Sunday, July 15, 2012

KAMPUNGKU


Oleh: Aba

Kawasan Blandongan Gresik seperti biasanya, tidak ramai, kendaraan pun tidak padat, tak jauh dari jalan raya terdapat pantai. Di pantai inilah dulu aku pernah naik sampan, lalu berpindah ke perahu kayu, perahu ini didominasi oleh bahan kayu, pakunyapun terbuat dari kayu, dempulnyapun juga terdapat campuran serat-serat kayu. Perahu itu tidak besar, aku dan beberapa yang lain naik dengan tangkasnya, awak perahu menyambutnya dengan segala senang hati. Dalam perahu itu terdapat beragam barang dagangan. Atap perahu terbuat dari bambu yang dianyam kasar-kasar dan sebagai pengikatnya adalah batangan kayu berukuran kira-kira 5x10cm x panjang atap, dan panjang atap itu saya kira tidak sampai 7m. Di atas atap itulah aku dan beberapa orang yang lain mengambil posisi tempat tidur, atau yang lebih tepat kita sebut posisi sandar untuk tidur. Kala itu bulan Ramadhan sudah menjelang akhir, tak ada kapal, aku pikir yang penting ada tumpangan menuju tanah kelahiranku. Hari sudah menjelang maghrib, menjelang berbuka puasa. 

Perahu telah beranjak dari tempat berlabuh, sampai waktu maghrib kami berbuka, dan dilanjutkan dengan shalat Maghrib dengan duduk di tempat yang sangat sempit. Kami wudlu' dengan air laut, cukup dengan memegang tangkai timba dan langsung dicelupkan ke dalam air, tak perlu tali atau alat apapun, dekat sekali jarak air itu dengan pinggir atap perahu. Saya hanya berdoa' semoga Allah melancarkan perjalanan kami, dalam alunan gelombang yang damai serta hadirnya arus buritan. Di Laut Jawa inilah tak terbilang berapa banyak orang Bawean yang telah ditelan gelombang sebagai suhadha'.

Perahu trerus beranjak, tak ada tanda-tanda angin kencang dan gelombang yang menakutkan, awak perahu bilang, 'malam ini cuaca bagus'. Bulan yang tinggal 'menyabit' belum juga menampakkan dirinya, bintang gemintang gemerlap diangkasa nan luas, betapa agungNya Sang Pencipta. Aku mengambil tepe kecilku, kubuat untuk menemani perjalanan; alunan lagu padang pasir dari suara penyanyi Mesir yang legendaris itu membuatku dibuai di alam hayal, ini betul..., iramanya telaah membikin kondisi jiwa ke arah hayal..., suara merdu Ummu Kulstum. Allah Maha Agung. 

Kala itu aku masih mahasiswa, masih muda, badanku masih tegar bergumul dengan terpaan angin laut sekalipun. Cuaca masih tetap bersahabat, gelombang dan aruspun demikian. Hingga tiba makan sahur, lalu shalat subuh, namun Pulau Bawean belum juga menyambut kami. Tak lama kemudian aku tertidur, dan, aku bangun saat perahu telah masuk pelabuhan yang menjadi tempatku berenang saat ku kecil dulu seakan menantang kawanan hiu..., akh..., mengerikaan bila ku pikir saat ini...

Matahari telah beranjak tinggi, tak ada orang yang menjemput kami, sebab ini bukan kapal yang memuat banyak penumpang, melainkan ini perahu pengangkut barang, dan satu dua diantara kami hanyalah karena keterpaksaan saja. Aku melangkah ke luar pelabuhan, dan naik dokar; kampungku yang dulu terasa luas kini terasa menyempit, dengan jalan-jalan yang menciut. Entah berapa menit saja aku telah sampai di jalan seberang rumahku, kosong, tak ada orang, lagi berangkat menimba rizki Allah, untuk biaya studi putra-putrinya, termasuk aku. Aku masuk taman pekarangan rumahku, beragam bunga seakan menyapaku, aku kangen, aku pulalah yang selalu menyirami di saat pagi dan petang kala aku balik kampung. Dopojok taman kuperhatikan bunga bogenfil kesayanganku pun tengah bermekaran dengan indahnya, namun semuanya membisu dan hanya mampu menampakkan senyum keindaahannya.

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...