Sunday, August 7, 2011

DI TEPIAN SWAN RIVER

Oleh: A. Fuad Usfa

Pada cerita ini juga menggambarkan akan realitas bahwa keturunan orang Boyan telah melakukan perbauran darah lintas ras, baik dengan ras Caucasoid, Nigroid, termasuk Australoid serta Mongoloid dan percabangan dari semua itu.


Di tengah malam buta, di lereng gunung Panderman lahirlah seorang anak laki-laki, suara tangis melengking di tengah keheningan malam. Ibu anak itu bernama Fauziyah, yang ia pahami kata itu bermakna kemenangan, tapi ia tak tahu persis maknanya, hanya yang ia tahu kedua orang tuanya berkata begitu. Fauziyah tersenyum, sambil bergumam dalam hati, ‘Fauziyah…, di tengah malam ini, terimakasih ayah, terimakasih ibu, nama yang engkau berikan terbukti di malam ini, aku memperoleh kemenangan ayah, aku memperoleh kemenangan ibu…’. Fauziyah merasakan seperti itu di saat kehadiran sang anak, keturunan sang permata hati.

Suami Fauziyah bernama Salim, orang-orang memanggilnya pak Salim, ia bersujud syukur begitu bidan memberitahukan, bahwa putranya telah lahir dengan selamat. Pak Salim pun berperasaan sama dengan istrinya, ia berterimakasih pada ke dua orang tuanya, karena merasakan nama yang diberikannya dirasa terbukti di tengah malam buta itu. Pak Salim merasa sejahtera oleh sebab apa yang didambakannya telah terkabul jua.

Tujuh hari telah berlalu, keluarga dan tetangga berdatangan hadir di rumah yang sederhana itu. Mereka datang memenuhi undangan haqiqah dan pemberian nama sang bayi. Hidangannya sederhana, sebab keluarga itu tergolong tidak mampu. Namun, walau dari keluarga tidak mampu, keluarga pak Salim dikenal sebagai keluarga yang baik, namanya harum di kampungnya.


Pak ustad yang rumahnya bersebelahan dengan pak Salim bertanya pada pak Salim, ‘Apa sudah siap dengan nama si kecil pak Salim…?, tanyanya. ‘Sudah pak ustad…,’ ujarnya. ‘Apa namanya…?’ Sambung pak ustad. ‘Gamal pak ustad…,’jawab pak Salim pula. Nama itu diambilnya, karena kata temannya yang alumni Pondok Modern Gontor, gamal itu bermakna sempurna.

Lima hari sebelum acara, pak Salim bertukar pikiran dengan istri yang dicintainya itu, ‘Ma…’, katanya, ‘bagaimana kalau anak kita diberi nama Gamal ma…” lanjutnya, lalu pak Salim menceriterakan panjang lebar alasan pengambilan nama itu. Istrinya yang murah senyum itu bukan main setujunya, lalu ia berkata pada suaminya, ‘saya sangat setuju pa…’, ujarnya, ‘setuju sekali, sebab kali ini kita sudah sempurna pa…’ lanjutnya, lalu ia berdiri menghampiri suami yang dicintainya itu dan mencium keningnya, seraya berkata, ‘kita telah sempurna pa…’. Ia girang sekali, dan wajahnya yang tak pernah nampak murung itu, semakin cerah.

Sebelum acara dimulai, di putarnya lagu-lagu padang pasir dari tape recorder yang sudah tua ‘warisan’ dari orang tua pak Salim, dan orang-orang sekitar sama paham kalau pak Salim sedari kecil dulu menyukai lagu berirama padang pasir. Alunan lagu dari Amal Razak, Sarah, Sama’, yang dari Syiria itu sampai Mesir dan Indonesia diputarnya. Istri pak Salim tak pernah usil dengan kesukaan suaminya, dan memang ia adalah istri yang penuh pengertian.


