Wednesday, July 14, 2010

CERBUNG

IYEM
Oleh: Aba
(Bagian 3, TAMAT)
K
ini Iyem telah beberapa bulan jadi jongos sang majikan, Iyem benar-benar berhadapan dengan raksasa kesombongan, celakanya lagi dollar atau ringgit atau real ataukah apa namanya, ya…, pokoknya upahlah tak pernah ia sentuh, tentu dengan beberapa alasan, sudah jatuh tertimpa tangga. Adapun tenaganya terus terkuras dan terkuras, ia betul-betul lelah, lelah lahir-batin, dan tak ada tempat mengadu, mulutnya yang selalu terjaga dari perkataan yang tidak bagus itu kini jadi fasih mengumpat-umpat.
*
Iyem bekerja tanpa batas waktu yang jelas, ia bekerja hingga larut malam, dan harus bangun jam tiga dini hari. Kali ini Iyem betul-betul amat lelah, malam ini majikannya mengadakan pesta, tak seperti biasanya, hingga jam satu dini hari ia baru selesai kemas, dan langsung masuk bilik dalam kelelahan. Serta-merta disandarkan kepalanya pada bantal yang sudah kempes, air matanya tak mengalir lagi karena mungkin telah habis terkuras, kemudian suuur bagai melayang-layang; dan, sang majikan datang dengan senyum menawan, aduhai…, ia datang dengan penuh kelembutan, lalu ia berkata bahwa hendaknya Iyem bekerja sebagaimana layaknya orang bekerja, dengan waktu dan job yang jelas, sang majikan mengatakan juga bahwa penguasa negerinya (Indonesia) telah mengeluarkan kebijakan kesepakatan perlindungan yang disebutnya ala Pancasila, ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’ serta ‘KeTuhanan Yang Maha Esa’ tidak lagi hanya simbol semata, melainkan merasuk dalam jiwa dan mengejawantah dalam aksi sorgawi di alam kiprah duniawi, tak ada orang naik haji dan membangun lembaga-lembaga keagamaan dari hasil korupsi dan pemerasan, kopiyah putih, serban serta jubah tak lagi dipakai di tubuhnya, melainkan dipakai dijiwanya. Dengan pasti sang majikan menerangkan panjang-lebar. Setelah ia menerangkan panjang-lebar itu sang majikan mengajak Iyem berlibur ke Singapore. Tentu Iyem tertarik, oleh sebab itu setujulah Iyem akan kebaikan hati sang majikan.
Iyem berkemas saat itu juga, lalu menuju bandara Internasional, kemudian tibalah mereka di Singapore, dan sesampainya di Singapore itu, alangkah terkejutnya ia, ternyata Alwi, sang kekasihnya telah menjemput di Bandara Internasional Changi. Alwi adalah salah seorang TKL alias Tenaga Kerja Laki-laki di Singapore, ia bekerja pada salah-satu keluarga yang masih keluarga majikan Iyem. Semasa di sekolah dulu Alwi adalah termasuk anak yang cerdas, ia kakak kelas Iyem, kini Alwi beruntung sebab disamping sebagai TKL ia juga bisa melanjutkan studi di Universitas terkemuka, majikannyalah yang memperjuangkan Alwi. Alwi menceriterakan segala pengalaman indahnya pada Iyem, Alwipun mengajak Iyem jalan-jalan ke pulau Sentosa. Mereka menuju pulau sentosa dengan naik kereta gantung (cable car); hari itu udara cerah, secerah hati mereka, di bawahnya air selat begitu tenang, kapal-kapal berlabuh dan melintas, pulau Santosa begitu hijau dan menawan hati. Alangkah kagummnya mereka, pemerintah Singapore telah betul-betul membangun negerinya dengan benar-benar terencana secara baik, lalu pikirannya menerawang pada perjalanan sejarah, terlintaslah nama Reffles sang peletak dasar paradigma. Selanjutnya mereka berkeliling pulau Santosa dengan naik bis, free alias gratis, lalu bercengkrama di pantai, menikmati atraksi lumba-lumba, hingga berkelana di alam aquarium raksasa; mereka bagi menyelam dalam laut, berkawan dengan hiu yang ternyata begitu jinaknya, suatu keajaiban terjadi, Iyem bagaikan dapat menangkap pembicaraan ikan-ikan di situ. Seekor ikan raksasa seakan berkata, ‘nikmatilah hidup wahai sang pecinta…, tebarkan senyum, sebab hidup terlalu singkat’, ikan-ikan kecil seakan bersorak-sorai, lalu seekor kuda laut seakan berpekik, ‘hidup keutamaan…, hidup kemulyaan…, enyahlah kesombongan…, sungguh seandainya kesombongan itu adalah mahluk hidup, tentu telah kubunuh engkau…’, setakat itu melintaslah pula seekor ikan raksasa seraya berujar, ‘tahukah engkau wahai kuda laut?!, bahwa kesombongan tak ada makna di hadapan Tuhan…’, lalu sang kuda laut yang kecil itu bergendong di punggungnya, dan meluncur bersamanya. Dengan manja Iyem memeluk Alwi seraya berujar pelan, ‘wahai sayangku…, peluklah aku sayang…, aku cinta padamu…’, namun Alwi yang santri itu lalu berujar, ‘sabarlah sayang, tunggulah suatu ketika, hingga masanya Tuhan mempertemukan jiwa dan raga kita dalam ikatan suami-istri’. Selepas kalimat kata itu diucapkan, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras yang disusul dengan hiruk-pikuk, lalu tangisan pilu, pada mulanya satu, lalu dua, kemudian seisi rumah, Iyem kaget, lalu mengusap kedua belah matanya, dan menyebut nama Allah, kini ia sadar bahwa ia baru saja tenggelam dalam mimpi. Demi didengar hiruk-pikuk itulah dengan pelan Iyem membuka pintu kamarnya, lalu, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…, majikannya telah dipanggil menghadap ke hadhiratNya, oleh sebab serangan jantung. Sosok raga pucat pasi telah terbujur kaku persis di depan pintu kamar Iyem. (TAMAT).

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...