Sunday, April 24, 2011

Pendidikan: Menyambut Hari Pendidikan Nasional

KONSEP PENDIDIKAN BERBASIS POTENSI DIRI



(Tinjauan Kritis Atas Pola Pendidikan Nasional Indonesia, Suatu Pendekatan Komparatif)
Oleh: Aba




Tulisan ini merupakan autokritik secara mendasar atas pola pendidikan Nasional kita yang lebih melihat peserta didik sebagai obyek, dan dengan mengajukan alternatif untuk melihat peserta didik sebagai subyek, yang bertumpu pada kodrat kemanusiaan.




Perth, Western Australia
1. Pendahuluan
Lebih dari dua puluh tahun penulis menggeluti dunia pendidikan pada lembaga pendidikan tinggi, di Indonesia, yaitu terhitung mulai jenjang Asisten Dosen. Pada tiga tahun pertama penulis sebagai asisten dosen di tiga Perguruan Tinggi Swasta di kota Malang Jawa Timur, salah satu kota yang dikenal sebagai Kota Pendidikan. Penulis juga pernah menjabat sebagai Dekan, dan sebelum itu sebagai Pembantu Dekan I (bidang akademik), suatu jabatan strategis untuk pembinaan akademik di bidang kami. Penulis juga telah mendapat kesempatan melakukan studi banding ke berbagai lembaga pendidikan di dalam dan luar negeri, baik atas prakarsa lembaga maupun atas prakarsa sendiri. Dari sini pula penulis menatap keperihatinan bagi pengelolaan pendidikan di Indonesia. Suatu sistem pendidikan yang sarat dengan formalitas dan penekanan (-untuk menghindari istilah penindasan-) bagi peserta didik. Pola kurikulum yang amburadul, sangat padat dan sering tidak konsisten sebagai lembaga pendidikan yang mestinya berorientasi keilmuan, pengulangan berbagai subyek yang membikin amat menjemukan.

Penulis tiada bermaksud menjelaskan pernyataan di atas. Dalam kaitan dengan itu penulis hanya akan berbicara apakah pola pendidikan kita telah dibina atas dasar potensi akademik, minat dan bakat peserta didik, -yang penulis sebut potensi diri- ?.

2. Potensi
Potensi adalah merupakan kemampuan dasar yang belum terungkap. Setiap manusia punya potensi untuk mengembangkan dirinya . Untuk pengungkapan itu diperlukan suatu kondisi di luar dirinya. Lembaga pendidikan adalah merupakan suatu lembaga formal yang mempunyai tugas utama untuk mengungkap dan mengembangkan potensi diri setiap peserta didik. Maka itu dalam mengevaluasi peserta didik didik seharusnyalah secara individu, tidak general, pola pendekatan semacam ini adalah merupakan pola pendekatan yang manusiawi, sebab setiap peserta didik adalah merupakan subyek bukan obyek. Berbeda dengan pendekatan general yang mekanistik, yang mamahami manusia (-dalam hal ini, peserta didik-) sebagai obyek, yang harus tunduk pada kekuasaan-kekuasaan di luar dirinya, yang mana mereka digiring ke arah tertentu dengan kekuatan yang mungkin saja di luar kemampuan dirinya, -atau mungkin tidak diinginkannya-, dan segala ukuran keberhasilan pun ditentukan di luar dirinya, dan tak ada jalan lain.

Semestinya setiap individu peserta didik berhak untuk mengembangkan dirinya sesuai potensi diri, secara alamiyah, wajar, tanpa tekanan ataupun ancaman dan bayang-bayang ketakutan dari terror lembaga yang mengatasnamakan pendidikan, yang mesti mereka jalani, mau/tidak mau. Dari situ pula reputasi dirinya dipertaruhkan, stigma akan datang dengan sendirinya sebagai hukuman-hukuman yang sangat tidak adil. Padahal mereka tidak lain merupakan korban daripada sikap otoriter penguasa, peletak dasar konsep pendidikan formal yang tiada pernah melihat potensi cemerlang dirinya secara individual. Dari situlah maka peserta didik dipaksa dengan dipacu untuk menyesuaikan diri dengan kehendak di luar dirinya, kursus-kursus yang melelahkan harus diikuti -setidaknya- dari berbagai subyek utama yang telah dipatok oleh pihak yang berwenang untuk itu, tiada pilihan lain, kecuali harus tunduk pada kekuatan itu, walaupun harus mengalami kelelahan, yang mungkin bukan seketika itu, melainkan di saat lain, pada titik jenuh.