*

Lima tahun telah berlalu, Gamal di sekolahkan di Sekolah Taman Kanak-kanak di kampungnya. Suatu ketika, di desanya ditempati mahasiswa KKN, diantaranya ada yang bernama Zakiyah. Suatu saat Zakiyah ijin pulang selama satu hari-satu malam untuk menghadiri upacara pernikahan kakak kandungnya. Sekembalinya dari pulang itu ia membawakan oleh-oleh istimewa untuk Gamal, yaitu sepasang sepatu cat, celana pendek dan t’shirt merk Puma. Alangkah senang hati pak Salim dan istrinya, maka itu serta-merta istri pak Salim memanggil Gamal. ‘Gamal…’ ujarnya, ‘mari sini nak…’ lanjutnya. ‘Ini mbak Zakiayah nak…, ujarnya. Suaranya yang lembut itu seakan mengenalkan Gamal dengan Zakiyah, lalu ujarnya pula, ‘kamu dikasih pakaian bagus nak…, tapi hati-hati ya memakainya…’ lanjutnya. Dari raut mukanya Gamal kelihatan amat senang , bukan karena pakaian itu bermerek bagus, yang tentu saja ia tidak tahu tentang itu, tapi oleh sebab sepatu yang dipakainya selama ini sudah sobek, sedang baju dan celananyapun tidak ada yang bagus. Kemudian istri pak Salim berkata pula pada anak yang dicintainya itu, ‘Coba, bilang apa nak pada mbak…?’. Dengan malu-malu Gamal berkata, ‘Terimakasih mbak…’, katanya. Kebaikan hati Zakiyah itu dikenangnya terus hingga ia dewasa. Sesekali ia ingin berjumpa dengan mbak Zakiyah yang baik hati itu, tapi ia tak tahu, di mana gerangan berada.


*

Dua puluh tiga tahun kini usia Gamal, ia dosen di sebuah Perguruan Tinggi ternama di Kota Malang. Di saat ia masih SMU ia sudah punya cita-cita untuk jadi dosen. Sejak masa itu pula hingga tamat Perguruan Tinggi Gamal hanya mengandalkan dari bea siswa. Pada waktu di Perguruan Tinggi Gamal terpaksa kost, sedang bea siswa yang diterimanya tidak banyak, maka itu Gamal mesti pandai-pandai menyiasati, misalnya, ia kost di tempat yang paling murah, pakaian ala kadarnya, kadang makan dua kali saja sehari. Di samping itu, untuk mengatasi kekurangannya ia menawarkan diri untuk mengajar privat mengaji dan Bahasa Inggris anak orang berpunya. Orang tuanya tentu tidak mampu, apa lagi Gamal masih mempunyai dua orang adik yang selisih umurnya 7 dan 10 tahun di bawah Gamal yang justru memerlukankan bantuan darinya jua.

Satu tahun ia jadi dosen, ia dapat bea siswa untuk melanjutkan studi ke Australia, tepatnya di Murdoch University Australia Barat. Tentu Gamal sangat senang, dan ia menyampaikan berita itu pada ayah, ibu dan adik-adiknya, bukan main rasa syukur dari mereka. Air mata pak Salim serta istrinya jatuh berderai karena haru.

Melalui internet Gamal mempunyai kenalan di Australia, ia sedang studi tingkat akhir under graduate di University of Western Australia, dari situ pula Gamal mengenal nama gadis itu, yaitu Anni Frank.

Sebelum berangkat ke Australia, Gamal harus mendalami bahasa. Ia di kursuskan di ALFa Bali. Di situ ia mengenal masyarakat dan budaya baru, hari-hari ritual keagamaan, janur dan sesajen di berbagai tempat hingga kemana kaki melangkah di situ kan didapati, pohon-pohon besar dengan lilitan kain berblok hitam-putih, aroma dupa dan kemenyan dihantar sang bayu ke segala penjuru, upacara ngaben (kremasi) yang di dahului dengan arak-arakan besar, pakaian-pakaian adat dipakai orang sehari-hari, ukir-ukiran dan lukisan di jumpai di mana-mana, pura dan tempat-tempat pemujaan di seantero negeri, Gamal benar-benar merasakan sesuatu yang baru. Suatu senja Gamal duduk sendirian di alun-alun Puputan, ia merenung, kemudian bergumam lirih, ‘Agama Hindu telah menggerakkan semua ini…’, gumamnya.


Di Bali Gamal tinggal di Ceruring, tidak jauh dari tempat kursus, hanya lima menit berjalan kaki. Di tempat kursus itu ia bisa buka komputer untuk mengetik tugas-tugas, buka internet dan hiburan. Dari situ pula ia bisa kontak dengan Anni Frank.

