Sunday, May 28, 2017

TERORISME DAN KEPURA2AN YG DIMAINKAN

TERORISME DAN KEPURA2AN YG DIMAKNKAN
Oleh: A. Fuad Usfa
Banyak pihak yg mencoba mengelak dari realitas bahwa terorisme itu memang real..., nyalang di hadapan kita... Beragam cara yg dilakukan untuk itu, ada yg bilang pengalihan isu, ada yg bilang jangan kaitkan teror dg agama tertentu, teror tidak punya agama, bahkan ada yg bilang teroris itu tidak punya agama (suatu fitnah yg nyata), agama kami tidak mengajarkan kekerasan, agama kami tidak mengajarkan terorisme, dsb.

Dengan tidak menampik akan tiada keterkaitannya antara teror dan agama tertentu, namun dalam kontek rentetan kejadian kekinian yg luas berkembang di seantero bumi, termasuk di Indonesia, kita tentu paham bahwa pelaku teror adalah mereka yg menyandang agama tertentu dan memgumandangkan seruan keagamaan, menggunakan simbol2 keagamaan, dengan janji2 yg dinisbatkan pada janji2 Tuhan..., dsb.
Kondisi yg sudah sedemikian rupa memperihatinkan itu malah mendapat dukungan dg berbagai bentuknya... Seiring dg itu beragam upaya mengelak dari realita itu terus berkumandang bersamaan dg mencoba menutupi dg beragam cara, dan ironisnya dalam waktu yg persis bersamaan mengagungkan beragam sepak terjang terorisme yg dilakukan mereka... Sikap kebencian terus dikonarkan, fitnah, hoax dan propaganda2, hingga menabuh genderang perang tak henti2nya dikumandangkan...

Kepura2an terus dilakukan, tak lain untuk menyuburkan terorisme serta bibit2 terorisme...
(AFOF, Cannington, 28 Mei 2017)

Friday, May 26, 2017

TAK DIDIDIK ALTERNATIF2

SEJARAH KITA
Oleh: A. Fuad Usfa
Kita2 ini tidak pernah dididik dg alternatif2..., dari kecil, baik dalam konteks makro maupun mikro..., hingga pada peribadi2/person..., tak pernah dikenalkan itu..., kita hanya dididik satu pendekatan saja, hanya 'hitam-putih'...
(FB)
25 Mei 2016

KORUPSI

KORUPSI
Oleh: A. Fuad Usfa
Entah kapan sy nulis status yg juga sy unggah di twitter dan blog sy yg isinya 'Adakah lini yg terbebas dari korupsi di Negeriku...?!'. Di fesbuk kadang status itu muncul dan sy shared...

Simbol2 begitu kuatnya di negeri kita, seakan kita ini sebagai pemuja2 simbol..., sedangkan substansi terabaikan. Demi simbol kita rela melakukan apa saja, termasuk intimidasi dan teror. Lihatlah realita keseharian kita, begitu gegap gempitanya kita mengawal dan menegakkan simbol..., demi simbol segalanya jadi halal...

Baru saja sy membaca berita, tadi malam pejabat (Uditor) BPK terkena OTT KPK... Tentu sy tidak heran... Apa yg tidak bisa menjadi bahan mainan di negeri kita... Lembaga pendidikanpun bisa rela melepaskan dunia keilmuannya, rela dikikis dg maraknya penyimbolan2..., kadang bukan ilmupun disajikan demi doktrinasi ambisi2 simbolik...

Dari masa lalu anti korupsi didengungkan..., sebagai isu utama yg disuguhkan pada kita, pada saat yg bersamaan kita menabur atmosfir korupsi..., budaya penyuburan korupsi..., maka banyaklah bertumbuhan jamur2 tokoh bangsa yg membangun kerajaannya atas dasar hasil korupsi...
Pada masa Orde Baru memprihatinkan lagi, sebab orang2 tak lagi mampu membedakan mana korupsi dan mana pula yg tidak..., sebab korupsi telah mempunyai nama yg indah, seperti kita kenal luas kala itu, 'luaran', 'ceperan', 'tempat basah' ('basahan?'), atau sebut yg lain lagi...

Kita tentu sama paham bahwa simbol2 itu sangat abstrak... Dengan demikian tak hayal mana kala kita menyaksikan orang2 berteriak lantang, dan mengaitkan pula dg keberagamaan seseorang..., tentu tidak, pemberantasan kurupsi tidak terkait dg itu... Secara umum lihatlah pada urutan tingkat korupsi di dunia...