3. Sistem Evaluasi
Kita perhatikan dalam sistem evaluasi peserta didik di negara kita, evaluasi semester, kenaikan kelas, kelulusan jenjang, semua menegangkan, 'ancaman/terror' psikologis bagi peserta didik, bahkan juga bagi orang tua.

4 Biang Kecurangan
Pokoknya mereka harus lulus dari semua itu, dan kadang juga dengan menghalalkan segala macam cara, kecurangan-kecurangan dalam evaluasi semester, ujian/evaluasi kenaikan kelas, evaluasi kelulusan jenjang, hingga jual-beli nilai, pemalsuan ijasah atau jual-beli ijasah asli tapi palsu, penyelenggaraan pendidikan yang tak lebih sekedar formalitas dan dengan mudah mengeluarkan ijasah -dan gelar- asal sanggup membayar, dan lain-lain yang sudah terlalu nyalang, dan bahkan juga telah diketahui oleh peserta didik (siswa/mahasiswa), dan bahkan tak kurang yang dengan keterlibatan orang tua mereka, terpaksa atau tidak. Belum lagi dengan maraknya berbagai isu rekayasa yang dilakukan oleh lembaga untuk memperoleh jenjang akreditasi yang melibatkan semua pihak pengelola lembaga pendidikan. Penulis berpikir, suatu pola pembelajaran dan pendidikan kemunafikan yang sempurna, dan kita tiada menyadarinya, oleh sebab berada di bawah alam sadar kita, namun 'mesin itu tetap berjalan membentuk pribadi kita. Suatu mata rantai yang saling terkait dan merupakan lingkaran setan.

5. Perlunya alternatif ke arah pendidikan yang alami
Belajar dari orang lain baik-baik saja, banyak pembelajaran yang bisa kita ambil dari orang lain. Kita mesti tidak segan membuang yang jelek walau datangnya dari pihak kita sendiri, dan tak malu mengambil yang baik walau datangnya dari orang lain, demikian orang bijak berkata.




Sebagai suatu perbandingan, penulis pikir menarik untuk melirik pola pembelajaran dan pendidikan yang diterapkan di Australia. Beberapa hal yang perlu penulis utarakan bahwa Australia menerapkan pola pembelajaran peserta didik aktif (pedia), semua peserta didik dikondisikan untuk aktif, evaluasi bersifat personal, potensi akademik, bakat dan minat betul-betul diperhatikan, oleh sebab itu berbagai penghargaan (reward) semisal berupa pemberian sertifikat, stiker-stiker yang melambangkan penghargaan atas segala prestasi untuk berbagai bidang subyek, present, sedapat mungkin memfasilitasi atas segala prestasi akademik, bakat serta minat peserta didik. Guru mencermati potensi/prestasi akademik, bakat serta minat yang berjalan secara alami, untuk selanjutnya dikembangkan. Para peserta didik tidak dipaksa untuk menguasai bidang tertentu yang telah dipatok oleh Lembaga atau Pemerintah (general), kemampuan adalah kemampuan diri secara alami, bukan karena tekanan-tekanan yang membebani peserta didik dan yang juga akan menyebabkan kerisauan orang tua. Semua dikondisikan secara wajar, alami, pengakuan atas kemampuan diri ditanamkan sejak dini (jujur diri), sehingga tidak perlu memaksakan diri lebih dari kemampuan. Penulis pikir, teori dasar adalah, bahwa setiap individu mempunyai kelebihan masing-masing, persoalannya bagaimana kita mesti mengolah dan mengembangkan kemampuan itu, apapun bentuknya. Ukuran prestasi bukan bagaimana peserta didik bisa memenuhi pesanan yang telah dipatok oleh Lembaga dan/atau Pemerintah, melainkan bagaimana peserta didik mampu mengembangkan potensi diri.

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...