Friday, September 2, 2011

KEBEBASAN BERAGAMA DI AUSTRAALIA (2)

Oleh: A. Fuad Usfa 

Kebebasan mempunyai makna merdeka dalam menentukan. Maka kebebasan beragama bermakna merdeka menentukan dalam memilih agama atau keyakinan. 'La ikraha fiddin', dalam bahasa Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (2) dinyatakan, 'Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'. Penulis tegaskan kata 'menjamin tiap-tiap penduduk'.

Di dunia ini terdapat berbagai macam agama, dan berbagai tafsiran terujud pula, dalam hal ini tentu tak terkecuali di Australia.

Sudah sama kita tahu bahwa Australia adalah merupakan Negara sekuler, Negara yang memisahkan secara tegas urusan agama dari urusan kenegaraan. Agama masuk dalam ranah individu, Negara menaungi semua agama dan keyakinan serta pemeluknya. Sebagaimana dalam aktifitas sosial lainnya, aktifitas sosial keagamaan tidak boleh -justru- menciptakan kegoncangan sosial, terjadinya berbagai/segala bentuk pemaksaan dan/atau intimidasi. Semua mesti menghargai hak setiap individu dalam menentukan pilihannya secara elegan. Dalam pengamatan penulis selama di Western Australia, keberadaan agama dan ummat beragama diletakkan pada posisi seperti itu. Aktifitas keagamaan/keyakinan warga Negara/penduduk tidak terhalang, berbagai ritual keagamaan serta berbagai perayaan dari berbagai agama di selenggarakan di mana-mana, dalam hal berpakaian tak terkecuali, penyediaan makanan, materi-materi hotbah ataupun ceramah tidak ada sensor apapun baik itu disampaikan oleh warga Negara ataupun orang asing. Dalam pada ini kebebasan beragama/keyakinan berada pada posisi yang merupakan kebebasan azasi, kebebasan murni, kebabasan yang sebenarnya, bukanlah kebebasan semu**).

Pasal 116 Undang-undang Dasar Australia melarang Pemerintah Federal untuk membuat Undang-undang mendirikan agama serta memaksakan ajaran agama. (http://www.dfat.gov.au/facts/religion_in.html).

Manakala kita menghendaki terciptanya alam kebebasan beragama yang sesungguhnya, yang murni, yang merupakan kebebasan azasi, maka kita harus menempatkan diri kita pada posisi yang tidak mencampuri keyakinan pihak lain, menempatkan diri kita pada ruang bebas yang mesti memahami pihak lain yang mempunyai posisi sama dengan kita, yang ingin diperlakukan sebagai pihak yang dihargai haknya untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, menempatkan Negara sebagai organisasi kekuasaan yang menaungi setiap penduduk yang berada dalam kekuasaannya, serta memperlakukannya sacara adil. Hal itu hanya bisa terjadi manakala agama tidak diseret pada wilayah politik kekuasaan, yang hanya akan 'mengklaim' dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia, sehingga 'menarik' dirinya pada posisi yang paling memahami kebenaran Tuhan, maka dengan demikian pula akan membenarakan segala tindakannya, termasuk melakukan berbagai tindak kekerasan, oleh sebab yang demikian itu dipahaminya sebagai kehendak Tuhan. Adapun selain dari yang dipahami dirinya, dimaknakan sebagai penyimpangan dari ajaran dan kehendak Tuhan, --walau seagama sekalipun--, maka dengan demikian sah menurutnya melakukan berbagai tindakan 'politik' termasuk aksi pemaksaan dalam segala bentuknya dan bahkan berbagai rangkaian kekerasan. Dari sinilah penulis dapat memahami pandangan Nurcholis Majid tentang pentingnya sekularisasi --walau terbatas-- yang dilansirnya pada penghujung dekade tujuh puluhan, dan setidaknya penulis telah menyaksikannya di Negara Australia.

Tidak ada yang bisa kita harapkan untuk menciptakan alam kebebasan beragama, manakala kita tetap meyakini, hanya diri kitalah yang benar, yang sesuai dengan kebenaran Tuhan, dan untuk itu kita harus menletakkan misi suci melawan segala pandangan yang tidak sejalan dengan pandangan kita, 'pandangan' Tuhan. Maka itu seluruh ummat manusia di muka bumi ini harus tunduk pada kehendak kita, karena itulah 'kehendak' Tuhan, dengan segala bentuknya. Pemaksaan akan terus berlanjut, lalu berbenturan, dan menjadi sumber ketegangan dan peperangan, atas nama agama menurut versinya, tak peduli walau seagama sekalipun kalau tidak sesuai dengan pandangannya harus didobrak untuk dihancurkan. Tidak ada yang bisa kita harapkan dalam kondisi seperti ini, sebab pemutlakan diri ternyata telah banyak menciptakan provokasi, ancaman, ketegangan serta peperangan, dan mengesampingkan nilai kemanusiaan.


Sebagai penutup menarik untuk dikutip pandangan yang dilansir oleh Prio Pratama, dalam konteks ke-Islaman, yang menyatakan, 'bagaimana mungkin seorang yang meyakini bahwa Islam sebagai satu-satunya jalan keselamatan, bisa membiarkan penganut agama lain hidup tenang dengan keyakinannya. Orang yang menganut paham pseudo toleransi seperti ini tidak akan pernah bisa benar-benar toleransi. Dikatakan begitu, oleh sebab ia tidak akan berhenti mencari-cari kesempatan kapan waktunya mengkonversi keyakinan orang lain itu ke dalam kayakinannya, ke dalam Islam' (http://islamlib.com/id/artikel/pseudo-toleransi-metode-dakwah-al-qardlawi-dan-masa-depan-pluralisme).


Perth Western Australia, Awal Musim Semi 2011

------

Catatan:

**). Kebebasan semu artinya adalah berbunyi bebas namun faktanya tiada kebebasan itu kecuali hanya untuk sepihak.

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...