Tuesday, August 10, 2021

MEMAKNAI SIKAP TUHAN (2)

Oleh: A. Fuad Ufa


Beberapa waktu yang lalu saya menulis dengan judul yang sama. Saya menulis berdasar pada pengalaman saya, pada suatu saat di kemacetan lalu lintas jalan raya di kawasan Cannington.


Pada saat ini saya mengajak semua untuk melihat berbagai realita keseharian kita. Coba kita perhatikan, tatkala awal covid-19 berjangkit pada manusia di Wuhan, tiba-tiba ada yang lantang meneriakkan Corona virus adalah tentara Allah. Mungkin saat itu tidak terbayang bahwa Covid-19  akan menjadi pandemi, mungkin yang bersangkutan hanya hanya membayangkan Covid-19 itu hanya sebagai penyakit yang ada di Cina saja. Banyak lagi cerita terkait dengan seputar itu.


Perhatikan pula di saat-saat bom meledak di mana-mana, lalu disandarkan pada kehendak Tuhan. Perhatikan perilaku kita yang kontradiktif, semisal pernyataan bahwa agama kita adalah agama damai dan rahmat bagi semesta alam, tapi dalam saat yang persis bersamaan intimidasi demi intimidasi serta perlakuan yang tidak adil terus dilakukan terhadap yang berbeda dan tidak disukainya dengan atas nama Tuhan. Demikian juga upaya dikotomi secara ektrim antara kelompoknya dengan kelompok lain (semisal partai Allah vs patrai setan), namun dalam waktu yang bersamaan mengumandangkan perdamaian dengan sesama. 


Bisa jadi juga ada yang ‘mempersinofikasikan’ Tuhan sebagai bangsa tertentu, (katakanlah) mungkin ‘mempersonifikasikan’ Tuhan ‘sebagai sosok bangsa Arab’. Perhatikan pula bagaimana di tengah-tengah kita terdapat wanita berjilbab yang gencar berkata bahwa jangan sampai rambut kelihatan karena bisa mengantarnya ke neraka, tapi ternyata yang bersangkutan berinteraksi secara bebas tanpa didampingi mahramnya. Dipakainya satu dalil, tapi diketepikannya dalil satunya walau mempunyai kedudukan yang sama. Ujug-ujug dalihnya ikhtilaf. Simple. Dan, perhatikan simbol-simbol yang ditampilkan adalah simbol-simbol budaya dari mana agama itu muncul. Realitas sosial.


Dari narasi di atas dapatlah sepintas kita simpulkan, bahwa Tuhan itu kok nampaknya adalah diri atau kelompoknya, atau yang sejiwa dengan itu. Itulah baginya. Tuhan adalah tuhan dalam ‘t’ kecilkah?!.


Pola beragama seperti itulah yang menyebabkan berbagai tanda tanya, yang menyebabkan agama tergeser pada sudut yang tidak realistis dalam kehidupan ini. Trauma-tauma masa lalu tentang sejarah orang beragama muncul kepermukaan, terutama dalam masyarakat yang kritis. Saya melihatnya seperti itulah yang terjadi dalam realitas kehidupan kita ini.


Apa yang ingin saya utarakan di sini adalah, dapatlah dipahami bila ada yang mengatakan bahwa tingkat keberagamaan kita ini adalah bagaikan candu. Agama adalah pokoknya bisa memuaskan, agama adalah bayangan, agama adalah lukisan dari yang kita bayangkan, bahkan agama adalah tiran, tergantunglah kepentingan. Mengapakah jadi begitu?!.


Terhadap fenomena semacam itulah bisa dimaklumi bila terdapat banyak orang yang merespon positif terhadap pandangan positivism seperti dikemukakan oleh Aguste Comte. Aguste Comte berpandanga terdapat tiga tahap dalam pemikiran manusuaia, yaitu tahap Teologik, Metafisik, dan Positif. Tahap Teologik adalah tahap yang tidak bisa diukur dan dipertanyakan, tahap Metafisik adalah tahap yang tidak bisa diukur namun dipertanyakan (ditelusuri), dan yang terakhir adalah tahap Positif. Baginya tahap Positif itulah tahap tertinggi dari tahap pemikiran manusia.


Ketiga tahapan itu terjadi bukan hanya terhadap manusia sebagai kelompok dan dalam ruang serta waktu tertentu, melainkan berlaku juga terhadap individu tanpa bersandar pada sekat ruang dan waktu.


Apa yang dapat kita tangkap dalam sejarah pemikiran manusi atas eksistensi Tuhan telah memunculkan pandangan yang berpankal pada titik ektrim, yaitu teisme dan atheisme. Di samping dua titik ektrim tersebut terdapat pandangan agnostisisme. Dengan merujuk pada Dawkin, ia membaginya dalam ‘Strong Theist’, ‘Theist’, ‘Agnostic’, ‘Impastial Agnostic’, ‘Strong Agnostic’, ‘Atheist’ dan ‘Strong Ateist’. Di samping itu terdapat yang lain lagi yang membaginya sebagai teis, non teis, ateis, anti teis, dan sebagainya, namun pada intinya pikiran manusia secara permukaan terbagi dalam dua ektrim tentang eksistensi Tuhan.

Itulah realitas.


Sehubungan dengan perkembangan agama, disamping yang telah diutarakan di atas, kita juga mengenal sebagaimana apa yang diutarakan oleh Schimidt, yang berpendapat bahwa Mula-mula manusia mempunyai keyakinan mono teisme, tapi karena perkembangan dialektika selanjutnya mengalami distorsi, sehingga berujud pada poli teisme. Pandangan ini juga sama dengan pandangan Karen Amstrong, yang berpendapat bahwa mono teismeyang diajarkan agama semitik bukanlah hal yang baru, nelainkan mempertegas kembali ajaran yang sudah ada. 


Dialektika itu terus berlanjut, dan akan terus berlanjut. Berkenaan dengan berbagai narasi dalam diskursus sosial itu, termasuk narasi-narasi sebagaimana yang saya tuturkan pada permulaan artikel ini. Dalam memaknai sikap Tuhan. Jenis atau bentuk distorsikah itu?!.

(Cannington WA, 5 April 2020)

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...