Saturday, February 18, 2017

PENGHINAAN

Oleh: A. Fuad Usfa
Penghinaan terkait dengan emosi, terlepas dari rasio, keduanya tidak bisa saling bertemu, bila satu bergerak maka yang satunya akan diam, demikian pula sebaliknya. Jika ada seseorang yang menghina lalu kita tangkap hinaan itu dengan emosi, maka akan terjadilah pergumulan, oleh sebab memang di situlah arenanya. Saya menjumpai suatu bangunan budaya yang mana rasio lebih dikedepankan daripada emosi, dan ternyata pergumulan terkait dengan penghinaan dapat tereliminir dan bahkan terhindari.

Sesungguhnya penghinaan hanyalah satu pihak saja, bukan dua pihak, oleh sebab itu bila dibiarkan berlalu maka tak mungkin ada benturan, adanya benturan itu oleh sebab melajunya satu pihak tadi dihadang oleh pihak yang lain. Suatu misal bilamana ada seseorang mengata-ngatai kita 'engkau bang*at', dan 'bang*at' itu kita biarkan saja berlalu, maka ia akan berlalu begitu saja, namu manakala 'bang*at' itu dihadang (katakan misalnya) dengan kata 'engkau yang bang*at', maka akan terjadilah pergumulan. Adapun yang memegang peran untuk menghindari adanya benturan di sini adalah rasio. Rasiolah yang akan dapat menghilangkan benturan itu, menghilangkan benturan bermakna menghilangkan sifat penghinaan. Bilamana penghinaan itu telah kehilangan sifat, maka ia akan menjadi netral, adanya adalah sama dengan tiadanya. Bila seseorang mengatakan 'engkau bang*at', sejatinya kita ini tetap bukan bang*at. Apapun yang orang katakan pada kita, sejatinya kita adalah tetap kita. Suatu misal, ada sebuah bendera, dan bendera itu diinjak oleh seseorang, maka sesungguhnya sejatinya bendera itu tetap bendera, apakah itu diijak, ditempel, digantung, dibalik, dst, tetaplah ia itu bendera. Rasiolah yang akan mendudukkan bendera itu tetap pada yang sejatinya. Tuhan dihina katanya, lantaran dihina itu apakah Tuhan itu hina?, tidak, tidak ada Tuhan hina, dan kalau tidak hina untuk apa terhina, sebab sjatinya Tuhan itu tetap Tuhan. Bila ada Tuhan terhina, maka sesungguhnya dia itu bukan Tuhan, sebab ia tidak menyadari kesejatiannya. Tuhan sebagai titik pusat agama, maka agamapun tidak mungkin hina.

Atas dasar itu tatkala di suatu saat akan ada demo katanya, sebab agama kita (bisa lebih fokus pada Tuhan, Nabi, dst) dihina katanya, saya tidak mau ikut-ikutan, sebab sejatinya agama adalah tetap agama. Itulah salutnya saya pada rekan-rekan pemeluk agama Kristen (sebagai salahsatu contoh kongkrit dalam kasus seperti ini), dibilang Tuhannya punya anak yang dibayangkan seperti kita-kita sebagai manusia, dibilang kitab sucinya tidak asli dan sudah dipalsukan, ada juga gambar Yesus dan bunda Maria di sandal jepit, dst dst dikumandangkan di mana-mana, namun mereka tetap memahaminya dengan tidak reaktif. Apa sebabnya?, sebagaimana yang saya katakan di atas, yaitu rasio, ialah yang dapat menghilangkan sifat daripada penginaan itu.
Kitapun bisa melakukan itu, Tuhan adalah tetap sejatinya Tuhan, Nabi tetap sejatinya Nabi, Rasul adalah tetap sejatinya Rasul, dst. Saya ingat akan peribahasa yang kira-kira berbunyi, 'sinar mata hari walau menimpa pada kotoran sekalipun ia adalah tetap sinar yang sama'. Fokus bukan pada kotorannya, melainkan pada sinarnya. Sinar akan tetap sinar, walau disajikan hamparan kotoran sekalipun. Itulah sejatinya.
(AFOF, Perth WA, 29 Agustus 2016.

#Catatan: Adapun yang kadang malah bikin sangat krusial adalah, menghina orang bukan main semangatnya, namun begitu dirinya dislenting sedikit naik pitam tiada kepalang..., :(
(FB)

No comments:

Post a Comment

MENGGAYUH MEMAHAMI EKSISTENSI TUHAN

Oleh: A. Fuad Usfa Eksistensi Tuhan Berbicara tentang Tuhan berarti berbicara suatu yang gaib, abstrak. Tidak bisa ditangkap dengan penca in...