Saturday, August 7, 2021

PERSPEKTIF

Oleh: A. Fuad Usfa

Bagian (1)


Fiksi:

Aku melihat sesuatu persis di depan mataku

Sebuah benda, hitam pekat

Oh sungguh tiada menarik

Bahkan membosankan

Hitam, gelap


Aku membayangkan bagai malam tanpa bulan dan bintang 

Aku pikir, aku harus melepas pandanganku

Sungguh aku tak membutuhkan itu


Perlahan aku menjauh, dan menjauh

Oh..., ternyata

Aku perhatikan, nampak indah dan makin indah


Dan

Benda yang kutatap adalah sama

Sama persis

Ya, sama persis, tiada beda apapun

Hanya posisiku yang berbeda


Kini 

Hitam pekat itu justru indah

Indaaah sekali


Aku tak lagi jemu menatapnya

Bahkan ingin memilikinya

Karena ia adalah tahi lalat di dagu sang bidadari


Ternyata

Perspektif telah membalik keadaan.

(BERSAMBUNG)

(Cannington WA, 12 Juli 2020)

Ed.rev.


Bagian (2)


Tadi malam saya menulis tentang perspektif (1).


Saya mencoba menggambarkan tentang bagai mana suatu obyek dilihat. Obyek itu persis sama. Saya ibaratkan ‘tahi lalat’. 


Tahi lalat itu adalah tahi lalat yang berada di tempat yang tiada salah. Saya memberi bayangan bahwa tahi lalat itu berada di dagu. Bukan hanya di dagu, melainkan di dagu sang bidadari. Bidadari adalah gambaran keindahan. 


Pendek kata, dari aspek tingkat kewajaran tidak terdapat kesalahan apapun atas keberadaan tahi lalat itu. Adapun yang membedakan adalah perspektif semata. 

*

Adapun permisalan dan ungkapan tentu bisa berbeda, dari permisalan yang sederhana seperti tahi lalat yang saya gambarkan itu, hingga pada permisalan yang lebih kompliks tentu bisa kita suguhkan. Bahkan bukan hanya sekedar permisalan, melainkan bisa contoh dalam kasus kongkrit.


Perspektif sering pula menyebabkan orang dikuasai bayang-bayang. Bisa membenci, bahkan bisa ‘kesemsem’ ingin memiliki, bahkan ingin menyatu dengannya. Semua itu tentu wajar saja, sepanjang tidak mengganggu keseimbangan dalam kehidupan sosial. 


Itulah sebabnya, kita perlu menyadarinya. 

Kadang persoalan-persoalan krusial yang muncul di tengah-tengah kehidupan sosial kita hanya berkutat seputar perspektif saja, yang kemudian diletakkan dalam sebuah bingkai. Beragam bingkai itu. Entah, di bingkai yang mana di letakkannya. Bisa jadi suka suka, asal suka, mungkin saja.

(Cannington WA, 13 Juli 2020)

Ed.rev.


Artinya, saat perpektif bersentuhan dengan kepentingan, saat itulah munculnya gesekan. Maknanya, seringkali persoalan krusial itu bukan terletak pada bendanya, melainkan pada kepentingan. Bukan kata benda, melainkan kata sifat. 


Begitulah perspektif.

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...