Sunday, January 2, 2022

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa


  1. Eksistensi Tuhan

Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca indra kita. Oleh sebab itu bisa dipahami manakala terdapat banyak konsep tentang Tuhan. Baik hal tersebut menyangkut perihal dzat-Nya maupun sifat-Nya, atau segala sisi-Nya.


Eksistensi Tuhan adalah mutlak. Ia tiada berawal dan tiada berakhir. 

Narasi tersebut adalah narasi umum, bisa dimaknai apa saja. Baik Tuhan dalam pemaknaan personifikasi, maupun dalam makna hukum-hukum yang mutlak menguasai segenap apa yang nampak maupun yang gaib, hingga pemaknaan sekedar kebutuhan sandaran jiwa manusia.


Ada orang yang baik, berbudi pekerti mulia, halus perangai dan tutur budi bahasanya, menghargai sesama manusia apa lagi terhadap orang tuanya, menjaga alam lingkungannya dengan penuh amanah. Keadaan yang demikian itu oleh sebab mereka sandarkan pada Tuhan. 


Namun ada juga yang bahkan sebaliknya, mereka tidak berbuat baik terhadap sesama manusia bahkan menjadi penganiaya, berbudi pekerti tidak mulia, kasar perangai dan tutur budi bahasanya, tidak menghargai sesama manusia termasuk terhadap orang tuanya, tidak peduli untuk menjaga alam lingkungannya. Keadaan yang demikian itu oleh sebab juga mereka sandarkan pada Tuhan.


Realita seperti yang saya narasikan di atas, tentulah suatu yang  sangat mudah kita lihat dalam sejarah kehidupan manusia hingga detik ini. 


Dari kata-kata kasar, hingga tragedi kemanusian sedari tataran individu hingga kelompok, dengan segala jenis perbuatan tetek bengeknya, hingga bom diledakkan di mana-mana. Atas nama Tuhan.


Lalu apakah ‘Tuhan’ itu ada sih?.


  1. Pertanyaan Klasik 

Sesungguhnya pertanyaan tentang eksistensi Tuhan sudah ada sejak jaman dahulu kala. Bukan di akhir-akhir ini saja. 


Menilik dari khazanah Buddhis, ternyata di zaman sang Buddha Gautama pun pertanyaan seperti itu telah banyak diungkapkan. 


  1. Kisah Menarik

Ada sebuah kisah menarik.

Suatu ketika sang Buddha Gautama menapaki suatu pejalanan bersama para murid. Di pagi hari sang Buddha bertemu dengan seorang pemuda yang sedang galau. Ia bertanya pada sang Budha: ‘Guru Buddha, sebetulnya Tuhan itu ada ataukah tidak ada?’.

Sang Buddha menjawab: ‘O muridku, o anak muda, Tuhan itu ada’. 

Anak muda itu berkata, ‘terimakasih, terimakasih guru Buddha’. 


Saat siang hari sang Buddha bertemu lagi dengan seorang pemuda lain yang mempertanyakan hal yang sama. Namun kali ini dalam keadaan garang. 

Ia bertanya: ‘Guru Buddha, apakan Tuhan itu ada ataukah tidak?’.

Sang Buddha menjawab: ‘O anak muda, Tuhan itu tidak ada’.

Anak muda itu berkata: ‘O begitukah guru Budha?’.

Sang Buddha menjawab: ‘Iya’.

Anak muda itu menimpali: ‘Terimakasih, terimakasih guru Buddha’.


Begitulah inti dialog itu.


Perjalanan dilanjutkan, dan akhirnya sampailah di tempat di mana para pemeditasi, para yogi, para pertapa berkumpul. Pertanyaan yang sama juga muncul. Di antara mereka ada yang bertanya, ‘sebetulnya Tuhan itu ada ataukah tidak ada?’. 

Namun kali ini sang Buddha tidak menjawab.


  1. Makna Sang Kisah

Dari kisah perjalanan sebagaimana diutarakan di atas itu menimbulkan tanda tanya bagi para murid yang menyertai perjalanan sang Buddha itu,


Mereka bertanya-tanya, bagaimana sih sejatinya?. Mengapa sang Buddha memberi jawaban yang nampaknya tidak konsisten seperti itu?.


Untuk itu sang Buddha memberi jawaban, bahwasanya bagi kisah yang pertama kasusnya berbeda dengan yang kedua dan yang ketiga. 


Terhadap kasus pertama sang Buddha menjawab Tuhan itu ada, sebab anak muda itu sedang galau. Ia memerlukan jawaban sebagai pegangan sebagai tempat ia bergantung. 


