Thursday, May 20, 2010

WAKTU

Oleh: Aba

Perth, Ujung Musim Gugur 2010

‘Demi masa’ (Q:S:103:1)
Bila sesuatu itu bergerak ke depan, terus ke depan dan tak pernah mundur betapapun singkatnya kemunduran itu, itulah waktu. Waktu telah melingkupi semua, tak ada yang terlepas dari lingkup waktu. Bergeraklah, jangan berhenti, sebab waktu pasti kan melumatnya.

Sering kita tidak sadar akan gerak waktu yang pelan namun pasti, tak terasa detik demi detik telah membawa pada bilangan tahun dan abad. Tiada terasa ia telah membawa sesuatu menjadi tumbuh, tegar dan gagah, dan, lalu tak terasa waktu telah melumatnya pula. Waktu telah melumat kulit kita, yang dulu segar dan dengan bangga dipamerkan pada semua, kini waktu telah melumatnya menjadi keriput; dulu tulang belulang tegak sehingga kita perkasa, kini waktu telah melumatnya pula sehingga menjadi membungkuk, linu dan rapuh; rambut, mata, telinga atau apapun juga tanpa kecuali dengan tak terasa telah dilumat oleh waktu.
‘Demi masa’ (Q:S:103:1).
Dalam budaya (culture) masarakat barat penghargaan terhadap waktu begitu nyata, sehingga seakan tak ada lain yang selalu mengejar mereka kecuali waktu. Detik dan menit dihituingnya secara cermat, jangankan hitungan jam (hour). Segala langkah apapun dihitungnya secara cermat dengan ukuran waktu. Beberapa illustrasi dapat kita ketengahkan disini; aku selalu menjemput anak-anak dari sekolah, beberapa waktu yang lalu aku selalu menunggu sebelum sirine waktu berakhirnya jam sekolah berbunyi, maka jam tanganku aku cocokkan dengan jam sirine itu, ternyata besok harinya dan seterusnya sirine selalu berbunyi tepat jam 03.00 pm (kecuali hari Rabu jam 02.35 pm). Adapun yang ada dalam pikiranku, mengapa tidak pernah lebih barang satu mentpun atau kurang barang satu menitpun. Begitu tepatnya sirine berbunyi dari hari ke hari. Kalau dalam masyarakat kita, apabila hendak naik kendaraan umum, jam keberangkatan dan ketibaan yang terjadwal hanyalah kereta api dan pesawat terbang (--walau mesti kita akui dengan apa adanya, yaitu selalu molor--), di sini bis umumpun juga terjadwal. Bilamana kita hendak berangkat kerja dengan naik bis umum maka haruslah tahu jadwal terlebih dahulu, sebab bila misalnya terlambat maka berarti kita harus menunggunya dengan lumayan lama, oleh sebab bis hanya melayani dalam tiap satu jam sekali (untuk hari-hari biasa) dalam satu rute, sedang untuk hari Sabtu dan Minggu serta hari-hari besar hanya melayani dalam tiap dua jam. Maka itu mengetahui waktu rute dan menata waktu dengan pasti amatlah penting, tentu bagi budaya kita yang tiada terbiasa menata waktu terasa amat terganggu, sedang bagi mereka tidaklah demikian. Bila di sebuah perusahaan (misalnya) mengadakan rapat dengan karyawan mulai jam 10.00 am – 11.00 am, maka akan disebutkan bahwa kehadiran akan dibayar dengan gaji selama satu jam kerja, maka rapat pasti dimulai jam 10.00 am dan diakhiri jam 11.00 am. Jika kita punya tetangga dan lalu minta tolong pada kita untuk membantu meratakan tanah di halaman rumahnya (misalnya), maka ia akan menentukan berapa dollar ($) ia akan membayar dalam setiap jamnya buat kita. Bilamana mereka hendak bertamu, maka mesti menghubungi terlebih dahulu, ada waktu ataukah tidak, atau membuat kesepakata (appointment) hari apa dan jam berapa (am/pm) akan bertamu (--dan jangan harap waktu akan molor, artinya mereka akan datang tepat waktu)--). Oleh sebab itu tak heran bilamana mereka telah mempunyai jadwal (agenda) kegiatan beberapa waktu ke depan. Bilamana kita bekerja, maka dihitung dengan ukuran jam (hour), artinya satu jam (one hour) berapa gajinya. Kalau satu jam gajinya $20 (dua puluh dollar), maka bilamana satu hari bekerja delapan jam berarti sama dengan 8 x 20 adalah $160 (seratus enam puluh dollar), bagaimana bila ada pecahan setengah jam misalnya?, maka berarti setengah jam (30 menit) x $20 = $10 (sepuluh dollar), bila lima belas menit = $5 (lima dollar) dan seterusnya, dan seterusnya.

Dalam masyarakat kita tidak demikian, molor sudah biasa, di Indonesia dikenal dengan istilah 'jam karet', dalam masyarakat melayu di sini dikenal dengan istilah 'janji melayu'. Suatu ketika aku sekeluarga menghadiri acara ulang tahun anak kawan, kawan kami itu masih keturunan Bawean (ayah) dan Melayu (ibu). Acara diadakan di suatu pantai, saat itu bertepatan dengan musim panas, yang mana pada setiap musim panas pantai-pantai serta tempat-tempat pemandian di sini selalu ramai. Seingatku undangan jam 09.00 am, dan kami datang sebelum jam itu. Hingga masuk jam 10 am baru kami yang datang (walau yang diundang tidak banyak), tak ada masalah tentu, seperti di Indonesia juga, sudah biasa, jam karet; sambil duduk santai-santai saja aku bilang sama sang shahibul khajah dengan irama datar-datar saja, sebab tentu sudah maklum, saya bilang, ‘saya kira orang kita di sini sudah ketularan orang putih, meniru orang putih pula dalam hal waktu’, dan kemudian kawan kami itu (juga) dengan nada datar-datar saja bilang, ‘bukan soal meniru, tapi soal pendirian masing-masing’, demikian kawan kami itu berujar (--suami dia adalah orang kulit putih--). Lain lagi di Pulau Bawean; seingatku di tahun 2001 aku diundang tetangga, undangan jam 2 siang, maka persis jam 2 siang itu aku hadir, apa terjadi?, rumah itu sepi-sepi saja dari undangan, aku pikir karena aku terlalu dini datangnya, tapi apa nyatanya?, acara sudah buyar. Lalu dengan heran aku tanya, mengapa?, mereka (sang keluarga yang punya hajat) bilang ‘orang-orang sudah beda dengan dulu…, sekarang kalau para undangan sudah pada hadir, maka cepat-cepat panggil Kiyainya, lalu segera baca doa, dan buyar…, maka itu kalau engkau diundang jam 2 jangan datang jam 2, datanglah jam 1… Aduh maklum aku sudah lama di rantau ya…, macam ‘Ashabul Kahfi’ aja…

Lain lubuk lain ikannya, lain ladang lain belalang. Begitulah ragam manusia memaknai waktu, dan yang jelas waktu pasti menggilas, bermain dengan indah di tengah gilasan waktu akan menyisakan tapak keindahan; persoalannya selincah apakah kaki kita…??!!

‘Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran’. (Q:S:103:1-3).

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...