Selama kita masih mengagungkan simbol dari substasi, maka tak banyak yg kita harapkan dari harapan ideal pemberantasan korupsi yg telah begitu membelit bagai benang kusut di negeri kita...
(AFOF, Perth WA, 27 Mei 2017)
(FB)

Wednesday, May 24, 2017

KEINSYAFAN DIRI

KEINSYAFAN DIRI
Oleh: A. Fuad Usfa
Dulu sy pernah terjebak dalam pemahaman keagamaan normatif, diantara ciri dari pandangan ini teks2 keagamaan lebih dipahami secara tekstual, hitam-putih, hanya kitalah yg paling benar, di luar kita salah, titik!.

Th 1979 geliat gerakan masyarakat Islam bergolak, aku masuk dalam bagian 'sumbu pendek itu', kala itu era internet belum menjelma, maka betebaranlah brosur2, tabloid2, kaset2 orasi keagamaan, semisal Tonny Ardi, Husain al Habsyi, Syafruddin Prawiranegara, dll..., nafasnya adalah mendiskreditkan pemerintah dan pihak2 yg tidak sepandangan, tentu aku suka..., kala itu aku masih mahasiswa..., aku bagian dari sumbu pendek itu...

Pandangan dari Nurcholish Majid tidak aku sukai, tapi aku sering hadir diceramah2 beliau, sebab aku sebaju dg beliau... Pandangan yang bagaikan cakrawala nan luas itu sama sekali tak mampu sy pahami, sebab aku sedang berada dalam tempurung. Bom bom pun meledak di mana2, di sudut gereja, sudut candi Brobudur, atau sebut yg lain...

Saat Gus Dur menyebut gerakan2 'sparatis' itu dg bughat, aku diantara orang yg tak setuju, aku adalah juga orang yg tak menyetujui Pancasila sebagai azas tunggal, bahkan dalam ranah di lingkup bawahpun. Kala sy menyusun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga IMPSB sy merumuskannya secara tegas, walau kemudian berubah saat dalam pembahasan di Surabaya, di arena Musyawarah Tertinggi, itu persoalan lain, itu bukan rumusan dari saya, melainkan hasil bahasan, kawan2 sepantaran dan sepergerakan dg saya tentu tahu sikap saya..., sy 'sumbu pendek'...

Mataku mulai terbuka, saat mau mengintip ke luar tempurung, melrik catatan harian Ahmad Wahib, berdiskusi dg mereka2 yg membuka diri, menempuh bidang studi sosiologi, lalu terbukalah, betapa luas cakrawala itu..., lalu aku pun merambah dunia luar, dalam realita di lapangan terbuka..., dan aku berkata pada diriku, 'kau telah terperangkap, kau tersekap, coba kau angkat tempurung yg melingkupimu, tataplah realita yg mengelilingimu, ternyata tempurung itu hanya bagian dari keluasan lingkup itu sendiri'.

Kini ku mesti insaf dan bertobat..., amin. #Aku bagian dari semua.
(Cannington Western Australia, 11 Februari 2017)
(FB)
#edisi revisi

MATINYA MAKNA KTA

MATINYA MAKNA KATA
Oleh: A. Fuad Usfa
Dulu, saat sy masih aktif2nya bimbing KKN ada cerita, sekedar cerita sebagai i'tibar yg selalu sy sampaikan pada mahasiswa kala pembekalan, agar kita memahami atas kearifan2 lokal, yaitu 'al kisah, suatu ketika mahasiswa KKN memberikan penyuluhan pada warga setempat tentang pentingnya ventilasi. Mahasiswa bilang bahwa ia telah menemui rumah2 di kampung itu sebagian besar tidak ada ventilasinya, lalu ia menyampaikan bahwa utk rumah yg sehat diperlukan sirkulasi udara yg cukup, dan itu akan ada manakala terdapat ventilasi, dan biasanya ventilasi itu terdapat di bagian atas jendela atau pintu, sedang yg demikian itu tidak kita jumpai di kampung ini...', demikian ia mengutarakan...; lalu serta merta ada warga yg hadir di penyuluhan itu yg bilang..., 'mas KKN..., tidak ada ventilasinya sebagai mas KKN maksudkan saja kami sudah kedinginan mas, terutama kalau malam hari, apa lagi ada ventilasinya mas...'. Lalu 'mas KKN' itu berpikir, mengapa demikian?, dan ia sadar bahwa karena sebagian terbesar rumah2 di kampung itu terbuat dari gedeg... Jadi coba kita pikir, seandainya lobang2 pada gedeg itu dikumpulkan jadi satu, berapa besarkah senyatanya ventilasinya itu...?.