Sebagai gambaran, kira-kira bisa saya umpamakan di sini. Saat kita naik kapal, lalu mabuk laut hingga muntah berwarna kuning. Dalam kondisi seperti itu badan terasa lemah sekali. Dalam kondisi seperti itu kita akan merasa mendapat asupan kekuatan, manakala kita bisa menegang bagian tubuh seseorang, bahkan hanya dengan menyentuhnya saja. Atau sedang sakit keras. Pendek kata, saat tubuh kita terasa lemah.


Atau ada gambaran lain yang dapat saya utarakan di sini, tentang suatu kisah. 

Saya ingat dengan nenek saya yang saat itu sudah tua sekali. Saya tidak tahu berapa usia beliau saat itu. 


Beliau punya penyakit sesak. Saat sesak beliau kumat, beliau selalu dengan lirih dan pasrah dengan nada penuh keikhlasan berkata, ‘aku menerima ya Allah, aku menerima ya Allah, aku menerima ya Allah, semua aku terima ya Allah’ (dalam bahasa Bawean yang halus). 


Nenek saya itu punya ******** yang usianya kira-kira sepantaran.

Berbeda dengan nenek saya itu, saat sakit beliau kumat, beliau selalu dengan lirih dan pasrah dengan nada penuh keikhlasan berkata, ‘tolong datuk, tolong datuk, tolong datuk’.


Ungkapan berbeda, namun dari ungkapan itulah mereka merasa mendapat sandaran. Secara bentuk berbeda, namun esensi sama.

*

Sedangkan untuk pemuda yang kedua, kasusnya berbeda. Maka itu sang Buddha menjawab, ‘Tuhan tidak ada’. Sebab tentu si anak muda itu juga butuh sandaran. Ia merasa membutuhkan Tuhan. 


Oleh sebab itu, bila sang Buddha menjawab bahwa Tuhan itu ada, maka Tuhannya akan jadi garang, karena itulah yang sesuai dengan kebutuhan dia. Ia bisa menyandarkan kegarangan dirinya pada Tuhan. 


Contoh-contoh kasus seperti itu sangat mudah kita jumpai dari sejarah kehidupan manusia, dari jaman dahulu hingga detik ini. Saya katakan hingga detik ini. 

Kalau kita buka media sosial, maka akan kita jumpai bertebaran kasus. Persekusi, ancaman, kata-kata kasar, hingga laku perbuatan yang mengerikan. Baik itu dilakukan perindividu maupun kelompok, bahkankan bergerombol. Atas nama Tuhan.

*

Sedang untuk yang ketiga, berbeda lagi. Sang Buddha tidak memberi jawaban apa-apa, oleh sebab mereka sudah sampai pada derajat Ketuhanan. 

Kalau sudah sampai pada derajat itu, masak iya harus dijawab. 


Dalam konteks Buddhis, mereka adalah orang-orang yang selesai dengan dirinya sendiri, terlepas dari kepentingan-kepentingan duniawi. Mereka telah masuk dalam kategori peringkat spiritualitas (inti, esen). 


  1. Penutup

Menarik untuk menjadi bahan renungan, di tengah hiruk-pikuknya manusia yang ribut merebut-merebut dan mengkoptasi Tuhan agar bepihak pada kepentingannya, dengan segala sisi dan tensinya. Perhatikan dan cermati yang berlaku marak di tengah-tengah kita hingga detik ini. Tidak sulit, buka media sosial, langsung kita jumpai. 

Di mana Tuhan dan eksistensi-Nya (?!).

(Cannington WA, 4 Desember 2021)

Saturday, August 28, 2021

PUISI OMAR KHAYYAM

Oleh: A. Fuad Usfa 


Kita tentu mengenal siapa itu Omar Kayyam, nama yang tak asing bagi kalangan kita. 


Ia adalah seorang matematikawan, astronom dan filosof besar (yang hidup di abad ke 11-12 pada masa kekuasaan dinasti Seljuk) yang diakui dunia hingga di abad modern ini. Dan, ia pun terkenal luas sebagai seorang penyair. 


Puisi Omar Khayayam pendek-pendek, hanya empat baris saja (quatrain/rububaiyat), namun terbentang makna yang dalam. Karya puisi Omar Khayyam yang terkenal adalah yang berjudul ‘Rubaiyat’. Terjemahan dalam bahasa Inggris yang terkenal adalah terjemahan dari Edward FitzGerald (1859) yang diberi judul ‘The Rubaiyat of Omar Khayyam’.


Melihat sajian dari tulisannya itu, nampak Omar Khayyam tampil sebai sosok skeptis. Berikut ini kita bisa menyimak di antaranya:


* Oh datanglah Khayyam yang tua, dan tinggalkan yang bijak untuk berbicara; suatu hal yang pasti, bahwa kehidupan berjalan cepat; satu hal yang pasti, dan sisanya adalah dusta; bunga yang pernah sekali mekar mati untuk selamanya.


