan misalnya tatkala ia melihat kembang api, melihat terompet, melihat patung, melihat tahun baru masehi, tetmasuk melihat orang lain melakukan peribadatan yang berbeda walau bahkan masih dalam satu ‘kotak’ sekalipun, apa lagi berbeda ‘kotak’, dan lain-lain.


6. Filterasi

Tentu konsep nambah dulur itu tidak mungkin secara serta merta terkikis secara keseluruhan, namun gejala itu (bahkan bukan sekedar gejala) semakin nyata dan meluas, dengan (sekali lagi saya sebut) terlepas dari sekalanya. Pun saya tidak menafikan bagaimana kuatnya konsep ‘nambah dulur’ ini dalam memfilter konsep ukhuah dalam perjalanan sejarahnya.


Saya bisa mengutarakan lagi berbagai kasus yg tiada terhingga jumlahnya, dari caci maki hingga menabur misiu dan bom. Namun saya selalu punya alasan klasik, yaitu waktu saya terbatas.


7. Penutup

Itulah yang saya maksudkan adanya pergeseran, dengan segala tensinya. Itu semua tentu terpulang pada lingkungan. 

Mungkin ada pembaca yang berpikiran bahwa uraian saya terlalu melebar, namun saya berpendapat tidak(!), bahkan sangat fokus.


#maka dari itu tak herah manakala yg terjadi bukan lagi konsep ‘nambah dulur’, melainkan adalah ‘nambah musuh’.

Tentu saya tidak mempersoalkan uhuwah dari aspek asal kata.

(Cannington WA, 7 Januari 2018)

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...