Kita sering memahami kata dari segi harfiyah saja, sehingga kata itu menjadi mati..., kata yg mati..., kata yg telah berabad2 sekalipun masih juga dipahami secara harfiyah  padahal jaman telah berubah.
'Mahasiswa' tadi hanya membayangkan, bahwa ventilasi itu adalah ventilasi secara khusus sebagaimana yg terdapat di rumah2 gedung di perkotaan sebagai dari mana ia selama ini tinggal..., ia tidak memahami makna hakiki nya..., tidak memahami konteks...

Dalam pemahaman keagamaan pun tak terkecuali, masih dominan yang seperti itu juga...

#dulu KKN di desa2 terpencil, 3 bulan..., beda dg sekarang... #terlepas dari uraian di atas, sy berpikir sebaiknya KKN itu di stop sj..., dg kata lain tak perlu ada KKN...
(FB)

BALI KATEGORI KOTA ISLAMI

BALI KATEGORI KOTA ISLAMI
Oleh: A. Fuad Usfa
(Maarif Institute)
Sehubungan dg isu yg diangkat 'Maarif Institute' belakangan ini sy jadi pingin nanggapi juga, lalu sy kopi aja komen sy di status sy yg lalu dan sy sesuaikan dg konteks...
Bahwa perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah begitu pesatnya, di masa Rasulullah belum. Kalau semua dirujuk pada contoh Rasulullah, baik itu fi'li, qauli, maupun takriri, tentu gak mungkin... Ini sy ada cerita: pada th 2000 kawan2 Dekan di lingkungan UMM, termasuk sy Dekan FH, melakukan lawatan kerja ke Perth, singkat cerita begitu sampai di Perth kawan sy Dekan FAI (fakultas Agama Islam) bilang pada sy..., 'wah..., sy menemukan Islam di sini pak Fuad...', katanya; lalu sy bilang Islamnya siapa pak?, bla bla bla... Lalu ia bilang..., 'konsepnya pak Fuad...'.

Kosep..., konsep..., berkenaan dg kebersihan misalnya, tentu sy tdk harus mendebat, apa ada dalil yg membolehkan mengangkut sampah dg kendaraan khusus (yg besar) seperti yg dilakukan di Perth, apa ada dalil tentang TPS (tempat pembuang sampah), apa Rasulullah mencontohkannya misalnya..., ya tentu tidak perlu bertanya seperti itu... Lagi pun sy ini kan agak nyleneh juga..., 'wong hal yg NALURIYAH kok diatur2, yo ra diatur akan jalan dg sendirinya laaa...

Ungkapan2 semacam itu telah lama banyak sy dengar, hingga kini pun, termasuk oleh kalangan kita yg bermukim di sini. Ungkapan dari Muhammad Abduh telah begitu populer di tengah2 kita. Abduh adalah seorang tokoh reformis Mesir yang kemudian pernah berkeliling Eropa. Ia mengungkapkan bahwa ia melihat Islam di Eropa, Inggris dan Perancis khususnya, tapi tidak melihat kaum muslim di sana. Sebaliknya, dia melihat kaum muslim di Mesir (negerinya sendiri), tapi tidak melihat Islam di sana.

Semangat 'Maarif Institute' sama dg ungkapan2 itu semua..., bukan hal yg baru. 'Maarif Institute' melakukan pendekatan keilmuan, di saat kondisi masyarakat kita begitu banyak yg hanya berasyik ria dg pendekatan2 intuitif..., yg selalu sy dengar adalah berbungkus marwah ataupun ghirah yg buta, semangat jahiliyah...
(FB)

CERITA LAMA

CERITA LAMA
Oleh: A. Fuad Usfa
Dulu kalau kita bertamu begitu duduk sejenak tiba2 datang kopi dan manisnya minta ampun. Tanpa ditanya suka minum apa, gula berapa.

Adapun yg perlu kita pahami, bahwa dg begitu tuan rumah ingin menunjukkan penghormatan pada sang tamu, itu tradisi kita.