* Kala aku masih muda begitu bergairah mengunjungi cerdik pandai dan orang suci, dan mendengarkan perdebatan besar tentang ini dan tentang: tapi terlebih lagi keluar dari pintu yang sama ketika saya masuk.


* Dengan biji hikmah ku menabur, dan dengan tanganku sendiri mengusahakan untuk tumbuh: dan hanya segitulah panen yang ku petik—“aku datang bagaikan air, dan seperti angin aku pergi.”

(Cannington WA, 1 Februari 2020)

HIDUP DAN 'PERBUDAKAN'

 QOUTATION DARI LATIFA

(In ‘MY Forbidden Face’)

By: Latifa

Diangkat oleh: A. Fuad Usfa


Hidup selalu datang dan pergi

Hidup tak perlu ditekan-tekan

Manakala penindasan menjadi bagian dari hidupku

Aku tiada perlu untuk hidup

Di dalam perbudakan

Kalaulah bermandi di curahan hujan emas sekalipun

Dan, aku akan berkata pada langit

Aku tiada perlu akannya

(Latifa, My Forbidden Face, Virgo, London, 2002)

(Gosnells WA, 2Januari 2013)

Ed.rev,

TERUNTUK PUTRIKU SAMANTHA

By: Jason F. Wright

Diangkat oleh: A. Fuad Usfa


teruntuk putriku samantha


ayah ingin membelikan sebuah jaket untukmu

tapi tidak ada bahan yang cukup indah

untuk menyulam jaket yang pantas bagimu

dan ayah juga tidak memiliki banyak uang untuk membeli bahan itu.


ayah ingin membelikan sebuah jaket untukmu

tapi tidak ada cukup warna di dunia ini

yang mampu menandingi semangat hidupmu

bahkan pelangipun kalah cemerlang


ayah akan membelikan sebuah jaket untukmu

di surga.

(Gosnells WA, 6 Januari 2012)


Puisi persembahan dari sang ayah... kutipan dari novel  jason f. wright, 'the wednesday letters'.

Monday, August 23, 2021

SAPAAN ANGIN

Oleh: A. Fuad Usfa


Kemaren aku berangkat kerja tiada nampak bersitan sinar mentari. 


Kawasan Perth bagaikan dilingkupi tenda raksasa dengan warna abu-abu yang melengkungi kawasan.


Suhu udara begitu bersahabat, dan tidak tersa hangat walau di tengah musim panas. 


Seperti biasa, ku mengendara tuk menuju destinasi, dan ku buka jendela walau hanya beberapa centi meter saja, untuk sekedar penawar rindu akan sapaan angin pagi di musim panas.

(Cannington WA, 19 Januari 2018)

MENUJU DESTINASI

(Lembah nan Indah)

Oleh: A. Fuad Usfa


Menuju sebuah 'danau' kecil di sebuah lembah.


Melewati jalan setapak ‘penuh tantangan’. Jalan setapak berpasir, berbatu-batu kecil dan kadang ada juga yang relatif besar. 


Di tengah hutan pardu dengan pohon-pohon natif. Nuansa tersendiri yang sangat mengesankan.


Lembah dalam walau di rute yang tiada seberapa terjal. Tapi berjalan di jalan berpasir dan berbatuan kecil-kecil, kadang relatif besar yang berserakan cukup melelahkan, baik kala menurun maupun mendaki.


Perlu ke hati-hatian agar pergelangan kaki tidak terkilir (Jw.keseleo).


Lembah yang indah, diapit tebing bukit batu yang mempesona👍🙂

Kalbarri National Park

(Kalbarri WA, 20 Januari 2021)

MENUJU DESTINASI

Oleh: A. Fuad Usfa


Dulu, dari daerahku hendak ke Jawa yang jaraknya sekitar 80 mil saja susahnya setengah mati, apa lagi ke ke Bangka-Beltung, atau ke Kijang Kep. Riau, atau ke Singapura. Korban tenggelam dan wafat dalam perahu pun tiada terbilang.


Kini, kapal dan pesawat pun sudah tersedia.


Dulu naik perahu sudah dianggap biasa. Naik perahu layar bermesin (PLM) sudah istimewa, itupun tanpa kontrol syahbandar yang layak.


Penumpang melebihi kapasitas dianggap biasa saja, tiada ada yang harus dirisaukan. Istilah orang saat itu: ‘bagaikan (ikan) pindang’.


Ombak dan badai sering melanda di tengah pejalanan, tiada terkecuali dalam tapak destinasiku (-ku adalah salah seorang saksi sejarah-).