Tibalah pada tanggal keberangkatan, yaitu pada tanggal 1 di bulan Oktober, melalui Bandar Udara Internasional Ngurah Rai Bali ia berangkat. Lebih-kurang tiga jam setengah perjalanan ditempuhnya, dan Anni Frank menjemputnya di Bandar Udara Internasional Perth, kala itu udara sejuk dan nyaman, kala itu sudah memasuki musim bunga.
Anni Frank sudah di Bandara 15 menit sebelumnya, yang sesekali melihat jadwal ketibaan untuk memastikan tibanya pesawat Qantas dari Bali.


Dua insan yang berbeda kewarga negaraan itu sudah saling bejanji untuk bertemu di bandar udara Internasional Perth, sebelumnya mereka sudah saling mengirim kalungan bunga imitasi, tidak besar hanya sekedar nampak saja. Gamal membelinya di Bali waktu mengikuti kursus, sedang Anni membelinya di Adelaide waktu ia berlibur di sana. Kalung itu dipakainya masing-masing untuk saling mengenal. Gamal mengirim untaian bunga yang didominasi warna pink, kendatipun tiada diperjanjikan, entah mengapa Anni pun juga dengan dominasi warna yang sama.


Tiga puluh menit kemudian Gamal telah di pintu keluar bandara , namun, alangkah kagetnya ia tatkala melihat untaian bunga sebagai dikirimnya itu nampak dipakai sang nenek tua. ‘Aduh.., mati aku’, bisiknya dalam hati. Di tengah kekagetan itu tiba-tiba menuju ke arahnya, seorang dara semampai, dengan tinggi kira-kira 165 Cm, berambut pirang keemasan yang ditutupi dengan scarf tipis ala India, bentuk wajahnya bulat telur, hidungnya mancung, kedua pipinya kemerah-merahan, mengenakan kacamata hitam, senyumnya tersungging dengan lesung pipit menghias di kedua belah pipinya, sedang seuntai kalung melingkar manis di lehernya. Gamal tertegun, sungguh ia tidak mengira kalau ternyata gadis yang ia kenal adalah gadis nan sangat cantik jelita. Ke dua insan muda belia bertemu dalam suka, sejenak berbincang dan kemudian mereka menuju ke tempat parkir. Di kejauhan Nampak sebuah sedan Holden warna hitam. Ke situlah dua insan itu mengarah. ‘Kita naik mobil hitam, yang berada di antara dua mobil putih itu’, ujar Anni. ‘Apakah engkau tahu yang aku maksud?!’, tanya Anni untuk memastikan. Gamal tidak tahu, maka itu ia bertanya, ‘yang mana ya…?’, kata Gamal. ‘Itu…, di pojok itu antara dua mobil putih’, jawab Anni seraya menunjuk kearah mobil itu yang seakan mamamerkan lentik jemari indahnyanya. ‘Mobil itu dari orang tuaku, mereka menghadiahkan untukku’ lanjutnya. ‘Orang tua ku berharap aku bisa sukses dalam studi’, lanjutnya lagi.


Setelah semua barang dikemas dalam bagasi, kedua insan masuk dalam mobil hitam buatan Australia itu dan meluncur menyusuri jalan yang Gamal tidak tahu kearah mana ia bergerak. Mobil meluncur dengan mulus membelah bayu, sesekali melintasi bulatan yang disebut roundabout, kemudian memotong perempatan Tonkin Highway, sedang kedua insan muda berbincang sambil bersenda gurau, bagai telah lama bersahabat laiknya.