Kini tradisi itu mulai bergeser, bahwa ternyata banyak pilihan2 dalam hidup, termasuk hal minum berminum. Banyak diantara kita yg tidak minum kopi dg berbagai sebab, juga banyak orang yg membatasi dlm mengkonsumsi gula.
Oleh sebab sudah tradisi maka si tamu yg tidak mengkonsumsi kopi dan/atau gula jadi serba salah, diminum tidak bagus untuk diri dan bahkan kesehatannya, tidak diminum takut dibilang sombong.

Dalam jaman keterbukaan sekarang ini tentu bertanya mau minum apa, teh, kopi, milo, misalnya, dan setelah dijawab kopi misalnya, maka kita tanya pula perlu gula berapa?, dan hal tersebut bukan lagi menjadi hal yg tabu...
(FB)

MEMAHAMI SESAMA DAN DELEMATIKA

MEMAHAMI SESAMA DAN DELEMATIKA
Oleh: A. Fuad Usfa
Kita sering tak bisa memahami orang lain, termasuk dalam urusan makan. Dulu masa generasi sy orang ingin berbadan gemuk, kadang banyak orang mengkonsumsi obat gemuk, sebab badan gemuk sebagai simbol kemakmuran, ayem, bahagia, apa lagi kalau perut gendut yg dimaknai sebagai boss...

Masa kini hal demikian itu telah bergeser, malah banyak diantara kita ingin nampak lansing. Anak2 muda banyak yg menakar makanan berdasar jumlah kalori, vitamin, karbohidrat, atau entah apa lagi namanya. Banyak restauran yg mencantumkan kandungan dalam makanan dan minuman secara jelas. Maka jangan heran kalau kita ngundang makan tamu ternyata hanya makan sekadarnya saja. Adapun yg penting kita pahami bukan berarti tamu kita tidak menghargai kita, melainkan memang begitulah pola makannya. Tak jauh2, anak2 sy kalau dibelikan makanan tanpa ditawari terlebih dahulu misalnya, bisa2 tidak termakan, dan ia bilang (misalnya) sudah cukup untuk hari ini bah..., sy hanya butuh sekian butir telur saja lagi, tidak butuh karbohidrat, dsb lagi.

Adapun yg menjadi persoalan kalau kita mengundang makan orang lain dan kita tidak siap memahami orang lain. Di situlah delema kita, yg berlaku pula untuk segala hal yg lain dalam pergaulan hidup keseharian kita, dalam pergaulan yg lebih luas.
Celakanya lagi kalau kita menuntut agar orang lain memahami kita, namun kita tak mau memahami orang lain.
(FB)

DIANTARA KISAH HIDUP

KISAH HIDUP
DI ANTARA KISAH HIDUP
Oleh: A. Fuad Usfa
Teringat. Seketika kira2 sy berusia 15 tahun sy sakit, beberapa kawan menggoda, kamu nampak pucat  sekali Puk, matamu juga cekung... Kata2 kawanku itu menjadi buah pikiran..., lalu aku ingat mati..., lalu teringat sorga dan neraka... Saat itu sy bukannya berpikir searah, seperti yg diutarakan kiai, guru dan ustadz kami..., melainkan muncul pertanyaan lain dalam benak ku... Sorga menyenangkan dan neraka amat sangat menakutkan, lalu di mana aku akan memasukinya?, bukankah yg aku anut ini bisa salah?, sebab agama lain mengatakan penganutnyalah yg akan bisa masuk sorga, yg lain neraka?, kalau begitu aku bisa masuk neraka..., ach mengerikan..., itu yg ada dalam benak sy saat itu...

Tengah malam sy sering terbangun, sepertinya risau..., aku hanya bisa memendamnya... Lalu terbersit hasrat membaca buku bacaan ayah kami, aku ingat pertama kali aku sentuh adalah sebuah buku Tasauf Modern karya Hamka, dari itu berlanjut teruS, berlanjut pada kitab fiqh, hadist, dan mulai menjalar pada buku2 pamanku M. Syukuran Said, pada buku2 ilmu kalam, mustalahul hadist, qawaidul fiqh, dst yg ada di pustaka pribadi paman ku yg bernama Moh. Syukan Said, ia adalah alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo, dan beliau punya banyak koleksi buku..., lalu muncul pula keinginan membongkar majalah2 lama kepunyaan orang tua kami di sebuah almari tua (antik), almari itu besar, berukir2an, peninggalan mbah kami dari garis ibu yaitu R. Muhammad Said..., di situ aku dapati majalah2 lama yg saya ingat yaitu majalah Gema Islam dan Abadi..., bahkan pada kemudiannya majalah2 itu sy kumpulkan dan sy jilid, demikian pula majalah yg ayah kami tetap berlangganan yaitu Panji Masyarakat sy jilid pula, juga Majalah Kiblat yg walaupun ayah kami tiada berlangganan namun selalu beli.
Saya baca pula Majalah Al Muslimun terbitan Persis Bangil..., sy baca karya2 TM Hashbi Asshiddiq, A. Hassan, A. Qadir Hassan, dsb... (-Tentu sepintas dari bacaan2 itu org akan bisa menyimpulkan bahwa kami dari keluarga Masyumi-). Kemudian sy punya kawan berdiskusi (lebih tepat tempat kami ngangsu kaweruh), yaitu kak Maeng (R. Ismail yg jg masih sedarah dg mbah kami yaitu R. Muhammad Said) Dusun (Kampung) Laut Sungai, beliau putra tokoh Masymi/Muhammadiyah di Bawean yaitu R. Syahruddin)...