Jangan ditanya berapa saja yang tenggelam, berapa yang wafat di perahu lalu di benam ke laut, berapa yang melahirkan dalam perahu, serta berapa yang lumpuh dalam perahu yang lalu dipapah begitu sampai di dermaga.


Berapa saja yang kehabisan bekal di perjalanan, yang terpaksa mampir pulau Karimun, terutama kala kehabisan cadangan air.


Kini hendak ke daratan Jawa, Bangka-Belitung, Kijang, Tanjung Pinang, (Batam), Singapore, Malaysia, Australia, layanang perjalanan yang cepat dan nyaman menyambutnya.

(Cannington WA, 23 September 2018)

Saturday, August 21, 2021

AGAMA DAN SELIMUT KASIH

Oleh: A. Fuad Usfa


Semoga agama telah kita jadikan selimut kasih

Bukan malah menjadi sumber intrik dan peperangan 

Di mana-mana bagian di jagad ini


Ummat yang beragam latar belakang sejarah

Mereka dilahirkan dari latar berbeda

Dari yang masih primitif hingga pusat-pusat megapolitan


Ummat yang telah membentuk dan terbentuk dengan pandangan-pandangan mereka 

Sebagaimana kita juga


Semoga agama bukan malah menjadi sumber penindasan

Egoisme, dan 

Sentra arogansi.

(Gosnells WA, 16 Agustus 2013)

Ed.rev.

KOMPLEKSITAS DAN KELUGUAN

Oleh: A. Fuad Usfa 


Aku teringat pada masa lalu, khususnya kala aku masih pelajar dan mahasiswa. 


Kala kita diperjalanan, seperti naik bus misalnya. Kita duduk bersebelahan dengan orang yang tiada kita kenal, lalu kita atau orang lain itu hendak makan permen misalnya. 


Tentu kita atau orang lain itu akan menawarkan pada orang yang duduk di sebelah menyebelah. Dan, kita atau orang lain itu akan dengan senang hati menerima tawaran itu, lalu dengan senang hati mencicipinya.


Seiring dengan perjalanan jaman, kala kehidupan manusia makin kompleks, pengalaman hidup manusia bertambah kompleks pula. 


Menyimak dari banyaknya kasus di sana sini, maka orang tak lagi selugu masa-masa itu, di masa lalu, masa aku masih ‘student’ dulu.


Kini orang tiada kan mudah menerima begitu saja untuk ditawari makanan atau cemilan oleh orang yang tiada dikenal, di dalam perjalanan khususnya. Anak-anaknyapun yang dalam satu perjalanan akan diajari untuk waspada terhadap yang demikian itu.


Tiada ‘kan pandang penampilan, tiada ‘kan pandang jenis kelamin, juga etnis dan keyakinan atau agamanya, dan lain-lain.


Jaman terus bergulir, kompleksitas makin menyelimuti kehidupan insan, keluguanpun  makin terkikis. 

(Diangkat dari oretan kecilku: Forrestdale WA, 4 Desember 2018)

Friday, August 20, 2021

'IKU LAK KAREPMU'

Oleh: A. Fuad Usfa


Sewaktu Dawam Raharjo memberi kuliah (S2), yang mana saya termasuk di dalamnya, sang mahasisawa ada yang berkomentar 'MESTINYA (garis bawahi kata ‘mestinya’) bla lbla bla...'. 

Pak Dawam berkomentar, 'iku lak karepmu...'. 


‘Iku lak karepmu', menunjuk pada suatu makna paradigma berpikir. Seakan suatu kritik kepada kondisi masyarakat kita yang begitu ego, kebenaranpun dikoptasi sedemikian rupa.

(Gosnells WA, 10 Agustus 2012)

Ed.rev.

TEMPAT-TEMPAT SETAN BERTENGGER

Oleh: A. Fuad Usfa


Setan adalah makhluk Tuhan yang paling durhaka. Mereka akan datang dari segala penjuru. Tak pandang pun di bulan suci, di tempat suci, dan sebut lagi yang lain. Pendek kata di segala waktu dan tempat. 


Mereka bisa hadir bertengger dalam denyut nadi kita, ataupun di dalam aliran darah kita. Mereka bisa bertengger di hati kita, di pikiran kita, serta di lidah-lidah kita. 


Dengan yang demikian itulah kita perlu waspada, sebab setan tak akan segan-segan meneriakkan kata setan walau itu tertuju pada dirinya sendiri. 


Untuk itulah perlunya kita selalu waspada dan selalu menjaga kesucian hati, pikiran, dan lidah kita. Suatu yang niscaya dalam menghadapi kehidupan kita ini.

(Busselton WA, Medio akhir musim dingin 2019)

Edisi liburan musim dinging: di Busselton

Ed.rev.

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...