Tidak terasa kini posisi mereka telah berada di pusat Kota Perth, Gamal mencoba mengingat keadaan daerah yang baru dilaluinya, dari Bandara hingga pusat kota. Terlintas dalam benaknya, ‘benar kata dosenku dulu, demikian bisik hatinya, semua tertata rapih, bersih, dihiasi pepohonan, taman-taman dengan padang rumput terhampar luas, bunga-bunga dengan segala warna bermekaran dari yang besar hingga yang paling kecil sekecil mata jarum, bermacam jenis burung beterbangan dengan amannya, kendaraan pun berjalan beratur rapih bagai laskar berbaris. Saat itu Gamal teringat apa yang diajarkan ustadz kala ia duduk di bangku madrasah, ‘sesungguhnya Allah mencintai keindahan, sesungguhnya Allah mencintai kebersihan, kebersihan sebagian dari pada iman, sesungguhnya Islam adalah rahmat bagi seluruh alam’. Lalu ia bertanya dalam hatinya, inikah Islam?. Saat pertanyaan itu terbersit dalam hati Gamal, tiba-tiba suara Anni mengagetkannya, ‘mengapa diam?’, tanyanya, dan tanpa menunggu jawaban dari Gamal, Ani melanjutkan, ‘kita berhenti di sini dulu, kita masuk gedung parkir ini’, katanya sambil membelokkan mobilnya ke gerbang CPP di Pier Street pusat kota Perth. ‘Kita mesti makan dulu, di pusat kota ini ada Restoran Indonesia, aku suka masakannya, mudah-mudahan engkau suka, aku harap selera kita sama’ lanjutnya. Kemudian kedua insan saling bertatapan dan mereka saling tersenyum, senyuman yang indah. Selepas itu Anni mengantar Gamal ke tempat di mana ia harus tinggal, dan Anni kembali ke rumahnya.


*

Malam pertama Gamal di pondokan, pikirannya terpecah, antara ingat ke dua orang tua dan adik-adiknya di kampung, dan bayang-bayang dara jelita Anni Frank. Saat itu tiba-tiba muncul rasa kecut, kecut kalau-kalau telah jatuh cinta pada Anni. ‘Ah…, mengapa aku GR’, pikirnya. Tiba-tiba pula terbersit dalam ingatannya, berapa banyak gadis yang menaruh simpati padanya, ada yang mula-mula beralasan meminjam buku, ada yang minta antar pulang waktu usai acara di kampus, ada pula yang lucu rasanya, yaitu pura-pura terkilir pergelangan kakinya saat kemping perpisahan di SMUnya dulu, ada pula yang secara gamblang nembak langsung dengan menyatakan cintanya. Bukannya Gamal hendak menolak semua itu, tentu tidak, apalagi mereka itu gadis-gadis yang aduhai. Sebagai anak muda, tentu gelombang cinta sering berkecamuk dalam sanubarinya, kadang tak tertahankan, hingga hampir menenggelamkan biduk asmara dalam gelora. Terlalu berat beban yang harus ditanggung di pundaknya, dia harus berjuang untuk kesuksesan dirinya, dia pun harus memikul beban tanggung jawab akan cita-cita kedua adiknya.

Saat hari ke-tiga Gamal di Australia, di lepas senja, ia dapat SMS dari Anni, isinya, ‘Abang Gamal, aku senang sekali bisa bersua dengan abang, bang Gamal begitu simpatik. Dari Anni.’ Gamal tidak tahu bagaimana ia harus membalasnya. ‘Mengapa kini Ani menyebut kata abang?, mengapa pula gaya bahasanya selalu seperti orang timur?’, demikian bisik hatinya.