Kembali pada bacaan..., dari situ pulalah yg mengantar sy pada masa2 kemuadiannya untuk membaca karya2 pemikiran al Maududi, Muhammad Qutb, Abdul Qadir Audah, Amir saqib Arselan, dst, karena pd khakekatnya nama2 terdahulu yg karyanya sy baca boleh dikata merupakan pintu gerbang pada Maududi dst...

Dan, entah sejak kapan, aku tak ingat lagi, bilamana bayangan tentang kematian dg pertanyaan yg merisaukan itu telah sirna dari benakku..., aku lupa... (AFOF 01114)
(FB)
Edisi revisi

OH TUHAN

OH TUHAN
Oleh: A. Fuad Usfa
Sy merenung, kala sy msh kecil, hidup di alam Desa, traditional, radio pun jarang orang punya, punya sepeda ontel sdh begitu bangga...

Kala menginjak usia remaja arus modernitas sdh mulai merambah Desa kami, radio sdh makin banyak yg punya, tape recorder, TV, sepeda motor pun sudah masuk pula...

Di perantauan aku hidup di kota, kebanggaan si anak Desa, dunia yg ku arungi berubah pula, adat budaya pun berbeda, pergaulan, aku pun mulai bergaul dg Budi, Stevanus, Wayan, Manurung, dst... Lalu aku mulai mengenal kawasan2 lain..., berbeda2...

Kini usiaku sdh tak ter bilang muda lagi, ku tatap ke belakang sejak di saat ku masih kecil dulu... Serentang perjalanan..., serasa jauh perbedaan itu... Kawan2ku dan orang2 lain berbeda..., dari perbedaan yg dekat hingga yg jauh... Salah kah perbedaan itu?, kalau salah lalu siapa yg harus disalahkan pula?, diantara yg berbeda itu siapakah yg senyatanya salah?, (--ter lepas dari menurut pandangan kita--), dan harus kah diperangi?.

Oh Tuhan...
(FB)
22 Mei 2016

UJUD KESARAN

UJUD KESADARAN
Oleh: A. Fuad Usfa
Kita ribut memaksakan suatu pandangan, baik dalam tanda kutip maupun tidak..., khususnya dalam kepemimpinan POLITIK, garis bawahi yg sy tulis kapital POLITIK dalam arti LUAS, dalam tanda kutip ataupun tidak...

Ambisi2 untuk memimpin dg menggunakan bahasanya sebagai yg dinisbatkan pada bahasa Tuhan, hanya baginya, tidak bagi orang lain, sehingga yg disebut dg kemerdekaan dalam memahami esensi kebenaran hanya ada dalam retorika pada bingkai2 POLITIK keakuan..., sehingga pemahaman2 keagamaan sering pula dipahami keberpihakan Tuhan pada bangsa dan negeri tertentu, sampai pun buah2an yg tumbuh di negeri itupun adalah buah 'sorgawi', dan seakan Tuhan tak pernah berpihak pada buah rambutan, buah kelengkeng, buah susu, buah ceri dst...

Sy jadi tak heran manakala muncul istilah 'Islam Nusantara', yg menghendaki tatanan keberagamaan yg bergulir secara ramah dg pemahaman yg bergulir secara alami, rahmatan lil alamin...

Perebutan kekuasaan pun tak jauh dari konteks itu..., dalam kepemimpinan Nasional kita, kita telah disuguhkan pada realita, dan itu tentu harus dipahami sebagai suatu realita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, garis bawahi, kita...

