Wednesday, August 11, 2021

KEHENDAK BEBAS DAN KEHENDAK TIDAK BEBAS (1)

Oleh: A. Fuad Usfa


Dari dulu perihal azas pertanggung jawaban manusia dibahas. Pertanyaan dasarnya adalah, ‘apakah manusia itu punya kehendak bebas ataukah tidak?’. 


Hal tersebut menyangkut pertanggung jawaban manusia. Sangat esensial sekali mana kala hal itu terkait dengan hukum. Hukum dalam pengertian luas. Apakah hukum dalam tata kehidupan kita yang nyata ini, maupun hukum dalam dimensi ukhrawi.


Sebab bilamana manusia itu punya kehendak bebas, maka ia itu harus bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Sedang mana kala sebaliknya, maka ia tidak bisa dipertanggung jawabkan atas apa yang diperbuatnya.


Suatu misal terkait dengan kehendak bebas, misalnya si A diberi dua pilihan, apakah ia mau minum racun ataukah mau minum madu?. Ia ditawari dengan cara yang fair. Bila mana yang ia pilih adalah minum racun, maka ia harus menerima efek racun itu dengan segala konsekwensinya. Demikian pula bila ia memilih minum madu. 


Sedang untuk misal terkait dengan kehendak tidak bebas, misalnya si B adalah wanita yang lemah gemulai nan lugu. Betul-betul lemah gemulai, tangan dan jari-jemarinya lemas lentur dan halus-mulus. 

Suatu ketika ia didatangi oleh seorang pria yang gagah perkasa, kekar dan berotot sangat kuat. Tiba-tiba si peria itu memaksa agar wanita tersebut memukul kaca jendela rumah si C, dengan cara memegangkan sebatang besi di tangan sang wanita itu, lalu mengayunkan tangan wanitu itu ke arah kaca, sehingga kaca pecah berantakan. Dalam hal ini si B tidak punya kekuatan apa-apa untuk melawan kehendak sang laki-laki itu.

Persoalan yang muncul, bisakah pecahnya kaca dipertanggung jawabkan kepada si B?, oleh sebab faktanya besi itu berada dalam genggaman tangannya?.


Semua gambaran dalam kedua misal di atas tentu bukanlah gambaran yang tepat, apa lagi sempurna, oleh sebab tidak bisa kita mencari gambaran yang tepat untuk itu.


Itu sekedar permisalan yang kiranya dapat dengan mudah untuk kita pahami. Lalu kita dapat mengembangkannya sendiri dengan cara mengamati kehidupan dalam  keseharian di tengah-tengah kehidupan kita. 


Apakah kita ini merdeka ataukah kita ini tergantung (tidak merdeka secara azasi)?. Suatu misal, apakah kita minta dilahirkan sebagai etnis Mongoloid?, Caucasoid?, Nigroid?, Australod?. Lebih menukik lagi, apakah kita meminta untuk dilahirkan sebagai etnis Arab?, India?, Afghanistan?, Jerman?, Itali?. Dan, lebih menukik lagi, apakah kita meminta untuk dilahirkan sebagai suku Jawa?, Bali?, Ambon?, Papua?. 

Kapan kita meminta untuk dilahirkan sebagai kita adanya sekarang?. 


Lebih menukik lagi pada segala persoalan pemahaman sosial kita, seperti kapan kita minta untuk dilahirkan sebagai pemeluk budaya tertentu?, intelektualitas tertentu?, dan seterusnya. 

Kapan kita minta untuk itu?. Pilihan apa yang telah diberikan pada kita?. Bukankah kita adalah produk orang-orang sekitar kita?. 

Kita lahir tidak mengerti apa-apa, lalu dibentuk, didoktrin, bahkan tak kurang dalam proses pembentukan atau doktrinasi itu dengan cara pemaksaan dan ancaman. Pendek kata dengan berbagai macam cara.


Dari rangkaian itu, maka tahu-tahu jadilah kita seperti begini, tahu-tahu jadilah kita orang Arab, India, Jerman, Jawa, Bali, dan seterusnya. 

Yaaa..., tahu-tahu jadilah kita berbudaya tertentu (budaya kita ini, itu, dan seterusnya, tidak pernah kita minta, kapan kita meminta?), menganut nilai-nilai tertentu (juga sama, nilai-nilai ini, itu, dan seterusnya, tidak pernah kita minta, kapan kita meminta?), dan seterusnya. 

Bahkan tidak kurang yang terjebak dalam kefanatikan yang membuta-tulikan. 


Siapa yang bertanggung jawab semua itu?!. Dengan keserba ‘tiba-tibaan’ itu?!. 


Bahasan seputar itu dapat kita pelajari dalam ajaran filsafat, yaitu Determinisme dan indeterminisme. Dalam ilmu kalam kita kenal Jabariah, Qadariah, Asy’ariyah. Demikian juga kita dapati dalan teologi Kristen, dan juga dalam Buddhisme, dan lain-lain.


Secara azasi, pakah kita ini punya kehendak bebas?

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab?!.

Demikian itulah pertanyaan mendasar yang dihadapkan pada kita.

(Cannington WA, 28 Juni 2020)

(BERSAMBUNG)

Ed.rev.

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...