Tibalah pada hari ke tujuh Gamal di Australia, kala itu bertepatan dengan hari Minggu, Gamal duduk di tepi Swan River, airnya jernih, sedikit bergelombang, di kejauhan nampak orang main sky air, udara cerah, kala itu jam enam pagi, sang surya sudah mulai beranjak naik, Gamal duduk seorang diri, entah apa yang ada dalam benaknya. Persis di depannya datang burung camar berenang menghampiri, tatapan mata Gamal mengikut arah gerak burung camar itu. Tiba-tiba Gamal dikejutkan dengan dering HP yang serta merta segera diangkatnya. ‘Ah…, E-mail dari Anni’ bisiknya. Dalam e-mail itu Anni menulis, ‘Abang Gamal…, apa kabar?, aku harap s’lalu dalam baik dan dalam rakhmat Allah. Abang Gamal…, kemaren lausa aku ke Brisbane, abangku meminta aku bisa hadir dalam acara yang diadakannya. Bang…, sebetulnya aku ingin mengajak abang, sekalian bisa makan angin serta bisa kenal dengan abangku itu, bahkan juga dengan ayah dan ibuku, tapi sayang tiket hanya tinggal satu saja. Kini aku telah kembali di Perth, sebab besok ada acara di kampus. Sampai di situ Gamal berhenti membacanya, seakan ia tak percaya kalau e-mail itu dari Anni. Kemudian dibacanya lebih lanjut lagi, ‘Oh iya bang …, kemaren aku sempat berbincang santai di verendah masjid bersama ayah, ibu serta abangku, angin sepoi-sepoi nan sejuk dan nyaman bagai mengipasi kemesraan kami sekeluarga. Bang Gamal…, Ibuku berdarah campuran antara Prancis dan Turki, ayahku keturunan orang Boyan. Sehari-hari aku dipanggil Anni Frank, sesungguhnya namaku Annisa’ Farah Nabhan Kadir, disingkat Anni Frank’. Sampai di situ, tak terasa HP Gamal terjatuh, dia merasa akan realitas dirinya yang padanya juga masih mengalir darah Boyan, dan saat itu pula seakan tampak Anni berdiri di sampingnya, Gamal berdiri dan dengan lirih menyapa, tapi…, Ani tak ada…, dengan pelan, seirama desir angin Gamal memanggilnya, kala itu melintas seorang kakek tua yang duduk di kursi roda, kulitnya putih, bersih, hidung mancung, rambutnya tertata rapih dengan warna gray karena uban, ia menyapa Gamal, ‘hai anak muda…, ada apa gerangan…?’, sapanya, kakek itu menyapa sambil tersenyum seraya berkata lagi, ‘semasa masih muda dulu aku pun sama dengan engkau anak muda…, saat aku jatuh cinta…’. Kakek itu melanjutkan lagi, ‘ Allah menciptakan hati dengan hiasan yang paling indah, yaitu cinta wahai anak muda…’. Saat itu Gamal tersadar, ia mencari HP dalam genggamanya, ‘ah…, terjatuh’, bisiknya., orang tua itu terdiam sejenak. Demi mendengar kata Allah disebut orang tua itu Gamal bertanya singkat, ‘apakah anda muslim?’, ‘ya…, aku muslim’, jawabnya, ‘aku dari Libanon, aku datang ke sini di saat berkecamuk perang saudara yang bermula di tahun 1975, setidaknya hingga lima belas tahun perang itu berkecamuk, mereka saling membunuh sesama, sesama muslim pun saling membunuh, orang-orang tak berdosa, orang-orang ‘suci’ pun tak terkecuali, jadi korban…, terbunuh…, aku tak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah, tiada tertapis antara nafsu dan kesucian, di mana peradaban…?, yang nyata mereka telah berteriak dengan lantang di berbagai sudut, sehingga rasanya sampai tak ada ruang bagiku untuk berdiri, mereka berteriak, berteriak dan terus berteriak, kata mereka aku yang benaar…, aku yang benar….’, lalu orang tua itu menyampaikan salam, ‘assalamualaikum anak muda…,’ kemudia ia berlalu. Gamal terpaku, ‘ ya…, membunuh…’, bisiknya. Saat itu Gamal teringat pula akan tragedi di padang Karbela, di tahun 61H, Husain, cucu Rasulullah SAW, yang amat dicintai oleh Rasulullah SAW, jantung hati dan biji mata Rasulullah SAW, tapi, saat itu, di padang Karbela, beliau menjadi korban pembantaian…, kebiadaban…, kepala beliau yang selalu sujud kepada Allah Ilahi Rabbi dipenggal dan dihinakan di telapak kaki dan ujung tongkat Yazid bin Muawiyah, lengking tangis Zainab memenuhi bumi, hingga terasa mengatasi ruang dan waktu, lagi-lagi noda sejarah kemanusiaan yang tak terperikan. Lalu dengan lirih Gamal bertanya, ‘ya…, kata pak tua, membunuh, sesama, sesama muslim pun, membunuh…, membunuh…, mengapa semua itu terjadi…, mengapa?’ , pertanyaan itu dijawabnya sendiri, dengan jawaban singkat, hanya dua kata, ‘syahwat politik’. Gamal menoleh pada orang tua tadi, tapi, entah ke mana gerangan…




*


Ah…’, terdengar desah Gamal, lalu ia merebahkan dirinya di hamparan rumput nan hijau, dua tapak tangannya menyangga kepalanya, tatapannya menuju ke langit, dan membayangkan kedamaian sejati di keteduhan langit dengan awan putih berarak, di kepak burung camar, dalam desir angin semilir, dan dalam kulum senyum Anni Frank, ya…, ternyata persis disisi kanannya Anni Frank duduk berlutut, yang dengan lembut menyapa Gamal serta mengembangkan senyum indahnya.

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...