Dalam kancah kepemimpinan Nasional kita, coba kita cermati, misalnya di masa Gus Dur (pentolan NU) jadi Presiden, ketua MPR nya Amin Rais (pentolan MD), ketua DPRnya Akbar Tanjung (pentolan Pergerakan Mahasiswa Islam yg kuat), coba cermati apa yg terjadi...?, siapa yg paling getol nurunkan Gus Dur..., lalu siapa yg naik menggantikan Gus Dur...?. Lalu Amin Rais yg punya ambisi begitu kuat gagal, SBY bertahan dua periode, Soeharto nembus 30 tahunan..., Soekarno juga bertahan..., Soeharto bisa bertahan kokoh saat dekat dg kelompok 'mereka', dan mulai di awal 80an Soeharto mulai merapat pada kita, hempasan2 pun tetap tak henti2nya terhadap kepemimpinannya, kemudian merapuh, dalam kerapuhannya, siapa yg mengambil kesempatan maju kedepan paling getol menumbangkannya...?, hmmmmmm...

Kita telah cukup belajar pada sejarah, pakar2 kita dalam segala bidang adalah milik kita, bukan milik mereka, membina kehidupan berkemajuan ala kita adalah suatu keniscayaan..., tak perlu meniru mereka yg hari2nya bersitegang dg kekuatan politik saling menghancurkan dan membumi hanguskan..., seakan kasih Tuhan hanya berada dalam retorika..., nyatanya Tuhan 'tak pernah hadir' di tengah2 kita.
(AFOF, Perth WA, 22 Mei 2016)
#edisi revisi
(FB)

LIMA POTENSI RASA

LIMA POTENSI RASA
Oleh: A. Fuad Usfa
Setidaknya ada lima potensi rasa dalam diri setiap insan, yaitu rasa sosial, rasa susila, rasa seni, rasa inteletual, rasa agama. Tak ada insan yg terlepas dari rasa itu. Lingkungan adalah faktor yg membentuk kemampuan pengembangannya.

1. Rasa sosial.
Tak ada insan yg ingin hidup menyendiri, panggilan nuraninya selalu ingin hidup berkelompok, dari situlah muncul kelompok keluarga, kelompok sekawan, kelompok suku, kelompok ras, kelompok berbangsa, dll sebagainya.

2. Rasa susila.
Tak ada insan yg terlepas dg rasa ini, rasa malu adalah bagian dari perwujudan rasa susila ini, maka itu dalam setiap kelompok insan terdapat nilai2 susila yg menjadi bagian dari tatacar ber kehidupan kelompoknya.

3. Rasa seni.
Setiap insan tak akan ada yg terlepas dari rasa ini, mereka menyukai keindahan, serta keunikan yg mencerminkan keindahan. Dari sinilah insan menentukan nilai2 keindahan dan keunikannya. Perwujudannya tentulah tergantung pada skala ruang dan waktu. Suatu contoh diantara keunikan termaksud antara lain yaitu, di mana2 tempat sy menjumpai orang menjual pakaian sobek2, dijual di toko2 ternama dg harga mahal, dalam satu helai hingga berharga jutaan rupiah. Indah kah pakaian tsb?, mungkin tidak, tapi unik dalam 'keindahannya'.

4. Rasa intelektual.
Setiap insan tak ada yg terlepas dari rasa intelektual ini, tak terkecuali dalam  masyarakat yg terbelakang pun. Rasa ini yg memunculkan manusia begitu peduli pada keingin tahuan, kemudian berkembang pada perenungan dan riset untuk membina kemaslahatan dalam kehidupan.

5. Rasa agama.
Setiap insan, di mana dan kapanpun juga, mengatasi ruang dan waktu tentu, tak ada yg terlepas dari rasa ini. Perwujudan dari rasa ini adalah, bahwa mereka mengakui suatu kekuatan yg ada di luar dirinya. Setiap individu dan kelompok beragam responnya terhadap realita yg dihadapinya, dari rasa ini pulalah yg menyebabkan munculnya bermacam2 agama di dunia. Setiap agama bermula dari kelompok kecil, di suatu daerah tertentu, kemudian berkembang sesuai tingkat agresivitas pengembangannya. Dari keadaan yg demikian itulah bisa kita pahami bila agama2 itu sarat dg simbol2 dari tradisi mana agama itu muncul, yg bahkan kemudian diyakini sebagai kebenaran universal.
(FB)

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...